105 dana, SDM dan sarana-prasaranainfrastruktur dalam menegakan status juga
menjadi penyebab utama lemahnya penegakan status lindung. 3.
Biaya transaksi Masyarakat mengaku belum pernah dilibatkan dalam proses penetapan hutan
lindung mangrove, sehingga situasi pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong pada saat ini bercirikan biaya transaksi yang rendah. Hal ini dapat
diketahui dari proses penetapan kawasan menjadi status lindung yang dilakukan tanpa negosiasi dengan para stakeholder masyarakat dan DKP,
sehingga dapat disimpulkan bahwa biaya transaksi yang dikeluarkan sangat rendah. Kondisi ini menyebabkan biaya penegakan status lindung menjadi
tinggi akibat belum mendapat kesepakatan dengan stekeholder sehingga ancaman terhadap sumberdaya dan potensi konflik sosial tinggi. Ciri utama
penetapan kawasan secara top down adalah biaya transkasi pada saat planning rendah, akan tetapi biaya pelaksanaanimplementasi tinggi.
4.10.3. Analisis struktur kelembagaan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong
a. Batas yuridiksi pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong
Batas yuridiksi adalah batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki suatu aktorlembaga atau kedua-duanya, batas yuridiksi menentukan siapa
dan apa yang tercakup dalam organisasi. Batas yuridiksi juga dapat berimplikasi ekonomi para pihak yang terlibat dalam yuridiksi tersebut. Dalam penelitian ini
peneliti akan mengkaji batas yuridiksi dari pengelola kawasan hutan lindung mangrove Dinas Kehutanan, ditinjau dari batas wilayah kekuasaan atau batas
otoritas dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong beserta realisasinya.
Berdasarkan hasil dari analisis kelembagaan terhadap pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong, batas yuridiksi batas wilayah kekuasaan
atau batas otoritas dari pengelola kawasan lindung mangrove Dinas Kehutanan selama ini adalah seluruh area kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong
dengan luas sebesar 4895.50 hektar. Batas yuridiksi dari pengelola kawasan lindung ini mencakup seluruh sumberdaya alam hayati dan non hayati yang ada
di dalam kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong. Berhubung hutan
106 mengrove di Desa Dabong berada di dalam kawasan hutan lindung mangrove,
maka wewenangotoritas pengelolaanya berada pada Dinas Kehutanan. Realisasi pelaksanaan batas yuridiksi oleh pengelola kawasan Dinas
Kehutanan di kawasan hutan lindung mangrove Desa Dabong adalah sebagai berikut:
1. Tapal batas zonasi atau batas yuridiksi kawasan hutan lindung mangrove
Desa Dabong luas 4895.50 hektar dipermasalahkan oleh masyarakat desa karena sebagian besar lahan masyakat seperti pemukiman, lahan garapan dan
tambak yang menjadi sumber penghidupan mereka masuk kedalam kawasan hutan lindung mangrove tanpa adanya ganti rugikompensasi. Bahkan hampir
semua dusunkampung termasuk pusat pemerintahan Desa masuk kedalam kawasan hutan lindung mangrove. Hal ini dikarenakan ketika proses
penetapan kawasan lindung tidak melibatkan masyarakat. Masyarakat telah bermukim, bertani dan memafaatkan sumberdaya hutan mangrove baik hasil
hutan maupun hasil perikanan sudah sejak lama dan turun-menurun diperkirakan sejak tahun 1871 dan generasi yang ada sekarang merupakan
generasi yang ke 8 delapan. Masyarakat juga memiliki bukti surat kepemilikan tanah tahun 1937 yang dikeluarkan oleh Kerajaan Kubu Nomor
36. Jadi disini masyarakat merasa lebih memiliki otoritas terhadap kawasan yang ada di desa mereka karena mereka lebih dahulu tinggal dan menguasai
kawasan. Untuk kegiatan usaha tambak, masyarakat juga sudah memiliki ijin tambak
dan membayar retribusi kepada Pemerintah Daerah Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Pontianak sebesar 1.5 dari hasil panen tambak, jadi mereka
merasa berhak untuk melakukan budidaya udang di tambak mereka. Bahkan pada tahun 2003, Gubenur Kalimantan Barat ”H. Usman Jafar” ikut
panen raya karena hasil panen udang pada saat itu melimpah dan disaksikan oleh semua pejabat daerah. Bahkan beliau juga mengatakan bahwa daerah
Dabong akan dijadikan sentra budidaya tambak udang dan menjadi daerah percontohan tambak.
107 2.
Batas yuridiksi kawasan hutan lindung mangrove juga mengalami tumpang tidih dengan sektor keluatan dan perikanan. Dinas Kelautan dan Perikanan
juga berangapan memiliki wewenangotoritas untuk mengembangkan dan mengelola sumberdaya wilayah pesisir khususnya perikanan, yang mana
kawasan ekosistem mangrove berada di kawasan pesisir. Hal ini dapat dilihat dari:
a. Dikeluarkannya Ijin Usaha Perikanan IUP dan Surat Pembudidayaan
Ikan SBI bagi petambak di Desa Dabong. b.
Telah disusunnya Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Pontinak wilayah Dabong-Kubu pada
tahun 2006 c.
Dilaksanakannya berbagai program pemberdayaan masyarakat petambak di Desa Dabong melalui pembinaan, penyuluhan, pelatihan dan penyaluran
kredit untuk membantu permodalan. Bahkan ada petambak yang diikutkan pelatihan ke Jepara.
d. Dibuatnya tambak percontohan dengan sistem silvofishery di Desa Dabong.
Menanggapi masalah adanya pembinaan pertambakan masyarakat yang berada di kawasan hutan lindung mangrove oleh Dinas Kelautan dan
Perikanan, maka berdasarkan hasil wawancara dengan pegawai Dinas Kelautan dan Perikanan, menyatakan bahwa “Setiap daerah yang mulai atau
sudah ada kegiatan perikanannya, maka kami harus bantu dan bina agar maju dan sektor perikanan dapat meningkat. Jadi untuk kasus tambak di
Dabong ini, kami tidak pernah menganjurkan atau memberi ijin masyarakat untuk menkonversi lahan mangrove menjadi tambak karena bukan wewenang
kami, kami hanya membantu aktifitas perikanan budidaya yang sudah ada sejak lama dengan membina dan memberi ijin agar usaha mereka tertip.
” 3.
Dalam rangka penegakan batas yuridiksi kawasan hutan lindung mangrove, maka pihak pengelola kawasan hutan lindung Dinas Kehutanan telah
mengajukan sebanyak 58 orang petambak ke ranah hukum sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana mengerjakan, memanfaatkan dan menduduki
kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 50 ayat 3 huruf a junto pasal 78 ayat 2 UU No. 41 tahun 1999. Sayangnya
108 penanganan terhadap dugaan pelanggaran ini dilakukan tanpa adanya
mediasimusyawarah kepada masyarakat dulu untuk meluruskan akar permasalahan, tetapi langsung dilimpahkan ke pihak kepolisian.
4. Tindakan serupa juga dilakukan warga Desa Dabong. Dalam rangka
melindungi batas yuridiksi akan lahan mereka yang telah lama ditinggali, maka warga dengan bantuan dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat
LSM dan Lembaga Bantuan Hukum LBH telah melaporkan permasalahan ini kepada Komisi Hak Asasi Manusia Komnas HAM Kalimantan Barat
pada tanggal 18 Juli tahun 2009. Menyikapi laporan ini, Komnas HAM Kalimantan Barat telah membentuk tim khusus untuk menangani
permasalahan ini. Berdasarkan UU no 41 tahun 1999, hutan lindung adalah kawasan hutan
yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi
air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Lebih lanjut menurut Keppres no 32 1990, perlindungan terhadap kawasan pantai berhutan bakau dilakukan untuk
melestarikan hutan bakau sebagai pembentuk ekosistem hutan bakau dan tempat berkembangbiaknya berbagai biota laut disamping sebagai pelindung pantai dan
pengikisan air laut serta pelindung usaha budidaya di belakangnya. Kawasan pantai di Desa Dabong memiliki hamparan hutan mangrove yang
cukup luas dan mempunyai fungsi sangat penting sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan
erosi, mencegah intrusi air laut, memelihara kesuburan tanah, tempat berkembang-biaknya berbagai biota laut, pelindung pantai dari pengikisan air laut
dan pelindung usaha budidaya di belakangnya. Oleh sebab itu kawasan ini perlu dilindungi dengan penetapan sebagai kawasan hutan lindung mangrove. Sehingga
sudah tepat jika hutan mangrove di Desa Dabong ditetapkan atau dikukuhkan sebagai hutan lindung mangrove.
Bermasalahnya batas yuridiksi tapal batas kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong dikarenakan proses penetapan dan pengukuhan
kawasan hutan lindung dilakukan dengan kurang baik. Batas yuridiksi kawasan hutan lindung mangrove sangat luas dan berlebihan luas 4895.50 hektar jika
109 dibandingkan dengan luas hutan mangrove itu sendiri yang hanya sebesar 2849.01
hektar pada tahun 1991 belum ada kegiatan konversi lahan menjadi tambak. Berdasarkan Keppres no 32 tahun 1990, kriteria kawasan pantai berhutan bakau
yang perlu dilindungi adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah kearah darat.
Selain itu kawasan pemukiman dan lahan masyarakat yang sudah ada sebelumnya juga masuk dalam batas yuridiksi kawasan hutan lindung mangrove. Hal ini
menunjukan bahwa inventarisasi hutan yang mana hasilnya dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan dilakukan dengan kurang baik.
Menurut UU no 41 tahun 1999, dalam proses penetapan dan pengukuhan kawasan hutan, maka langkah awal yang harus dilakukan adalah inventarisasi
hutan yang mana hasilnya dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan. Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh data dan
informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap. Inventarisasi hutan dilakukan dengan survei mengenai status dan
keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Pengukuhan kawasan hutan
dilakukan melalui proses sebagai berikut: a penunjukan kawasan hutan, b penataan batas kawasan hutan, c pemetaan kawasan hutan, dan d penetapan
kawasan hutan. Bermasalahnya proses penetapan dan pengukuhan kawasan hutan lindung
mangrove di Desa Dabong juga dapat dilihat dari pengabaian atas hak-hak masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Dalam proses penetapan dan
pengukuhan kawasan hutan lindung mangrove, masyarakat belum memperoleh kompensasi atas hilangnya akses dengan hutan sebagai sumber kehidupan dan
hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan. Menurut UU no 41 tahun 1999 pasal 68, masyarakat di dalam dan di sekitar
hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan
setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
110 Permasalahan lain yang menunjukan buruknya proses penetapan dan
pengukuhan kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong juga dapat dilihat dari adanya program Protekan dari DKP pada tahun 1998-1999 di kawasan ini.
Hal ini menunjukan proses penetapan kawasan hutan lindung mangrove dilakukan secara tidak terpadu dan tidak lintas sektoral. Selain itu masyarakat juga baru
mengetahui status hutan lindung mangrove di Desa mereka sejak beberapa warga dijadikan tersangka pidana atas tindakan perambahan hutan lindung. Hal ini
menunjukan bahwa proses pengumuman kawasan hutan lindung kepada masyarakat dilkukan dengan tidak benar. Menurut Keppres no 32 tahun 1990,
penetapan wilayah tertentu sebagai bagian dari kawasan lindung harus dilakukan secara terpadu dan lintas sektoral serta Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat
II harus mengumumkan kawasan-kawasan lindung kepada masyarakat.
b. Hak Penguasaan