18
orang lain dan tingkah laku yang baik akan mendapatkan hadiah sedangkan tingkah laku yang buruk akan mendapatkan hukuman. Pada tahap pertama,
penalaran moral anak didasarkan atas hukuman dan anak taat karena orang dewasa menuntut mereka untuk taat. Pada tahap kedua, anak menyesuaikan diri
terhadap harapan sosial untuk memperoleh penghargaan. Anak- anak merasa bahwa apa yang baik untuk dilakukan adalah hal yang dapat menghasilkan hadiah
bagi mereka. Tingkatan kedua disebut moralitas konvensional conventional level.
Pada tingkat ini anak menaati aturan tertentu, tetapi mereka tidak menaati aturan orang lain seperti orang tua atau aturan-aturan masyarakat
.
Pada tahap pertama tingkat ini, anak menyesuaikan dengan peraturan untuk mendapatkan penghargaan
orang lain dan mempertahankan hubungan dengan mereka. Pada tahap kedua tingkat ini, anak menyetujui bila kelompok sosial menerima peraturan yang sesuai
bagi semua anggota. Mereka harus berbuat sesuai aturan agar tidak mendapat kecaman.
Tingkatan ketiga disebut moralitas pascakonvensional postconvensional level. Pada tingkat ini moralitas anak akhirnya berkembang sebagai pendirian
pribadi, jadi tidak tergantung atau terikat pada pendapat yang ada. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan
kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode Berdasarkan teori moral di atas, maka siswa kelas III dapat dikatakan
masih dalam tahap prakovesional di mana mereka masih tunduk pada aturan- aturan dari orang di sekitarnya. Teori tersebut menjadi suatu yang penting dalam
kaitannya dengan bagaimana anak bersikap terhadap suatu peraturan yang ditujukan kepadanya. Teori ini membantu peneliti dalam mengetahui karakter
moral anak. Penelitian ini diharapkan mampu menumbuhkan sikap moral anak.
2.1.2.6 Teori Kecerdasan Moral Borba
Menurut Borba 2008:4 kecerdasan moral adalah kemampuan memahami hal yang benar dan yang salah. Artinya setiap orang dalam bertindak memiliki
keyakinan yang kuat, sehingga orang bersikap benar dan terhormat. Kecerdasan moral ini mencakup karakter-karakter utama, seperti kemampuan untuk
memahami penderitaan orang lain dan untuk bertindak jahat, mampu
19
mengendalikan dorongan dan menunda pemuasan, mendengarkan dari berbagai pihak sebelum memberikan penilaian, menerima dan menghargai perbedaan, bisa
memahami pilihan yang tidak etis, dapat berempati, memperjuangkan keadilan, dan menunjukkan kasih sayang dan rasa hormat terhadap orang lain.
Membangun kecerdasan moral penting dilakukan agar suara hati anak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, sehingga mereka dapat
menangkis pengaruh buruk dari luar. Kecerdasan moral diperlukan untuk melawan tekanan buruk dan membekali anak untuk bertindak benar. Berdasarkan
teori tersebut dapat disimpulkan bahwa kecerdasan moral menjadi hal yang penting agar anak dapat bersikap hormat kepada siapa saja.
2.1.2.3 Teori Sosial Kognitif Bandura
Teori Bandura lebih menekankan pada teori sosial-belajar. Teori Bandura berisikan teori belajar untuk melakukan perubahan-perubahan tingkah laku.
Menurut Bandura dalam Singgih 1981:183, orang bisa belajar lebih cepat dengan mengamati atau melihat tingkah laku orang lain yang ada di sekitar
mereka. Pengamatan dengan alat indera mengikutsertakan unsur kognitif yaitu adanya proses di dalam yang mewakili objek-objek yang nyata di luar. Proses
yang terjadi di dalam ini kemudian menjadi dasar timbulnya tingkah laku yang sesuai dengan apa yang telah diamatinya.
Bandura mengemukakan ada empat komponen dalam proses belajar Singgih, 1989 yaitu: 1 memperhatikan, sebelum melakukan peniruan terlebih
dahulu anak memperhatikan model yang akan ditirunya; 2 mencamkan, setelah memperhatikan dan mengamati sesuatu model maka di waktu yang lain anak
memperlihatkan tingkah laku yang sama dengan model tersebut; 3 mereproduksikan gerak motorik, untuk mereproduksikan tingkah laku dengan
tepat anak harus sudah bisa memperlihatkan kemampuan-kemampuan motorik yang meliputi kekuatan fisik; 4 ulangan-penguatan, setelah proses dari
memperhatikan dan mencamkan sudah dilakukan, model yang diamati oleh anak akan diperlihatkan atau direproduksi dalam tingkah laku yang nyata atau tidak
bergantung pada kemauan atau motivasi yang ada. Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa anak dapat belajar
melalui lingkungan sosialnya dengan mengikutsertakan aspek kognitif dari dalam
20
dirinya yang kemudian akan dinyatakan dalam tingkah laku. Kegiatan tersebut dilakukan dengan proses mengamati, mencamkan, mereprodusikan, dan
dilanjutkan dengan melakukan penguatan.
2.1.2.4 Teori Berpikir Bloom