Pasuruan tali gebang tersebut diproses menjadi tampir yang selanjutnya dapat dijadikan tas, topi, tutup lampu dan kerajinan lainnya.
Pengambilan gebang menimbulkan kerusakan tegakan gebang di lokasi serta kondisi habitatnya. Pada umumnya, kondisi fisik tanaman yang rusak, baik
pada gebang dalam pertumbuhan awal anakan atau pada gebang dewasa, ditandai dengan tinggi tanaman yang tidak merata dengan tinggi rata-rata hanya 6
meter karena pertumbuhan yang terganggu. Selain itu juga, kondisi daun yang tidak normal, yaitu banyak tangkai daun yang patah atau akibat pemotongan dan
pengambilan daun mudapupus. Banyak diantaranya yang nampak mati sebelum keluar malai tandan bungabiji karena pengambilan daun muda yang tanpa
perhitungan. Dan sejak anakan, dimana dianggap oleh pemanfaat gebang telah menghasilkan daun mudakobel yang secara kriteria telah memenuhi standar
untuk diambil, maka tanpa peduli mereka pun mengambilnya juga. Sedangkan dari kondisi habitatnya, di lokasi tersebut nampak areal-areal terbuka yang
merupakan akibat dari matinya tegakan gebang pada pertumbuhan awal. Hal ini mengurangi kerapatan dari tegakan gebang di lokasi tersebut.
Penanganan yang dilakukan untuk mengendalikan kegiatan pemanfaat daun gebang tersebut diantaranya yaitu dengan memberikan penyuluhan dan
pemahaman kepada masyarakat akan akibatdampak negatif dari perusakan tersebut. Di samping itu juga perlu patroli lapangan secara rutinterpadu untuk
mencegah masyarakat melakukan pengambilan bagian-bagian gebang tersebut. Upaya lainnya, yaitu dengan berupaya memberikan aktivitas ekonomi alternatif
lain tanpa masuk kawasan TN Baluran. Langkah lainnya dengan pendekatan kepada para pengepul, sebagai pemilik modal, agar mengarahkan anak buahnya
untuk meminimalisir pengambilan daun gebang dari dalam kawasan taman nasional dan berupaya mengatur pola pemanfaatan daun gebang dalam kawasan
TN Baluran yang memenuhi kaidah kelestarian sehingga walaupun adanya pemanfaaan, tegakan gebang mempunyai tenggang waktu untuk regenerasi secara
optimal.
2. Biji gebang kelanting
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, biji gebang atau lebih dikenal dengan kelanting juga banyak ditemukan di kawasan pantai TN Baluran meliputi
Sumber Kodung, Alas Malang, Bilik, Merak, Kajang, Bama, Sirontoh, Candibang, Curah Ulin, Sirokoh, Sumiang, Dadap, Palongan, Kalikepuh,
Sambikerep, Puyangan sampai ke Perengan. Apabila gebang mencapai titik pertumbuhan dengan keluarnya tandan bunga
berbentuk malai melebar dan kemudian menjadi biji, juga dimanfaatkan oleh masyarakat. Biji gebang atau kelanting tersebut biasanya digunakan dalam
kerajinan tasbih dan sandaran jok mobil. Hampir semua pengambil kelanting di sekitar TN Baluran berasal dari Dusun Jelun, Desa Wonorejo. Di dusun tersebut
hanya terdapat satu orang pengepul yang berdasarkan wawancara, pengepul tersebut mempunyai 10 orang pelanggan pengambil kelanting yang semuanya
berasal dari Jelun. Pengepul biasanya memperoleh 40-60 kghari dari semua pelanggannya.
Satu pohon gebang bisa menghasilkan 1 ton kelanting. Dalam pengambilannya, kelanting tersebut dijatuhkan dari pohonnya ke lantai tanah
dengan memanjat pohon gebang yang telah dipasang anak tangga seperti halnya dalam pengambilan pupus gebang. Setelah terkumpul di bawah tegakannya maka
kelanting tersebut dibiarkan ±
6 bulan di tempat tersebut untuk memperingan dala m membawanya sampai ke tempat tinggal pengambil dan membantu dalam
pengelupasan kulitnya. Setelah itu, baru dibawa ke pengepul untuk di selip dibersihkan dari kulitnya dengan menggunakan mesin penyelip dan kemudian
dijemur ±
3 hari. Dalam proses penyelipan 2 ton kelanting bisa diselip dalam jangka waktu 1 hari.
Kelanting dijual ke pengepul dengan harga Rp. 75,00kg. Untuk satu kali pengiriman, pengepul mengumpulkan
± 2 ton dalam waktu 2 bulan. pengiriman
kelanting biasanya ke daerah Jember untuk dibuat tasbih. Menurut hasil
Gambar 6. Tumpukan kelanting di Dalam Kawasan
wawancara, 1 kg kelanting bisa menghasilkan 6 tasbih dengan harga Rp. 2.000,00tasbih.
Kegiatan pengambilan kelanting berakibat berkurangnya persentasi regenerasi alami gebang. Apabila kegiatan ini terus berlangsung maka kondisi
tegakan gebang yang telah rusak akibat dari pengambilan daun muda menjadi diperparah dengan berkurangnya potensi regenerasi gebang muda. Dari kondisi
tersebut di atas, merupakan ancaman terhadap kelestarian gebang di TN Baluran. Banyaknya volume pengambilan biji gebang, serta banyaknya jumlah
masayarakat pengambil mengakibatkan percepatan rusaknya tegakan gebang tersebut. Apabila kegiatan masayarakat tersebut semakin tidak terkendali, maka
dalam hitungan tahun keberadaan gebang di TN Baluran semakin parah dan tidak menutup kemungkinan akan habis.
Seperti halnya pada daun gebang, penanganan dalam pengambilan bijinya pun dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan dan pemahaman, patroli
lapangan secara rutin dan terpadu serta memberikan aktivitas ekonomi alternatif lain bagi masyarakat pemanfaat gebang. Selain itu penting juga adanya
pengaturan dari pihak pengelola mengenai pola pemanfaatan yang memperhatikan kelestarian baik itu cara atau mekanismenya maupun pembatasan pada lokasi
pengambilannya.
3. Biji Akasia