Sintesa dan Alternatif Solusi Kebijakan Pengelolaan

119 guna untuk menghindari konflik yang berkepanjangan. Peningkatan biaya transaksi hanya untuk proses awal membuat kesepakatan antar para stakeholder , dan dengan peningkatan biaya transaksi ini maka biaya penegakan status untuk dimasa yang akan datang menjadi lebih rendah.

4.11. Sintesa dan Alternatif Solusi Kebijakan Pengelolaan

Upaya pengelolaan mangrove yang baik adalah yang dapat menjaga keutuhan dan kelestarian mangrove disamping itu juga memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang besar kepada masyarakat secara berkelanjutan. Dari hasil analisis yang telah diuraikan mulai dari anak bab 5. 1. sampai dengan 5.9. maka dapat disintesis dan dirumuskan alternatif solusi dalam menangani permasalahan pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong. Berbagai alternatif solusi yang dapat ditempuh dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong guna menghasilkan performance yang baik untuk dimasa yang akan datang adalah dengan melakukan perbaikan dan penguatan struktur kelembagaan dalam pengelolaan ekosistem mangrove dengan memperhatikan berbagai situasi sebagai sumber interdependensi, antara lain : 1. Mengkaji ulang struktur kelembagaan seperti batas yuridiksi, property right dan aturan representatif kawasan lindung agar menjadi kuat, yaitu dengan tidak mengabaikan yuridiksi dan hak-hak pihak lain masyarakat, sehingga terbentuk batas yuridiksi, property right dan aturan representatif yang diterima dan diakui oleh pihak lain masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan merevisi terhadap tapal batas zonasi kawasan hutan lindung sehingga tidak ada lahan masyarakat khususnya pemukiman, lahan garapan, tambak dan pusat desa sebelum tahun 2000 yang masuk kedalam kawasan lindung. Untuk menentukan batas zonasi dapat dilakukan dengan melakukan negoisasi dengan pihak-pihak yang terkait. Dengan jelasnya batas yuridiksi dan property right semua pihak, maka konflik yang berkepanjangan dapat dihindari. 2. Untuk mengatasi kasus tambak di dalam kawasan hutan lindung yaitu pada tambak yang muncul setelah tahun 2000, maka alternatif solusi kebijakan yang dapat ditempuh adalah dengan memberikan akses terhadap kawasan lindung secara terbatas kepada masyarakat dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan. Masyarakat diberikan hak guna ijin untuk 120 tetap mengelola tambaknya tetapi harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama. Hal ini dilakukan dengan membuat kontrak sosial antara pemerintah DisHut dan DKP dengan masyarakat. Kontrak sosial tersebut berupa kesepakatan konservasi yang dituangkan dalam suatu dokumenkonsensus yang ditanda- tangani secara bersama-sama. Diharapkan kesepakatan konservasi yang terbentuk merupakan titik temu ideal antara kepentingan kehutanan yang tetap berpegang teguh pada peraturan perundang-undangan konservasi dengan kepentingan masyarakat setempat. Bentuk konsensus yang dapat dituangkan dalam kesepakatan konservasi diantaranya adalah bahwa masyarakat dapat tetap mengusahakan budidaya tambak udang yang berada di dalam kawasan lindung tetapi memiliki kewajiban-kewajiban sebagai berikut : a. Merehabilitasi tambak yang ada dengan penerapan pola tumpangsari tambak sylvofisherywanamina yang merupakan model tambak ramah lingkungan. Carateknik silvofishery yang diterapkan adalah model empang parit tradisional dengan perbandingan luasan antara antara mangrove dan parit adalah 80 : 20. Model empang parit tradisional dipilih karena secara struktur sudah sesuai dengan tambak yang ada. Caranya adalah dengan menanam pohon mangrove hendaknya jenis Rhizohopora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza di pematang maupun pelataran tambak. Menurut penelitian Sadi 2006 di Kec. Legonkulon Kab. Subang, pola tambak silvofishery yang memberikan keuntungan terbaik adalah pola 80 : 20 dengan produksi udang sebesar 683.33 kghathn dan biaya produksi total biaya tetap dan operasional sebesar Rp.14 . 115 . 000.00 hathn. Jika harga udang per kg sebesar Rp.42 . 000 . 00, maka nilai produksi kotor adalah sebesar Rp.28 . 699 . 860.00 hathn, dan jika dikurangi retribusi 1.5 Rp.430 . 498.00 hathn, maka nilai hasil produksi menjadi Rp.28 . 269 . 362.00 hathn. Nilai keuntungan atau pendapatan bersih adalah sebesar Rp.14 . 154 . 362.00 hathn. Jika luas tambak di Dabong 522.08 ha, maka nilai keuntungan tambak silvofishery 121 adalah sebesar Rp.7 . 389 . 709 . 365.00 thn dengan total pendapatan retribusi pemerintah daerah sebesar Rp.224 . 754 . 344.00 thn. b. Masyarakat tidak boleh memperluas dan membuka lahan tambak baru di dalam kawasan hutan lindung. c. Pihak pengelola kawasan Dinas Kehutanan dan DKP memberikan ijin usaha tambak ramah lingkungan. Sebagai konsekunsinya maka masyarakat petambak harus membayar retribusi sebesar 1.5 dari hasil panen kepada pemerintah daerah yang sebagian digunakan untuk biaya pengamanan dan pelestarian mangrove. Asumsi retribusi 1.5 adalah sebesar Rp.430 . 498.00 hathn, sehingga jika luas tambak silvofishery di Dabong 522.08 ha, maka total pendapatan retribusi pemerintah daerah sebesar Rp.224 . 754 . 344.00 thn. d. Masyarakat juga diberi kewajiban untuk menjaga keutuhan dan kelestarian kawasan serta berperan dalam usaha pengamanan kawasan hutan lindung e. Masyarakat tidak boleh memperjual belikan lahan tambak di kawasan lindung f. Masyarakat juga diberi kewajiban untuk melakukan usaha rehabilitasi pada lahan terbuka dengan menanam tanaman mangrove. Jenis mangrove yang ditanam hendak jenis yang cocok untuk daerah tersebut yaitu Rhizohopora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza karena kedua jenis ini memiliki indeks nilai penting yang tertinggi. Untuk memastikan hal tersebut dapat berjalan dengan baik, maka pihak Dinas Kehutanan sebagai pengelola kawasan seyogyanya melakukan monitoring dan evaluasi secara rutin untuk melihat apakah kesepakatan tersebut berjalan atau tidak. Jika terdapat pelangaran seperti pembukaan tambak baru oleh masyarakat, maka pihak berwajib Dinas Kehutanan dan Kepolisian dapat melakukan tindakan penghancuran tambak tersebut dan masyarakat yang melakukannya dapat diproses secara hukum. Dengan alternatif ini, maka diharapkan: a. Biaya penegakan kawasan yang semula tinggi menjadi rendah. b. Kondisi kelembagaan yang selama ini bercirikan inkompatibilitas dapat diatasi. Hal ini dikarenakan masyarakat sudah mendapat bagian yang 122 penting dalam pengelolaan hutan lindung. Masyarakat yang semula dianggap sebagai sumber ancaman terhadap terdegradasi sumberdaya alam mangrove sekarang dijadikan mitra dalam upaya pengamanan pelestarian sumberdaya alam mangrove. c. Partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan mangrove juga semakin baik dan meningkat. 3. Dinas Kehutanan dan DKP hendaknya saling berkoordinasi dan saling berkolaborasi dalam upaya melaksanakan program pelestarian mangrove dan pemberdayaan masyarakat secara bersama-sama. 4. Perlu dioptimalkan upaya pemanfaatan ekosistem mangrove dengan berbagai aktifitas pemanfaatan lain yang ramah lingkungan, sehingga manfaat kawasan ekosistem mangrove semakin besar dirasakan oleh semua lapisan masyarakat dan Negara. Alternative-alternatif pemanfaatan lain yang ramah lingkungan tersebut antara lain seperti budidaya lebah untuk mendapatkan madu. 5. Perlu adanya pengelolaan ekosistem mangrove yang partisipatif dengan melibatkan semua stakeholder terutama masyarakat. Perlu dibuat kelembagaan pengelolaan mangrove di tingkat masyarakat. Dengan berbagai alternatif solusi yang telah dipaparkan sebelumya, maka diharapkan performance yang baik dari pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong dapat dicapai, seperti: 1. Kelestarian lingkungan alam ekosistem mangrove meningkatlestari. Hal didasarkan pada asumsi bahwa dengan diterapkannya model tambak silvofishery pola empang parit tradisional dengan perbandingan luasan antara antara mangrove dan parit adalah 80 : 20, maka akan terjadi pertambahan luasan mangrove sebesar 417.66 ha dan luas lahan tambak yang terbuka menjadi hanya 104.42 ha dari yang sebelumnya 522.08 ha. Dengan terjadinya peningkatan luasan hutan mangrove sebesar 417.66 ha, maka luas mangrove menjadi 2 . 763.90 ha dari sebelumnya yang hanya seluas 2 . 346.24 ha. Bahkan luas mangrove ini 2 . 763.90 ha luasannya hampir sama dengan luas mangrove pada tahun 1991 2 . 849.01 ha. Nilai manfaat ekonomi pertambahan luasan mangrove sebesar 417.66 ha adalah sebesar 123 Rp.4 . 442 . 838 . 737.00 thn 417.66 ha x Rp.10 . 637 . 453.28 hathn. Selain itu potensi kerusakan hutan mangrove akibat ulah pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab akan menjadi kecil. Hal ini dikarenakan ekosistem mangrove ini telah dijaga oleh masyarakat, sehingga setiap perusak akan berhadapan dengan masyarakat. Selain itu jika ada kawasan mangrove yang rusak maka masyarakat akan melakukan rehabilitasi atas inisiatif sendiri dengan dibantu pengelola kawasan. 2. Potensi konflik sosial yang berkepanjangan dapat diatasi. Hal didasarkan pada asumsi bahwa dengan diberinya akses masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan lindung secara terbatas, maka sumber kehidupan masyarakat tidak terganggu. Selain itu pengakuan terhadap batas yuridiksi dan property right masyarakat akan meredam potensi konflik yang selama ini sudah timbul. 3. Kondisi sosial ekonomi kualitas kehidupan masyarakat semakin baik dan meningkat. Hal didasarkan pada asumsi bahwa dengan diberinya akses masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan lindung secara terbatas, pembinaan dan pemberdayaan masyarakat, maka kondisi perekonomian akan meningkat dan desa akan menjadi lebih maju. Dengan usaha tambak model silvofishery dengan pola empang parit tradisional juga akan mengangkat perekonomian masyarakat Desa Dabong. Menurut penelitian Sadi 2006, pola tambak silvofishery 80 : 20 di Kec. Legonkulon Kab. Subang memiliki nilai keuntungan atau pendapatan bersih adalah sebesar Rp.14 . 154 . 362.00 hathn. Jika luas tambak di Dabong 522.08 ha, maka nilai keuntungan tambak silvofishery adalah sebesar Rp.7 . 389 . 709 . 365.00 thn dengan total pendapatan retribusi ke pemerintah daerah sebesar Rp. 224 . 754 . 344.00 thn. Untuk melengkapi kajian pengelolaan, peneliti juga memaparkan beberapa peraturan perundang-undangan yang relevan dan mendukung pelaksanaan pengelolaan hutan lindung mangrove di Desa Dabong diantaranya seperti: UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Keppres No.32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, PP No. 471997 tentang RTRWN, Permenhut No. P. 70Menhut-II2008 tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan, dan 124 lain-lain, sebagai dasar dalam pengambilan keputusan-keputusan penting Tabel 39. Tabel 39. Beberapa peraturan perundang-undangan yang relevan untuk mendukung pelaksanaan pengelolaan hutan lindung mangrove di Desa Dabong No Peraturan Perundang-Undangan I UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, antara lain: 1. Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. 2. Pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu. 3. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung dan dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. 4. Penggunaan kawasan hutan yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan pemerintah. 5. Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan. 6. Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan. Selain hak sebagaimana dimaksud, masyarakat dapat: a. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan; c. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung. 7. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. 8. Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 125 Tabel 39 lanjutan No Peraturan Perundang-Undangan II Keppres No.32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan PP No. 471997 tentang RTRWN, antara lain: 1. Pengelolaan kawasan lindung adalah upaya penetapan, pelestarian dan pengendalian pemanfaatan kawasan lindung. 2. Pemerintah Daerah Tingkat II mengupayakan kesadaran masyarakat akan tanggung jawabnya dalam pengelolaan kawasan lindung dan Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II mengumumkan kawasan- kawasan lindung kepada masyarakat. 3. Di dalam kawasan lindung dilarang melakukan kegiatan budidaya, kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung. 4. Kegiatan budidaya yang sudah ada di kawasan lindung yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup dikenakan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak lingkungan. 5. Apabila menurut Analisis Mengenai Dampak Lingkungan kegiatan budidaya mengganggu fungsi lindung harus dicegah perkembangannya, dan fungsi sebagai kawasan lindung dikembalikan secara bertahap. 6. Pemerintah Daerah Tingkat II wajib mengendalikan pemanfaatan ruang di kawasan lindung yang meliputi kegiatan pemantauan, pengawasan dan penertiban. 7. Apabila Pemerintah Daerah Tingkat II tidak dapat menyelesaikan pengendalian pemanfaatan kawasan lindung, wajib diajukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I untuk diproses langkah tindak lanjutnya. 8. Apabila Gubernur Kepala Daerah Tingkat I tidak dapat menyelesaikan pengendalian pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 3, wajib diajukan kepada Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional. 9. Penetapan kawasan lindung apabila dipandang perlu dapat disempurnakan dalam waktu setiap lima tahun sekali. 126 Tabel 39 lanjutan No Peraturan Perundang-Undangan III Permenhut No. P. 70Menhut-II2008 tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan, antara lain: 1. Sasaran lokasi kegiatan rehabilitasi hutan mangrove salah satunya adalah di dalam kawasan hutan pada hutan lindung yang terdeforestasi, yang dikelola oleh KabupatenKota, dan di luar kawasan hutan pada lahan tegakan mangrove yang telah mengalami degradasideforestasi sehingga terganggu fungsi ekologis, sosial dan ekonominya. Kriteria kawasan pantai berhutan bakau adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat. 2. Salah satu alternatif pola tanaman yang dapat diterapkan pada kegiatan rehabilitasi hutan mangrove adalah pola tanam tumpangsari tambak Sylvofisherywanamina. 3. Pola tumpangsari tambak sylvofisherywanamina terdiri dari 4 empat macam cara yaitu : empang parit tradisional, komplangan, empang parit terbuka dan kao-kao Gambar 20. Gambar 20. Macam-macam teknik silvofishery: empang parit tradisional, komplangan, empang parit terbuka dan kao- kao 127 Dari peraturan-peraturan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perangkat aturan yang dikembangkan dalam rangka pengelolaan hutan lindung masih bisa mengakomodasi kepentingan berbagai stakeholders terutama masyarakat setempat. Guna menjamin keberhasilan dari pengelolaan hutan lindung mangrove di Desa Dabong, maka diperlukan upaya-upaya kolaborasi membangun suatu sistem kelembagaan yang sistematis dan koordinatif, dilandasi oleh kesepahaman dan kesetaraan antar para stakeholders yang terlibat didalamnya. 128

5. KESIMPULAN DAN SARAN