Analisis Program Pelatihan Penggunaan Mesin Jahit High Speed

community development , yaitu bisnis asuransi tenaga kerja. PT Jamsostek Persero Cabang Semarang dengan merekrut masyarakat lokal, yaitu masyarakat Kota Semarang dan sekitarnya untuk mengisi jabatan dengan tingkat keahlian rendah, yaitu keterampilan menggunakan mesin jahit High Speed untuk mengisi lowongan buruh garmen. Setelah menjadi buruh garmen, diharapkan mereka menjadi peserta program Jamsostek. Selain dapat mengurangi pengangguran di Kota Semarang dan meningkatkan mutu sumber daya manusia di bidang garmen, program ini juga menguntungkan perusahaan, dengan bertambahnya jumlah peserta Jamsostek. Peserta pelatihan sendiri menilai bahwa program pelatihan ini sangat membantu mereka untuk menambah keterampilan dan mendapatkan pekerjaan. Adanya program pelatihan ini, membuat peserta pelatihan memandang positif keberadaan PT Jamsostek Persero, khususnya Cabang Semarang dan Disnakertrans Kota Semarang. Peserta pelatihan, mengakui akan senang untuk menjadi peserta Jamsostek, karena PT Jamsostek Persero mengadakan program- program yang dapat mengurangi angka pengangguran. Mereka berharap agar PT Jamsostek Persero terus menjadi pendukung dalam program pelatihan sejenis. Namun, ada beberapan peserta pelatihan yang telah bekerja, hingga saat ini tidak bersedia diikutkan dalam program asuransi Jamsostek, dengan cara tidak mengembalikan formulir permohonan asuransi ke pihak manajemen perusahaan. Hal tersebut disebabkan mereka menilai potongan untuk biaya asuransi Jamostek terlalu besar, sedangkan manfaat yang diperoleh dari adanya asuransi Jamsostek kurang dapat dirasakan secara nyata. Perusahaan garmen tempat bekerja juga sering berlaku curang, dengan tidak memberikan klaim asuransi Jamsostek khususnya kepada buruh yang sedang cuti hamil atau melahirkan. Bahkan, sebagian besar perusahaan langsung mengganti posisi buruh tersebut dengan orang lain atau secara tidak langsung memaksa buruh mengundurkan diri, kecuali buruh tersebut dianggap memiliki prestasi yang baik. Seperti yang dialami oleh ME 24 tahun: “....... kalau cuti melahirkan, hanya dapet gaji tok, asuransi melahirkan ga dikasih Koreanya, padahal harusnya dapet gaji dan Jamsostek.............”ME, 24 tahun PT Jamsostek Persero Cabang Semarang dalam program pelatihan tersebut hanya sebatas memberikan biaya pelatihan. Rekruitmen peserta pelatihan dilakukan oleh Disnakertrans Kota Semarang, dan penempatan kerja dilakukan oleh LPK ASA Group Semarang. Monitoring dan evaluasi tidak dilakukan dengan baik dan berkelanjutan, sehingga dapat disimpulkan bahwa walaupun pandangan perusahaan program pelatihan bersifat filantropik, namun pada kenyataannya program ini lebih cenderung bersifat karitas. Perusahaan hanya memberikan dana tanpa ada upaya untuk menjamin keberlanjutan program pelatihan ini. Monitoring hanya dilakukan pada saat pelatihan berlangsung, setelah pelatihan dan penempatan kerja, diserahkan sepenuhnya ke LPK, sehingga perusahaan tidak mendapat kepastian berapa jumlah peserta pelatihan yang dapat terserap menjadi buruh garmen dan kemudian terdaftar sebagai peserta Jamsostek. Setelah itu, PT Jamsostek Persero Cabang Semarang tidak memiliki data pasti mengenai jumlah peserta Jamsostek dari pelatihan tersebut yang masih bekerja, mengingat buruh garmen sangat mudah berotasi atau bahkan berhenti bekerja. Program pelatihan ini hanya nampak baik dan berhasil saat pelatihan berlangsung, namun setelah pelatihan selesai tidak ada yang menjamin bahwa lulusan pelatihan akan menjadi peserta Jamsostek dalam jangka waktu tertentu. Akibatnya, PT Jamsostek Persero Cabang Semarang tidak mendapat jumlah kepesertaan yang sesuai dengan yang diperkirakan. Selain itu, tidak adanya pengawasan setelah lulusan pelatihan diterima bekerja dapat membuat perusahaan garmen mangkir untuk mendaftarkan karyawannya menjadi peserta Jamsostek. Lulusan pelatihan juga dapat tidak mendaftarkan diri sebagai peserta Jamsostek, karena merasa potongan asuransi Jamsostek terlalu tinggi. Hal ini akan mempengaruhi kepuasan kerja buruh garmen menyangkut kompensasi dan dapat berpengaruh pada tingkat produktivitas kerja buruh garmen. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa program pelatihan yang bersifat karitas membuat pengawasan dan evaluasi PT Jamsostek Cabang Semarang kurang, sehingga tidak diketahui dengan pasti bagaimana jumlah kepesertaan Jamsostek dari program tersebut. Hal ini akan mempengaruhi tingkat kepuasan kerja dalam hal kompensasi.

BAB VII EVALUASI

PELATIHAN PENGGUNAAN MESIN JAHIT HIGH SPEED

7.1 Karakteristik Responden

Karakteristik responden dalam penelitian ini merupakan ciri-ciri pribadi individu lulusan peserta Pelatihan Penggunaan Mesin Jahit High Speed yang dapat menggambarkan keadaan para lulusan pelatihan. Responden dalam penelitian ini adalah lulusan pelatihan LPK ASA Group yang mengikuti program Pelatihan Penggunaan Mesin Jahit High Speed, yang dilakukan berdasarkan kerjasama LPK ASA Group, Disnakertrans Kota Semarang dan PT Jamsostek Persero Cabang Semarang. Responden adalah lulusan pelatihan yang telah ditempatkan ke beberapa perusahaan garmen di Kota Semarang dan sekitarnya dan yang masih berstatus sebagai buruh di perusahaan garmen tersebut. Responden berjumlah 30 orang dan mengikuti pelatihan pada periode tahun 2006, 2007, dan 2008 Angkatan Pertama. Pada tahun 2006 terdapat 120 orang peserta pelatihan satu tahap dengan satu angkatan, pada tahun 2007 terdapat 600 orang peserta pelatihan tiga tahap dengan lima angkatan dan tahun 2008 terdapat 120 orang peserta pelatihan satu angkatan hingga Mei 2008. Total jumlah peserta pelatihan hingga bulan Mei 2008 adalah 840 orang peserta pelatihan, namun dalam setiap angkatan tidak semua peserta pelatihan yang telah lulus dapat ditempatkan ke perusahaan garmen yang telah ditetapkan. Hal ini dikarenakan banyak lulusan pelatihan yang gagal dalam tes masuk perusahaan atau tidak lolos seleksi performance. Selain itu, menurut Kasubdin Penempatan Tenaga Kerja Trans Kota Semarang, Gunawan Saptogiri GS, pada tahun 2006 hingga Tahap I tahun 2007, angka penyerapan lulusan pelatihan tersebut masih tergolong kecil, dikarenakan perusahaan- perusahaan garmen tidak bersedia menerima lulusan pelatihan begitu saja, namun mengutamakan yang telah memiliki pengalaman kerja di bidang yang sama selama satu hingga dua tahun. Bahkan menurutnya, hingga Tahap I tahun 2007, angka penempatan lulusan pelatihan bisa di bawah 50 persen. Lebih lanjut, menurut GS, buruh garmen wanita sangat cepat berotasi, khususnya lulusan pelatihan. Maksudnya adalah buruh garmen wanita tidak bisa bertahan lama, dan lebih cepat berpindah atau keluar. Hal ini dikarenakan menikah, tidak dapat memenuhi target produksi, habis masa kontrak, atau tidak betah dengan sistem kerja garmen yang bisa mengharuskan mereka lembur hingga larut malam, dan dapat juga diakibatkan karena suasana kerja yang keras dan menuntut produktivitas tinggi sehingga mereka kurang dapat berhubungan baik dengan senior ataupun atasan di perusahaan. Berdasarkan hal tersebut, jumlah lulusan pelatihan yang masih bekerja hingga saat ini sangat jauh dari jumlah pada awal penempatan. Bahkan, ada perusahaan yang tidak ada lagi mempekerjakan lulusan pelatihan dan tidak lagi menerima lulusan pelatihan. Rata-rata dalam setiap perusahaan garmen yang ikut bekerjasama dalam program ini, hanya memiliki kurang dari 20 orang lulusan pelatihan. Terkecuali jika perusahaan tersebut baru menerima beberapa orang lulusan pelatihan dari suatu angkatan baru. Karakteristik Responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7.1, yang berdasarkan lima kategori. Kategori-kategori tersebut adalah usia, status