Analisis struktur, perilaku dan kinerja industri pakan ternak ayam di propinsi lampung dan jawa barat

(1)

INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI

LAMPUNG DAN JAWA BARAT

ANNA FITRIANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, 8 Agustus 2006

Anna Fitriani


(3)

Ternak Ayam di Propinsi Lampung dan Jawa Barat (HERMANTO SIREGAR sebagai ketua, dan ARIEF DARYANTO sebagai anggota Komisi Pembimbing).

Industri pakan ternak ayam sebagai penyedia pakan jadi bagi perusahaan peternakan ayam memiliki posisi strategis di dalam pembangunan peternakan. Namun di dalam perkembangannya mengalami berbagai hambatan diantaranya sulitnya memperoleh bahan baku (raw material) di dalam negeri sehingga dibutuhkan impor. Perilaku seperti ini tentunya akan berdampak kepada kinerja industri pakan. Selain itu, adanya indikasi struktur industri pakan sekarang ini dikuasai oleh beberapa perusahaan besar dan membentuk oligopoli. Di sisi lain, ada keterkaitan yang kuat antara struktur, perilaku dan kinerja, dimana kinerja nantinya akan menentukan struktur industri selanjutnya. Akan tetapi, secara empiris belum ada data yang menginformasikan keterkaitan dari ketiga komponen tersebut, sehingga perlu dilakukan kajian secara komprehensif.

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengkaji perilaku bisnis industri pakan ternak ayam melalui analisis keterkaitan Structure – Conduct – Performance (Struktur – Perilaku – Kinerja), (2) menganalisis arah perkembangan industri pakan ternak ayam dan (3) merumuskan kebijakan bagi pemerintah dalam mendorong perkembangan industri pakan. Penelitian ini menggunakan data pooling yaitu gabungan time series dari tahun 1999 – 2003 dan cross section pada sembilan industri pakan di propinsi Lampung dan Jawa Barat, yang dianalisis melalui pendekatan ekonometrika. Model terdiri dari 17 persamaan struktural dan 3 persamaan identitas dan pendugaan parameter dilakukan dengan metode 2 SLS (Two Stage Least Squares).

Hasil pendugaan menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan erat antara struktur, perilaku dan kinerja industri pakan ternak ayam dimana masuknya pesaing baru ke dalam industri mendorong perusahaan menekan biaya produksi melalui pengurangan penggunaan input bahan baku yang harganya relatif mahal dan susah didapat yaitu bungkil kedele. Perilaku biaya ini selanjutnya berdampak kepada efisiensi biaya dan harga output pakan. Selanjutnya harga pakan akan menarik perusahaan untuk masuk atau keluar dari industri. Apabila dilihat dari indikator rasio konsentrasi, struktur pasar pakan di propinsi Lampung cenderung mengarah ke pasar oligopoli, sementara di Jawa Barat mengarah ke persaingan monopolistik. Hasil simulasi menunjukkan bahwa skenario peningkatan permintaan lebih besar dampaknya terhadap industri pakan dibanding skenario peningkatan penawaran dan kenaikan harga input, terutama terkait efisiensi industri.

Perkembangan industri pakan ternak harus didukung dengan meningkatnya permintaan akan produk peternakan melalui peningkatan daya beli dan kesadaran masyarakat akan pentingnya protein asal ternak. Selain itu, penyediaan input berupa bahan baku penyusun pakan terutama bahan baku sumber protein alternatif pengganti bungkil kedele melalui kegiatan penelitian menjadi prioritas utama dalam mendorong perkembangan industri pakan ternak. Kata kunci : Industri pakan ternak, structure-conduct-performance, simultan.


(4)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.


(5)

INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI

LAMPUNG DAN JAWA BARAT

Oleh :

ANNA FITRIANI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

Nomor Pokok : A151020021

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec.

Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, M.A. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.


(7)

Penulis dilahirkan di kota Jambi pada tanggal 28 Oktober 1973, sebagai anak ketiga dari enam bersaudara pasangan HM. Noer Mong, BE dan Hj. Kartini. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 15 Jambi pada tahun 1986. Pada tahun 1989 lulus dari sekolah menengah SMPN 2 Jambi dan di tahun 1992 menamatkan sekolah menengah atas dari SMAN 1 Jambi.

Pada tahun itu juga penulis melanjutkan ke jenjang Sarjana di Program Studi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Jambi dan menamatkannya pada tahun 1998. Kemudian tahun 2002 penulis mendapat beasiswa dari BPPS untuk meneruskan pendidikan Pascasarjana pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Pada tahun 1999 penulis diangkat sebagai staf pengajar di Fakultas Peternakan Universitas Jambi untuk mata kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi dan Tataniaga Pertanian pada Laboratorium Ekonomi dan Bisnis.

Penulis menikah dengan Ir. Saiful Helmi Pohan pada tahun 2001 dan telah dikaruniai tiga orang putra, M. Imam Aqillah Pohan (4.5 tahun), Aulia Zuhdi Makarim Pohan (2 tahun) dan Fajar Adhirajasa Pohan (7 bulan).


(8)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayahnya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini menyajikan hasil penelitian penulis mengenai Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan Ternak Ayam di Propinsi Lampung dan Jawa Barat.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih banyak dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc., sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Arief Daryanto, MEc., sebagai anggota, yang telah banyak mencurahkan waktu dan pikirannya, serta saran-saran dalam membimbing penulis mulai dari mempersiapkan proposal sampai penyelesaian tesis ini.

Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. W.H. Limbong, MS yang telah bersedia sebagai dosen penguji luar komisi dan telah banyak memberikan saran dan masukan untuk mempertajam tesis ini.

2. Rektor Universitas Jambi yang telah mengizinkan dan merekomendasikan penulis untuk melanjutkan pendidikan Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor.

3. Dekan Fakultas Peternakan Universitas Jambi yang telah mengizinkan penulis untuk melanjutkan pendidikan Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor.

4. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana dan Ketua Program Studi serta segenap dosen pada program studi Ilmu Ekonomi


(9)

5. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa selama penulis kuliah di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

6. Rekan-rekan EPN 2002, khususnya kepada Ima Aisyah, Mimi, Dwi, Andre, Bedi, Ardi, Adam, Aneng, Ujay, Endang, dan Elis yang telah banyak memberikan semangat dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

7. Ungkapan rasa sayang dan terima kasih yang mendalam kepada Papa, Mama, Kakak Nita Sahara, Adik Neni Urfiani dan Chairunnisa serta Abang dan Kakak Ipar, atas dorongan dan doanya bagi penulis.

8. Teristimewa kepada Suamiku tersayang, Saiful Helmi Pohan dan Anak-anakku tercinta, yang telah setia dan sabar menemani penulis dan terus memberikan dorongan dalam menyelesaikan tesis ini.

Akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini tidak luput dari kekurangan, namun demikian penulis tetap berharap semoga dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2006


(10)

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 11

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 14

2.1. Perkembangan Kebijakan Agribisnis Ayam Ras ... 14

2.2. Keterkaitan Agroindustri Pakan Ternak dengan Budidaya Ayam Ras ... 18

2.3. Perkembangan Industri Pakan Ternak ………... 21

2.4. Permasalahan dan Tantangan Industri Pakan Ternak ... 25

2.5. Kebijaksanaan Integrasi Vertikal ………... 33

2.6. Pendekatan Ekonomi Kelembagaan Terhadap Perilaku Industri . . 37

2.7. Tinjauan Studi Terdahulu ... 40

2.7.1. Industri Pakan Ternak ... 40

2.7.2. Structure-Conduct-Performance ………... 43

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 49

3.1. Kerangka Teoritis ... 49

3.1.1. Permintaan Jagung dan Penawaran Pakan Ternak ... 49

3.1.2. Analisa Perilaku Usaha …………... 50

3.2. Kerangka Konseptual ... 67

IV. METODE PENELITIAN ... 70

4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 70


(11)

4.3.2. Blok Perilaku Industri …………... 75

4.3.3. Blok Kinerja Industri ………... 81

4.3.4. Elastisitas ………. 88

4.4. Identifikasi Model ... 89

4.5. Metode Estimasi ………. 90

4.6. Validasi Model ……… 90

4.7. Simulasi Dampak Kebijakan ………. 91

V. GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN INDUSTRI PAKAN TERNAK DI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ……….... 93

5.1. Karakteristik Penggunaan Bahan Baku Pakan …... 93

5.2. Perkembangan Industri Pakan Ternak di Lampung dan Jawa Barat ... 98

5.3. Dampak Perkembangan Industri Pakan Ternak Ayam Terhadap Perkembangan Industri Perunggasan Nasional ………….. 105

VI. STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK ………... 108

6.1. Struktur Industri Pakan Ternak ... 109

6.2. Perilaku Industri Pakan Ternak ... 113

6.3. Kinerja Industri Pakan Ternak ... 122

6.4. Hubungan Antara Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan ……….……….. 128

VII. DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN USAHA TERHADAP STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA ………. 132

7.1. Hasil Validasi Model Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan Ternak ………. 132

7.2. Simulasi Dampak Perubahan Permintaan dan Penawaran Terhadap Industri Pakan Ternak ………. 134

7.2.1. Dampak Peningkatan Permintaan Pakan Ternak ………. 134

7.2.2. Dampak Peningkatan Penawaran Pakan Ternak ……… 136

7.3. Simulasi Dampak Perubahan Harga Input Terhadap Industri Pakan Ternak ………. 138


(12)

7.3.3. Dampak Peningkatan Upah ……… 142

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ……… 145

8.1. Kesimpulan ………... 145

8.2. Implikasi Kebijakan ... 146

8.3. Saran Penelitian Lanjutan ... 147

DAFTAR PUSTAKA ... 148

LAMPIRAN ……….. 152


(13)

Nomor Halaman 1 Perkembangan Jumlah dan Kapasitas Pabrik Pakan di Indonesia

Tahun 1990-2001 ... 22 2 Perkembangan Produksi Pakan dan Penggunaannya di Indonesia

Tahun 1992-2003 ... 23 3 Perkembangan Produksi, Konsumsi, Ekspor dan Impor Jagung

di Indonesia ... 27 4 Perkembangan Penggunaan Jagung di Indonesia, Tahun 1993-2003 …. 28 5 Komposisi Penggunaan Jagung Impor dan Domestik dalam Pembuatan

Pakan Ternak di Indonesia, Tahun 1993-2003 ……… 30 6 Perkembangan Produksi, Konsumsi, Ekspor dan Impor Kedelai di

Indonesia ... 31 7 Jenis dan Pengelompokkan Variabel dalam Penelitian ……….. 87 8 Perbandingan Nilai Gizi Jagung dengan Biji-bijian Lain dan Dedak

Padi ……… 94 9 Perbedaan Perilaku Penggunaan Bahan Baku pada Industri Pakan

Ternak di Lampung dan Jawa Barat ………. 96 10 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Struktur Industri

Pakan Ternak ………. 110 11 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Industri

Pakan Ternak ……….. 114 12 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Industri

Pakan Ternak ……… 123 13 Hasil Validasi Model Ekonometrika Menggunakan Kriteria RMSE,

R-Square dan U-Theil ………. 132

14 Implikasi Kebijakan Pemerintah di dalam memperbaiki SCP Industri,


(14)

Nomor Halaman

1 Sistem Agribisnis Ayam Ras ... 19

2 Urutan Segmen Produksi Terintegrasi ... 36

3 Unsur dan Keterkaitan Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri ... 53

4 Penetapan Harga pada Pasar Bersaing Sempurna ………. 56

5 Penetapan Harga pada Monopoli Murni dan Persaingan Monopolistik .. 58

6 Penetapan Harga oleh Perusahaan Monopoli dan Bersaing ………….. 59

7 Kurva Permintaan yang Patah (Kinked-Demand Curve) dan Kurva Penerimaan Marjinal yang Terputus pada Pasar Oligopolistik ……. 62

8 Mekanisme tidak Tercapainya Keuntungan Maksimum dalam Kartel … 65 9 Kerangka Pemikiran Struktur dan Keragaan Industri Pakan Ternak Ayam ... 69

10 Diagram Keterkaitan Variabel-variabel dalam SCP Industri Pakan Ternak ... 86

11 Indeks Rasio Konsentrasi Industri Pakan Ternak di Propinsi Lampung Dan Jawa Barat, 1999-2003 ……… 102

12 Pangsa Pasar Industri Pakan Ternak di Propinsi Lampung dan Jawa Barat, 1999-2003 ………..……….. 102

13 Market Power Industri Pakan Ternak di Propinsi Lampung dan Jawa Barat, 1999-2003 ………. 103

14 Harga Pakan Ternak di Propinsi Lampung dan Jawa Barat, 1999- 2003 ………. 104

15 Hubungan Antara Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan …… 131

16 Dampak Peningkatan Permintaan Terhadap Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan Ternak ……….. 135

17 Dampak Peningkatan Penawaran Terhadap Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan Ternak ………. 137


(15)

19 Dampak Peningkatan Harga Jagung Terhadap Struktur, Perilaku dan

Kinerja Industri Pakan Ternak ……….. 141 20 Dampak Peningkatan Upah Terhadap Struktur, Perilaku dan Kinerja

Industri Pakan Ternak ……… 142


(16)

Nomor Halaman 1 Data Aktual Peubah Model Analisis SCP Industri Pakan Ternak ... 152

2 Hasil Pengolahan Data Model Analisis Struktur Produksi dan

Keragaan Industri Pakan Ternak Ayam ... 163 3 Hasil Validasi Model Analisis SCP Industri Pakan Ternak Ayam di

Lampung dan Jawa Barat ... 180 4 Hasil Simulasi Dampak Perubahan Faktor Eksternal terhadap SCP


(17)

1.1. Latar Belakang

Memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas, pembangunan peternakan mengalami pergeseran paradigma. Titik berat kepada sistem budidaya (on farm) mengalami pergeseran ke arah yang lebih terintegrasi dan komprehensif, yaitu agribisnis. Agribisnis perunggasan nasional berupa peternakan ayam ras, secara nasional telah menunjukkan perkembangan yang sangat mengesankan selama Pembangunan Jangka Panjang I (PJP I). Hampir tidak ada komoditi pertanian lainnya yang mampu menyamai prestasi perunggasan nasional, yang hanya dalam kurun waktu kurang dari 25 tahun, perunggasan nasional telah berhasil melakukan pendalaman struktur baik ke hulu (subsistem agribisnis hulu) maupun ke hilir (subsistem agribisnis hilir) sedemikian rupa sehingga dewasa ini perunggasan nasional telah menjadi suatu agribisnis modern.

Serangkaian kebijakan yang dilakukan pemerintah baik berupa regulasi maupun deregulasi pada awalnya telah berhasil mendorong perkembangan agribisnis perunggasan yang antara lain ditunjukkan oleh peningkatan investasi pada industri hulu (breeding farm, feed mill) maupun industri pengolahan, berkembangnya perunggasan rakyat, berkembangnya poultry shop, Rumah Potong Hewan (RPH) dan Rumah Potong Ayam/Tempat Pemotongan Ayam (RPA/TPA), yang dalam batas-batas tertentu telah berhasil menembus pasar ekspor. Hal ini menunjukkan apabila target yang ingin dicapai adalah masalah pertumbuhan dan pemenuhan kebutuhan dalam negeri maka kebijakan pemerintah


(18)

paling tidak sampai dengan pertengahan 1997 dapat dikatakan berhasil. Namun apabila ditinjau dari aspek pemerataan maka kebijakan regulasi dan deregulasi di sub sektor perunggasan sampai dewasa ini dapat dikatakan belum berhasil dalam menjadikan usaha ternak ayam ras sebagai basis peternakan rakyat (Saptana et al, 2002).

Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa usaha ternak skala kecil berkembang baik apabila rasio (bandingan) harga produk ayam ras dan harga pakan cukup besar. Hal ini tidak lain karena biaya pakan merupakan bagian terbesar, antara 65 sampai 85 persen dari biaya produksi. Dengan demikian, kunci penyelesaian kemelut yang dialami peternakan rakyat dewasa ini adalah bagaimana memperbesar rasio harga produk dan harga pakan ayam ras.

Untuk memperbesar rasio harga produk dan harga pakan ayam ras, tersedia tiga alternatif pemecahan : (1) mempertahankan harga produk ayam ras pada tingkat harga sekarang dan menurunkan harga pakan sampai tercapai rasio yang menguntungkan bagi kedua belah pihak, (2) mempertahankan harga pakan ayam ras pada harga sekarang dan meningkatkan harga produk ayam ras sampai pada rasio yang diinginkan, dan (3) bila harga produk dan harga pakan sama-sama naik, maka kenaikan harga produk ayam ras harus lebih tinggi dari kenaikan harga pakannya.

Perkembangan harga produk ayam ras berada di luar kekuasaan dunia usaha perunggasan yang berwawasan agribisnis. Sedangkan harga pakan ayam ras berada didalam kekuasaan dunia usaha perunggasan yang berwawasan agribisnis. Dengan demikian, harga pakan dapat digunakan sebagai alat kendali. Agar alat kendali ini dapat berfungsi baik, industri pakan ayam ras harus berada dalam


(19)

suatu posisi skala usaha tertentu, yang dapat berproduksi secara efisien (Alim, 1996).

Industri pakan ayam ras memerlukan bahan baku untuk penyusunan ransum (pakan) lebih dari 15 jenis. Untuk itu harga dan suplai dari bahan baku tersebut baik yang diproduksi di dalam negeri atau di impor akan mempengaruhi industri pakan.

Salah satu kesalahan kita pada masa lalu adalah mendorong pertumbuhan investasi pabrik pakan dan pembibitan, baik PMDN maupun PMA dengan mengambil lokasi Jawa Barat. Kebijakan ini telah mendorong pertumbuhan usaha rakyat di Jawa Barat pula. Padahal Jawa Barat bukanlah wilayah penghasil tanaman butir-butiran untuk ternak yang utama seperti jagung, kedelai, kacang tanah dan sebagainya. Namun diakui bahwa Jawa Barat sangat dekat dengan wilayah konsumsi utama yakni kota Jakarta.

Sejarah membuktikan, bahwa peternakan rakyat menghadapi masalah dalam mendapatkan bahan baku pakan. Sebagian besar pabrik pakan tradisional dan skala menengah yang sejak semula melayani usaha rakyat berguguran satu persatu dan akhirnya punah semuanya. Sebagai gantinya muncul pabrik pakan skala besar yang menguasai seluruh persediaan bahan baku pakan dalam negeri, sehingga peternak dipaksa hidup dengan membeli pakan pada harga yang tidak rasional. Kesulitan dan persaingan di dalam mendapatkan bahan baku di Jawa Barat telah mendorong perusahaan-perusahaan membangun lebih banyak armada untuk memperkuat diri sendiri dan akhirnya membentuk kekuatan monopoli.

Terkait dengan kebutuhan industri pakan akan hasil-hasil pertanian berupa butir-butiran, maka akan lebih menghemat biaya apabila industri pakan tersebut


(20)

berlokasi dekat dengan sentra produksi butir-butiran. Hal inilah yang menjadi pertimbangan pemerintah sekarang ini sehubungan dengan pengembangan wilayah peternakan. Salah satunya di wilayah Lampung. Propinsi ini merupakan wilayah sentra produksi bahan baku pakan (butir-butiran) dan sudah sejak lama menjadi daerah pengekspor bahan baku pakan ternak terutama ke Jepang dan Eropa (Disnakkeswan-Lampung, 2004). Data tahun 1994, di Lampung terdapat 20 buah industri bahan baku pakan ternak dari total 35 industri bahan baku pakan ternak di wilayah Sumatera, dengan kapasitas produksi 1 216 580 per tahun (Ekamasni Consulting,1995).

Sejak tahun 1993/1994 propinsi Lampung telah menjadi salah satu pemasok ternak potong ke pasar raksasa DKI Jakarta dan Jawa Barat. Sekarang ini Lampung merupakan salah satu propinsi terkemuka dalam industri perunggasan di Indonesia, dan mempunyai peluang pengembangan yang besar dengan didukung adanya industri pakan (6 perusahaan), breeder (2 perusahaan), perusahaan yang melaksanakan kemitraan (4 perusahaan), perusahaan pemotongan ayam (1 perusahaan).

Populasi ayam ras pedaging di Lampung sampai dengan tahun 2003 mencapai 23 juta ekor, sementara konsumsi lokal hanya mencapai 16-17 juta ekor, ekspor ke Jepang 1 juta ekor dan 5 juta ekor untuk pasar luar propinsi (Disnakkeswan-Lampung, 2004).

Fenomena krisis moneter di propinsi Lampung ditandai dengan bangkrut atau tutupnya beberapa usaha ternak. Informasi dari Dinas Peternakan setempat menyatakan bahwa usaha ternak yang paling parah terkena dampak krisis moneter adalah yang berstatus mandiri, yaitu dengan perkiraan sekitar 50-60 persen


(21)

mengalami kebangkrutan. Sementara itu untuk usaha ternak pola kemitraan cenderung lebih bertahan dengan perkiraan persentase kebangkrutan lebih kurang 30 persen. Kondisi demikian mengisyaratkan bahwa pola kemitraan sedikit banyaknya dapat dianggap sebagai faktor kunci dalam menopang eksistensi usaha ternak ditengah terpaan krisis moneter.

Beberapa usaha ternak di luar pola kemitraan yang masih sempat bertahan terhadap dampak krisis moneter, lebih disebabkan karena relatif kuatnya modal dan manajemen, serta adanya substitusi pemberian pakan alternatif yang diistilahkan dengan ”pakan oplosan”. Khusus untuk pakan alternatif, pihak Dinas Peternakan Lampung Selatan mengemukakan bahwa sebagian peternak telah mengupayakan oplosan antara jagung, dedak, ikan asin, C2CO3 dengan sebagian

pakan pabrik. Bahan-bahan tersebut tersedia secara lokal baik di pasar maupun di toko ternak (poultry shop), namun terkadang langka diperoleh dengan harga yang cenderung mahal.

Adanya kelangkaan bahan baku yang dialami peternak Lampung merupakan suatu ironi, mengingat propinsi ini memiliki potensi sumberdaya produksi, misalnya dalam penyediaan jagung, dedak, atau bahkan tepung ikan. Salah satu contoh yang dikemukakan aparat Dinas terkait setempat menyatakan bahwa produksi jagung Lampung mencapai 1.3 juta ton per tahun. Tingkat kebutuhan lokal hanya berkisar antara 600–800 ribu ton per tahun, tapi tetap saja tidak terpenuhi. Bahkan untuk tepung ikan, propinsi ini dikelilingi oleh laut yang cukup luas, namun tidak bisa memenuhi pasokan lokal setempat.

Bila ditelusuri, menurut aparat Dinas tersebut, di propinsi Lampung terdapat beberapa perusahaan besar seperti PT Charoen Pokphand Indonesia, PT


(22)

Comfeed, dan PT Anwar Sierad yang memiliki silo-silo untuk menampung dan menyimpan jagung. Artinya, bahan baku pakan tersebut diindikasikan telah diraup pabrik pakan tersebut untuk diolah menjadi pakan ternak atau didistribusikan ke cabang perusahaan di wilayah lain. Sementara untuk tepung ikan, disinyalir di wilayah setempat terdapat industri produk terkait dengan orientasi ekspor. Oleh karena itu tidak mengherankan jika kondisi ironi seperti dikemukakan di atas menjadi kenyataan (Yusdja et al, 2000).

Studi ini dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan industri pakan ternak ayam yang ada di Indonesia sekarang ini, yang diwakili oleh daerah/ propinsi Lampung dan Jawa Barat dengan gambaran yang berbeda seperti yang telah diungkapkan di atas.

1.2. Perumusan Masalah

Pada tahun 1961 terdapat sekitar 200 pabrik pakan tradisional di Indonesia, namun pada tahun 1994 hanya terdapat 68 pabrik dan tidak ada pabrik berskala tradisional. Selanjutnya dilaporkan bahwa jumlah pabrik pakan di Indonesia tahun 1998 sebanyak 67 buah dan di tahun 2000 jumlah perusahaan pakan ternak sedikit mengalami penurunan menjadi 61 perusahaan (Ditjen Peternakan, 2000).

Walau jumlah pabrik pakan lebih banyak pada tahun 1998 dan 1999, namun demikian ternyata total kapasitas terpasang justru terbesar berada pada tahun 2000 dan 2001. Fenomena ini menunjukkan bahwa selama tahun tersebut banyak pabrik pakan skala kecil yang tidak mampu bertahan (bangkrut), sebaliknya muncul beberapa pabrik pakan dengan skala yang relatif besar (Kariyasa, 2003).


(23)

Keragaman perkembangan industri dicerminkan oleh kondisi internalnya, terutama dalam kaitannya dengan berbagai indikator kinerja. Keragaman perkembangan tersebut kemudian mempengaruhi respon industri terhadap masukan dan fasilitas, baik yang datang dari pihak luar industri maupun strategi usaha yang dilakukan industri itu sendiri. Beberapa industri memiliki kemampuan untuk memberi respon yang lebih baik dibandingkan yang lain, dan industri yang berada pada kelompok ini dapat diidentifikasi sebagai industri yang memiliki kemampuan usaha yang tinggi. Di lain pihak tantangan terbesar yang saat ini masih dihadapi oleh industri di Indonesia adalah untuk dapat mewujudkan industri sebagai badan usaha yang tangguh, yang mampu berusaha secara efisien dan ikut dalam misi memberdayakan ekonomi rakyat. Hal tersebut dapat diartikan sebagai tantangan untuk meningkatkan kinerja industri.

Melihat keragaman perkembangan industri dapat diduga bahwa diantara industri ada yang mampu menjawab tantangan tersebut, tetapi juga ada yang tidak mampu. Dalam kerangka pemikiran ekonomi kelembagaan, perilaku usaha (business conduct / business behavior / business strategy) berinteraksi dengan struktur usaha (business structure) yang kemudian akan mempengaruhi kinerja (business performance). Kinerja itu sendiri pada gilirannya akan membangun struktur usaha pada tahap selanjutnya (Rumelt, 1986 dalam Krisnamurthi, 1998). Dalam pandangan ini, perilaku usaha dapat diartikan sebagai pengambilan keputusan usaha yang dilakukan dengan memperhatikan kondisi struktur usaha menuju pencapaian tujuan usaha tertentu. Perilaku usaha sendiri merupakan hasil dari pemikiran dasar -bahkan teori -yang memandu pengambil keputusan dalam mengelola sumberdaya yang dimilikinya guna mencapai tujuan yang diinginkan


(24)

dan tingkat perkembangan usaha yang telah dicapai (Kohls and Uhl, 1990 dalam Krisnamurthi, 1998).

Kenyataan sekarang memperlihatkan bahwa struktur industri unggas nasional yang ada selama ini tidak berakar pada kekuatan sendiri, tidak terintegrasi dan tidak jelas apakah untuk elemen budidaya pengembangan usaha rakyat atau usaha skala besar. Disisi lain, profil industri unggas nasional mempunyai masalah pada hampir seluruh simpul-simpul agribisnis, mulai dari pengadaan sarana produksi, budidaya, pengolahan, sampai pada simpul pemasaran. Simpul-simpul agribisnis tersebut bekerja tidak saling menunjang dan tidak saling seimbang sehingga strategi dan kebijakan pemerintah menjadi serba salah. Perlu juga diperhatikan bahwa pemerintah mempunyai komitmen bahwa budidaya peternakan merupakan sumber lapangan kerja dan mata pencaharian rakyat terutama di pedesaan. Namun, komitmen ini mendukung adanya intervensi pemerintah dalam industri unggas nasional. Atas dasar itu usaha-usaha dalam merancang strategi dan program pembangunan industri unggas yang efektif menjadi lebih penting (Yusdja, 2000).

Adapun kajian yang dilakukan pada industri perunggasan dipandang sangat relevan, karena kegiatan pada bidang ini patut diduga telah terjadi praktek monopoli dalam bentuk kartel, atau paling tidak peternak rakyat menghadapi masalah ganda yaitu struktur pasar yang oligopolistik pada pasar input dan struktur yang oligopsonistik pada pasar output. Disamping itu isu adanya integrasi vertikal yang disertai adanya integrasi horisontal telah menyebabkan peternak rakyat berada pada posisi rebut tawar yang lemah.


(25)

Peternak rakyat banyak yang mengeluh dengan adanya integrasi vertikal ini. Dalam hal ini peternak akan menghadapi masalah ganda yaitu masalah pada pasar input dan sekaligus masalah pada pasar output. Peternak akan sebagai price takerpada pasar input dan terpaksa harus membayar harga input yang terkadang tidak rasional. Hal ini antara lain disebabkan oleh : (1) integrasi vertikal yang dijalankan adalah integrasi vertikal yang semu, sehingga tujuan utama integrasi vertikal adalah mencapai efisiensi tertinggi tidak tercapai. Hal ini disebabkan perusahaan peternakan terbagi dalam unit-unit industri yang terpisah yang pada masing-masing unit perusahaan terdapat margin pemasaran, sehingga peternak rakyat menghadapi margin ganda dan (2) struktur perusahaan peternakan yang melakukan integrasi vertikal adalah perusahaan yang oligopolistik, yang bagi perusahaan akan lebih menguntungkan melakukan kesepakatan-kesepakatan bisnis dari pada melakukan perang harga. Sementara itu pada sisi pasar output peternak unggas rakyat menghadapi masalah : (1) pangsa produksi yang dikuasai baik secara individu maupun kelompok sangatlah kecil dibandingkan pangsa produksi perusahaan peternakan, (2) tidak ada perbedaan segmentasi dan tujuan pasar, dan (3) peternak unggas rakyat juga menghadapi struktur pasar yang oligopsonistik terutama dalam berhadapan dengan inti.

Selama periode 2001-2005, jumlah produksi daging dan populasi ayam ras di Indonesia rata-rata mengalami peningkatan sebesar 9.9 persen dan 9.8 persen per tahun (Statistik Peternakan, 2005). Meningkatnya produksi daging dan populasi ayam ras selanjutnya berdampak terhadap kenaikan permintaan pakan ayam ras. Permintaan pakan yang meningkat tersebut harus diikuti oleh adanya peningkatan produksi pakan. Produksi pakan pada tahun 1996 sebesar 4.3 juta ton


(26)

dan menurun menjadi 2.7 juta ton pada tahun 1999, kemudian kembali meningkat berturut-turut menjadi 4.5 juta ton pada tahun 2000 dan mencapai 10 juta ton pada tahun 2003 (Deptan, 2004).

Meningkatnya produksi pakan tentu semakin meningkatkan kebutuhan pabrik pakan akan bahan baku pakan. Di dalam komposisi pakan ayam ras, jagung memiliki proporsi terbesar yaitu berkisar 51.4 persen, disusul bungkil kedelai 18.0 persen, dedak 15.0 persen, pollard 10.0 persen, tepung ikan 5.0 dan feed supplement 0.6 persen (Tangendjaja et al, 2002 dan Deptan, 2002). Terlihat bahwa jagung mempunyai peranan yang sangat besar dalam produksi daging ayam. Jagung sudah lama merupakan bahan baku populer di seluruh dunia. Selain harganya relatif murah, juga mengandung kadar kalori yang relatif tinggi, mempunyai protein dan kandungan asam amino yang lengkap, mudah diproduksi dalam jumlah yang besar dan sangat digemari oleh ternak. Telah banyak usaha dilakukan dalam upaya mencari alternatif substitusi jagung, tapi tampaknya belum ada yang bisa menggantikannya secara sempurna.

Sementara untuk bahan baku bungkil kedele, yang merupakan by product dari kedelai, produksinya di dalam negeri sangat sedikit sehingga dibutuhkan impor. Sulitnya memproduksi kedelai terkait dengan kesesuaian lahan di Indonesia. Setiap tahunnya dibutuhkan impor kedelai lebih dari dua juta ton.

Pada pasar pakan ternak ayam ras, fenomena yang terjadi selama ini adalah laju kenaikan harga pakan jauh melebihi laju kenaikan harga jagung dan kedelai. Hal ini dapat dilihat semakin melebarnya rasio harga jagung terhadap pakan ternak yaitu dari 0.78 pada tahun 1980 menjadi 0.22 pada tahun 1996 (Purba, 1999). Selain itu, penyediaan pakan yang belum sesuai harapan juga menjadi


(27)

masalah dalam pasar ini, karena ketergantungan pabrik pakan terhadap bahan baku impor masih tinggi, terutama jagung dan bungkil kedelai. Pada tahun 1990, pangsa penggunaan jagung impor hanya 3.63 persen dari jumlah total kebutuhan jagung yang dibutuhkan dalam pembuatan pakan. Mulai tahun 1994 pangsa jagung impor sudah lebih dari 30 persen, bahkan tahun 2000 pangsa penggunaan jagung impor dan domestik hampir berimbang (47.04 persen berbanding 52.96 persen) (Kariyasa, 2003).

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, terlihat jelas bahwa pentingnya peranan industri pakan dalam menunjang industri perunggasan. Namun untuk melihat perkembangan ke depan ada beberapa pertanyaan pokok berkaitan dengan peningkatan kinerja industri pakan yaitu pertama, bagaimana perilaku bisnis perusahaan pakan ternak yang ada sekarang dan pengaruhnya terhadap kinerja perusahaan ? kedua, bagaimana arah perkembangan industri pakan ? serta ketiga, bentuk kebijakan pemerintah seperti apa yang perlu dilakukan agar perkembangan tersebut dapat mengarah kepada peningkatan kinerja industri pakan dalam rangka pengembangan peternakan rakyat.

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur, perilaku dan kinerja industri pakan ternak ayam di Lampung dan Jawa Barat, sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengkaji perilaku bisnis industri pakan ternak ayam melalui analisis keterkaitan hubungan antara Structure - Conduct - Performance(Struktur - Perilaku - Kinerja)


(28)

2. Menganalisis arah perkembangan industri pakan ternak ayam

3. Merumuskan kebijakan bagi pemerintah untuk mendorong perkembangan industri pakan.

Dengan mengetahui struktur, perilaku dan kinerja industri pakan ternak ayam ras di Lampung dan Jawa Barat, diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para pengambil keputusan untuk program pengembangan industri pakan ternak ayam ras, khususnya di dalam periode mendatang. Disamping itu, hasil penelitian ini juga diharapkan menjadi informasi bagi peneliti lainnya, khususnya peneliti di bidang peternakan.

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Kegiatan penelitian ini diawali oleh suatu diskusi mengenai perkembangan dan perilaku usaha industri pakan ternak ayam di Lampung dan Jawa Barat. Kemudian disusun model analisa empirik mengenai struktur, perilaku dan kinerja usaha industri. Dalam hal ini dianalisa sembilan perusahaan (pabrik) pakan ternak yang ada di wilayah Lampung dan Jawa Barat. Unit analisis yaitu pabrik pakan yang menghasilkan sepenuhnya atau sebagian besar pakan untuk ternak ayam. Kebijakan-kebijakan pemerintah lebih difokuskan pada kebijakan yang berkenaan dengan industri pakan dan impor bahan baku pakan.

Namun demikian, studi ini memiliki beberapa keterbatasan. Dilihat dari ruang lingkup, studi ini terbatas pada :

1. Data-data yang tersedia dari berbagai aspek ekonomi di industri pakan ternak dan tidak secara langsung membahas berbagai aspek non ekonomi yang juga menjadi komponen dan yang mempengaruhi perilaku dan kinerja industri


(29)

2. Analisis dibatasi hanya pada aspek produksi pada industri pakan ayam ras, tanpa membahas lebih lanjut secara mendalam tentang aspek pasar atau tataniaga bahan baku dan produk akhir pakan ternak ayam ras tersebut

3. Tidak menganalisis aspek perdagangan internasional, walaupun aspek ini sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan industri pakan ternak ayam ras dan performance agribisnis ayam ras di Indonesia

4. Harga pakan, volume, biaya produksi untuk masing-masing jenis produk tidak dapat di disagregasi sesuai dengan diferensiasi produk yang dihasilkan. Harga pasar pakan merupakan harga rata-rata dari harga pakan perusahaan sampel.


(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perkembangan Kebijakan Agribisnis Ayam Ras

Perkembangan perunggasan Indonesia dari tahun 1965 hingga sekarang berjalan dengan tingkat pertumbuhan yang cukup berhasil. Misi penyediaan pangannya telah mampu ikut menyumbang dan membangun sumber daya manusia. Tidak kurang dari 200 juta penduduk Indonesia telah mampu mengkonsumsi rata-rata 11 kg/kapita/tahun hasil unggas dari hasil sebesar 2.5 trilyun kg/tahun. Berarti pula, di bidang ekonomi, tidak kurang dari 20 trilyun rupiah uang masyarakat beredar untuk membelanjakan hasil-hasil unggas dan ini semua berarti hasil dari investasi, teknologi, kesepakatan kerja/kesempatan berusaha yang tumbuh di dalam masyarakat (Oetoro, 2002).

Program pemerintah dalam mengembangkan peternakan ayam ras terlihat dari adanya program Bimbingan Massal (Bimas) ayam yang dimulai pada 1976. Program ini dilakukan mirip dengan Bimas padi yang ditujukan untuk swasembada beras. Program dimulai dengan membangun paket proyek di Bogor dan Yogyakarta. Mengingat proyek percontohan ini dinilai berhasil, maka program ini dilanjutkan untuk daerah-daerah lain. Sampai dengan 1977/1978, program Bimas ini telah meluas ke 18 lokasi dengan jumlah proyek mencapai 2 325 paket dengan nilai kredit sebesar Rp. 813.75 milyar.

Hasil analisis memperlihatkan bahwa program pemberian kredit Bimas ayam ras tersebut ternyata menguntungkan bagi petani. Oleh karena itu, program tersebut kemudian dilanjutkan dengan program Bimas broiler (ayam ras pedaging) sejak tahun 1980. Pada program Bimas ayam broiler ini para peternak kecil yang


(31)

dinilai layak, mendapatkan kredit dan diberi jatah paket berupa 500 ekor ayam/ periode atau 2 500 ekor ayam/tahun (tiap periode terdiri dari 7- 8 minggu).

Program Bimas ayam ras broiler maupun ayam ras petelur ini ternyata berkembang dengan baik karena dapat mendatangkan keuntungan dengan baik yang menarik bagi peternak peserta Bimas. Walaupun demikian, dalam perjalanan lebih lanjut, program ini mulai menemui sejumlah masalah di lapangan, terutama mulai memasuki pelita III (1979-1984), seiring dengan munculnya masalah pemasaran daging dan telur ayam. Masalah mulai timbul karena dalam kurun waktu tersebut peternak yang mengelola ayam ras ternyata bukan hanya peserta Bimas, tetapi meluas ke peternak mandiri yang lahir dari unsur wiraswasta murni tanpa bantuan kredit dan fasilitas lainnya dari pemerintah.

Banyak di antara peternak mandiri ini memelihara ayam ras dalam jumlah besar yang mencapai puluhan hingga ratusan ribu dan jutaan ekor. Masalah utama yang timbul adalah kurangnya bahan baku pakan ternak, terutama pada saat musim kemarau tiba. Pada saat itu harga pakan ternak menjadi mahal sementara harga jual daging dan telur ayam relatif stagnan. Dilain pihak, karena manajemennya yang lebih baik, peternak skala besar mampu menjual produk daging dan telur ayam dengan harga yang lebih murah dibanding peternak kecil. Akibatnya, mulai timbul kemelut berupa pertentangan antara peternak kecil dengan peternak besar.

Sebagai respon terhadap kemelut tersebut, maka pemerintah kemudian menetapkan sebuah Keputusan Presiden, yakni Keppres No. 50/1981 tanggal 2 November 1981 tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras dengan inti materi sebagai berikut:


(32)

1. Perorangan atau badan hukum yang menjalankan usaha peternakan ayam petelur hanya diperkenankan mengelola jumlah ayam dewasa sebanyak-banyaknya 5 ribu ekor, sedangkan untuk ayam pedaging maksimum 750 ekor per minggu

2. Perorangan atau badan hukum yang mengelola ayam petelur atau pedaging melebihi jumlah yang telah ditentukan, harus mengurangi secara bertahap sampai dengan batas jumlah yang ditentukan

3. Untuk menjamin tersedianya produksi telur dan daging ayam ras, maka dilakukan usaha-usaha sebagai berikut:

a. Meningkatkan usaha peternakan ayam ras yang sudah ada untuk mencapai skala usaha peternakan kecil yang maksimal

b. Mendorong terbentuknya peternakan-peternakan ayam ras baru, baik melalui Bimas maupun non Bimas.

Keppres No 50/1981 inipada hakekatnya merupakan upaya restrukturisasi dan stabilisasi di bidang perunggasan setelah terjadinya ketimpangan struktur usaha dan munculnya pertentangan antara peternak kecil dengan peternak besar. Namun demikian, pelaksanaan Keppres ini tenyata tidak terlalu sesuai dengan yang diharapkan. Akibat banyaknya pelanggaran yang terjadi, maka Menteri Pertanian RI kemudian menerbitkan SK Mentan No. TN 406/Kpts/5/1984 tertanggal 28 Mei 1984. SK Mentan tersebut pada intinya mengatur pola kerjasama tertutup yang saling menguntungkan antara perusahaan peternakan sebagai inti dengan peternak sebagai plasma, yang kemudian dikenal sebagai pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR).


(33)

Dalam perkembangannnya, pola PIR ini ternyata belum juga mampu meredam gejolak di lapangan sehingga dengan berbagai upaya konsolidasi dengan masyarakat perunggasan, pada tahun 1990, Keppres No 50/1981 dicabut dan diganti dengan Keppres No 22/1990, yang berisi tentang Kebijakan Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras. Untuk mendukung pelaksanaannya, diterbitkan pula SK Menteri Pertanian No 362/Kpts/TN/120/1990 tentang Ketentuan dan Tatacara Pelaksanaan Pemberian Izin dan Pendaftaran Usaha Peternakan.

Keppres No 22/1990 pada hakekatnya merupakan upaya deregulasi tentang bidang perunggasan. Skala usaha yang pada Keppres sebelumnya dibatasi maka pada Keppres yang baru tersebut tidak lagi diatur. Pengaturan skala usaha hanya dilakukan pada SK Mentan No 362/1990, yang berisi tentang tatacara perizinan, bukan pembatasan. Dalam SK Mentan tersebut dinyatakan bahwa untuk usaha peternakan yang jumlahnya 10 ribu ekor petelur dewasa atau dibawahnya, maka dimasukkan sebagai kategori peternakan rakyat, yang pendiriannya tidak memerlukan izin, melainkan hanya cukup dengan mendaftarkannya saja. Sedangkan untuk ayam pedaging, jumlah maksimum 15 ribu ekor per siklus, dikategorikan sebagai peternakan rakyat, dan bila melebihi jumlah tersebut, maka dikategorikan sebagai perusahaan peternakan.

Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama ayam ras karena pada saat itulah siapapun boleh mengusahakan peternakan ayam ras, asal memenuhi persyaratan yang ditentukan. Dengan diberlakukannya Keppres No. 22/1990, maka muncul banyak peternakan ayam ras dalam skala besar yang dikelola dengan cara-cara modern, baik dalam hal budidaya maupun dalam pemasarannya.


(34)

2.2. Keterkaitan Agroindustri Pakan Ternak dengan Budidaya Ayam Ras Industri pakan ayam ras mempunyai keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan kaitan ke depan (forward linkage) yang cukup panjang. Kaitan ke belakang dari industri pakan ayam ras adalah kebutuhan akan hasil-hasil pertanian tanaman pangan sebagai masukan (input), baik yang sudah terolah maupun belum. Selain daripada itu, industri pakan ayam ras juga memerlukan hasil-hasil industri lain sebagai pelengkap (supplement) bagi pakan ayam ras. Sedangkan kaitan ke depan berhubungan dengan penggunaan hasil produksi pakan bagi institusi berikutnya. Dalam hal ini hasil olahan industri pakan digunakan oleh institusi budidaya ayam ras yang dikelola secara komersial. Selanjutnya hasil budidaya ayam ras digunakan sebagai masukan bagi industri lain atau dikonsumsi langsung oleh konsumen. Dengan demikian apabila industri pakan ayam ras didudukkan dalam sistem agribisnis tanaman pangan ia berada pada posisi sebagai sub-sistem agroindustri dan bila didudukkan dalam sistem agribisnis ayam ras ia berada pada posisi sebagai sub-sistem penyediaan sarana produksi ternak (sapronak). Keterkaitan ini secara sederhana dapat digambarkan sebagaimana terlihat pada Gambar 1.

Dari Gambar 1 nampak bahwa industri pakan ayam ras sangat tergantung pada beberapa hasil pertanian tanaman pangan. Sedangkan hasil pertanian tanaman pangan tergantung pada tingkat kesuburan dan kecocokan lahan serta musim. Apabila produksi tanaman pangan terganggu oleh musim atau oleh hama, maka harga dari tanaman pangan tersebut akan bergejolak. Gejolak harga bahan baku pakan akan berpengaruh terhadap harga pakan ayam ras dan pada gilirannya akan mempengaruhi biaya produksi budidaya ayam ras. Apabila harga pakan


(35)

Jagung Kuning

Bungkil Kc. Kedele

Bungkil Kc.Tanah

Dedak Tepung Ikan

Wheat Pollard

Rapeseed Meal

Industri Pakan A. Ras

Industri Peralatan Kandang Dedak

DOC

Poultry Shop

Agroindustri Hasil Budidaya

Ayam Ras Usaha Ternak

Ayam Ras Industri

Obat2 an

P a s a r

Gambar 1. Sistem Agribisnis Ayam Ras Sumber : Alim, 1996


(36)

bergejolak naik dan tidak diikuti oleh kenaikan harga hasil ternak ayam ras, maka para peternak akan menderita rugi.

Selain daripada itu, Gambar 1 memperlihatkan pula bahwa ada empat pola usaha ternak (budidaya) ayam ras, yakni : (1) usaha ternak ayam ras menyediakan sendiri seluruh sapronaknya baik langsung maupun melalui perusahaan afiliasi, (2) usaha ternak ayam menyediakan sendiri sebagian sapronaknya, misalnya usaha ternak menghasilkan sendiri pakan ayam ras tetapi tidak menyediakan DOC atau sebaliknya, (3) usaha ternak yang membeli sendiri seluruh sapronaknya langsung dari pabrik, dan (4) usaha ternak ayam ras yang membeli seluruh sapronaknya melalui poultry shop. Dari empat pola usaha ini, pola satu dan dua mempunyai peluang yang lebih baik dalam berbagai kondisi pasar. Sedangkan usaha ternak pola empat berada pada posisi bersaing yang lemah dan sangat peka terhadap perubahan harga sapronak. Dalam keadaan harga sapronak naik, sedangkan harga produk ayam ras tidak naik, maka usaha ternak pola keempat iniakan sangat menderita.

Peternakan Rakyat (usaha ternak ayam ras skala kecil) pada umumnya termasuk dalam kategori usaha ternak pola keempat. Dengan demikian, sesungguhnya Peternakan Rakyat pada umumnya berada pada kondisi pasar yang rentan terhadap perubahan harga.

Kerumitan-kerumitan yang dialami oleh dunia usaha ayam ras bersumber dari dua arah, yakni dari luar dan dari dalam dunia usaha ayam ras sendiri. Yang bersumber dari luar setidak-tidaknya ada tiga sumber yang dominan, yaitu : (1) berasal dari goncangan harga bahan baku utama pakan ayam ras, (2) berasal dari goncangan harga produk (daging dan telur) ayam ras, dan (3) berasal dari


(37)

pola konsumsi masyarakat (selera konsumen). Sedangkan yang bersumber dari dalam dunia usaha ayam ras sendiri, sekurang-kurangnya ada tiga . yaitu: (1) mutu sarana produksi budidaya ayam ras, (2) pola tataniaga ayam ras, dan (3) kemitraan secara padu antara semua sub-sistem dalam sistem agribisnis ayam ras.

2.3. Perkembangan Industri Pakan Ternak

Perkembangan industri pakan ternak, khususnya pakan ayam ras, tidak terlepas dari budidaya ayam ras itu sendiri. Korelasi antara keduanya sangat kuat, sebab output dari industri pakan dikonsumsi oleh ayam ras sebagai sumber utama kebutuhan gizi. Disisi lain kemampuan produksi ayam ras tergantung pula pada unsur-unsur gizi yang dikonsumsinya. Ketika ayam ras mulai memasyarakat di Indonesia dirasakan perlu untuk mendirikan pabrik pakan. Tahun 1972 dipandang sebagai titik awal berdirinya usaha ternak ayam ras secara serius, dan pada tahun ini didirikanlah pabrik-pabrik pakan skala menengah di Jakarta. Pabrik-pabrik pakan kala itu memasarkan hasil produksinya pada kalangan peternak ayam ras yang masih terbatas. Namun demikian, tahun 1976 peranan pabrik-pabrik pakan semakin jelas dan mencapai puncaknya pada tahun 1980-1981 dengan berdirinya puluhan pabrik pakan, diantaranya banyak yang berskala besar.

Salah satu faktor penyebab berhentinya banyak usaha dalam industri unggas nasional adalah karena ketergantungan bahan baku pakan dan bibit serta pinjaman modal pada impor. Dalam krisis moneter dan ekonomi, harga bahan baku impor melambung, pengembalian utang membengkak, dan pengadaan impor terpaksa dihentikan. Setelah krisis, ternyata pabrik pakan belum pulih ke posisi semula. Produksi pakan terpaksa diturunkan sebesar 60 persen, dan akibat lebih


(38)

jauh harga pakan melambung sehingga banyak perusahaan yang terpaksa menghentikan usahanya.

Perkembangan jumlah pabrik pakan, kapasitas terpasang dan kapasitas terpakai pabrik pakan di Indonesia periode 1990-2001 disajikan pada Tabel 1. Dalam periode tersebut, rata-rata jumlah pabrik pakan ternak di Indonesia sebanyak 61 buah, dengan rata-rata total kapasitas 6.3 juta ton atau 102.1 ribu ton per pabrik.

Tabel 1. Perkembangan Jumlah dan Kapasitas Pabrik Pakan Indonesia Tahun 1990-2001 Kapasitas Tahun Jumlah Pabrik (unit) Terpasang (000 ton) Rataan Terpasang (000 ton/pabrik) Terpakai ( % )

1990 59 2 945 49.9 54.26

1991 59 2 945 49.9 64.07

1992 68 2 949 43.4 61.07

1993 56 3 305 59.0 76.73

1994 56 4 785 85.4 69.80

1995 58 5 278 91.0 63.47

1996 59 6 839 115.9 62.82

1997 63 8 250 131.0 53.88

1998 67 9 089 135.7 22.95

1999 67 9 089 135.7 30.52

2000 61 10 019 164.2 44.88

2001 61 10 019 164.2 44.84

Rataan r (%/th) 61.20 0.63 6 293 12.52 102.1 11.91 54.12 -5.22 Sumber: Statistik Peternakan (diolah) dalam Kariyasa, 2003

Walau jumlah pabrik pakan terbanyak berada pada tahun 1998 dan 1999 (67 buah), namun demikian ternyata total kapasitas terpasang justru terbesar berada pada tahun 2000 dan 2001, dimana jumlah pabrik pada tahun tersebut hanya sebanyak 61 buah. Kalau dilihat dari perkembangannya, baik jumlahnya,


(39)

total kapasitas maupun rata-rata kapasitas per pabrik pakan periode 1990-2001 mengalami peningkatan berturut-turut 0.63 persen, 12.52 persen dan 11.91 persen per tahun (Kariyasa, 2003).

Sementara itu, rata-rata kapasitas terpakai dari pabrik pakan selama periode 1990-2001 hanya sekitar 54.12 persen, itu pun terjadi kecenderungan menurun sebesar 5.22 persen per tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa hampir sekitar 45.88 persen terjadi idle capacity, sehingga hal ini diduga sebagai salah satu kenapa biaya produksi pakan di Indonesia relatif masih tinggi.

Tabel 2. Perkembangan Produksi Pakan dan Penggunaannya di Indonesia, Tahun 1992-2003

Kebutuhan Ternak ayam ras

Tahun

Produksi

(000 ton) Jumlah (000 ton) Pangsa (%) Lainnyaa (%) 1992 1 806 1 774 98.23 1.77 1993 2 536 2 409 94.99 5.01 1994 3 340 2 841 85.06 14.94 1995 3 350 3 145 93.88 6.12 1996 4 296 3 448 80.26 19.74 1997 4 445 3 017 67.87 32.13 1998 2 086 1 665 79.82 20.18 1999 2 774 1 526 55.01 44.99 2000 4 497 2 497 55.53 44.47 2001 4 991 3 598 72.10 27.90 2002 5 511 2 577 46.80 53.20 2003 10 026 5 382 53.70 46.30 Rataan r (%/th) 4 138 41.40 2 823 18.50 73.60 -4.10 26.40 228.70 Keterangan: a termasuk untuk kebutuhan selain ternak ayam ras dan stok

Sumber : Statistik Peternakan (2004)

Perkembangan produksi pakan dan penggunaannya di Indonesia periode 1992-2003 menunjukkan bahwa selama periode tersebut rata-rata produksi pakan


(40)

di Indonesia mencapai 4.1 juta ton, dimana setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan sebesar 41.40 persen (Tabel 2.). Dari segi penggunaannya, tampak bahwa pada tahun 1992-1995 lebih dari 93 persen dari total produksi pakan digunakan untuk memenuhi permintaan peternak ayam ras, sisanya sekitar 6 persen untuk memenuhi permintaan lainnya. Dalam periode 1992-2003 rata-rata penggunaan pakan untuk ternak ayam ras 2.8 juta ton atau sekitar 73.60 persen.

Walaupun dari segi jumlah permintaan pakan dari peternak ayam ras mengalami peningkatan sebesar 18.50 persen per tahun, namun dari sisi pangsanya terhadap total penawaran mengalami penurunan sebesar 4.10 persen per tahun. Sementara itu, pangsa permintaan lainnya (peternakan lainnya dan stok) mengalami peningkatan tajam sekitar 228.70 persen pertahun.

Kecenderungan pertumbuhan industri pakan menuju bentuk monopoli dapat pula dilihat dari porsi produksi pakan dari sekelompok pabrik pakan dalam industri. Porsi produksi pakan dari pabrik pakan yang hanya berjumlah 12 persen atau secara absolut berjumlah 8 pabrik pakan memiliki pangsa pasar sebesar 65 sampai 83 persen. Dengan demikian, ke delapan pabrik pakan tersebut dapat dikatakan sebagai pengendali pasar pakan. Pada kenyataannya ke delapan pabrik pakan tersebut bergabung dalam organisasi GPMT yang mempertegas adanya kartel diantara mereka.

Hasil kajian Yusdja dan Saptana (1995) mengungkapkan bahwa ada kecenderungan pertumbuhan pabrik pakan ke arah bentuk monopoli, yang sampai saat ini sudah dalam bentuk oligopoli. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh : (1) proporsi produksi pakan dari pabrik pakan berskala besar yang berjumlah 8 buah (12 persen) memiliki pangsa pasar sebesar 65-83 persen, (2) hasil estimasi


(41)

keuntungan pabrik pakan (1993) Rp. 265/kg pakan petelur dan Rp. 287/kg pakan broiler atau sekitar 42-44 persen dari harga jual pakan, (3) bahkan beberapa perusahaan peternakan skala besar melakukan integrasi vertikal, seperti perusahaan PT. Japfa Comfeed, PT. Charoen Phokphand, PT. Cargill, PT. Anwar Sierad, Group Subur, PT. Multi Breeder, dll, dan (4) pada kenyataannya ke delapan pabrik pakan skala besar ini berada dalam satu organisasi GPMT (Gabungan Pengusaha Makanan Ternak) yang mempertegas adanya kartel di antara mereka.

GPMT (Gabungan Pengusaha Makanan Ternak) dikenal sebagai media yang memperjuangkan nasib pabrik pakan dan mengadakan persekutuan dalam mengatur harga pakan. Menurut analisis pasar Warta Pertanian (1996) terdapat dua perusahaan besar yang menguasai lebih setengah pangsa pasar pakan unggas yang tersedia. Diperkirakan mereka mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan harga pakan selama ini. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2000 terdapat 61 perusahaan pakan ternak seluruh Indonesia dengan kapasitas produksi 10 018 791 ton. Semakin dominannya perusahaan skala besar dapat ditunjukkan bahwa ditahun 1999 PT. Charoen Pokphand Indonesia (CPI) mempunyai kapasitas produksi pakan sebesar 2 410 000 ton pertahun. Selanjutnya dikemukakan oleh pihak PT. CPI bahwa pangsa pasarnya saat ini mencapai 38 persen untuk pakan unggas. Suatu pangsa pasar yang sangat potensial untuk menjadi leader dalam perusahaan oligopoli.

2.4. Permasalahan dan Tantangan Industri Pakan Ternak

Tingkat keuntungan pabrik pakan ditentukan oleh biaya bahan baku makanan ternak yang digunakan (dan bagaimana meramunya menjadi pakan yang


(42)

memenuhi syarat), biaya produksi pakan, dan biaya pemasaran. Keberhasilan pabrik pakan memperoleh keuntungan yang maksimum ditentukan oleh banyak faktor. Yusdja dan Pasandaran (1996) memperlihatkan bahwa biaya bahan baku makanan ternak merupakan biaya terbesar bagi pabrik pakan, yakni 78.8 persen dari total biaya. Sedangkan biaya memproduksi adalah 7.8 persen dan pemasaran 4.4 persen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa biaya produksi pakan sangat rendah. Dengan kata lain, biaya investasi relatif kecil sehingga sebenarnya perusahaan baru tidak akan menghadapi kesulitan jika ingin mendirikan pabrik pakan. Masalahnya adalah kemampuan dalam menguasai bahan baku.

Sekitar 85-90 persen produksi pakan di Indonesia ditujukan untuk membuat pakan unggas, yaitu ayam ras pedaging (broiler) dan ayam ras petelur (layer). Dengan meningkatnya produksi unggas maka produksi pakan juga terus meningkat. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya produksi pakan di awal tahun 1970an ketika ayam ras pertama kali dimasukkan ke Indonesia.

Industri pakan ayam ras memerlukan bahan baku lebih dari 15 jenis. Dari sekian banyak jenis bahan baku yang diperlukan, yang paling sering menimbulkan gejolak harga pakan adalah jagung kuning, bungkil kacang kedele dan tepung ikan. Dalam komposisi pakan ayam ras, pihak pabrik memperkirakan kontribusi jagung kuning berkisar antara 30-55 persen, bungkil kedele antara 10-18 persen dan tepung ikan sebesar 5 persen.

Melihat komposisi pakan sebagaimana diperkirakan oleh pihak pabrik, jelaslah bahwa jagung kuning mengambil porsi terbesar dalam formula pakan ayam ras, kemudian disusul dengan bungkil kedele. Hal ini jelas dikarenakan pakan ayam membutuhkan sumber energi yang diperoleh dari jagung. Memang


(43)

sumber energi bisa diperoleh dari bahan lain seperti sorgum, singkong maupun minyak. Akan tetapi dengan keterbatasan jumlah, harga dan nilai gizi, maka jagung masih merupakan bahan baku utama untuk membuat ransum ayam. Dengan demikian tidak mengherankan apabila terjadi guncangan harga dari kedua bahan baku utama ini harga pakan ayam ras pun ikut terguncang. Oleh karena itu produksi dan tataniaga kedua bahan baku ini perlu dicermati.

Kebutuhan bahan baku jagung kuning dari sisi kuantitas belum dapat dipenuhi dari dalam negeri dan kekurangan ini seringkali cukup besar. Pengalaman menunjukkan bahwa untuk mengatasi kekurangan pasokan jagung dari dalam negeri dilakukan impor, yang kadang-kadang jumlahnya cukup besar dan dengan harga yang relatif tinggi dibanding harga jagung domestik.

Tabel 3. Perkembangan Produksi, Konsumsi, Ekspor dan Impor Jagung di Indonesia

(ton)

Tahun Produksi Jagung Ekspor Jagung Impor Jagung Net Impor Permintaan Jagung 1993 6 459 737 52 090 494 446 442 356 6 902 093 1994 6 868 885 28 880 1 109 253 1 080 373 7 949 258 1995 8 245 902 74 879 969 145 894 266 9 140 168 1996 9 307 423 17 505 587 603 570 098 9 877 521 1997 9 161 362 18 956 1 098 353 1 087 397 10 248 759 1998 10 169 488 632 515 313 463 -319 052 9 850 436 1999 9 204 036 90 647 618 060 527 413 9 731 449 2000 9 677 000 28 066 1 264 575 1 236 509 10 913 509 2001 9 347 192 90 474 1 035 797 945 323 10 292 515 2002 9 654 105 14 285 1 149 844 1 135 559 10 789 664 2003 10 886 442 34 172 1 371 126 1 336 954 12 223 396 2004 11 225 243 51 479 1 115 093 1 063 614 12 288 857 Sumber : Statistik Pertanian (2005)


(44)

Tabel 3 menunjukkan bahwa peningkatan kebutuhan jagung ini dalam beberapa tahun terakhir tidak sejalan dengan laju peningkatan produksi di dalam negeri, sehingga mengakibatkan diperlukannya impor jagung yang makin besar. Hal yang menjadi kendala untuk meningkatkan produksi jagung Indonesia adalah produktivitas yang masih rendah, yaitu sekitar 2.4 – 2.9 ton/ha.

Secara umum penggunaan jagung di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu : (1) konsumsi langsung, (2) bahan baku pakan ternak, (3) bahan baku industri pangan dan (4) kebutuhan lainnya. Perkembangan penggunaan jagung di Indonesia periode 1993-2003 disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Perkembangan Penggunaan Jagung di Indonesia, Tahun 1993-2003 Konsumsia Pakanb Industri Pangan dan

lainnya Tahun Volume (000 ton) Pangsa (%) Volume (000 ton) Pangsa (%) Volume (000 ton) Pangsa (%)

1993 864 13.45 2 298 35.77 3 261 50.78

1994 723 9.67 2 359 31.56 4 392 58.76

1995 567 6.60 2 420 28.18 5 601 65.22

1996 416 4.47 3 315 35.61 5 578 59.92

1997 460 4.96 3 075 33.16 5 738 61.88

1998 516 5.57 1 294 13.96 7 461 80.47

1999 563 6.15 1 717 18.77 6 868 75.07

2000 573 5.57 2 285 22.23 7 421 72.20

2001 582 6.12 2 518 26.47 6 414 67.41

2002 823 7.63 6 538 60.60 3 428 31.77

2003 718 5.88 6 942 56.80 4 562 37.32

Rataan 619 6.91 3 160 33.01 5 520 60.07

r (%/th) -1.69 -5.63 20.20 5.88 3.99 -2.65 Sumber : a SUSENAS (diolah)


(45)

Rata-rata penggunaan jagung untuk konsumsi langsung relatif sedikit yaitu 619 ribu ton per tahun atau hanya 6.91 persen dari total penggunaan jagung, bahkan cenderung mengalami penurunan masing-masing 1.69 persen dan 5.63 persen per tahun menurut volume dan pangsa. Seperti dikutip dalam Kariyasa (2003), sampai dengan tahun 2001, penggunaan jagung terbesar adalah untuk kebutuhan industri pangan. Namun setelah tahun 2001, penggunaan jagung terbesar beralih untuk kebutuhan industri pakan. Sementara itu, rata-rata penggunaan jagung untuk industri pakan periode 1993-2003 sekitar 3.1 juta ton atau 33.01 persen dari total penggunaan jagung. Baik dari segi volume maupun pangsa, penggunaan jagung untuk bahan baku pakan mengalami peningkatan masing-masing 20.20 persen dan 5.88 persen per tahun.

Tujuan utama dilakukan impor jagung adalah dalam upaya untuk memenuhi kekurangan kebutuhan jagung dalam negeri khususnya untuk bahan baku pakan. Sementara itu, penggunaan jagung impor untuk bahan baku industri makanan dan non makanan masih relatif terbatas, diperkirakan hanya sekitar 15 persen. Pada Tabel 5 disajikan perkembangan komposisi penggunaan jagung impor dan produksi domestik periode 1993-2003. Pada tahun 1993 dari total jagung yang digunakan dalam pembuatan pakan ternak, pangsa penggunaan jagung impor masih sangat kecil yaitu hanya 18.29 persen. Artinya hampir sekitar 81.71 persen masih menggunakan jagung domestik sehingga dapat dikatakan bahwa jagung impor hanya sebagai pelengkap saja.

Mulai tahun 1994, ketergantungan pabrik pakan Indonesia terhadap jagung impor sangat tinggi, dimana pada tahun tersebut sekitar 40.29 persen dipenuhi dari jagung impor, bahkan tahun 2000 penggunaan jagung impor dan jagung


(46)

domestik dalam pembuatan pakan ternak hampir berimbang (47.04 persen dan 52.96 persen). Kondisi ini menunjukkan bahwa ketergantungan pabrik pakan yang semakin tinggi terhadap jagung impor kurang menguntungkan bagi perkembangan industri pakan dan peternakan di Indonesia, apalagi dalam sepuluh tahun terakhir volume jagung yang diperdagangkan dalam pasar dunia sangat kecil (Kasryno, 2002).

Tabel 5. Komposisi Penggunaan Jagung Impor dan Domestik dalam Pembuatan Pakan Ternak di Indonesia, Tahun 1993-2003

(%)

Komposisi Jagung Tahun

Impor Domestik 1993 18.29 81.71 1994 40.29 59.71 1995 34.04 65.96 1996 15.82 84.18 1997 30.36 69.64 1998 20.59 79.41 1999 30.60 69.40 2000 47.04 52.96 2001 34.97 65.03 2002 7.60 92.40 2003 11.60 88.40 Rataan 26.47 73.53

r (%/th) -3.66 0.82

Sumber : Tabel 3 dan 4, dimana penggunaan jagung impor untuk non pakan sebesar 15% (diolah) Namun mulai tahun 2002 penggunaan jagung impor dalam pakan mengalami penurunan yang signifikan. Pada Tabel 5 juga terlihat bahwa selama periode 1993-2003 pangsa penggunaan jagung impor mengalami penurunan yaitu 3.66 persen per tahun, sebaliknya pangsa penggunaan jagung produksi domestik cenderung mengalami peningkatan sebesar 0.82 persen per tahun. Keadaan ini


(47)

memperlihatkan bahwa produksi jagung Indonesia mulai meningkat dengan gencarnya penanaman jagung hibrida varietas unggul, karena dari data luas panen jagung sampai dengan tahun 2005 tidak ada peningkatan signifikan pada luas panen tanaman jagung. Jagung hibrida varietas unggul sendiri diperkirakan produktivitasnya berkisar 6 – 8 ton per hektar, yang jika dibandingkan dengan produktivitas jagung varietas biasa yang hanya berkisar 3 ton per hektar.

Lain halnya dengan kedelai. Indonesia hanya menghasilkan sedikit tanaman keluarga kacang-kacangan yang satu ini. Buktinya, produksi kedelai Indonesia, bahkan Asia secara keseluruhan, tergolong rendah dan hampir semua negara Asia mengandalkan pasokan impor untuk kebutuhan kedelainya. Impor kedelai Indonesia mencapai lebih dari dua juta ton per tahunnya. Belum lagi bungkil kedelai yang merupakan by product kedelai dan komponen penting kedua dalam penyusunan ransum pakan ternak. Sejak tahun 2000, impor bungkil kedelai tercatat diatas 1 juta ton per tahun. Perkembangan produksi, ekspor dan impor kedelai Indonesia dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Perkembangan Produksi, Konsumsi, Ekspor dan Impor Kedelai Indonesia

(ton)

Tahun Produksi Kedelai Ekspor Kedelai Impor Kedelai Net Impor Permintaan Kedelai 1998 1 305 640 0 343 124 343 124 1 648 764 1999 1 382 848 16 1 301 755 1 301 739 2 684 587 2000 1 018 000 521 1 277 685 1 277 164 2 295 164 2001 826 932 1 188 1 136 419 1 135 231 1 962 163 2002 673 056 0 1 325 833 1 325 833 1 998 889 2003 672 000 13 624 2 773 667 2 760 043 3 432 043 2004 723 000 18 381 2 881 735 2 863 354 3 586 354 Sumber: Statistik Pertanian (2005)


(48)

Sementara itu, Sekretaris Jendral Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) Fenni Firman Gunadi mengatakan bahwa kenaikan harga pakan dari Rp. 2 300/kg menjadi Rp. 2 750/kg disebabkan naiknya harga bahan baku pakan ternak selama periode Januari hingga Maret 20041. Misalnya jagung dari Rp. 1 100/kg menjadi Rp. 1 200/kg, bungkil kedelai dari 310 menjadi 390 dollar AS/ton, meat bone meal (MBM) dari 300 menjadi 405 dollar AS/ton. Kenaikan harga MBM lebih banyak disebabkan berhentinya impor dari AS dan Kanada karena wabah Mad Cow, sehingga pasokan terbatas dan impor hanya dari Australia dan Selandia Baru. Selama semester I 2004 produksi pakan ternak mengalami penurunan sekitar 20 persen hanya 3.6 juta ton dibandingkan semester I (satu) 2003 sebanyak 3.8 juta ton. Penurunan tersebut karena turunnya konsumsi pakan ternak akibat wabah Avian Influenza (AI).

Selanjutnya diakui bahwa industri pakan ternak kesulitan mencari bahan baku pakan ternak, terutama jagung, setelah Cina menghentikan ekspor jagung mereka. Saat ini negara yang menjadi tujuan impor lainnya adalah Thailand dan India. Sebenarnya industri pakan lebih menyukai jagung lokal karena mutunya lebih baik yaitu kadar betakaroten dan proteinnya lebih tinggi. Namun, meski produksi jagung nasional mencapai 9.8 juta ton masih sulit untuk memenuhi kebutuhan industri pakan ternak yang mencapai 300 ribu ton/bulan. Alasannya, panen yang tidak berlangsung kontinu dalam setahun dan daerah sentra produksi jagung tidak berdekatan dengan industri pakan ternak sehingga harga jagung impor lebih murah dibandingkan jagung lokal karena mahalnya transportasi. ________________

1

Bali Post (2004). Harga Pakan Melonjak, Peternak Demo : Dikaji Dewan Peternakan Ayam. Kamis, 29 April 2004.


(49)

2.5. Kebijaksanaan Integrasi Vertikal

Industri unggas nasional terdiri atas beberapa segmen kegiatan yang satu sama lain memiliki ketergantungan yang sangat besar karena menyangkut kebutuhan biologis. Segmen pertama adalah budidaya, kemudian segmen pabrik pakan, pembibitan, farmasi, industri rumah potong, dan selanjutnya pengemasan. Menurut Nesheim (1979), urutan segmen produksi terintegrasi berada dalam satu unit perusahaan, bahkan juga berada dalam satu lokasi perusahaan. Transfer output intermediate sangat hemat dalam biaya angkutan, kemasan, resiko kematian/ kerusakan dalam perjalanan, resiko penghematan tenaga kerja, dan tidak ada margin keuntungan pada setiap segmen. Dengan demikian struktur produksi vertikal semacam itu memberikan hasil akhir yang lebih efisien dibandingkan jika segmen tersebut berserakan, baik menurut perusahaan maupun berdasarkan lokasi perusahaan.

Indonesia memiliki corak perkembangan industri unggas yang banyak didorong oleh pengaruh kebijaksanaan pemerintah. Sebelum tahun 1970, seluruh rangkaian produksi berada dalam satu unit usaha tetapi dalam ukuran skala kecil yakni usaha rakyat. Tetapi kemudian perkembangan industri unggas tumbuh menurut segmen-segmen tersendiri, maka kita mengenal adanya perusahaan pabrik pakan yang menghasilkan pakan untuk perusahaan pembibitan dan perusahaan budidaya. Demikian juga kita memiliki perusahaan pembibitan untuk menghasilkan bibit untuk perusahaan peternakan. Sehingga apa yang dimaksud dengan peternakan adalah terbatas pada budidaya itu sendiri. Akibatnya konsumen hasil akhir harus membayar mahal biaya-biaya ekonomi yang ditimbulkannya.


(50)

Kemudian setelah tahun 1990 ada kecenderungan industri nasional membentuk integrasi vertikal, tetapi baru dalam bentuk kesatuan finansial yang terdiri atas beberapa perusahaan yang tidak terintegrasi baik dalam satu perusahaan, apalagi dalam satu lokasi. Saat ini kita mengenal beberapa grup yang memiliki 5sampai 7 perusahaan yang keseluruhannya merupakan segmen-segmen agribisnis unggas. Berbagai sumber informasi melaporkan antara lain Bisnis Indonesia (1994), Business Survey and Report (1995), dan Poultry Indonesia (1994) serta didukung oleh data statistik Direktorat Peternakan (1993, 1994 dan 1995) bahwa beberapa perusahaan pabrik pakan skala besar melakukan integrasi secara vertikal dalam satu kesatuan finansial meskipun dalam bentuk anak-anak perusahaan. Bahkan beberapa diantaranya melakukan integrasi secara sempurna dari hulu sampai ke hilir. Contoh perusahaan yang melakukan integrasi sempurna ini adalah Charoen Pokphand grup, Cargill, Sierad dan terakhir Grup Subur yang cikal bakalnya adalah perusahaan pakan, pada tahun 1997 meresmikan perusahaan ketujuh yang bergerak dalam bidang industri peternakan (Poultry Indonesia, 1997) Secara nasional usaha semacam ini tidak efisien karena hanya menguntungkan bagi pemilik modal tetapi biaya produksi menjadi lebih tinggi dan menjadi beban bagi konsumen. Dalam sistem peternakan yang terintegrasi, semestinya keuntungan perusahaan diperoleh dari pengolahan lebih lanjut (further processing), bukan dari pemeliharaan ayam. Ukuran pemeliharaan ayam per peternaknya menjadi semakin besar. Djarsanto (1997) menyatakan bahwa masing-masing sub-sistem dalam industri peternakan mau menang sendiri, tidak mau berpadu. Keadaan ini sama sekali tidak memberikan dampak positif terhadap penurunan biaya, malah meningkat. Dengan kata lain harga output tidak


(51)

berubah antara sebelum dan sesudah integrasi. Seharusnya, dengan integrasi, harga output akan lebih rendah.

Integrasi seperti ini telah memberikan keuntungan secara akumulasi dari setiap sub-sistem, sehingga memberi keuntungan yang besar bagi pemilik modal. Apalagi, dengan menguasai pangsa pasar yang besar, maka perusahaan induk finansial dapat mengatur pasar sehingga menimbulkan suatu integrasi yang merugikan peternak yang berada diluar integrasi tersebut.

Kini ada masalah pokok yang timbul kepermukaan yakni integrasi vertikal semu. Integrasi vertikal yang terjadi saat ini masih jauh dari sempurna. Pada sisi lain integrasi semu ini cenderung tumbuh membentuk monopoli atau oligopoli. Thailand negara Asia yang sudah maju dalam industri broilernya, telah sejak semula membangun secara terintegrasi, tetapi terjerumus kedalam bentuk monopoli (Panayotou, 1989 dalam Yusdja et al, 2000). Sekalipun integrasi tidak saja merupakan suatu keharusan, tetapi memang harus begitu, namun tidak harus disertai watak monopoli.

Salah satu faktor pendorong terjadinya integrasi yang ada saat ini adalah karena struktur perizinan. Struktur perizinan usaha yang ada saat ini tidak menguntungkan sektor pertanian. Sebagai contoh, jika seorang pengusaha bermaksud mendirikan usaha peternakan ayam, pabrik pakan untuk kebutuhan sendiri, dan pembibitan, maka dia harus memiliki tiga buah surat izin. Hasilnya adalah terciptanya tiga buah perusahaan yang terintegrasi secara semu. Sebagaimana telah diperlihatkan bahwa integrasi semu ternyata mendorong terjadinya peningkatan biaya. Oleh karena itu pemerintah sebaiknya segera melakukan deregulasi dalam bidang perizinan usaha peternakan. Sistem perizinan


(52)

per sektor dan per komoditas yang berlaku saat ini tidak sesuai bagi membangun industri ayam ras yang efisien.

Pasar Eceran Modern

Pasar Eceran

Tradisional Ekspor

Koperasi Pemasaran

Pasar RT, Hotel, Rumah Makan, Konsumen Khusus

Peternak Skala Menengah

Koperasi Produksi

Pabrik Pakan Pembibitan Pabrik Obat Lainnya

Sumber Bahan Baku Pertanian

Gambar 2. Urutan Segmen Produksi Terintegrasi Sumber : Yusdja et al, 2000


(53)

2.6. Pendekatan Ekonomi Kelembagaan Terhadap Perilaku Industri

Kajian terhadap perilaku suatu lembaga ekonomi sangat tergantung pada konsep pemikiran ekonomi yang mendasarinya. Saat ini terdapat dua aliran pemikiran besar yang mewarnai hampir setiap kajian ekonomi mikro modern (Spechler, 1990), yaitu pendekatan neo-klasik dan pendekatan ekonomi kelembagaan (institusional). Pendekatan neo-klasik menekankan pada asumsi-asumsi dasar yang telah mapan dan berbagai perangkat teori yang telah lengkap dan mantap, terutama dalam menjelaskan berbagai perilaku perusahaan, perilaku konsumen, perilaku pasar, dan hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat; sebagai hasil dari proses berbagai kajian yang panjang. Neo-klasik mendasari pemikiran tentang perilaku ekonomi pada beberapa perspektif dasar yaitu : (a) adanya keseimbangan pasar bersaing sempurna dan ketidaksempurnaan pasar hanya merupakan pengecualian, (b) faktor (produksi) mendapat imbalan sesuai dengan nilai dan kontribusi marjinalnya terhadap produksi, hal yang dapat mempengaruhi kondisi tersebut umumnya diabaikan, (c) selera diasumsikan tetap dan universal, (d) faktor organisasi dan manajemen diabaikan, (e) pengaruh politis dan sosial dianggap minimal, dan (f) masalah pemerataan ditangani secara terpisah dari efisiensi.

Dilain pihak pendekatan ekonomi kelembagaan justru berusaha untuk mendalami hal-hal yang dinilai sebagai kelemahan dalam pendekatan neo-klasik. Berangkat dari pemikiran Thorstein Veblen (1857-1929), dan dalam pengaruh pemikiran beberapa guru ekonomi dan sosiolog Eropa, seperti Gustav Schmoller (1839-1917), Max Weber (1864-1920) dan Werner Sombart (1883-1941); pemikiran ekonomi kelembagaan justru berkembang di Amerika, walaupun salah


(54)

satu penulis kelembagaan terkemuka, yaitu John Kenneth Galbraith (1908-....) menolak untuk dikatakan sebagai “orang kelembagaan”. Walaupun beberapa bentuk mekanisme kajian yang dilakukan mungkin juga menggunakan teknik yang dikembangkan oleh neo-klasik, perspektif ekonomi kelembagaan yang dikembangkan para pemikir di atas menegaskan pentingnya beberapa hal yang tidak terdapat pada pendekatan neo-klasik (Spechler, 1990).

Pertama, fokus kajian ekonomi kelembagaan ditujukan pada lembaga atau organisasi sebagai unit analisa. Dalam hal ini yang dimaksud kelembagaan adalah pengaturan-pengaturan sosial tentang hubungan antar individu dan kelompok. Ekonomi kelembagaan menempatkan norma, peraturan, kesepakatan dan berbagai bentuk serupa; yang kemudian tercermin dalam bentuk struktur hak (property rights) dan hal-hal yang diakui bersama (common denominator), sebagai faktor penentu dalam pengambilan keputusan ekonomi. Perbedaan unsur kelembagaan tersebut akan membedakan kriteria pencapaian tujuan suatu kegiatan ekonomi. Hal berbeda dengan pendekatan neo-klasik yang umumnya memandang rasionalitas dari pencapaian keuntungan maksimum dan kriteria hedonistik lainnya. Kedua, kegiatan ekonomi dipandang sebagai suatu proses evolusi yang berkelanjutan menuju pencapaian tujuan tertentu (bukan sekedar hanya mencari keseimbangan), dan tujuan tersebut bukan hanya keuntungan maksimum. Proses evolusi dari lembaga ekonomi tersebut mirip dengan proses evolusi berdasarkan teori Darwin. Kondisi lembaga pada tahap berikut ditentukan oleh kemampuan lembaga yang bersangkutan beradaptasi dengan perkembangan kondisi lingkungan. Ketiga, setiap lembaga dan aktivitas ekonomi dapat memiliki tujuan yang berbeda atau memiliki beberapa tujuan. Dan keempat, ekonomi


(55)

kelembagaan menekankan pentingnya memperhatikan berbagai orientasi normatif (sosial, politik, dan sebagainya) yang dapat mempengaruhi tujuan atau perilaku suatu kegiatan ekonomi.

Salah satu pendekatan yang dikembangkan oleh pendekatan ekonomi kelembagaan adalah bahwa kelembagaan memandang perilaku sebagai bagian dari rangkaian Struktur –Perilaku - Kinerja (Structure – Conduct - Performance). Struktur dianggap akan menentukan pola perilaku, dan pola perilaku akan mempengaruhi kinerja, serta pada akhirnya kinerja akan mempengaruhi kondisi struktur kelembagaan ekonomi yang bersangkutan (Cook, 1995; Schmid, 1987 dalam Krisnamurthi, 1998). Oleh sebab itu kajian terhadap perilaku usaha perlu dimulai dengan memahami struktur kelembagaan atau dapat pula diartikan sebagai berbagai faktor yang dapat mempengaruhi perilaku; yang kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi pola perilaku lembaga serta berbagai penjelasan mengapa perilaku tersebut terbentuk; serta dilanjutkan dengan usaha untuk memahami keterkaitan perilaku dengan keragaan yang ditimbulkannya. Dalam satu sistem yang berkelanjutan (proses), kinerja pada gilirannya kemudian akan mempengaruhi struktur kelembagaan karena unsur-unsur dari struktur berkembang sebagai akibat tingkat kinerja yang diperoleh. Jika seluruh proses tersebut mengarah kepada tujuan yang telah disepakati oleh unsur-unsur dalam lembaga maka kegiatan yang dilakukan oleh lembaga dinilai menunjukkan kemajuan.

Dalam konteks struktur, terdapat satu aspek yang dinilai oleh para pemikir ekonomi kelembagaan memiliki pengaruh yang besar, yaitu aspek hak (rights atau property rights). Perbedaan atau perubahan struktur hak-hak pelaku dalam setiap


(1)

Lampiran 2. Lanjutan

The SYSLI N Pr oc edur e Two- St age Leas t Squar es Es t i mat i on Model PROF Dependent Var i abl e PROF Label Ti ngk at k eunt ungan Anal y s i s of Var i anc e

Sum of Mean

Sour c e DF Squar es Squar e F Val ue Pr > F Model 8 165559. 9 20694. 99 447. 35 <. 0001 Er r or 36 1665. 395 46. 26097

Cor r ec t ed Tot al 44 167697. 1

Root MSE 6. 80154 R- Squar e 0. 99004 Dependent Mean 43. 84770 Adj R- Sq 0. 98783 Coef f Var 15. 51174

Par amet er Es t i mat es

Par amet er St andar d Var i abl e Var i abl e DF Es t i mat e Er r or t Val ue Pr > | t | Label I nt er c ept 1 - 3843. 90 2586. 603 - 1. 49 0. 1460 I nt er c ept

PVADD 1 0. 833992 0. 015415 54. 10 <. 0001 Per s en ni l ai t ambah bahan bak u MSHA 1 0. 508704 0. 197342 2. 58 0. 0142 Penguas aan pas ar

DI PR 1 - 1. 46822 0. 462335 - 3. 18 0. 0031 Di f er ens i as i pr oduk

J PES 1 0. 487137 2. 320389 0. 21 0. 8349 J uml ah i ndus t r i pak an pes ai ng DSCL 1 - 6. 26121 2. 840680 - 2. 20 0. 0340 Dummy s k al a pr oduk s i

RCON 1 - 2. 53758 48. 88823 - 0. 05 0. 9589 Ras i o k ons ent r as i i ndus t r i DDAE 1 0. 266681 34. 74161 0. 01 0. 9939 Dummy daer ah


(2)

Lampiran 2. Lanjutan

The SYSLI N Pr oc edur e Two- St age Leas t Squar es Es t i mat i on Model MSHA Dependent Var i abl e MSHA Label Penguas aan pas ar Anal y s i s of Var i anc e

Sum of Mean

Sour c e DF Squar es Squar e F Val ue Pr > F Model 11 7295. 388 663. 2171 11. 18 <. 0001 Er r or 33 1957. 373 59. 31435

Cor r ec t ed Tot al 44 9341. 672

Root MSE 7. 70158 R- Squar e 0. 78846 Dependent Mean 13. 51198 Adj R- Sq 0. 71794 Coef f Var 56. 99817

Par amet er Es t i mat es

Par amet er St andar d Var i abl e Var i abl e DF Es t i mat e Er r or t Val ue Pr > | t | Label I nt er c ept 1 - 2343. 97 4204. 794 - 0. 56 0. 5810 I nt er c ept HPKN 1 0. 007297 0. 004751 1. 54 0. 1341 Har ga pak an COSU 1 - 0. 01086 0. 005317 - 2. 04 0. 0491 Bi ay a per uni t

DEMDR 1 - 0. 00887 0. 018830 - 0. 47 0. 6406 Per mi nt aan pak an r egi onal PROPS 1 0. 003517 0. 019875 0. 18 0. 8606 Pr oduk s i pes ai ng

J PES 1 - 2. 86506 3. 994359 - 0. 72 0. 4783 J uml ah i ndus t r i pak an pes ai ng RCON 1 - 65. 2515 99. 52824 - 0. 66 0. 5166 Ras i o k ons ent r as i i ndus t r i PROF 1 - 0. 04351 0. 043963 - 0. 99 0. 3295 Ti ngk at k eunt ungan

DI PR 1 1. 670857 0. 811097 2. 06 0. 0474 Di f er ens i as i pr oduk DSCL 1 8. 037048 3. 077571 2. 61 0. 0135 Dummy s k al a pr oduk s i DDAE 1 - 22. 4723 55. 21577 - 0. 41 0. 6866 Dummy daer ah


(3)

Lampiran 2. Lanjutan

The SYSLI N Pr oc edur e Two- St age Leas t Squar es Es t i mat i on Model MPWR Dependent Var i abl e MPWR Label Mar k et power Anal y s i s of Var i anc e Sum of Mean

Sour c e DF Squar es Squar e F Val ue Pr > F Model 10 6. 135704 0. 613570 222. 29 <. 0001 Er r or 34 0. 093846 0. 002760

Cor r ec t ed Tot al 44 11. 27194

Root MSE 0. 05254 R- Squar e 0. 98494 Dependent Mean 0. 17731 Adj R- Sq 0. 98050 Coef f Var 29. 63012

Par amet er Es t i mat es

Par amet er St andar d Var i abl e Var i abl e DF Es t i mat e Er r or t Val ue Pr > | t | Label I nt er c ept 1 - 27. 0772 20. 85832 - 1. 30 0. 2030 I nt er c ept COSU 1 - 0. 00061 0. 000020 - 29. 84 <. 0001 Bi ay a per uni t

EFI TF 1 - 0. 00019 0. 000898 - 0. 21 0. 8311 Ef i s i ens i t ek ni s per us ahaan MSHA 1 - 0. 00194 0. 001898 - 1. 02 0. 3147 Penguas aan pas ar

PROPS 1 0. 000011 0. 000032 0. 35 0. 7318 Pr oduk s i pes ai ng

J PES 1 0. 011164 0. 020624 0. 54 0. 5918 J uml ah i ndus t r i pak an pes ai ng DSCL 1 0. 053153 0. 023292 2. 28 0. 0289 Dummy s k al a pr oduk s i

RCON 1 0. 273299 0. 430566 0. 63 0. 5298 Ras i o k ons ent r as i i ndus t r i HPKN 1 0. 000409 0. 000025 16. 55 <. 0001 Har ga pak an

DDAE 1 0. 204876 0. 324706 0. 63 0. 5323 Dummy daer ah YEAR 1 0. 013551 0. 010336 1. 31 0. 1986 Tahun

Tabel Lampiran 3. Hasil Validasi Model Analisis SCP Industri Pakan Ternak Ayam di Lampung dan Jawa Barat

ANALI SI S ANALI SI S I NDUSTRI PAKAN TERNAK The SI MNLI N Pr oc edur e

Si mul t aneous Si mul at i on Sol ut i on Range NO = 1 To 40 Des c r i pt i v e St at i s t i c s

Ac t ual Pr edi c t ed


(4)

J I PK 40 40 15. 4000 7. 8929 15. 3959 7. 8781 J I PK EFI TR 40 40 43. 9010 15. 3019 43. 9584 13. 9482 EFI TR RCON 40 40 0. 1958 0. 0840 0. 1943 0. 0710 RCON SPJ G 40 40 45. 1632 13. 9826 45. 5902 12. 7102 SPJ G SPBK 40 40 15. 7127 7. 6439 15. 2880 6. 1279 SPBK LABS 40 40 0. 5477 0. 1201 0. 5417 0. 1055 LABS DI PR 40 40 2. 5750 2. 9167 2. 4986 2. 3407 DI PR SCJ G 40 40 39. 7165 21. 0741 40. 1705 18. 4306 SCJ G SCBK 40 40 20. 5388 9. 6742 20. 3022 9. 1084 SCBK SCLB 40 40 2. 8288 2. 2656 2. 8206 1. 6280 SCLB SCPR 40 40 63. 0841 20. 1930 63. 2933 18. 5692 SCPR PRODF 40 40 86. 5201 78. 3261 86. 1096 73. 0895 PRODF EFI TF 40 40 63. 0432 18. 4376 62. 9938 13. 7790 EFI TF COSU 40 40 1508. 5 882. 9 1442. 7 499. 2 COSU HPKN 40 40 1773. 1 387. 5 1767. 4 291. 2 HPKN MSHA 40 40 14. 6874 15. 0404 15. 1292 12. 6671 MSHA PROF 40 40 32. 9151 44. 5283 33. 8243 44. 4447 PROF MPWR 40 40 0. 1386 0. 5192 0. 1736 0. 2978 MPWR

Lampiran 3. Lanjutan

St at i s t i c s of f i t

Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %

Var i abl e N Er r or Er r or Er r or % Er r or Er r or Er r or R- Squar e J I PK 40 - 0. 00411 0. 1770 0. 2549 3. 4777 0. 3182 5. 5070 0. 9983 EFI TR 40 0. 0574 3. 1799 4. 4527 11. 7536 6. 5643 16. 7473 0. 8113 RCON 40 - 0. 00157 4. 6867 0. 0363 19. 7425 0. 0480 26. 2287 0. 6649 SPJ G 40 0. 4270 . 3. 9709 . 4. 8359 . 0. 8773 SPBK 40 - 0. 4247 60. 8608 3. 9706 87. 1698 4. 8354 244. 0 0. 5896 LABS 40 - 0. 00602 1. 8004 0. 0505 12. 0744 0. 0705 22. 6794 0. 6464 DI PR 40 - 0. 0764 32. 2127 1. 5910 99. 7582 2. 0845 148. 2 0. 4761 SCJ G 40 0. 4540 114113 4. 7404 114122 5. 8309 721684 0. 9215 SCBK 40 - 0. 2365 6. 9285 3. 6238 37. 8353 4. 6152 88. 5357 0. 7666 SCLB 40 - 0. 00821 23. 9372 1. 4212 78. 0793 1. 8138 113. 8 0. 3426 SCPR 40 0. 2093 2. 7621 2. 4753 5. 8703 3. 2851 10. 7075 0. 9729 PRODF 40 - 0. 4104 11. 6496 21. 4144 65. 5756 26. 7974 121. 1 0. 8799 EFI TF 40 - 0. 0494 9. 3094 11. 1448 24. 6607 13. 2963 42. 9090 0. 4666 COSU 40 - 65. 8236 5. 2265 435. 2 28. 8894 753. 6 41. 9097 0. 2529 HPKN 40 - 5. 7304 1. 6556 226. 7 12. 7152 314. 3 15. 7918 0. 3250 MSHA 40 0. 4417 28. 7544 5. 3166 136. 5 8. 0433 323. 6 0. 7067 PROF 40 0. 9093 - 16. 3574 6. 1207 101. 2 8. 3574 251. 5 0. 9639 MPWR 40 0. 0350 - 370. 8 0. 2524 560. 7 0. 4303 2115. 2 0. 2955


(5)

Lampiran 3. Lanjutan

Thei l For ec as t Er r or St at i s t i c s

MSE Dec ompos i t i on Pr opor t i ons

Cor r Bi as Reg Di s t Var Cov ar I nequal i t y Coef Var i abl e N MSE ( R) ( UM) ( UR) ( UD) ( US) ( UC) U1 U J I PK 40 0. 1012 1. 00 0. 00 0. 00 1. 00 0. 00 1. 00 0. 0184 0. 0092 EFI TR 40 43. 0904 0. 90 0. 00 0. 00 1. 00 0. 04 0. 96 0. 1414 0. 0710 RCON 40 0. 00231 0. 82 0. 00 0. 00 1. 00 0. 07 0. 93 0. 2258 0. 1146 SPJ G 40 23. 3863 0. 94 0. 01 0. 01 0. 99 0. 07 0. 92 0. 1024 0. 0512 SPBK 40 23. 3811 0. 77 0. 01 0. 00 0. 99 0. 10 0. 90 0. 2774 0. 1427 LABS 40 0. 00497 0. 81 0. 01 0. 01 0. 98 0. 04 0. 95 0. 1258 0. 0634 DI PR 40 4. 3452 0. 70 0. 00 0. 02 0. 98 0. 07 0. 92 0. 5396 0. 2868 SCJ G 40 33. 9999 0. 96 0. 01 0. 10 0. 89 0. 20 0. 79 0. 1300 0. 0656 SCBK 40 21. 2998 0. 88 0. 00 0. 02 0. 98 0. 01 0. 98 0. 2037 0. 1029 SCLB 40 3. 2898 0. 60 0. 00 0. 02 0. 98 0. 12 0. 88 0. 5029 0. 2647 SCPR 40 10. 7916 0. 99 0. 00 0. 18 0. 82 0. 24 0. 76 0. 0497 0. 0249 PRODF 40 718. 1 0. 94 0. 00 0. 00 1. 00 0. 04 0. 96 0. 2309 0. 1173 EFI TF 40 176. 8 0. 69 0. 00 0. 01 0. 99 0. 12 0. 88 0. 2026 0. 1022 COSU 40 567881 0. 51 0. 01 0. 00 0. 99 0. 25 0. 74 0. 4325 0. 2307 HPKN 40 98806. 9 0. 59 0. 00 0. 04 0. 96 0. 09 0. 91 0. 1733 0. 0872 MSHA 40 64. 6952 0. 84 0. 00 0. 00 1. 00 0. 08 0. 91 0. 3851 0. 1985 PROF 40 69. 8462 0. 98 0. 01 0. 01 0. 98 0. 00 0. 99 0. 1522 0. 0757 MPWR 40 0. 1852 0. 55 0. 01 0. 00 0. 99 0. 26 0. 74 0. 8102 0. 4931


(6)

Error!