Aturan representatif pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong

113 3. Biaya penegakan property right yang tinggi. Hal ini dikarenakan sulitnya aksebilitas menuju kawasan hutan karena jauh dan terpencilnya kawasan. Untuk menuju ke lokasi harus menggunakan jalur transportasi air, sehingga biaya pengamanan menjadi sangat mahal. Biaya sewa satu kapal speed kapasitas 4 orang per hari dibutuhkan biaya antara Rp.1 . 200 . 000.00 sampai Rp.2 . 000 . 000.00.

c. Aturan representatif pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong

Aturan representasi mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap performance, akan ditentukan oleh kaidah-kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam proses ini bentuk bentuk partisipasi tidak ditentukan oleh rupiah seperti halnya aturan representasi melalui pasar. Partisipasi lebih banyak ditentukan oleh keputusan politik organisasi. Penelitian ini mengkaji mengenai aturan representasi yang digunakan dalam pengambilan keputusan penting atas akses sumberdaya alam di dalam kawasan hutan lindung mengrove di Desa Dabong. Dengan ini diharapankan peneliti mendapatkan gambaran yang jelas menyangkut bentuk aturan representatif yang ada dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong. Aturan representasi dalam pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan hutan lindung mangrove Desa Dabong ditantukan oleh peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan kehutanan, dimana keputusan pemerintah kehutanan menentukan kebijakan pengelolaan kawasan hutan lindung mangrove. Dalam hal ini maka Dinas Kehutanan merupakan pihak yang mempunyai peran penting dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi pihak lain seperti masyarakat dan Dinas Kelautan dan Perikanan dalam pengambilan keputausan hanya bersifat saran dan masukan saja, bukan sebagai penentu kebijakan. Berdasarkan hal tersebut, aturan representatif dalam pengelolaan hutan lindung mangrove Desa Dabong pada saat ini masih lemah atau kurang representatif. Hal ini karena aturan yang dibuat masih belum mewakili semua kepentingan stakeholder. Pengambilan keputusanperaturan ditentukan secara sepihak tanpa melibatkan stakeholder terutama masyarakat sekitar kawasan hutan 114 lindung.Kajian aturan representatif di dalam kawasan hutan lindung mangrove Desa Dabong dapat dilihat pada Tabel 38. Tabel 38. Aturan representatif di dalam kawasan hutan lindung mangrove mengacu pada PP No. 6 tahun 2007 dan Keppres No.32 tahun 1990. Aturan representatif Uraian Apa yang boleh diakses dan aturannya Pemanfaatan hutan lindung 1. Pemanfaatan kawasan Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung dilakukan dengan ketentuan : a. tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya fungsi lindung b. pengolahan tanah terbatas tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi c. tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat d. tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam 2. Pemanfaatan jasa lingkungan Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung, dilakukan dengan ketentuan: a. tidak mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya b. tidak mengubah bentang alam 3. Tidak merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungan 4. Pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung dilakukan dengan ketentuan: a. hasil hutan bukan kayu yang dipungut harus sudah tersedia secara alami b. tidak merusak lingkungan c. tidak mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya Pada hutan lindung, dilarang: a memungut hasil hutan bukan kayu yang banyaknya melebihi kemampuan produktifitas lestarinya; b memungut beberapa jenis hasil hutan yang dilindungi oleh undang-undang. Setiap kegiatan pemanfaatan hutan yang dilakukan wajib disertai dengan izin pemanfaatan hutan Pemanfaatan hutan yang kegiatannya dapat mengubah bentang alam dan mempengaruhi lingkungan, diperlukan analisis mengenai dampak lingkungan AMDAL sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 115 Tabel 38 lanjutan. Aturan representatif Uraian Apa yang boleh diakses dan aturannya lanjutan Apabila menurut Analisis Mengenai Dampak Lingkungan kegiatan budidaya mengganggu fungsi lindung harus dicegah perkembangannya, dan fungsi sebagai kawasan lindung dikembalikan secara bertahap. Sumber: PP No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan; dan Keppres No.32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Siapa yang boleh mengakses 1. Ijin Usaha Pemanfaatan Kawasan IUPK dapat diberikan kepada: a perorangan; atau b koperasi. 2. Ijin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan IUPJL dapat diberikan kepada: a perorangan; b koperasi; c BUMS Indonesia; d BUMN; atau e BUMD. 3. Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung hanya boleh dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan. Sumber: PP No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Partisipasi dalam pengambilan keputusan Pihak yang mempunyai peran penting dalam proses pengambilan keputusan adalah pengelola kawasan lindung yaitu Pemerintah Daerah yang wewenangnya dilimpahkan kepada Dinas Kehutanan. Partisipasi pihak lain seperti masyarakat dan Dinas Kelautan dan Perikanan dalam pengambilan keputausan hanya bersifat saran dan masukan saja, bukan sebagai penentu kebijakan. Berdasarkan analisis kelembagaan terhadap berbagai situasi sebagai sumber interdependensi dan struktur institusi batas yuridiksi, property right dan aturan representatif dari pengelolaan mangrove di Desa Dabong selama ini, maka telah meyebabkan kondisi performance yang buruk, antara lain: 1. Potensi konflik sosial yang tinggi Dengan pola kelembagaan pengelolaan mangrove selama ini, telah membuat masyarakat resah dan rawan anarki karena terancamnya kelangsungan hidup mereka. Batas yuridiksi hutan lindung mencakup kawasan hutan mangrove, pemukiman, tambak dan lahan garapan masyarakat dengan luas total 4895.5 ha. 116 Masyarakat terancam dipidanakan dan diusir dari kawasan yang telah lama mereka tinggali karena dianggap melakukan kegiatan perambahan hutan, padahal menurut masyarakat penguasaan kawasan lebih dahulu dilakukan masyarakat tahun 1871 dari pada pengelola kawasan lindung tahun 2000. Untuk mempertahankan hak hidupnya tentunya masyarakat akan melakukan apa saja walaupun harus dengan jalan kekerasan. 2. Lingkungan alam yang terancam terdegradasi Dengan pola kelembagaan pengelolaan mangrove selama ini, telah membuat terdegradasinya hutan mangrove. Dalam kurun waktu 16 tahun telah terjadi penurunan luas mencapai 502.77 ha 17.65 atau 31.42 hatahun akibat dikonversi menjadi tambak serta penebangan liar, sehingga dapat diperkirakan dalam 74.67 tahun yang akan datang hutan mangrove yang tersisa akan habis jika masalah ini tidak segera diatasi. Nilai ekonomi ekosistem mangrove di Desa Dabong yang hilang selama ini adalah sebasar Rp.5 348 192 386.00 per tahun 502.77 ha x Rp.10 637 453.28 hathn. Kondisi ini terjadi karena upaya penegakan status lindung yang lemah akibat biaya penegakan status yang tinggi. Perlu pelibatan dan pemberdayaan masyarakat agar tidak terjadi biaya penegakan kawasan lindung yang tinggi. Ancaman masyarakat yang marah akibat terganggunya sumber penghidupan mereka juga bisa dilampiaskan dengan cara merusak lingkungan mangrove. Hal ini justru akan memperparah ancaman kerusakan terhadap lingkungan. 3. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang buruk. Dengan pola kelembagaan pengelolaan mangrove selama ini masih belum bisa membuat kondisi sosial ekonomi masyarakat menjadi lebih baik. Desa Dabong masih tetap menjadi desa yang terpencil dengan kondisi sosial ekonomi yang masih terbelakang. Kondisi sarana prasarana umum, tingkat pendidikan, pelayanan kesehatan dan perekonomian masih sangat minim dan rendah. Dengan berkembangnya kasus masuknya wilayah pemukiman, tambak dan lahan garapan masyarakat kedalam kawasan hutan lindung, maka aktifitas 117 perekonomian masyarakat menjadi terhambat. Sebagian petambak sudah tidak melakukan budidaya udang lagi semenjak berkembangnya kasus ini akibat keresahan. Begitu juga untuk aktifitas perekonomian lainya juga terganggu. Jika kondisi ini dibiarkan tanpa adanya solusi pemecahan masalah, maka diperkirakan kondisi sosial ekonomi masyarakat akan semakin terpuruk. Performance yang buruk dari pengelolaan mangrove selama ini disebabkan oleh struktur kelembagaan yang lemah dan kurang memperhatikan berbagai situasi sebagai sumber interdependensi. Menurut Schmid and Allan 1987, perubahan institusi akan dapat menghasilkan performance yang berbeda apabila perubahan tersebut dapat mengkontrol sumber interdependensi antar individu. Struktur kelembagaan batas juridiksi, property rights, dan aturan representasi merupakan hal penting dalam memecahkan masalah ini, yaitu bagaimana pertentangan kepentingan dipecahkan dan apa akibatnya terhadap performance . Performance yang baik dari kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong yaitu kelestarian lingkungan alam ekosistem mangrove yang meningkatlestari, kondisi sosial ekonomi masyarakat yang semakin baik dan rendahnya potensi konflik sosial dengan biaya penegakan status yang rendah. Untuk itu perlu dilakukan perbaikan dan penguatan struktur kelembagaan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong dengan memperhatikan berbagai situasi sebagai sumber interdependensi agar menghasilkan performance yang lebih baik. Struktur kelembagaan yang baik akan menghasilan performance yang baik sesuai yang diharapkan oleh semua pihak. Untuk mendapatkan performance yang baik tersebut, berdasarkan analisa dari berbagai sumber interdependensi dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong yang telah dijabarkan sebelumnya, maka alternatif kelembagaan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Untuk mengatasi kondisi kelembagaan yang bercirikan inkompatibilitas, maka hendaknya: a. Masyarakat diberikan akses secara terbatas dalam pemanfaatan sumberdaya di kawasan hutan lindung yaitu dengan dibaginya sharing 118 batas yuridiksi pengelola kawasan akan wilayah yang sudah terkonversi menjadi tambak di kawasan hutan lindung kepada masyarakat dengan pola silvofishery, b. Dikeluarkannya kawasan pemukiman dan lahan garapan masyarakat yang sudah ada sebelum tahun 2000 yaitu sebelum kawasan ditetapkan menjadi hutan lindung dari kawasan hutan lindung mangrove yaitu dengan dikeluarkannya batas yuridiksi pengelola kawasan yang berupa kawasan pemukiman dan lahan garapan masyarakat yang sudah ada sebelum tahun 2000 dari kawasan hutan lindung mangrove. 2. Untuk mengatasi kondisi kelembagaan yang bercirikan biaya eksklusi tinggi high exclusion cost , maka hendaknya: a. Masyarakat yang telah diberikan akses terhadap pemanfaatan sumberdaya di kawasan hutan lindung dibagi sebagian batas yuridiksi pengelola kawasan diberikan tanggung jawab dan kewajiban untuk menjaga keutuhan dan kelestarian seluruh kawasan kawasan hutan lindung mangrove. b. Pengoptimalan pemanfaatan hutan lindung yang lestari dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sehingga ada pendapatan bagi pengelola kawasan. 3. Untuk mengatasi kondisi tingginya ancaman terhadap sumberdaya dan potensi konflik sosial yang besar karena minimnya biaya transaksi pada saat penetapan kawasan, maka hendaknya: a. Pengelola kawasan hendaknya mengalokasikan dan mengeluarkan anggaran biaya untuk keperluan negosiasi dalam proses penentuan batas yuridiksi, property right dan aturan representatif kepada para stakeholder. b. Perlu adanya pengelolaan yang partisipatif yaitu dengan membuat kontrak sosial antara para stakeholder yaitu antara pengelola kawasanDinas Kehutanan dengan masyarakat dan DKP terkait dengan pengelolaan mangrove. Kontrak sosial tersebut berupa kesepakatan konservasi yang dituangkan dalam suatu dokumenkonsensus yang ditanda-tangani secara bersama-sama. Hal ini 119 guna untuk menghindari konflik yang berkepanjangan. Peningkatan biaya transaksi hanya untuk proses awal membuat kesepakatan antar para stakeholder , dan dengan peningkatan biaya transaksi ini maka biaya penegakan status untuk dimasa yang akan datang menjadi lebih rendah.

4.11. Sintesa dan Alternatif Solusi Kebijakan Pengelolaan