Etnografi Kabupaten Tapanuli Utara

anak laki-laki bernama Tuan Sorimangaraja sedangkan anak ketiga, Ompu Tuan Mangalabulan, diberi istri bernama Siboru Panuturi yang melahirkan Tuan Dipangat Tinggi Sabulan. Si Boru Deakparujar anak dari Tuan Batara Guru lebih senang tinggal di Banua Tonga bumi, Mulajadi Na Bolon mengutus Raja Odap Odap untuk menjadi suaminya dan mereka tinggal di Sianjur Mula Mula di kaki Gunung Pusuk Buhit Pulau Samosir. Dari perkawinan mereka lahir 2 anak kembar: Raja Ihat Manisia laki- laki dan Boru Itam Manisia perempuan. Tidak dijelaskan Raja Ihat Manisia kawin dengan siapa, ia mempunyai 3 anak laki-laki: Raja Miok Miok, Patundal Na Begu dan Aji Lapas Lapas. Raja Miok Miok tingga di Sianjur Mula Mula, karena 2 saudaranya pergi merantau karena mereka berselisih paham. Raja Miok Miok mempunyai anak laki-laki bernama Engbanua, dan 3 cucu dari Engbanua yaitu: Raja Ulung, Raja Bonang Bonang dan Raja Jau. Sedangkan Raja Bonang Bonang anak ke-2 memiliki anak bernama Raja Tantan Debata, dan anak dari Tantan Debata inilah disebut Si Raja Batak, yang menjadi leluhur orang Batak, dan berdiam di Sianjur Mula Mula, di Kaki Gunung Pusuk Buhit Pulau Samosir. Cerita di atas hanya merupakan salah satu dari mitologi tentang asal-usul masyarakat Batak Toba, meskipun banyak cerita dengan berbagai versi, tetapi perbedaannya tidak begitu jauh, dan semua cerita mengatakan bahwa Si Raja Bataklah yang dianggap merupakan nenek moyang suku bangsa Batak.

2.3 Etnografi Kabupaten Tapanuli Utara

Etnografi berasal dari istilah ethnic dan secara harafiah berarti suku bangsa dan graphein artinya menggambarkan atau mendeskripsikan. Etnografi merupakan jenis karya antropologis khusus dan penting yang mengandung kajian pokok dari pengolahan dan analisis terhadap kebudayaan satu suku bangsa atau kelompok etnik. Universitas Sumatera Utara Selain mengenai besar kecilnya jumlah penduduk dalam kesatuan masyarakat suku bangsa, seorang ilmuwan antropologi tentu juga menghadapi soal perbedaan asa dan kompleksitas dari unsur kebudayaan yang menjadi pokok penelitian atau pokok deskripsi etnografinya. Dalam kaitan ini, para ilmuwan antropologi, biasaya membedakan kesatuan masyarakat suku-suku bangsa di dunia berdasarkan kepada kriteria mata pencaharian dan sistem ekonomi, yang mencakup enam macam: 1 masyarakat pemburu dan peramu, atau hunting and gathering societies; 2 masyarakat peternak atau pastoral societies; 3 masyarakat peladang atau societies of shifting cultivators; 4 masyarakat nelayan, atau fishing communities, 5 masyarakat petani pedesaan, atau peasant communities; dan 6 masyarakat perkotaan yang kompleks, atau complex urban societies. Pembatasan deskripsi tentang sebuah kebudayaan suku bangsa dalam satu karya etnografi, memerlukan metode dalam menentukan asas-asas pembatasan. Selain itu, dibicarakan bagaimana unsur-unsur dalam kebudayaan suatu suku bangsa yang menunjukkan persamaan dengan unsur-unsur sejenis dalam kebudayaan suku-suku bangsa lain. Untuk itu dilakukan perbandingan satu dengan lain. Perlu membuat suatu konsep yang mencakup persamaan unsur-unsur kebudayaan antara suku-suku bangsa menjadi kesatuan-kesatuan yang lebih besar lagi. Konsep itu adalah konsep “daerah kebudayaan” atau culture area. Sebuah “daerah kebudayaan” atau culture area merupakan penggabungan atau penggolongan yang dilakukan oleh ahli-ahli antropologi dari suku-suku bangsa yang dalam masing-masing kebudayaannya yang beraneka warna. Namun Universitas Sumatera Utara mempunyai beberapa unsur dan ciri mencolok yang serupa. Satu sistem penggolongan daerah kebudayaan sebenarnya adalah suatu sistem klasifikasi yang mengelaskan beraneka warna suku bangsa yang tersebar di suatu daerah atau benua besar, ke dalam golongan-golongan berdasarkan atas beberapa persamaan unsur dalam kebudayaannya. Hal ini untuk memudahkan gambaran menyeluruh dalam rangka penelitian analisis atau penelitian komparatif terhadap suku-suku bangsa di daerah atau benua tertentu. Saran-saran pertama untuk perkembangan sistem culture area berasal dari seorang pelopor ilmu antropologi Amerika, Frans Boas. Namun demikian, para pengarang tentang kebudayaan masyarakat suku-suku bangsa Indian pribumi Benua Amerika abad ke-19 telah mempergunakan sistem klasifikasi berdasarkan daerah-daerah geografi di Benua Amerika yang menunjukkan banyak persamaan dengan sistem klasifikasi culture area di Amerika Utara yang kita kenal sekarang. Walaupun benih-benih untuk sistem klasifikasi culture area itu sudah lama ada pada para pengarang etnografi di Amerika Serikat, tetapi murid Boas, bernama Clark Wissler Koentjaraningrat, 1980: 127-128, seorang ahli museum, adalah yang membat konsep itu populer, terutama karena bukungan The American Indian 1920. Dalam karya ini Wissler membicarakan berbagai kebudayaan suku bangsa Indian Amerika Utara dalam sembilan buah culture area. Suatu daerah kebudayaan terbentuk berdasarkan atas persamaan dengan sejumlah ciri mencolok dalam kebudayaan-kebudayaan yang membentuknya. Ciri-ciri yang menjadi alasan untuk klasifikasi itu tidak hanya berwujud unsur kebudayaan fisik saja, seperti alat-alat berburu, alat-alat bertani, alat-alat transpor, Universitas Sumatera Utara senjata, bentuk-bentuk ornamen perhiasan, bentuk-bentuk dan gaya pakaian, bentuk-bentuk tempat kediaman, alat-alat musik, properti tari dan teater, tetapi juga unsur-unsur kebudayaan yang lebih abstrak dari sistem sosial atau sistem budaya, seperti unsur-unsur organisasi kemasyarakatan, sistem perekonomian, upacara-upacara keagamaan, cara berpikir, filsafat, adat istiadat, dan lainnya. Ciri- ciri mencolok yang sama dalam berbagai kebudayaan menjadi alasan untuk klasifikasi. Biasanya hanya beberapa kebudayaan di pusat dari suatu culture area itu menunjukkan persamaan-persamaan besar dari unsur-unsur alasan tadi. Semakin kita menjauh dari pusat, makin berkurang pula jumlah unsur-unsur yang sama, dan akhirnya persamaan itu tidak ada lagi, sehingga pengkaji masuk ke dalam culture area tetangga. Dengan demikian, garis-garis yang membatasi dua culture area itu tidak pernah terang, karena pada daerah perbatasan itu unsur- unsur dari kedua culture area itu selalu tampak tercampur. Sifat kurang eksak dari metode klasifikasi cultue area tadi telah menimbulkan banyak kritik dari kalangan ilmuwan antropologi sendiri. Kelemahan-kelemahan metode ini memang telah lama dirasakan oleh para sarjana, dan suatu verifikasi yang lebih mendalam rupa-rupanya tidak akan mempertajam batas-batas dari culture area, tetapi malah akan mengaburkannya. Walau demikian, metode klasifikasi diterapkan oleh para sarjana lain terhadap tempat-tempat lain di muka bumi, dan masih banyak dipakai sampai sekarang karena pembagian ke dalam culture area itu memudahkan gambaran keseluruhan dalam hal menghadapi suatu daerah luas dengan banyak aneka warna kebudayaan di dalamnya. Daerah kebudayaan ini boleh saja luas atau boleh juga lebih sempit. Universitas Sumatera Utara Wilayah Kabupaten Tapanuli Utara terdiri dari wilayah-wilayah kecamatan sebagai berikut: Pangaribuan, Garoga, Sipahutar, Siborong-borong, Muara, Sipoholon, Tarutung, Adiankoting, Parmonangan, Siatas Barita, Simangumban, Pahae Julu, Pahae Jae, Pagaran, Simangumban. Wilayah Pangaribuan terdiri dari wilayah desa sebagai berikut: Parlombuan, Lumban Sinaga, Pansur Natolu, Silantom Julu, Silantom Tonga, Rahut Bosi, Batuna Dua, Sampagul, Harianja, Batu Manumpak, Pakpahan, Parsibarungan, Najumambe, Purbatua, Lumban Sormin, Sibingke, Godung Borotan, Parratusan, Sigotom Julu, Parsorminan I, Silantom Jae, Padang Parsadaan. Wilayah Kecamatan Pangaribuan mempunyai letak astronomi dan geografis sebagai berikut: 1. Letak astronomis Lintang Utara : 01 45’ – 02 Bujur Timur : 99 06’ 02’ – 99 2. Letak di atas permukaan laut : 500 sd 1500 m 02’ 3. Luas wilayah Kecamatan Pangaribuan : 459,25 Km2 4. Berbatasan dengan - Sebelah Utara : Kecamatan Sipahutar - Sebelah Selatan : Kabupaten Tapanuli Selatan - Sebelah Barat : Kecamatan Pahae Julu dan Kecamatan Pahae Jae - Sebelah Timur : Kecamatan Garoga Universitas Sumatera Utara 5. Jarak Kantor Camat ke Kantor Bupati Kabupaten Tapanuli Utara : 48 Km 6. Iklim : Sedang 7. Curah hujan : 2.760 mmthn 8. Kemiringan tempat - Dataran rendah : 0-2 : 0 Ha - Landai : 3-15 : 18.375 Ha - Miring : 16 – 40 : 5.125 Ha - Terjal : 40 Ke atas : 22.425 Ha Tabel 2.2 Luas wilayah Kecamatan Pangaribuan Menurut DesaKelurahan DesaKelurahan Luas Km2 Rasio Terhadap Total Luas Kecamatan Parlombuan Lumban Sinaga Pansur Natolu Silantom Julu Salantom Tonga Rahut Bosi Batu Nadua Sampagul Harianja Batu Manumpak Parsibarungan Pakpahan Najumambe Purbatua Lumban Sormin Sibingke Godung Borotan Parratusan Sigotom Julu Silantom Jae Padang Parsadaan 23,25 20,00 21,00 29,00 12,20 37,00 20,00 21,00 12,00 39,00 7,00 9,00 25,00 21,00 11,00 12,00 43,00 22,00 40,00 12,17 12,00 5,06 4,35 4,57 6,31 2,65 8,06 4,35 4,57 2,61 8,49 1,52 1,96 5,44 4,57 2,40 2,61 9,36 4,79 8,71 2,64 2,61 Universitas Sumatera Utara Pansorminan I 10,63 2,31 Jumlah 459,25 100 Di Kecamatan Pangaribuan, tepatnya Desa Rahut Bosi merupakan lokasi penelitian mengenai Pesta Horja Marga Gultom yang mempunyai letak koordinat sebagai berikut: Tabel 2.3 Letak Koordinat Desa di Kecamatan Pangaribuan DesaKelurahan Bujur Timur Lintang Utara Parlombuan Lumban Sinaga Pansur Natolu Silantom Julu Salantom Tonga Rahut Bosi Batu Nadua Sampagul Harianja Batu Manumpak Parsibarungan Pakpahan Najumambe Purbatua Lumban Sormin Sibingke Godung Borotan Parratusan Sigotom Julu Silantom Jae Padang Parsadaan Pansorminan I 99,12495 98,97968 99,21614 99,28791 99,19137 99,20013 98,97968 99,14807 99,16312 99,17527 99,16843 99,16401 99,22636 99,20293 99,16399 99,13445 99,10158 99,16891 99,10019 99,15214 99,19137 99,19137 1,97481 2,01366 1,94128 1,90997 1,96471 1,95416 2,01366 1,96204 2,00173 1,99450 2,00099 2,01709 2,04536 2,06267 2,01710 2,00988 1,99395 2,00230 1,97588 1,98579 1,96471 1,96471 Universitas Sumatera Utara Desa Rahut Bosi diresmikan pada tahun 1949. Luas tanah Desa Rahut Bosi menurut penggunaan pada tahun 2011 Sumber: UPT Pertanian Kecamatan Pangaribuan. Tabel 2.4 Luas Tanah Desa Rahut Bosi Menurut Penggunaannya Pada Tahun 2011 Tanah Sawah Ha Tanah Kering Ha Bangunan Pekarangan Ha Lainnya Ha Jumlah Ha Tanah Perkebun an Rakyat Ha Tanah Pemuk iman Ha Jalan dan Kuburan Ha 88 1897 215 1500 3700 1000 300 20 Tanah yang diusahai dalam waktu sementara 455 Ha. Sumber ekonomi Desa Rahut Bosi adalah kopi, padi sawah, padi gogo, kemenyan, nenas dan pertambangan mika. Tabel 2.5 Jumlah Penduduk Desa Rahut Bosi 2011 Desa Luas Km2 Jumlah Penduduk Pertengahan Tahun Jiwa Jumlah Penduduk Akhir Tahun Jiwa Kepadatan Penduduk JiwaKm2 Rahut Bosi 37,00 1.750 1757 47,49 Universitas Sumatera Utara Jumlah penduduk Desa Rahut Bosi adalah 1757 jiwa yang terdiri dari laki-laki 895 jiwa dan perempuan 862 jiwa. Agama yang dianut adalah Kristen Protestan, Kristen Katolik dan agama Islam. Tabel 2.6 Luas Tanaman Palawija ha. Jagung Ha Ubi Kayu Ha Ubi Jalar Ha Kacang Tanah Ha Jumlah Ha 22 12 20 2 56 Tabel 2.7 Jumlah Penduduk dan Rumah Tangga DesaKelurahan Jumlah Penduduk Jumlah Rumah Tangga Rata-rata per Rumah Tangga Parlombuan Lumban Sinaga Pansur Natolu Silantom Julu Salantom Tonga Rahut Bosi Batu Nadua Sampagul Harianja Batu Manumpak 779 1.202 1.051 639 347 1.757 1.347 1.007 719 2.225 187 270 271 145 189 399 305 303 163 544 4 4 4 4 3 4 4 3 4 4 Universitas Sumatera Utara Parsibarungan Pakpahan Najumambe Purbatua Lumban Sormin Sibingke Godung Borotan Parratusan Sigotom Julu Silantom Jae Padang Parsadaan Pansorminan I 1.038 2.885 979 1.064 1.229 972 1.351 976 1.529 5.88 402 618 230 616 203 233 269 216 327 244 385 144 74 93 5 5 5 5 5 5 4 4 4 4 5 7 Jumlah 25.004 5.810 4 Jumlah 24.647 5.663 4

2.4 Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba