pakan di Jawa Barat sebenarnya lebih senang mengimpor bahan baku selain karena harganya lebih murah, kualitasnya lebih baik dan kontinuitas bahan baku
terjamin. Jawa Barat juga secara geografis dekat dengan pelabuhan masuknya barang impor di kota Jakarta sehingga dibutuhkan biaya transportasi yang kecil di
dalam mendapatkan bahan baku bungkil kedele. Hal ini terlihat dari perbedaan harga bungkil kedele yang besar, yang dibeli oleh industri pakan di Lampung dan
Jawa Barat. Di Lampung harga bungkil kedele rata-rata berkisar Rp. 2 108.31 per kg, sementara di Jawa Barat Rp. 1 097.78 per kg.
Kenyataan bahwa akhir-akhir ini perusahaan lebih banyak membeli bahan baku pakan raw material didalam negeri, tidak terlepas dari peran pemerintah
yang telah mengeluarkan kebijakan bagi industri pakan untuk lebih banyak membeli jagung dan bungkil kedele di dalam negeri. Pemerintah mewajibkan
importir membeli bungkil kedele dalam negeri dengan rasio impor 40 dibanding 60 persen.
Pada tahun 2000, industri pakan mulai menunjukkan pertumbuhan setelah produksi pakan turun hingga 60 persen akibat krisis ekonomi. Industri pakan
memfokuskan pengadaan jagung dari dalam negeri meskipun impor jagung masih dilakukan untuk menutupi kekurangan pasokan. Upaya industri pakan untuk
memperoleh jagung dalam negeri antara lain dilakukan dengan membuka ladang jagung sendiri dengan menggunakan benih hibrida, membuka pabrik pakan baru
di daerah sentra produksi jagung sehingga memungkinkan berhubungan langsung dengan petani, dan membuka serta membangun fasilitas pengeringan dan
pergudangan silo skala besar di daerah sentra produksi.
Sebagaimana diinginkan kemandirian pangan atau swasembada, begitu pula dalam penyediaan pakan, juga tengah diupayakan dengan keras kemandirian
pakan. Ketergantungan pakan ternak terhadap komoditi impor perlahan-lahan turun. Disamping itu, sedang digali potensi bahan baku pakan ternak yang
menjadi unggulan. Misalnya, sekarang ini terbukti dari data yang ada, ketersediaan bahan baku pakan lokal seperti jagung, semakin meringankan beban
produksi pakan ternak. Selain itu, salah satu industri pakan terkemuka di Lampung, beberapa tahun terakhir ini mengganti bungkil kedele sebagai sumber
protein dengan minyak kasar mentah kelapa atau kopra coconut oil dan minyak kasar mentah kelapa sawit crude palm oil. Kandungan energi CPO
mencapai 7 800 kkal, namun, persentasenya pada ransum paling tinggi hanya 4 persen karena pemakaian yang lebih tinggi akan menyulitkan dalam mencampur
pakan atau dapat menurunkan kualitas pellet yang dihasilkan. Mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lama, limbah sawit yang melimpah akan termanfaatkan
dengan baik sebagai bahan baku pakan ternak.
5.2. Perkembangan Industri Pakan Ternak di Lampung dan Jawa Barat
Meningkatnya permintaan daging ayam ras menyebabkan meningkatnya produksi daging dan populasi ayam ras di Indonesia. Selama periode 2001-2005,
jumlah produksi daging dan populasi ayam ras di Indonesia rata-rata mengalami peningkatan sebesar 9.9 persen dan 9.8 persen per tahun Statistik Peternakan,
2005. Meningkatnya produksi daging dan populasi ayam ras selanjutnya berdampak terhadap kenaikan permintaan pakan ayam ras. Permintaan pakan
yang meningkat tersebut harus diikuti oleh adanya peningkatan produksi pakan.
Produksi pakan pada tahun 1996 sebesar 4.3 juta ton dan menurun menjadi 2.7 juta ton pada tahun 1999, kemudian kembali meningkat berturut-turut menjadi 4.5
juta ton pada tahun 2000 dan mencapai 10 juta ton pada tahun 2003 Deptan, 2004.
Indonesia telah mempunyai pengalaman 25 tahun dalam membina usaha ternak rakyat, namun perkembangannya mengalami stagnasi dan tetap
bermasalah. Peternak ayam rakyat dalam 20 tahun terakhir telah berkembang silih berganti. Peternak rakyat yang kemarin telah jatuh pailit, sedangkan yang ada
sekarang sedang megap-megap. Maka salah jika ada dugaan peternak rakyat yang ada sekarang sudah berpengalaman 25 tahun dan mereka sekarang sudah mapan.
Peternak rakyat yang ada sekarang adalah peternak baru. Peternak rakyat, karena mereka memiliki kemampuan modal yang rendah, tidak akan pernah menjadi
mapan secara sendiri-sendiri. Mereka hanya bisa menjadi mapan, jika mereka bersatu dalam suatu organisasi yang mampu menghilangkan semua titik lemah
usaha kecil. Salah satu kesalahan kita pada masa lalu adalah mendorong pertumbuhan
investasi pabrik pakan, baik PMDN maupun PMA dengan mengambil lokasi Jawa Barat. Kebijaksanaan ini telah mendorong pertumbuhan usaha rakyat di Jawa
Barat pula. Padahal Jawa Barat bukanlah wilayah penghasil butir-butiran pakan ternak yang utama seperti jagung, kedele, kacang tanah, dan sebagainya. Namun
diakui bahwa Jawa Barat sangat dekat dengan wilayah konsumsi utama yaitu Jakarta. Kota ini memang menjadi andalan bagi semua produsen hasil pertanian
sampai sekarang.
Pengalaman dalam beberapa tahun terakhir memperlihatkan, bahwa peternak ayam rakyat yang berlokasi di wilayah sentra produksi bahan baku pakan
tidak begitu terusik dengan masalah harga pakan dibandingkan dengan peternak rakyat di Jawa Barat.
Pergeseran usaha rakyat ke wilayah produksi butir-butiran tidak hanya terjadi dalam wilayah propinsi tetapi juga antar propinsi. Hasil penelitian dan data
BPS memperlihatkan dalam periode 1976 sampai tahun 1985, usaha rakyat terkonsentrasi di wilayah Jabotabek. Namun setelah tahun 1986 sampai sekarang,
sebagian besar usaha rakyat bergeser ke wilayah sentra produksi butir-butiran. Pergeseran usaha rakyat antar propinsi terjadi dari Jawa Barat ke Jawa Timur,
Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan terakhir ke Lampung. Menurut sensus BPS 2003, usaha broiler dalam bentuk usaha rakyat hanya berkembang di delapan
propinsi, diantaranya Jawa Barat 35 persen, Jawa Timur 22 persen, Jawa Tengah 8 persen, Sumatera Utara 6 persen, serta sisanya di Riau, Bali,
Lampung dan Sulawesi Selatan masing-masing 3 persen. Hal ini juga terjadi untuk ayam ras petelur. Sebagian besar populasi ayam ras petelur berada pada
propinsi yang sama dengan ayam broiler. Sementara dari data produksi jagung BPS 2004, produksi jagung terpusat di Jawa Timur 37 persen, Jawa Tengah
16 persen, Lampung 11 persen, Sumatera Utara 6 persen dan Sulawesi Selatan 6 persen. Dari informasi ini terlihat bahwa dari 30 propinsi di Indonesia,
usaha rakyat hanya terdapat pada delapan propinsi dimana seluruhnya berada dalam wilayah penghasil butir-butiran pakan ternak.
Di propinsi Lampung, pada tahun 1999 terdapat enam pabrik pakan, sementara di tahun 2003 terdapat lima pabrik pakan. Ini artinya ada perusahaan
yang bangkrut dan menutup usahanya, namun digantikan oleh perusahaan baru dengan kapasitas produksi lebih besar. Di tahun 2001 sebuah perusahaan bernama
PT. Jaka Utama Kraftfutther telah menutup usahanya di Lampung. Kemudian di tahun 2003 masuk perusahaan baru, yang merupakan anak perusahaan PT. Anwar
Sierad di Jakarta, dengan nama PT. Sierad Grain. Sementara di Jawa Barat pada tahun 1999 terdapat 23 pabrik pakan dan diakhir tahun 2003 jumlahnya turun
menjadi 21 pabrik pakan. Bila dilihat dari kapasitas produksi pakan ternak di kawasan Lampung
rata-rata 648.43 ribu ton per tahun dengan lima industri pakan, didapat rataan efisiensi teknis kawasan 31.54 persen per tahun. Bandingkan dengan Jawa Barat
dimana kapasitas produksi pabrik pakan rata-rata 3 577.88 ribu ton per tahun, didapat rataan efisiensi teknis kawasan sebesar 51.32 persen per tahun. Hal ini
mengindikasikan bahwa dengan tingkat persaingan yang tinggi mendorong perusahaan berusaha dengan lebih efisien. Namun bila dilihat dari rataan efisiensi
teknis tiap perusahaan, pabrik pakan di Lampung ternyata lebih efisien dibandingkan Jawa Barat, dengan masing-masing 68.40 persen dan 59.17 persen.
Hal ini diduga karena di Lampung, penjualan pakan lebih didominasi oleh dua perusahaan besar, sehingga secara keseluruhan efisiensi teknisnya kecil.
Selain itu bila dilihat dari indikator pasar seperti rasio konsentrasi, maka di Lampung menunjukkan rataan yang lebih besar. Rasio konsentrasi dihitung
menggunakan Herfindahl-Hirschman Index, dan hasilnya di kawasan Lampung didapat rataan 0.2792, sementara di Jawa Barat rata-rata rasio konsentrasi yaitu
0.1458. Gambar 11 memperlihatkan rasio konsentrasi industri di dua propinsi mulai tahun 1999-2003.
0.00 0.05
0.10 0.15
0.20 0.25
0.30 0.35
0.40
1999 2000
2001 2002
2003 Tahun
Lampung Jabar
Gambar 11. Indeks Rasio Konsentrasi Industri Pakan Ternak di Propinsi Lampung dan Jawa Barat, 1999-2003
Sementara itu rata-rata pangsa pasar di Lampung adalah 29.35 persen dan di Jawa Barat 4.982 persen. Gambar 12 memperlihatkan pangsa pasar di dua
propinsi mulai tahun 1999-2003.
5 10
15 20
25 30
35
1999 2000
2001 2002
2003 Tahun
Lampung Jabar
Gambar 12. Pangsa pasar Industri Pakan Ternak di Propinsi Lampung dan Jawa Barat, 1999-2003