Permasalahan dan Tantangan Industri Pakan Ternak

keuntungan pabrik pakan 1993 Rp. 265kg pakan petelur dan Rp. 287kg pakan broiler atau sekitar 42-44 persen dari harga jual pakan, 3 bahkan beberapa perusahaan peternakan skala besar melakukan integrasi vertikal, seperti perusahaan PT. Japfa Comfeed, PT. Charoen Phokphand, PT. Cargill, PT. Anwar Sierad, Group Subur, PT. Multi Breeder, dll, dan 4 pada kenyataannya ke delapan pabrik pakan skala besar ini berada dalam satu organisasi GPMT Gabungan Pengusaha Makanan Ternak yang mempertegas adanya kartel di antara mereka. GPMT Gabungan Pengusaha Makanan Ternak dikenal sebagai media yang memperjuangkan nasib pabrik pakan dan mengadakan persekutuan dalam mengatur harga pakan. Menurut analisis pasar Warta Pertanian 1996 terdapat dua perusahaan besar yang menguasai lebih setengah pangsa pasar pakan unggas yang tersedia. Diperkirakan mereka mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan harga pakan selama ini. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2000 terdapat 61 perusahaan pakan ternak seluruh Indonesia dengan kapasitas produksi 10 018 791 ton. Semakin dominannya perusahaan skala besar dapat ditunjukkan bahwa ditahun 1999 PT. Charoen Pokphand Indonesia CPI mempunyai kapasitas produksi pakan sebesar 2 410 000 ton pertahun. Selanjutnya dikemukakan oleh pihak PT. CPI bahwa pangsa pasarnya saat ini mencapai 38 persen untuk pakan unggas. Suatu pangsa pasar yang sangat potensial untuk menjadi leader dalam perusahaan oligopoli.

2.4. Permasalahan dan Tantangan Industri Pakan Ternak

Tingkat keuntungan pabrik pakan ditentukan oleh biaya bahan baku makanan ternak yang digunakan dan bagaimana meramunya menjadi pakan yang memenuhi syarat, biaya produksi pakan, dan biaya pemasaran. Keberhasilan pabrik pakan memperoleh keuntungan yang maksimum ditentukan oleh banyak faktor. Yusdja dan Pasandaran 1996 memperlihatkan bahwa biaya bahan baku makanan ternak merupakan biaya terbesar bagi pabrik pakan, yakni 78.8 persen dari total biaya. Sedangkan biaya memproduksi adalah 7.8 persen dan pemasaran 4.4 persen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa biaya produksi pakan sangat rendah. Dengan kata lain, biaya investasi relatif kecil sehingga sebenarnya perusahaan baru tidak akan menghadapi kesulitan jika ingin mendirikan pabrik pakan. Masalahnya adalah kemampuan dalam menguasai bahan baku. Sekitar 85-90 persen produksi pakan di Indonesia ditujukan untuk membuat pakan unggas, yaitu ayam ras pedaging broiler dan ayam ras petelur layer. Dengan meningkatnya produksi unggas maka produksi pakan juga terus meningkat. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya produksi pakan di awal tahun 1970an ketika ayam ras pertama kali dimasukkan ke Indonesia. Industri pakan ayam ras memerlukan bahan baku lebih dari 15 jenis. Dari sekian banyak jenis bahan baku yang diperlukan, yang paling sering menimbulkan gejolak harga pakan adalah jagung kuning, bungkil kacang kedele dan tepung ikan. Dalam komposisi pakan ayam ras, pihak pabrik memperkirakan kontribusi jagung kuning berkisar antara 30-55 persen, bungkil kedele antara 10-18 persen dan tepung ikan sebesar 5 persen. Melihat komposisi pakan sebagaimana diperkirakan oleh pihak pabrik, jelaslah bahwa jagung kuning mengambil porsi terbesar dalam formula pakan ayam ras, kemudian disusul dengan bungkil kedele. Hal ini jelas dikarenakan pakan ayam membutuhkan sumber energi yang diperoleh dari jagung. Memang sumber energi bisa diperoleh dari bahan lain seperti sorgum, singkong maupun minyak. Akan tetapi dengan keterbatasan jumlah, harga dan nilai gizi, maka jagung masih merupakan bahan baku utama untuk membuat ransum ayam. Dengan demikian tidak mengherankan apabila terjadi guncangan harga dari kedua bahan baku utama ini harga pakan ayam ras pun ikut terguncang. Oleh karena itu produksi dan tataniaga kedua bahan baku ini perlu dicermati. Kebutuhan bahan baku jagung kuning dari sisi kuantitas belum dapat dipenuhi dari dalam negeri dan kekurangan ini seringkali cukup besar. Pengalaman menunjukkan bahwa untuk mengatasi kekurangan pasokan jagung dari dalam negeri dilakukan impor, yang kadang-kadang jumlahnya cukup besar dan dengan harga yang relatif tinggi dibanding harga jagung domestik. Tabel 3. Perkembangan Produksi, Konsumsi, Ekspor dan Impor Jagung di Indonesia ton Tahun Produksi Jagung Ekspor Jagung Impor Jagung Net Impor Permintaan Jagung 1993 6 459 737 52 090 494 446 442 356 6 902 093 1994 6 868 885 28 880 1 109 253 1 080 373 7 949 258 1995 8 245 902 74 879 969 145 894 266 9 140 168 1996 9 307 423 17 505 587 603 570 098 9 877 521 1997 9 161 362 18 956 1 098 353 1 087 397 10 248 759 1998 10 169 488 632 515 313 463 -319 052 9 850 436 1999 9 204 036 90 647 618 060 527 413 9 731 449 2000 9 677 000 28 066 1 264 575 1 236 509 10 913 509 2001 9 347 192 90 474 1 035 797 945 323 10 292 515 2002 9 654 105 14 285 1 149 844 1 135 559 10 789 664 2003 10 886 442 34 172 1 371 126 1 336 954 12 223 396 2004 11 225 243 51 479 1 115 093 1 063 614 12 288 857 Sumber : Statistik Pertanian 2005 Tabel 3 menunjukkan bahwa peningkatan kebutuhan jagung ini dalam beberapa tahun terakhir tidak sejalan dengan laju peningkatan produksi di dalam negeri, sehingga mengakibatkan diperlukannya impor jagung yang makin besar. Hal yang menjadi kendala untuk meningkatkan produksi jagung Indonesia adalah produktivitas yang masih rendah, yaitu sekitar 2.4 – 2.9 tonha. Secara umum penggunaan jagung di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu : 1 konsumsi langsung, 2 bahan baku pakan ternak, 3 bahan baku industri pangan dan 4 kebutuhan lainnya. Perkembangan penggunaan jagung di Indonesia periode 1993-2003 disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Perkembangan Penggunaan Jagung di Indonesia, Tahun 1993-2003 Konsumsi a Pakan b Industri Pangan dan lainnya Tahun Volume 000 ton Pangsa Volume 000 ton Pangsa Volume 000 ton Pangsa 1993 864 13.45 2 298 35.77 3 261 50.78 1994 723 9.67 2 359 31.56 4 392 58.76 1995 567 6.60 2 420 28.18 5 601 65.22 1996 416 4.47 3 315 35.61 5 578 59.92 1997 460 4.96 3 075 33.16 5 738 61.88 1998 516 5.57 1 294 13.96 7 461 80.47 1999 563 6.15 1 717 18.77 6 868 75.07 2000 573 5.57 2 285 22.23 7 421 72.20 2001 582 6.12 2 518 26.47 6 414 67.41 2002 823 7.63 6 538 60.60 3 428 31.77 2003 718 5.88 6 942 56.80 4 562 37.32 Rataan 619 6.91 3 160 33.01 5 520 60.07 r th -1.69 -5.63 20.20 5.88 3.99 -2.65 Sumber : a SUSENAS diolah b Statistik Peternakan berbagai series diolah Rata-rata penggunaan jagung untuk konsumsi langsung relatif sedikit yaitu 619 ribu ton per tahun atau hanya 6.91 persen dari total penggunaan jagung, bahkan cenderung mengalami penurunan masing-masing 1.69 persen dan 5.63 persen per tahun menurut volume dan pangsa. Seperti dikutip dalam Kariyasa 2003, sampai dengan tahun 2001, penggunaan jagung terbesar adalah untuk kebutuhan industri pangan. Namun setelah tahun 2001, penggunaan jagung terbesar beralih untuk kebutuhan industri pakan. Sementara itu, rata-rata penggunaan jagung untuk industri pakan periode 1993-2003 sekitar 3.1 juta ton atau 33.01 persen dari total penggunaan jagung. Baik dari segi volume maupun pangsa, penggunaan jagung untuk bahan baku pakan mengalami peningkatan masing-masing 20.20 persen dan 5.88 persen per tahun. Tujuan utama dilakukan impor jagung adalah dalam upaya untuk memenuhi kekurangan kebutuhan jagung dalam negeri khususnya untuk bahan baku pakan. Sementara itu, penggunaan jagung impor untuk bahan baku industri makanan dan non makanan masih relatif terbatas, diperkirakan hanya sekitar 15 persen. Pada Tabel 5 disajikan perkembangan komposisi penggunaan jagung impor dan produksi domestik periode 1993-2003. Pada tahun 1993 dari total jagung yang digunakan dalam pembuatan pakan ternak, pangsa penggunaan jagung impor masih sangat kecil yaitu hanya 18.29 persen. Artinya hampir sekitar 81.71 persen masih menggunakan jagung domestik sehingga dapat dikatakan bahwa jagung impor hanya sebagai pelengkap saja. Mulai tahun 1994, ketergantungan pabrik pakan Indonesia terhadap jagung impor sangat tinggi, dimana pada tahun tersebut sekitar 40.29 persen dipenuhi dari jagung impor, bahkan tahun 2000 penggunaan jagung impor dan jagung domestik dalam pembuatan pakan ternak hampir berimbang 47.04 persen dan 52.96 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa ketergantungan pabrik pakan yang semakin tinggi terhadap jagung impor kurang menguntungkan bagi perkembangan industri pakan dan peternakan di Indonesia, apalagi dalam sepuluh tahun terakhir volume jagung yang diperdagangkan dalam pasar dunia sangat kecil Kasryno, 2002. Tabel 5. Komposisi Penggunaan Jagung Impor dan Domestik dalam Pembuatan Pakan Ternak di Indonesia, Tahun 1993-2003 Komposisi Jagung Tahun Impor Domestik 1993 18.29 81.71 1994 40.29 59.71 1995 34.04 65.96 1996 15.82 84.18 1997 30.36 69.64 1998 20.59 79.41 1999 30.60 69.40 2000 47.04 52.96 2001 34.97 65.03 2002 7.60 92.40 2003 11.60 88.40 Rataan 26.47 73.53 r th -3.66 0.82 Sumber : Tabel 3 dan 4, dimana penggunaan jagung impor untuk non pakan sebesar 15 diolah Namun mulai tahun 2002 penggunaan jagung impor dalam pakan mengalami penurunan yang signifikan. Pada Tabel 5 juga terlihat bahwa selama periode 1993-2003 pangsa penggunaan jagung impor mengalami penurunan yaitu 3.66 persen per tahun, sebaliknya pangsa penggunaan jagung produksi domestik cenderung mengalami peningkatan sebesar 0.82 persen per tahun. Keadaan ini memperlihatkan bahwa produksi jagung Indonesia mulai meningkat dengan gencarnya penanaman jagung hibrida varietas unggul, karena dari data luas panen jagung sampai dengan tahun 2005 tidak ada peningkatan signifikan pada luas panen tanaman jagung. Jagung hibrida varietas unggul sendiri diperkirakan produktivitasnya berkisar 6 – 8 ton per hektar, yang jika dibandingkan dengan produktivitas jagung varietas biasa yang hanya berkisar 3 ton per hektar. Lain halnya dengan kedelai. Indonesia hanya menghasilkan sedikit tanaman keluarga kacang-kacangan yang satu ini . Buktinya, produksi kedelai Indonesia, bahkan Asia secara keseluruhan, tergolong rendah dan hampir semua negara Asia mengandalkan pasokan impor untuk kebutuhan kedelainya. Impor kedelai Indonesia mencapai lebih dari dua juta ton per tahunnya. Belum lagi bungkil kedelai yang merupakan by product kedelai dan komponen penting kedua dalam penyusunan ransum pakan ternak. Sejak tahun 2000, impor bungkil kedelai tercatat diatas 1 juta ton per tahun. Perkembangan produksi, ekspor dan impor kedelai Indonesia dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Perkembangan Produksi, Konsumsi, Ekspor dan Impor Kedelai Indonesia ton Tahun Produksi Kedelai Ekspor Kedelai Impor Kedelai Net Impor Permintaan Kedelai 1998 1 305 640 343 124 343 124 1 648 764 1999 1 382 848 16 1 301 755 1 301 739 2 684 587 2000 1 018 000 521 1 277 685 1 277 164 2 295 164 2001 826 932 1 188 1 136 419 1 135 231 1 962 163 2002 673 056 1 325 833 1 325 833 1 998 889 2003 672 000 13 624 2 773 667 2 760 043 3 432 043 2004 723 000 18 381 2 881 735 2 863 354 3 586 354 Sumber: Statistik Pertanian 2005 Sementara itu, Sekretaris Jendral Gabungan Pengusaha Makanan Ternak GPMT Fenni Firman Gunadi mengatakan bahwa kenaikan harga pakan dari Rp. 2 300kg menjadi Rp. 2 750kg disebabkan naiknya harga bahan baku pakan ternak selama periode Januari hingga Maret 2004 1 . Misalnya jagung dari Rp. 1 100kg menjadi Rp. 1 200kg, bungkil kedelai dari 310 menjadi 390 dollar ASton, meat bone meal MBM dari 300 menjadi 405 dollar ASton. Kenaikan harga MBM lebih banyak disebabkan berhentinya impor dari AS dan Kanada karena wabah Mad Cow, sehingga pasokan terbatas dan impor hanya dari Australia dan Selandia Baru. Selama semester I 2004 produksi pakan ternak mengalami penurunan sekitar 20 persen hanya 3.6 juta ton dibandingkan semester I satu 2003 sebanyak 3.8 juta ton. Penurunan tersebut karena turunnya konsumsi pakan ternak akibat wabah Avian Influenza AI. Selanjutnya diakui bahwa industri pakan ternak kesulitan mencari bahan baku pakan ternak, terutama jagung, setelah Cina menghentikan ekspor jagung mereka. Saat ini negara yang menjadi tujuan impor lainnya adalah Thailand dan India. Sebenarnya industri pakan lebih menyukai jagung lokal karena mutunya lebih baik yaitu kadar betakaroten dan proteinnya lebih tinggi. Namun, meski produksi jagung nasional mencapai 9.8 juta ton masih sulit untuk memenuhi kebutuhan industri pakan ternak yang mencapai 300 ribu tonbulan. Alasannya, panen yang tidak berlangsung kontinu dalam setahun dan daerah sentra produksi jagung tidak berdekatan dengan industri pakan ternak sehingga harga jagung impor lebih murah dibandingkan jagung lokal karena mahalnya transportasi. ________________ 1 Bali Post 2004. Harga Pakan Melonjak, Peternak Demo : Dikaji Dewan Peternakan Ayam. Kamis, 29 April 2004.

2.5. Kebijaksanaan Integrasi Vertikal