dapat dikatakan bahwa hal tersebut merupakan cara yang pernah dilegalkan oleh pihak TN Baluran terhadap pemanfaatan asam.
Pengambilan asam dapat dilakukan dengan berbagai cara memungut dari buah asam yang jatuh di sekitar tegakannya, memanjat pohonnya atau
menggunakan galah. Pengambilan dengan memotong cabang atau ranting mengakibatkan menurunnya hasil yang diperoleh pada musim berikutnya karena
tajuk menjadi rusak dan pertumbuhan dahan yang dipotong akan mengalami hambatan. Lain halnya apabila pengambilan dilakukan dengan cara menggunakan
galah yang ujungnya diberi benda tajam bahkan dengan cara memungut di bawah tegakannya. Hal ini tidak menimbulkan kerusakan yang berarti pada dahan
tersebut. Adanya pemanfaat buah asam dapat juga menimbulkan gangguan terhadap ketenangan satwa. Pola penyebaran satwa sering terganggu dan terhalau
oleh pemanfaat buah asam pada waktu satwa beristirahat.
Dalam rangka menjaga kelestarian pohon asam, sebaiknya pihak pengelola TN Baluran melakukan atau menetapkan pengaturan dalam pola pemanfaatan
asam dengan cara dan mekanisme yang aman tanpa merusak kelestarian pohon tersebut. Selain itu, untuk meminimalisir gangguan terhadap ketenangan satwa
dilakukan pengaturan lokasi atau zonasi pengambilan buah asam tersebut.
5. Kayu Bakar
Kayu bakar yang berasal dari dalam kawasan TN Baluran diambil dari daerah Bunutan, Licin, Paleran, Pengarengan, Tlogo, Gatel, Tekok Abu, Alas
Malang, Watu Numpuk, dan Lemabang untuk masyarakat pemanfaat kayu bakar
Gambar 12. Aksi Pengambilan Asam
dari Desa Sumberwaru dan Desa Sumberanyar. Sedangkan untuk Desa Wonorejo, Bajulmati dan Watukebo, mereka mengambil kayu bakar dari daerah Kedung
Bunder, Siroko, Kali Kepuh, Pal Boto, Puyangan, Curah Ulin, Perengan. Lokasi- lokasi tersebut sebagian besar termasuk ke dalam daerah penyangga TN Baluran
Lihat Lampiran 5. Pemanfaatan kayu bakar sebagai bahan bakar masih banyak dilakukan oleh
masyarakat desa penyangga TN Baluran. Sebagian masyarakat tersebut mengumpulkan kayu bakar dari dalam kawasan TN Baluran untuk digunakan
sendiri dan sebagian besar lainnya untuk dijual sebagai penghasilan utama maupun sebagai penghasilan tambahan.
Kegiatan pemanfaatan kayu bakar dimulai pukul 06.00-17.00 WIB dengan lama pemanfaatan 2-4 jamindividu dalam 2-7 kaliminggu. Jenis kayu yang
biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat TN Baluran antara lain akasia Acacia nelotica, walikukun Schoutenia ovata, talok Grewia acuminata, jati Tectona
grandis, kesambi Scleicheira oleosa, dan asam Tamarindus indica.
Sebagian besar dari pemanfaat kayu bakar menggunakan sepeda dan motor sebagai alat transportasi dan pengangkutan kayu bakar. Selain itu, sebagian lagi
berjalan kaki dengan memikul atau menyunggi kayu tersebut, ada juga yang menggunakan truk untuk pengambilan di zona penyangga yang dikelola
Perhutani. Pemanfaatan kayu bakar yang menggunakan sepeda dan motor bisa mengambil kayu dalam satu kali ke hutan
± 2-5 ikat sedangkan pemanfaat yang
memikul atau menyunggi hanya mengambil ±
1-2 ikat. Pengambilan dengan menggunakan kendaraan truk di zona penyangga dilakukan secara berkelompok
sekitar 4-10 orang dan dalam volume pemanfaatan 120-200 ikattruk.
Gambar 13. Aksi Pengambilan Kayu Bakar Gambar 14. Pengikatan Kayu Bakar untuk di Jual
Kayu bakar yang diperoleh oleh pemanfaat baik yang memikul, menyunggi maupun menggunakan sepeda dan motor biasanya dijual ke Pasar Galean, Pasar
Asem Bagus maupun ke restoran-restoran yang membutuhkannya. Harga per ikat kayu bakar mencapai Rp. 1.500,00 sampai Rp.3.000,00. Sedangkan kayu bakar
yang diangkut dengan truk biasanya langsung dijual ke Pabrik Kapur, Pabrik Batu Merah atau Pabrik Genting dengan harga Rp. 160.000,00 sampai
Rp.200.000,00truk. Sedangkan harga beli dari para pengambil kayu di hutan mencapai Rp.40.000,00 sampai Rp.85.000,00truk.
Pengambilan kayu bakar yang selama ini dilakukan tidak hanya dalam bentuk mengambil ranting-ranting atau cabang-cabang pohon yang sudah kering,
tetapi juga dalam bentuk menebang pohon. Pemanfaatan kayu bakar bila dilakukan dengan cara mengambil ranting-ranting tidak menimbulkan dampak
yang berarti terhadap vegetasi di lokasi pemanfaatan. Namun bila pengambilan dilakukan dengan cara menebang pohon akan menimbulkan perubahan terhadap
vegetasi di lokasi pemanfaatan tersebut. Pengambilan dengan cara tersebut biasanya memerlukan waktu yang lama karena kayu tersebut disimpan terlebih
dahulu agar na mpak seperti kayu kering pada saat pengangkutannya dari kawasan TN Baluran. Selain itu juga, dengan menebang pohon dapat menimbulkan
kelangkaan jenis tegakan dan mengurangi atau menghilangkan habitat satwa. Dalam mengendalikan pengambilan kayu bakar tersebut diantaranya dengan
memberikan penyuluhan dan pemahaman secara intensif kepada masyarakat akan dampak dari perusakan tersebut. Disamping itu, perlu juga patroli lapangan secara
rutinterpadu. Upaya lainnya yaitu adanya koordinasi dengan Perum Perhutani terutama dalam hal pengembangan hutan untuk kayu bakar dan adanya
pengaturan dari pihak TN Baluran mengenai lokasi dan mekanisme pengambilan yang memperhatikan konservasi.
6. Rumput