17
juga moral realism atau morality of constraint. Tahap ini terjadi pada anak usia kira-kira 6 hingga 9 tahun. Pada tahap ini anak-anak biasanya tunduk pada apa
yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Bila melanggar, secara otomatis mereka akan mendapatkan hukuman. Hal ini membuat anak percaya
bahwa aturan tidak dapat berubah dan harus ditepati. Tahap kedua yaitu autonomous morality atau morality of cooperation.
Pada tahap ini ada hubungan timbal balik antara anak dengan lingkungan sosialnya, seperti dengan kelompok-kelompoknya. Interaksi ini membuat anak
menilai bahwa setiap perilaku itu ada dasarnya. Tahap ini dimulai antara usia 9 sampai umur 12 atau lebih. Tahap moralitas otonomi bertepatan dengan
operasional formal. Ini memungkinkan anak untuk melihat masalahnya dari berbagai sudut pandang dan berbagai faktor penyelesaiannya.
Berdasarkan teori Piaget tersebut, siswa kelas III SDN Pakem 4 berada pada tahap heteronomous morality. Hal ini berkaitan dengan aturan-aturan yang
akan digunakan di kelas selama pembelajaran berlangsung dan bagaimana mereka menaati aturan tersebut. Pada tahap ini tingkah laku siswa masih dipengaruhi oleh
kebiasaan yang ada di sekitar mereka atau mereka masih dalam tahap meniru. Sehingga peneliti juga harus mampu menampilkan perilaku yang positif
khususnya perilaku menghargai. Teori ini juga untuk melihat apakah anak menyadari bahwa ketika mereka melanggar aturan maka akan ada hukuman yang
mereka terima.
2.1.2.2 Teori Perkembangan Moral Kohlberg
Teori Kohlberg mendasarkan teori perkembangan moral pada prinsip- prinsip dasar hasil temuan Piaget, sehingga teori ini lebih rinci dan memunculkan
tahapan-tahapan perkembangan moral anak secara detail. Teori Kohlberg menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran
moral dan berkembang secara bertahap. Kohlberg dalam Djiwandono 2006:83 menyebutkan bahwa “perkembangan moral anak memiliki tiga tingkatan dan tiap
tingkatan terdapat du a tahap”.
Tingkat pertama yaitu moralitas prakonvensional preconventional level yang mirip dengan heteronomous morality, pada tingkat ini perilaku anak tunduk
pada kendali orang tua. Hal ini berarti tingkah laku seorang anak dikontrol oleh
18
orang lain dan tingkah laku yang baik akan mendapatkan hadiah sedangkan tingkah laku yang buruk akan mendapatkan hukuman. Pada tahap pertama,
penalaran moral anak didasarkan atas hukuman dan anak taat karena orang dewasa menuntut mereka untuk taat. Pada tahap kedua, anak menyesuaikan diri
terhadap harapan sosial untuk memperoleh penghargaan. Anak- anak merasa bahwa apa yang baik untuk dilakukan adalah hal yang dapat menghasilkan hadiah
bagi mereka. Tingkatan kedua disebut moralitas konvensional conventional level.
Pada tingkat ini anak menaati aturan tertentu, tetapi mereka tidak menaati aturan orang lain seperti orang tua atau aturan-aturan masyarakat
.
Pada tahap pertama tingkat ini, anak menyesuaikan dengan peraturan untuk mendapatkan penghargaan
orang lain dan mempertahankan hubungan dengan mereka. Pada tahap kedua tingkat ini, anak menyetujui bila kelompok sosial menerima peraturan yang sesuai
bagi semua anggota. Mereka harus berbuat sesuai aturan agar tidak mendapat kecaman.
Tingkatan ketiga disebut moralitas pascakonvensional postconvensional level. Pada tingkat ini moralitas anak akhirnya berkembang sebagai pendirian
pribadi, jadi tidak tergantung atau terikat pada pendapat yang ada. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan
kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode Berdasarkan teori moral di atas, maka siswa kelas III dapat dikatakan
masih dalam tahap prakovesional di mana mereka masih tunduk pada aturan- aturan dari orang di sekitarnya. Teori tersebut menjadi suatu yang penting dalam
kaitannya dengan bagaimana anak bersikap terhadap suatu peraturan yang ditujukan kepadanya. Teori ini membantu peneliti dalam mengetahui karakter
moral anak. Penelitian ini diharapkan mampu menumbuhkan sikap moral anak.
2.1.2.6 Teori Kecerdasan Moral Borba