Perkembangan Kebijakan Agribisnis Ayam Ras

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perkembangan Kebijakan Agribisnis Ayam Ras

Perkembangan perunggasan Indonesia dari tahun 1965 hingga sekarang berjalan dengan tingkat pertumbuhan yang cukup berhasil. Misi penyediaan pangannya telah mampu ikut menyumbang dan membangun sumber daya manusia. Tidak kurang dari 200 juta penduduk Indonesia telah mampu mengkonsumsi rata-rata 11 kgkapitatahun hasil unggas dari hasil sebesar 2.5 trilyun kgtahun. Berarti pula, di bidang ekonomi, tidak kurang dari 20 trilyun rupiah uang masyarakat beredar untuk membelanjakan hasil-hasil unggas dan ini semua berarti hasil dari investasi, teknologi, kesepakatan kerjakesempatan berusaha yang tumbuh di dalam masyarakat Oetoro, 2002. Program pemerintah dalam mengembangkan peternakan ayam ras terlihat dari adanya program Bimbingan Massal Bimas ayam yang dimulai pada 1976. Program ini dilakukan mirip dengan Bimas padi yang ditujukan untuk swasembada beras. Program dimulai dengan membangun paket proyek di Bogor dan Yogyakarta. Mengingat proyek percontohan ini dinilai berhasil, maka program ini dilanjutkan untuk daerah-daerah lain. Sampai dengan 19771978, program Bimas ini telah meluas ke 18 lokasi dengan jumlah proyek mencapai 2 325 paket dengan nilai kredit sebesar Rp. 813.75 milyar. Hasil analisis memperlihatkan bahwa program pemberian kredit Bimas ayam ras tersebut ternyata menguntungkan bagi petani. Oleh karena itu, program tersebut kemudian dilanjutkan dengan program Bimas broiler ayam ras pedaging sejak tahun 1980. Pada program Bimas ayam broiler ini para peternak kecil yang 14 dinilai layak, mendapatkan kredit dan diberi jatah paket berupa 500 ekor ayam periode atau 2 500 ekor ayamtahun tiap periode terdiri dari 7- 8 minggu. Program Bimas ayam ras broiler maupun ayam ras petelur ini ternyata berkembang dengan baik karena dapat mendatangkan keuntungan dengan baik yang menarik bagi peternak peserta Bimas. Walaupun demikian, dalam perjalanan lebih lanjut, program ini mulai menemui sejumlah masalah di lapangan, terutama mulai memasuki pelita III 1979-1984, seiring dengan munculnya masalah pemasaran daging dan telur ayam. Masalah mulai t imbul karena dalam kurun waktu tersebut peternak yang mengelola ayam ras ternyata bukan hanya peserta Bimas, tetapi meluas ke peternak mandiri yang lahir dari unsur wiraswasta murni tanpa bantuan kredit dan fasilitas lainnya dari pemerintah. Banyak di antara peternak mandiri ini memelihara ayam ras dalam jumlah besar yang mencapai puluhan hingga ratusan ribu dan jutaan ekor. Masalah utama yang timbul adalah kurangnya bahan baku pakan ternak, terutama pada saat musim kemarau tiba. Pada saat itu harga pakan ternak menjadi mahal sementara harga jual daging dan telur ayam relatif stagnan. Dilain pihak, karena manajemennya yang lebih baik, peternak skala besar mampu menjual produk daging dan telur ayam dengan harga yang lebih murah dibanding peternak kecil. Akibatnya, mulai timbul kemelut berupa pertentangan antara peternak kecil dengan peternak besar. Sebagai respon terhadap kemelut tersebut, maka pemerintah kemudian menetapkan sebuah Keputusan Presiden, yakni Keppres No. 501981 tanggal 2 November 1981 tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras dengan inti materi sebagai berikut: 1. Perorangan atau badan hukum yang menjalankan usaha peternakan ayam petelur hanya diperkenankan mengelola jumlah ayam dewasa sebanyak- banyaknya 5 ribu ekor, sedangkan untuk ayam pedaging maksimum 750 ekor per minggu 2. Perorangan atau badan hukum yang mengelola ayam petelur atau pedaging melebihi jumlah yang telah ditentukan, harus mengurangi secara bertahap sampai dengan batas jumlah yang ditentukan 3. Untuk menjamin tersedianya produksi telur dan daging ayam ras, maka dilakukan usaha-usaha sebagai berikut: a. Meningkatkan usaha peternakan ayam ras yang sudah ada untuk mencapai skala usaha peternakan kecil yang maksimal b. Mendorong terbentuknya peternakan-peternakan ayam ras baru, baik melalui Bimas maupun non Bimas. Keppres No 501981 ini pada hakekatnya merupakan upaya restrukturisasi dan stabilisasi di bidang perunggasan setelah terjadinya ketimpangan struktur usaha dan munculnya pertentangan antara peternak kecil dengan peternak besar. Namun demikian, pelaksanaan Keppres ini tenyata tidak terlalu sesuai dengan yang diharapkan. Akibat banyaknya pelanggaran yang terjadi, maka Menteri Pertanian RI kemudian menerbitkan SK Mentan No. TN 406Kpts51984 tertanggal 28 Mei 1984. SK Mentan tersebut pada intinya mengatur pola kerjasama tertutup yang saling menguntungkan antara perusahaan peternakan sebagai inti dengan peternak sebagai plasma, yang kemudian dikenal sebagai pola Perusahaan Inti Rakyat PIR. Dalam perkembangannnya, pola PIR ini ternyata belum juga mampu meredam gejolak di lapangan sehingga dengan berbagai upaya konsolidasi dengan masyarakat perunggasan, pada tahun 1990, Keppres No 501981 dicabut dan diganti dengan Keppres No 221990, yang berisi tentang Kebijakan Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras. Untuk mendukung pelaksanaannya, diterbitkan pula SK Menteri Pertanian No 362KptsTN1201990 tentang Ketentuan dan Tatacara Pelaksanaan Pemberian Izin dan Pendaftaran Usaha Peternakan. Keppres No 221990 pada hakekatnya merupakan upaya deregulasi tentang bidang perunggasan. Skala usaha yang pada Keppres sebelumnya dibatasi maka pada Keppres yang baru tersebut tidak lagi diatur. Pengaturan skala usaha hanya dilakukan pada SK Mentan No 3621990, yang berisi tentang tatacara perizinan, bukan pembatasan. Dalam SK Mentan tersebut dinyatakan bahwa untuk usaha peternakan yang jumlahnya 10 ribu ekor petelur dewasa atau dibawahnya, maka dimasukkan sebagai kategori peternakan rakyat, yang pendiriannya tidak memerlukan izin, melainkan hanya cukup dengan mendaftarkannya saja. Sedangkan untuk ayam pedaging, jumlah maksimum 15 ribu ekor per siklus, dikategorikan sebagai peternakan rakyat, dan bila melebihi jumlah tersebut, maka dikategorikan sebagai perusahaan peternakan. Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama ayam ras karena pada saat itulah siapapun boleh mengusahakan peternakan ayam ras, asal memenuhi persyaratan yang ditentukan. Dengan diberlakukannya Keppres No. 221990, maka muncul banyak peternakan ayam ras dalam skala besar yang dikelola dengan cara-cara modern, baik dalam hal budidaya maupun dalam pemasarannya.

2.2. Keterkaitan Agroindustri Pakan Ternak dengan Budidaya Ayam Ras