0.00 0.05
0.10 0.15
0.20 0.25
0.30 0.35
0.40
1999 2000
2001 2002
2003 Tahun
Lampung Jabar
Gambar 11. Indeks Rasio Konsentrasi Industri Pakan Ternak di Propinsi Lampung dan Jawa Barat, 1999-2003
Sementara itu rata-rata pangsa pasar di Lampung adalah 29.35 persen dan di Jawa Barat 4.982 persen. Gambar 12 memperlihatkan pangsa pasar di dua
propinsi mulai tahun 1999-2003.
5 10
15 20
25 30
35
1999 2000
2001 2002
2003 Tahun
Lampung Jabar
Gambar 12. Pangsa pasar Industri Pakan Ternak di Propinsi Lampung dan Jawa Barat, 1999-2003
Sementara itu rata-rata market power di Lampung adalah 0.31 dan di Jawa Barat 0.20. Market power dihitung menggunakan Lerner Index dan secara
teori, semakin terkonsentrasi suatu industri maka market power semakin besar. Gambar 13 memperlihatkan market power di dua propinsi mulai tahun 1999-
2003.
0.05 0.1
0.15 0.2
0.25 0.3
0.35 0.4
1999 2000
2001 2002
2003 Tahun
Lampung Jabar
Gambar 13. Market Power Industri Pakan Ternak di Propinsi Lampung dan Jawa Barat, 1999-2003
Bila dilihat dari rata-rata rasio konsentrasi, pangsa pasar dan market power di propinsi Lampung, maka dapat disimpulkan bahwa struktur pasar pakan di
Lampung cenderung mengarah ke pasar oligopoli atau monopoli Sheperd, 1997. Selain itu lanjut Sheperd, Market power muncul jika pangsa perusahaan mencapai
15 persen dan dapat dikatakan monopoli jika mencapai 25 sampai 30 persen. Dengan menggunakan indikator yang sama, untuk Jawa Barat dapat
disimpulkan bahwa struktur pasar pakan di Jawa Barat mengarah kepada pasar bersaing. Namun harga pakan di kawasan Jawa Barat yang berkisar Rp. 1 791.8
per kg, lebih tinggi dibandingkan Lampung yang rata-rata berkisar Rp. 1 710 per
kg, padahal harga input lebih rendah di Jawa Barat. Semestinya harga pakan di kawasan Jawa Barat lebih rendah. Gambar 14 memperlihatkan harga pakan di dua
propinsi mulai tahun 1999-2003.
200 400
600 800
1000 1200
1400 1600
1800 2000
1999 2000
2001 2002
2003 Tahun
Lampung Jabar
Gambar 14. Harga Pakan Ternak di Propinsi Lampung dan Jawa Barat, 1999- 2003
Bila dilihat dari pangsa biaya produksi di Jawa Barat yang berkisar 53.97 persen dan Lampung berkisar 75.18 persen memperlihatkan bahwa di Jawa Barat
pangsa biaya yang cukup besar ada di pangsa biaya lainnya. Biasanya biaya-biaya lain yang dikeluarkan perusahaan pakan adalah biaya iklan atau promosi dan
biaya riset dan pengembangan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa struktur pasar pakan di Jawa Barat merupakan pasar persaingan monopolistik, dimana ciri-
cirinya yaitu jumlah industri pakan yang banyak, tidak terdapat hambatan masuk barriers to entry, produk didiferensiasikan, tingkat konsentrasi yang rendah,
harga output ditetapkan tinggi, sementara perusahaan gencar melakukan promosi Samuelson and Nordhaus, 1995.
5.3. Dampak Perkembangan Industri Pakan Ternak Ayam terhadap
Perkembangan Industri Perunggasan Nasional
Peran dan posisi peternakan memang terbukti sangat strategis, namun banyak menghadapi berbagai permasalahan pelik serta tantangan yang berat.
Salah satu permasalahan pelik itu adalah ketergantungan industri pakan ternak terhadap bahan baku asal impor. Padahal biaya terbesar dari produksi pangan asal
ternak berada pada pakan. Yang memprihatinkan, bahan baku yang diimpor tersebut justru merupakan hasil pertanian yang sebenarnya mudah diproduksi di
dalam negeri, umpamanya jagung dan tepung ikan. Sediaan premix feed additive dan feed supplement masih banyak yang harus didatangkan dari luar negeri.
Peternakan akhir-akhir ini kembali mengalami krisis, setelah sempat pulih akibat krisis moneter 1998 lalu. Tahun 2004 diawali dengan adanya wabah flu
burung Avian Influenza yang langsung mengguncang dunia perunggasan. Berdasarkan data yang ada, dari 87 juta populasi ayam petelur di tahun 2003,
pada saat itu tinggal 30-40 persen saja. Harga ayam potong di tingkat peternak yang biasanya berkisar Rp 8 400 per kg, telah tertekan menjadi Rp 3 900 sampai
Rp 4 000 per kg. Daya serap di tingkat konsumsi mengalami stagnasi sampai 50-60 persen.
Di samping peternak, yang juga paling menderita akibat isu flu burung adalah industri pembibitan. Akibat terjadinya stagnasi konsumsi daging ayam,
harga Day Old Chick DOC jatuh sampai ke titik terendah, yakni Rp 400 per ekor. Dengan produksi bibit ayam mencapai 20 juta ekor per minggu, maka terjadi
kelebihan penawaran sekitar separuhnya. Jatuhnya harga DOC sebagai dampak terlambatnya serapan daging ayam oleh masyarakat. Penumpukan ayam siap
panen di kandang-kandang peternak telah menyebabkan terhentinya siklus produksi lanjutan
2
. Wabah flu burung belum mereda, di pertengahan 2004 perunggasan
kembali diguncang dengan melambungnya harga pakan. Harga pakan ternak terus melonjak seiring dengan naiknya harga bahan baku pakan di pasar internasional
dan biaya pengapalan. Akibatnya produsen pakan ternak secara bertahap menaikkan harga pakan rata-rata Rp 200 per kg dan akhirnya mencapai Rp 2 700
per kg. Kenaikan harga itu tidak bisa dielakkan, soalnya, bahan baku pakan ternak umumnya masih impor. Selain harga impor naik akibat kenaikan harga
internasional bahan baku pakan sekitar 50 persen, biaya pengapalan juga naik 40 persen. Di pasar internasional harga jagung mencapai US 200ton dari harga
sebelumnya sebesar US 120ton. Lonjakan yang sama juga terjadi pada harga bungkil kedele yang mencapai US 400ton dari harga sebelumnya US 185ton.
Tepung tulang yang seluruhnya impor dari US 300ton menjadi US 405ton. Biaya pengapalan semula hanya US 22ton menjadi US 85ton.
Bagi pengusaha ternak rakyat tentunya kenaikan itu sangat memberatkan. Di lain pihak untuk meningkatkan harga jual ayam tidaklah mudah. Poduksi ayam
merosot tajam, harga jual turun drastis hingga Rp 1 100kg dari sebelumnya Rp 7 300kg karena masyarakat enggan mengkonsumsi daging ayam dan telur
3
. Apabila mengikuti tren kenaikan harga pakan, resikonya adalah masyarakat
mengurangi konsumsi daging atau telur terlebih kemampuan daya beli masih rendah.
______________________
2
Pikiran Rakyat 2004. Harga Pakan ”Meroket”, Bahan Baku Berkurang Karena Diduga Tersedot ke Cina. Jum’at, 30 April 2004.
3
Httpwww.sinarharapan.co.id. 2003
Di tingkat petani, pakan berkualitas bagus harganya Rp 2 700kg. Bila menggunakan FCR Food Convertion Ratio ideal sebesar 1.5-1.6 yakni untuk
mendapatkan bobot ayam hidup satu kilogram diperlukan konsumsi pakan sebanyak 1.6 kilogram, maka itu berarti biaya pembelian pakan untuk FCR 1.6
adalah paling sedikit Rp 4 320 dengan bobot ayam hidup satu kilogram. Kenyataannya, peternak sulit mendapatkan FCR ideal dan seringkali melonjak
hingga 1.8-2.0 Rasyaf, 1994. Sementara itu maraknya penyelundupan, khususnya telur ditengarai ikut merusak harga pasar. Telur produksi peternak sulit
bersaing dengan telur selundupan dari Malaysia yang dijual dengan harga Rp 4 000kg. Padahal harga telur ayam di peternak sudah mencapai Rp 6 200kg.
Untuk itu industri peternakan ayam perlu dibenahi agar produksinya bisa maksimal dan bersaing, di samping meningkatkan kesejahteraan peternak ayam,
dan menaikkan daya beli masyarakat. Penanganan jangka panjang ketersediaan bahan baku sangat penting agar peternak rakyat bisa berkompetisi. Kondisi
peternak saat ini sangat sulit, dimana di satu sisi harus berhadapan dengan perusahaan besar yang menguasai peternakan unggas dari hulu sampai hilir
integrasi vertikal dan horisontal sehingga bisa mengendalikan harga, sementara di sisi lain harus bersiap dengan serbuan produk selundupan.
VI. STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM
Secara umum hasil pendugaan model Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan Ternak Ayam di Lampung dan Jawa Barat cukup baik
dilihat dari kriteria ekonomi, statistik dan ekonometrika. Hasil pendugaan model menunjukkan bahwa sebanyak 70 persen 12 persamaan dari 17 persamaan
struktural mempunyai nilai koefisien determinasi R
2
berkisar 0.67583 – 0.99840. Artinya secara umum kemampuan peubah-peubah penjelas untuk menjelaskan
variasi nilai peubah endogennya cukup tinggi. Sebaliknya peubah-peubah penjelas pada persamaan diferensiasi produk, share biaya tenaga kerja, efisiensi teknis
perusahaan, biaya perunit dan harga pakan belum mampu menjelaskan keragaman nilai peubah endogennya secara baik, yaitu masih dibawah 60.0 persen. Arah dan
besaran nilai parameter dugaan semua peubah penjelas sesuai harapan, meskipun hasil uji t-statistik menunjukkan masih ada beberapa peubah penjelas yang
berpengaruh tidak nyata pada taraf uji 15 persen. Hasil pendugaan juga menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara
komponen struktur structure, perilaku conduct dan kinerja performance di industri pakan ternak ayam. Perilaku biaya share biaya bahan baku di industri
pakan ternak ayam dipengaruhi oleh jumlah industri pakan indikator struktur. Sementara diferensiasi produk indikator struktur merupakan faktor yang
mempengaruhi efisiensi teknis perusahaan dan profitabilitas indikator kinerja. Sebaliknya perubahan dalam kinerja secara langsung atau tidak langsung akan
merubah struktur industri pakan ternak jumlah industri pakan dipengaruhi oleh harga pakan, sebagai indikator kinerja.
108
Hasil pengolahan data analisis struktur, perilaku dan kinerja industri pakan ternak ayam di Lampung dan Jawa Barat dengan metode 2SLS secara lengkap
disajikan pada Tabel Lampiran 2.
6.1. Struktur Industri Pakan Ternak Ayam
Struktur mengacu pada struktur pasar yang digambarkan sebagian besar oleh konsentrasi penguasaan pasar di dalam pasar tersebut. Struktur industri pakan
ternak ayam di sini dapat dilihat dari jumlah perusahaan dalam industri, tingkat konsentrasi, pemanfaatan kapital, intensitas penggunaan tenaga kerja dan
diferensiasi produk. Struktur industri pakan selanjutnya akan mempengaruhi perilaku dan kinerja industri. Faktor-faktor yang mempengaruhi struktur industri
pakan ternak ayam terlihat pada Tabel 10. Jumlah perusahaan dalam industri mengindikasikan tingkat persaingan dan
dipengaruhi secara signifikan oleh harga output, volume permintaan dan pengeluaran pakan. Peningkatan harga output pakan akan signifikan
meningkatkan jumlah perusahaan dalam industri. Hal ini mengindikasikan adanya kemudahan dalam ”entry and exit” suatu perusahaan dalam industri
pakan dimana adanya keuntungan normal akibat kenaikan harga akan menarik adanya investasi baru dalam industri. Namun dari hasil estimasi ternyata peubah
tingkat keuntungan tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah industri pakan, meskipun tandanya sesuai harapan. Peningkatan permintaan pakan akan
meningkatkan jumlah perusahaan dalam industri yang diindikasikan melalui peningkatan signifikan jumlah perusahaan akibat peningkatan permintaan pakan
kawasan DEMDR dan luar kawasan VEXSP. Jumlah perusahaan dalam