2.7.1 Islam
Pada abad XIX terjadi pergolakang besar di Minangkabau, di mana sebuah mahzab Islam bercita-cita mengadakan pemurnian pelaksanaan syariat Islam.
Pemimpin-pemimpin gerakan ini menyerang pranata-pranata Minangkabau yang banyak itu, yang bertentangan dengan ajaran Islam dan tidak hanya pranata, tetapi
juga kepala-kepala adat yang berhubungan dengan itu dan memerolah kedudukan sosial daripadanya. Gerakan pemurnian ini mendapat sambutan baik dari
masyarakat, sehingga memperoleh dukungan yang banyak terutama dari golongan yang tidak simpati akan tindakan dari tokoh-tokoh adat. Keunang, 1990: 302
Kepala-kepala adat yang terancam itu meminta bantuan mula-mula kepada orang Inggris, dan sesudah tahun 1824, kepada orang Belanda; maka pecahlah
suatu perang sengit, yang berlangsung dengan mengalami pasang surut bagi kedua belah pihak. Kaum Paderi berhasil mempertahankan diri. Malahan pada tahun
1830 mereka melakukan penyerangan ke Mandailing dan berhasil memporakporandakan perkampungan dan masyarakat yang dijumpainya.
Perlawanan dari raja-raja Minangkabau dan Raja-raja Mandailing yang dibantu oleh Belanda, pada tahun 1837 berhasil menumpas gerakan kaum Paderi
ini dengan menyerang pusat mereka yaitu Bonjol, sehingga era baru pun mulailah di derah Batak bagian selatan, yang telah berada di bawah pendudukan Kolonial
Belanda. Pemerintah Belanda dalam melaksanakan program-programnya
memerlukan tenaga-tenaga bantuan untuk mengerjakan urusan-urusan pemerintahan, yang antara lain dimulainya penanaman kopi secara paksa –
Universitas Sumatera Utara
sebagai suatu bagian dari Culturstelsel Sistem Tanam Paksa. Orang Batak Mandailing yang memenuhi syarat tidak bersedia, sehingga diangkatlah orang
Minangkabau hampir dalam segala jabatan yang diisi oleh pribumi. Beberapa sekolah didirikan untuk mendidik putra kepala-kepala adat Batak Mandailing agar
memenuhi syarat untuk penempatan dalam aparatur pemerintahan. Guru pada sekolah-sekolah ini pun kebanyakan didatangkan dari Minangkabau.
Orang-orang muslim yang menduduki posisi yang besar wibawanya, dijadikan contoh, untuk dipakai sebagai pedoman. Terutama hal ini berlaku
terhadap generasi yang lebih muda, yang tidak lagi atau tidak sadar akan pengalaman dari kekejaman kaum Paderi. Sebagai penganut agama Islam yang
sangat yakin, orang Minangkabau ini dihinggapi pula oleh semangat yang menyala-nyala untuk agama, sehingga sambil bekerja bagi pemerintah kolonial
Belanda mereka juga aktif menyebarkan agama Islam. Dari wilayah Batak Mandailing yang berdampingan dengan wilayah Batak
Toba, bahkan nyaris tanpa batas yang jelas, masuklah pengaruh Islam ke masyarakat Batak Toba. Jadi hampir dapat dipastikan, bahwa masyarakat Batak
Toba yang memeluk agama Islam pasti mendapat pengaruh dari Batak Mandailing yang sering dianggap masih saudara satu asal-usul. Sehingga daerah Batak
Tobayang berbatasan langsung dengan daerah Batak Mandailing sebagian penduduknya memeluk agama Islam sedang sebagian lagi memeluk agama
Kristen contohnya Pahae Jahe dan Pahae Julu.
Universitas Sumatera Utara
2.7.2 Kristen