Faktor-faktor yang Mempengaruhi Effect Pelatihan Penggunaan Mesin
Hubungan antara faktor-faktor tingkat kepuasan kerja yang mencakup pekerjaan, kompensasi, kondisi kerja, dan hubungan antar pribadi dengan
produktivitas kerja dianalisis dengan menggunakan Rank Spearman. Hasil uji statistik korelasi Rank Spearman antara kepuasan kerja dengan produktivitas kerja
dapat dilihat pada Tabel 7.11.
Tabel 7.11 Hasil Analisis Korelasi Rank Spearman antara Faktor-faktor Kepuasan Kerja dengan Produktivitas Kerja, 2008
Kepuasan Kerja Koefisien Korelasi
p-value Keterangan
Pekerjaan 0,518 0,003
Signifikan Kompensasi 0,058
0,361 Tidak
Signifikan Kondisi Kerja
0,072 0,705
Tidak Signifikan Hubungan Antar
Pribadi 0,517
0,003 Signifikan
Berhubungan nyata pada taraf 0,01 2-tailed
Berdasarkan Tabel 7.11 tersebut di atas, didapat bahwa yang berhubungan signifikan dengan produktivitas kerja adalah pekerjaan dan hubungan antar
pribadi. Nilai probabilitas atau p-value pekerjaan sebesar 0,003 yang lebih kecil dari nilai
α= 0,05 jadi tolak Ho. Koefisien korelasi antara pekerjaan dengan produktivitas kerja sebesar 0,518. Jadi, dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan atau pengaruh yang signifikan antara pekerjaan dengan produktivitas kerja. Hal ini disebabkan lulusan pelatihan bertujuan untuk
mendapat pekerjaan dengan ditempatkan di suatu bagian perusahaan, sehingga puas jika ditempatkan di salah satu posisi kerja. Dengan demikian, ia akan bekerja
sesuai dengan tugas dan target produksi perusahaan. Penempatan kerja biasanya dilakukan melalui seleksi atau tes terlebih dahulu. Jadi, tiap orang akan
mendapatkan tugas yang sesuai dengan kemampuannya agar dapat bekerja dengan
baik. Waktu yang diberikan perusahaan akan membuat buruh garmen bekerja tepat waktu dan memenuhi target produksi yang diharapkan.
“ ....wah, nek seko Maisy kae’ nggawene nganti nritik...kok mbak..sing biasane sejam entuk 100 iso mung 40 tok nek Maisy.trus kon lembur mbek Koreane, yo iso entuk target
akhire...”ME, 24 tahun
[...”wah, kalau dari Maisy itu, membuatnya sampai teliti dan rumit...kok mbak..yang biasanya sejam dapat 100 bisa hanya 40 saja kalau Masiy. Lalu disuruh lembur oleh Orang Koreanya, ya
bisa mencapai target akhirnya...]”ME, 24 tahun
Kompensasi tidak berhubungan signifikan dengan produktivitas kerja. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai p-value sebesar 0,759 yang lebih besar dari nilai
α= 0,05, sehingga terima Ho. Lulusan pelatihan bertujuan untuk mendapat pekerjaan dan mendapat penghasilan. Jadi, seberapa besar gaji yang diberikan
tidak mempengaruhi produktivitas kerja asalkan tidak kurang dari upah minimum setempat. Hal ini dikarenakan jika mereka tidak bekerja sesuai target, maka akan
dipecat dan akan kehilangan pekerjaan, dan kemudian tidak mendapat penghasilan. Posisi buruh garmen yang sebagian besar adalah buruh kontrak juga
membuat mereka tidak berani menuntut banyak kompensasi. Mereka hanya ingin tetap bekerja dan mendapat penghasilan.
Berdasarkan hasil uji, nilai p-value kondisi kerja sebesar 0,705 yang lebih besar dari nilai
α= 0,05 jadi terima Ho. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kondisi kerja dengan
produktivitas kerja. Secara umum, suasana dan lingkungan kerja perusahaan- perusahaan garmen sudah baik untuk menciptakan kondisi kerja. Seperti yang
dijelaskan sebelumnya, produktivitas responden lebih ditekankan karena mereka ingin bekerja dan untuk itu mereka harus bekerja dengan baik dan mampu
memenuhi target perusahaan.
Koefisien korelasi antara hubungan antar pribadi dengan produktivitas kerja adalah sebesar 0,517, dengan nilai p-value sebesar 0,003 yang lebih kecil
dari nilai α= 0,05 jadi tolak Ho. Lulusan pelatihan yang tidak menjalin hubungan
baik dengan rekan kerja atau atasan merasa bekerja di bawah tekanan dan tidak dapat bekerja dengan tenang. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara bersama RS
21 tahun:
“....sing seko ASA ketoke wis do metuh kabeh kok mbak...nek ono paling yo siji loro, aku mbek kancaku wae meh metu.....senior-seniore ki do galak mbek cah anyar, judes ngono lho
mbak....supervisore meneh, galakke pol...nek ora melbu sedina trus surat ijine telat wae langsung kon metu...”RS, 21 tahun, buruh garmen PT Morich Indo Fashion
[“....yang dari ASA sepertinya sudah keluar semua kok mbak..kalau ada mungkin satu dua, aku dan temenku saja mau keluar...senior-seniornya galak-galak dengan anak baru. judes gitu lho
mbak... supervisor apalagi, galak bangetkalau tidak masuk sehari, lalu surat ijin telat aja langsung disuruh keluar...” RS, 21 tahun, buruh garmen PT Morich Indo Fashion
Berdasarkan keterangan dari supervisor RS, yaitu Ibu WD, buruh garmen tersebut bekerja tidak dapat memenuhi target dan menghambat kinerja operator lainnya.
Hal tersebut membuat supervisor sering memberikan teguran pada buruh garmen tersebut. Teguran tersebut justru dinilai sebagai sikap tidak ramah dan membuat
ketidakpuasan terhadap hubungan antar pribadi lulusan pelatihan. Supervisor sendiri menilai bahwa produktivitas kerja lulusan pelatihan tersebut masih di
bawah rata-rata.
7.6 Analisis 7.6.1 Perubahan Tingkat Pengetahuan dan Keterampilan
Tingkat pengetahuan dan keterampilan tiap peserta pelatihan berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat dari jumlah skor total masing-masing peserta pelatihan terhadap
tingkat pengetahuan dan keterampilan mereka, baik sebelum pelatihan, sesudah
pelatihan, maupun setelah bekerja. Perbedaan ini akan mempengaruhi tingkat perubahan pengetahuan dan keterampilan peserta pelatihan. Untuk melihat
sejauhmana perbedaan tersebut, maka peserta pelatihan dikategorikan menjadi dua, yaitu 15 peserta pelatihan dengan skor terendah dan 15 peserta pelatihan
dengan skor tertinggi. Secara lebih jelas, dapat dilihat pada Tabel 7.12.
Tabel 7.12 Tingkat Perubahan Pengetahuan Peserta Pelatihan, 2008
Pengetahuan Sebelum
Pelatihan P
1
Sesudah Pelatihan P
2
Setelah Bekerja P
3
P
2
-P
1
P
3
-P
2
15 Orang dengan Skor Terendah
177 407 399 230
-8 15 Orang dengan
Skor Tertinggi 343 505 562
162 57
Berdasarkan Tabel 7.12, terdapat peningkatan pengetahuan sesudah pelatihan, dimana 15 orang dengan skor terendah mengalami peningkatan yang
lebih besar, yaitu 230 angka dibandingkan dengan 15 orang dengan skor tertinggi, yaitu 162 angka. Setelah bekerja, justru 15 orang dengan skor terendah
mengalami penurunan pengetahuan sebesar delapan angka. Kelompok 15 orang dengan skor tertinggi mengalami peningkatan pengetahuan sebesar 57 angka.
Hal tersebut menunjukkan bahwa peserta pelatihan dengan tingkat pengetahuan awal yang tinggi hanya akan mengalami sedikit peningkatan dibandingkan dengan
peserta pelatihan dengan tingkat pengetahuan awal yang rendah. Inilah yang disebut sebagai “pengaruh pagu” atau ceiling effect Shingi dan Mody, 1974
dalam Rogers, 1985. Peserta pelatihan dengan tingkat pengetahuan awal yang
tinggi telah banyak memiliki pengetahuan mengenai materi pelatihan sebelum pelatihan dilaksanakan, sehingga perolehan informasi atau pengetahuan dari