29 Terakhir adalah daerah D sering pula disebut daerah interaksi bersama zone of
win-win partnership dimana fokus utama pembangunan berbasis pada sistem
sosial ekologi berada. Dalam konteks ini pandangan ketiga pilar pengelolaan berbasis sosial ekosistem menjadi sama penting dan diwujudkan dalam kebijakan
pembangunan yang komprehensif dan terpadu.
2.8. Pengelolaan Ekosistem Mangrove yang Berkelanjutan
Pengelolaan ekosistem mangrove merupakan suatu upaya untuk memelihara, melindungi dan merehabilitasi sehinga pemanfaatan terhadap
ekosistem ini dapat berkelanjutan. Menurut Aksornkoae 1993 pengelolaan mangrove yang baik sangat penting untuk saat ini dan tujuan dari pengelolaan ini
antara lain harus: 1.
Mengelola hutan mangrove untuk kepentingan produksi seperti kayu- kayuan, kayu api, arang, untuk memenuhi domestik maupun ekspor.
2. Mengelola hutan mangrove untuk kepentingan tidak langsung seperti
daerah pemijahan dan mencari makan bebeberapa organisme darat dan laut, pelindung badai, pencegah banjir dan erosi tanah.
3. Mengelola hutan mangrove sebagai satu kesatuan yang terpadu dari
berbagai ekosistem pantai, bukan sebagai ekosistem yang terisolasi. Namun demikian pada hakekatnya dalam kerangka pengelolaan dan
pelestarian mangrove terdapat tiga konsep yang dapat diterapkan. Ketiga konsep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove, pemanfaatan hutan mangrove dan
rehabilitasi hutan mangrove. Ketiga konsep ini memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan
agar dapat lestari dan pemanfaatannya dapat berkelanjutan. 1
Perlindungan hutan mangove Pelindungan terhadap hutan mangrove merupakan salah satu upaya
pengelolaan berkelanjutan terhadap ekosistem ini. Wujud nyata perlindungan dimaksud dapat dilakukan melalui penetapan suatu kawasan konservasi suatu
bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Bentuk perlindungan seperti ini cukup efektif dilakukan dan membawa hasil. Upaya perlindungan
ini berkaitan erat dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan
30 Menteri Kehutanan nomor : KB.550 264 kpts 1984 dan nomor: 082 Kpts-
II 1984 tanggal 30 April 1984 dimana diantaranya disebutkan bahwa lebar sabuk hijau hutan mangrove adalah 200 m. Surat keputusan bersama itu
dibuat selain dengan tujuan utama memberikan legitimasi terhadap perlindungan hutan mangrove, juga buat untuk menyelaraskan peraturan
mengenai areal perlindungan hutan mangrove diantara instansi terkait. Surat keputusan bersama ini lebih lanjut dijabarkan oleh Depatemen
Kehutanan dengan mengelakan Surat Edaran Nomor: 507 IV-BPHH 1990 yang diantaranya berisi penentuan lebar sabuk hijau paa hutan mangrove
yaitu sebsar 200 m disepanjang pantai dan 50 m disepanjang tepi sungai. Berkaitan dengan perlindungan ekosistem mangrove dengan penentuan
kawasan konservasi seperti diuraikan diatas, perlu dilakukan suatu zonasi terhadap ekosistem mangrove dengan tujuan pengaturan berbagai bentuk
kepentingan terhadap ekosistem ini. Menurut Aksornkoae 1993 zonasi mangrove meupakan salah satu langkah pertama untuk pengawasan dan
pengelolaan ekosistem mangrove secaa berkelanjutan. Menurut persetujuan internasional terhadap zonasi mangrove tedapat 3 zona utama yaitu:
a. Zona pemeliharaan preservation zone merupakan zona yang kaya
akan hutan mangrove, tidak terganggu oleh aktivitas manusia yang menyediakan sumber makanan dan daerah berbiak biota laut. Zona ini
juga melindungi daerah pantai dari angin, badai dan erosi tanah. b.
Zona perlindungan conservation zone merupakan zona dengan hutan mangrove yang sedikit. Biasanya ditanam untuk tujuan tertentu dari
pemerintah, ditebang dan dibiarkan hutan mangrove tersebut untuk regenerasi. Pada zona ini juga biasa digunakan sebagai tempat
pemancingan oleh masyarakat local. c.
Zona pengembangan development zone merupakan zona dengan penutupan mangrove yang sangat kecil kerusakan parah dan
dibutuhkan penghutanan kembali atau pengelolaan untuk kepentingan lain.
31 2
Pemanfaatan hutan mangrove Dari segi pemanfaatan, Inoue et al. 1999 menyatakan mangrove sebagai
suatu ekosistem pada umumnya dapat dimanfaatkan secara langsung dan tidak langsung antara lain yaitu arang, kayu bakar, bahan bangunan, chip,
tannin , nipah, obat-obatan, bahan makanan, perikanan penangkapan ikan,
tambak, pertanian, perkebunan dan pariwisata. 3
Rehabilitasi hutan mangove Rehabilitasi merupakan kegiatanupaya, termasuk didalamnya pemulihan dan
penciptaan habitat dengan mengubah sistem yang rusak menjadi lebih stabil. Pemulihan merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan suatu ekosistem
atau memperbarui untuk kembali pada fungsi alamiahnya. Namun demikian, rehabilitasi mangrove sering diartikan secara sederhana, yaitu menanam
mangrove atau membenihkan mangrove lalu menanamnya tanpa adanya penilaian yang memadai dan evaluasi terhadap keberhasilan penanam pada
level ekosistem. Selain itu, untuk alasan ekonomi usaha pemulihan kembali ekosisetm mangrove seringkali terbatas pada jenis-jenis tertentu dari
mangrove dua atau tiga jenis. Hal ini meneyebabkan perubahan terhadap habitat dan penurunan fungsi ekologi ekosistem magrove tersebut karena
sifatnya yang homogen dibandingkan dengan yang alami heterogen dan banyak spesies yang merupakan biodiversitas dalam kaitannya dengan
kekayaan genetic Macintosh et al. 2002. Pelestarian hutan mangrove merupakan usaha yang sangat kompleks untuk
dilaksanakan, karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif dari segenap pihak yang berada disekitar kawasan. Namun demikian, sifat akomodatif
ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keberpihakan terhadap masyarakat yang sangat rentan terhadap sumber daya mangrove diberikan porsi yang lebih
besar. Menurut Sembiring dan Husbaini 1999, pemberian porsi yang besar kepada masyarakat harus diiringi dengan upaya pembangunan kesadaran dan
persepsi pentingnya arti dan peran hutan mangrove itu sendiri. Pandangan masyarakat yang selama ini hanya melihat kepentingan mangrove dari sudut
ekonomi, secara berangsur-angsur harus digiring ke arah kepentingan bioekologis.
32 Pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan diharapkan dapat
mempertahankan poduktivitas ekosistem mangrove dan kawasan sekitarnya, agar diperoleh hasil yang lestari.
3. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kawasan ekosistem mangrove Desa Dabong selama 3 bulan, dari bulan Maret sampai Mei 2009. Desa Dabong terletak
diantara muara Sungai Kapuas dan Selat Padang Tikar yang berhadapan langsung dengan Laut Natuna. Secara geografis, letak Desa Dabong berada pada titik
koordinat 00
o
33’ 57,2” LS - 109
o
15’ 29,6” BT. Desa Dabong secara administrasi merupakan salah satu Desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu
Raya, Kalimantan Barat. Peta lokasi penelitian dan titik sampling mangrove dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Peta lokasi penelitian dan titik sampling mangrove Luas kawasan Desa Dabong mencapai 16.600 Ha 166 km
2
dan merupakan Desa terluas kedua di Kecamatan Kubu setelah Desa Kubu 235,08
km
2
. Di dalam kawasan Desa Dabong terdapat kawasan pemukiman Dusun Mekar Jaya, Dusun Selamat Jaya Sembuluk dan Dusun Meriam Jaya
pemukiman Transmigrasi dengan 1 Rukun Warga RW dan 13 Rukun Tetangga RT. Secara administratif batas wilayah Desa Dabong adalah sebagai berikut: