Nilai Ekonomi Tambak di Kawasan Hutan Mangrove Dabong Sejarah dan Pola Penguasaan Lahan di Kawasan Dabong

91 masyarakat setempat. Dengan demikian harapan kegiatan pembangunan yang berkelanjutan sustainable development di Desa Dabong dapat terwujud. Menurut Mc Neely 1998, masyarakat wilayah pesisir khususnya yang berkaitan dengan hutan mangrove secara turun-temurun telah melaksanakan berbagai pemanfaatan hutan mangrove sebagai sumber ekonominya, sehingga dampak dari kerusakan tidak dapat dihindarkan kecuali dengan adanya pengelolaan yang tepat.

4.7. Nilai Ekonomi Tambak di Kawasan Hutan Mangrove Dabong

Sebagian area hutan mangrove di kawasan pesisir Dabong oleh masyarakat dimanfaatkan atau dialih fungsikan menjadi tambak dengan pola tradisional. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, jumlah petak tambak saat ini adalah 127 petak dengan luas kotor 564.35 hektar luas bersih 469.75 hektar. Terdapat 59 orang petani tambak yang mengusahakanmemiliki tambak ini dan tergabung dalam 7 kelompok tani tambak serta usaha perorangan Komoditi tambak yang dibudidayakan oleh masyarakat adalah udang vannamei. Udang vannemei menjadi pilihan karena secara ekonomis udang ini bernilai tinggi yaitu harga ditingkat petambak Rp.42 . 000.00 per kilogramnya. Produk udang ini sebagian besar dijual kepada perusahaan-perusahaan pembekuan udang cold storage di Pontianak dengan menggunakan alat transportasi perahu motor tambang. Berdasarkan hasil wawancara dengan petambak, total produksi udang vannemei di Desa Dabong pertahunnya mencapai 119.6480 ton per tahun dengan nilai kotor mencapai Rp.5 . 025 . 216 . 000.00 per tahun. Rincian nilai manfaat ekonomi tambak yang berada di kawasan hutan lindung mangrove Desa Dabong dapat dilihat pada Tabel 36. 92 Tabel 36. Nilai manfaat ekonomi tambak No Rincian Satuan Jumlah 1 Luas Tambak Ha 564.35 2 Jumlah Petak Unit 127.00 3 Jumlah Produksi tonthn 119.65 4 Harga jual Rpkg 42 000.00 5 Nilai Rpthn 5 025 216 000.00 6 Biaya penyusutaninvestasi Rpthn 411 031 250.00 7 Biaya operasional Rpthn 2 604 098 350.00 8 Pendapatan bersih Rpthn 2 010 086 400.00 9 Pendapatan per hektar Rpthn 3 561 772.66 Sumber : Hasil olahan data primer 2009.

4.8. Sejarah dan Pola Penguasaan Lahan di Kawasan Dabong

Dari hasil wawancara dengan tokoh masyarakat, Desa Dabong diperkirakan sudah ada sejak tahun 1871 dimana saat itu berdiri Kerajaan Kubu, dan penduduk desa sekarang merupakan generasi yang ke 8 delapan. Pendiri desa adalah seorang saudagar dari Daek Tanjung Pinang yang bernama juragan Saleh yang kapalnya terdampar di daerah ini. Juragan ini beserta pengikutnya akhirnya memutuskan untuk membuka kampung di daerah ini. Makam juragan Saleh saat ini masih ada yaitu di Dusun Mekar Jaya, Desa Dabong. Untuk memperkuat bukti bahwa Desa Dabong sudah lama ada, masyarakat juga memiliki bukti surat kepemilikan tanah tahun 1937 yang dikeluarkan oleh Kerajaan Kubu Nomor 36. Pada tahun 1981-1982, wilayah Dabong dimasuki oleh 2 dua perusahaan HPH yaitu CV. Agung Permai dan CV. Hasil Rimba yang menebang hutan bakau di wilayah ini. Pada tahun 1982 kedua perusahaan ini meninggalkan lahan tersebut dalam keadaan kosong tanpa adanya reboisasi. Pada tahun 1982, kawasan mangrove di desa Dabong dijadikan hutan lindung berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan TGHK yang tertuang dalam SK Menteri Pertanian No. 757kptsUm101982. Pada tahun 2000, berdasarkan SK MenHut No. 259kpts-II2000 kawasan tersebut ditetapkan statusnya menjadi Kawasan Hutan Lindung Bakau. Penetapan kawasan hutan lindung mangrove ini berdasarkan padu-serasi antara Tata Guna Hutan Kesepakatan TGHK yang tertuang dalam SK Menteri Pertanian Nomor 757KptsUm101982, Perda Nomor I1995 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Provinsi 93 Kalimantan Barat dan Peraturan Pemerintah PP Nomor 471999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Nasional. Penetapan kawasan hutan lindung mangrove ini ditujukan untuk melindungi dan sebagai penyangga plasma nuftah kehidupan di wilayah pesisir dan lautan. Menurut masyarakat, proses penetapan kawasan menjadi hutan lindung bakau dilakukan tanpa sepengetahuan dan tanpa melibatkan masyarakat yang sudah mendiami kawasan ini secara turun temurun. Masyarakat baru mengetahui bahwa wilayah yang mereka tempati merupakan kawasan hutan lindung setelah beberapa dari masyarakat 58 orang yang membuka lahan tambak di kawasan ini ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana mengerjakan, memanfaatkan dan menduduki kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 50 ayat 3 huruf a junto pasal 78 ayat 2, UU No. 41 tahun 1999. Kejadian ini bermula ketika tim gabungan dari Dinas Kehutanan, Kepolisian, Koramil dan aparat Kecamatan turun ke lapangan untuk melakukan pengecekan di kawasan hutan lindung mangrove. Pada bulan Maret 2009, tim kedua sebanyak 15 orang dari Polda Kalimantan Barat dan Dinas Kehutanan Kubu Raya yang melakukan wawancara dengan masyarakat dan mengukur area yang dianggap tambak selama 3 hari. Selang beberapa hari yaitu masih pada bulan Maret 2009 sebanyak 58 warga petambak dipanggil Polda untuk dijadikan saksi tersangaka. Pada bulan April 2009, sebanyak 58 warga tersebut dipanggil Polda untuk didengarkan keterangannya sebagai tersangka. Terkait dengan kasus ini, pada tanggal 2 Mei 2009 Pemerintah Daerah memfasilitasi pertemuan antara perwakilan warga dengan Bupati, Dinas Kehutanan, Dinas Perikanan, perwakilan Polda dan segenap Muspida di Kabupaten Kubu Raya untuk membahas solusi dari permasalahan ini. Dalam pertemuan ini, Bupati Kubu Raya Muda Mahendra, S.H. menyarankan supaya proses penyidikan tetap dilakukan dan warga boleh melakukan aktivitas di tambaknya masing-masing. Sementara Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kubu Raya Sadik Aziz mengatakan kalau kasus ini tidak bisa diselesaikan, warga akan dipindahkan dari Desa Dabong dan akan disiapkan anggarannya. Rencana relokasi ini yang membuat warga resah dan cemas. Hal ini dikarenakan 94 warga sudah lama tinggal di daerah tersebut dan sudah memiliki sistem tatanan sosial serta kehidupanya tergantung dengan sumberdaya pesisir di daerah tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat, pembukaan lahan tambak di Desa Dabong yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan hutan lindung mangrove diperkirakan sudah lama yaitu sejak tahun 1991. Pada tahun 1991-1992 salah seorang warga keturunan Bugis yang bernama ”Anwar” membuka tambak secara manual tanpa bantuan alat berat dan langsung berhasil sehingga memotivasi warga yang lain untuk membuka tambak. Pada tahun 1994, sebanyak 40 warga mulai membuat tambak dengan luas total 300 ha. Tambak dibuat secara gotong-royong dengan cara patungan menyewa alat berat ”ekskavator” dan sistem pembayarannya dilakukan dengan cara cicilan ketika sudah panen. Untuk selanjutnya pembukaan lahan di kawasan lindung untuk terus berlanjut sampai tahun 2008 dengan luas total tambak sebesar 564.35 ha. Untuk status kepemilikan lahan, sebagian besar masyarakat tidak memiliki Sertifikat Hak Milik Tanah karena selain lokasi desa mereka yang sangat terpencil dan jauh dari pusat pemerintahan sehingga sulit dalam pengurusan perijinan juga dikarenakan wilayah yang mereka tempati sudah terlanjur ditetapkan sebagai hutan lindung pada tahun 2000. Pola penguasaankepemilikan lahan umumnya dilakukan dengan membuka lahan dengan meminta ijin dari kepala desa. Biasanya lahan yang telah dimanfaatkan maupun sudah tidak dimanfaatkan lagi oleh seorang masyarakat, tidak boleh dimanfaatkan oleh masyarakat lainnya tanpa ada ijin dari pemilik lahan yang bersangkutan. Secara umum ada 3 tiga proses status kepemilikan lahan yaitu: 1 Masyarakat pada umumnya memperoleh lahan mereka dengan cara membuka sendiri, 2 membayar ganti rugimembeli kepada pemilik sebelumnya maupun 3 warisan dari pemilik sebelumnya. Membuka sendiri artinya, masyarakat tersebut membuka hutan maupun semak belukar untuk dijadikan lahan garapan, tempat tinggal maupun tambak dan belum terjadi proses pindah tangan. Ganti rugimembeli adalah proses pindah tangan dari lahan melalui proses transaksi antara kedua belah pihak dimana terjadi proses pembayaran sejumlah uang dari pihak kedua kepada pihak pertama agar supaya kepemilikan 95 tanah berpindah dari pihak pertama kepihak kedua. Sedangkan warisan artinya masyarakat mendapatkan lahan dari anggota keluarga lainnya.

4.9. Pandangan Masyarakat Terhadap Pengelolaan Ekosistem Mangrove