2.5. Kebijaksanaan Integrasi Vertikal
Industri unggas nasional terdiri atas beberapa segmen kegiatan yang satu sama lain memiliki ketergantungan yang sangat besar karena menyangkut
kebutuhan biologis. Segmen pertama adalah budidaya, kemudian segmen pabrik pakan, pembibitan, farmasi, industri rumah potong, dan selanjutnya pengemasan.
Menurut Nesheim 1979, urutan segmen produksi terintegrasi berada dalam satu unit perusahaan, bahkan juga berada dalam satu lokasi perusahaan. Transfer
output intermediate sangat hemat dalam biaya angkutan, kemasan, resiko
kematian kerusakan dalam perjalanan, resiko penghematan tenaga kerja, dan tidak ada margin keuntungan pada setiap segmen. Dengan demikian struktur
produksi vertikal semacam itu memberikan hasil akhir yang lebih efisien dibandingkan jika segmen tersebut berserakan, baik menurut perusahaan maupun
berdasarkan lokasi perusahaan. Indonesia memiliki corak perkembangan industri unggas yang banyak
didorong oleh pengaruh kebijaksanaan pemerintah. Sebelum tahun 1970, seluruh rangkaian produksi berada dalam satu unit usaha tetapi dalam ukuran skala kecil
yakni usaha rakyat. Tetapi kemudian perkembangan industri unggas tumbuh menurut segmen-segmen tersendiri, maka kita mengenal adanya perusahaan
pabrik pakan yang menghasilkan pakan untuk perusahaan pembibitan dan perusahaan budidaya. Demikian juga kita memiliki perusahaan pembibitan untuk
menghasilkan bibit untuk perusahaan peternakan. Sehingga apa yang dimaksud dengan peternakan adalah terbatas pada budidaya itu sendiri. Akibatnya
konsumen hasil akhir harus membayar mahal biaya-biaya ekonomi yang ditimbulkannya.
Kemudian setelah tahun 1990 ada kecenderungan industri nasional membentuk integrasi vertikal, tetapi baru dalam bentuk kesatuan finansial yang
terdiri atas beberapa perusahaan yang tidak terintegrasi baik dalam satu perusahaan, apalagi dalam satu lokasi. Saat ini kita mengenal beberapa grup yang
memiliki 5 sampai 7 perusahaan yang keseluruhannya merupakan segmen-segmen
agribisnis unggas. Berbagai sumber informasi melaporkan antara lain Bisnis Indonesia 1994, Business Survey and Report
1995, dan Poultry Indonesia 1994 serta didukung oleh data statistik Direktorat Peternakan 1993, 1994 dan
1995 bahwa beberapa perusahaan pabrik pakan skala besar melakukan integrasi secara vertikal dalam satu kesatuan finansial meskipun dalam bentuk anak-anak
perusahaan. Bahkan beberapa diantaranya melakukan integrasi secara sempurna dari hulu sampai ke hilir. Contoh perusahaan yang melakukan integrasi sempurna
ini adalah Charoen Pokphand grup, Cargill, Sierad dan terakhir Grup Subur yang cikal bakalnya adalah perusahaan pakan, pada tahun 1997 meresmikan perusahaan
ketujuh yang bergerak dalam bidang industri peternakan Poultry Indonesia, 1997 Secara nasional usaha semacam ini tidak efisien karena hanya
menguntungkan bagi pemilik modal tetapi biaya produksi menjadi lebih tinggi dan menjadi beban bagi konsumen. Dalam sistem peternakan yang terintegrasi,
semestinya keuntungan perusahaan diperoleh dari pengolahan lebih lanjut further processing,
bukan dari pemeliharaan ayam. Ukuran pemeliharaan ayam per peternaknya menjadi semakin besar. Djarsanto 1997 menyatakan bahwa masing-
masing sub-sistem dalam industri peternakan mau menang sendiri, tidak mau berpadu. Keadaan ini sama sekali tidak memberikan dampak positif
terhadap penurunan biaya, malah meningkat. Dengan kata lain harga output tidak
berubah antara sebelum dan sesudah integrasi. Seharusnya, dengan integrasi, harga output akan lebih rendah.
Integrasi seperti ini telah memberikan keuntungan secara akumulasi dari setiap sub-sistem, sehingga memberi keuntungan yang besar bagi pemilik modal.
Apalagi, dengan menguasai pangsa pasar yang besar, maka perusahaan induk finansial dapat mengatur pasar sehingga menimbulkan suatu integrasi yang
merugikan peternak yang berada diluar integrasi tersebut. Kini ada masalah pokok yang timbul kepermukaan yakni integrasi vertikal
semu. Integrasi vertikal yang terjadi saat ini masih jauh dari sempurna. Pada sisi lain integrasi semu ini cenderung tumbuh membentuk monopoli atau
oligopoli. Thailand negara Asia yang sudah maju dalam industri broilernya, telah sejak semula membangun secara terintegrasi, tetapi terjerumus kedalam bentuk
monopoli Panayotou, 1989 dalam Yusdja et al, 2000. Sekalipun integrasi tidak saja merupakan suatu keharusan, tetapi memang harus begitu, namun tidak harus
disertai watak monopoli. Salah satu faktor pendorong terjadinya integrasi yang ada saat ini adalah
karena struktur perizinan. Struktur perizinan usaha yang ada saat ini tidak menguntungkan sektor pertanian. Sebagai contoh, jika seorang pengusaha
bermaksud mendirikan usaha peternakan ayam, pabrik pakan untuk kebutuhan sendiri, dan pembibitan, maka dia harus memiliki tiga buah surat izin. Hasilnya
adalah terciptanya tiga buah perusahaan yang terintegrasi secara semu. Sebagaimana telah diperlihatkan bahwa integrasi semu ternyata mendorong
terjadinya peningkatan biaya. Oleh karena itu pemerintah sebaiknya segera melakukan deregulasi dalam bidang perizinan usaha peternakan. Sistem perizinan
per sektor dan per komoditas yang berlaku saat ini tidak sesuai bagi membangun industri ayam ras yang efisien.
Pasar Eceran Modern
Pasar Eceran Tradisional
Ekspor
Koperasi Pemasaran
Pasar RT, Hotel, Rumah Makan, Konsumen Khusus
Peternak Skala Menengah
Koperasi Produksi
Pabrik Pakan Pembibitan
Pabrik Obat Lainnya
Sumber Bahan Baku Pertanian
Gambar 2. Urutan Segmen Produksi Terintegrasi Sumber : Yusdja et al, 2000
2.6. Pendekatan Ekonomi Kelembagaan Terhadap Perilaku Industri