Pemahaman Guru terhadap Critical Pedagogy sebagai Pendekatan
lain bagi masyarakat. Oleh karena perkembangan critical pedagogy masih sangat terbatas di kalangan guru di sekolah, terjadi perbedaan pemahaman
dalam melakukan penafsiran dan pemaknaan terhadap critical pedagogy dalam pembelajaran, khususnya pembelajaran sejarah. Walaupun
terkendala masalah keterbatasan pemahaman, bukan berarti critical pedagogy
tidak bisa diterapkan sama sekali dalam pembelajaran, khususnya pembelajaran sejarah kontroversial.
Upaya untuk memahami critical pedagogy sebagai pendekatan dalam pembelajaran sejarah, khususnya sejarah kontroversial di kalangan
guru sejarah dapat dilihat dari berbagai aspek yang terkandung dalam critical pedagogy
. Pemahaman guru sejarah terhadap implementasi critical pedagogy
dalam pembelajaran, khususnya dalam pembelajaran sejarah dapat diamati dalam beberapa aspek. Aspek pertama ditinjau dari
pandangan umum guru sejarah terhadap tujuan mata pelajaran sejarah. Aspek kedua dilihat dari keterkaitan antara tujuan pendidikan sejarah di
sekolah terkait dengan pengembangan kesadaran dan sikap kritis peserta didik. Aspek ketiga ditinjau dari tanggapan guru terhadap kontroversi
sejarah. Aspek keempat ditinjau dari tanggapan guru terhadap pelaksanaan pembelajaran, terutama terkait dengan metode, sumber belajar, dan media
pendidikan yang digunakan. Aspek kelima ditinjau dari tanggapan guru terhadap pemanfaatan lingkungan dan situasi kekinian terhadap
pembelajaran sejarah. Aspek keenam ditinjau dari peran pemerintah dalam pendidikan sejarah. Melalui pengamatan terhadap aspek tersebut dapat
diamati bagaimana pemahaman guru sejarah terhadap tujuan pendidikan sejarah, terutama pengajaran sejarah kontroversial, dan bagaimana
pandangan dan pemahaman mereka terhadap critical pedagogy dalam konteks pembelajaran secara praksis.
Pemahaman guru-guru sejarah terhadap implementasi critical pedagogy
dalam pembelajaran sejarah kontroversial cukup beraneka ragam. Guru-guru belum mengetahui critical pedagogy sebagai
pendekatan dalam pembelajaran sejarah, pemahaman mereka sangat tergantung dari bagimana guru-guru memaknai pembelajaran sejarah
beserta komponen-komponen yang ada di dalamnya. Di SMA N 1 Semarang, pemahaman guru terhadap pembelajaran
sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy dapat dilihat dari beberapa aspek. Aspek pertama yang diteliti terkait dengan pemahaman
guru terhadap critical pedagogy sebagai pendekatan dalam pembelajaran sejarah adalah tentang bagaimana guru memandang tujuan dari pendidikan
sejarah tersebut. Sulisowati wawancara 11 Januari 2010, guru sejarah dari SMA N 1 Semarang yang mengajar kelas XII IPS dan kelas X,
menyatakan bahwa pendidikan sejarah secara umum, khususnya pembelajaran sejarah memiliki tujuan untuk membangun karakter dan
mentalitas. Lebih lanjut lagi ia menjelaskan bahwa karakter dan mentalitas menjadi faktor yang berpengaruh terhadap nasionalisme peserta didik. Ia
berpandangan bahwa melalui pendidikan sejarah, peserta didik dapat memahami karakter dan mentalitas, karena pendidikan sejarah memiliki
potensi sebagai sebuah sarana yang mengenalkan identitas serta asal-usul bangsa Indonesia. Dengan demikian, sejarah menanamkan pada peserta
didik apa sebenarnya jati diri bangsa Indonesia. Pendapat dari Susilowati didukung pula oleh Zainab Inawati
wawancara 19 Januari 2010, guru sejarah yang mengajar kelas XI dan XII IPS. Menurutnya, pendidikan sejarah memiliki tujuan untuk
menumbuhkan rasa nasionalisme di kalangan peserta didik. Upaya menumbuhkan nasionalisme di kalangan peserta didik ini dilakukan
melalui pemberian materi yang menekankan rasa kebanggaan peserta didik terhadap jati diri bangsanya. Materi-materi tentang kejayaan Majapahit
dan kerajaan lainnya dapat menjadi sarana untuk menumbuhkan rasa cinta peserta didik terhadap bangsanya.
Lebih lanjut lagi terkait dengan tujuan pendidikan sejarah dijelaskan bahwa materi tentang perjuangan bangsa pada zaman
pergerakan nasional, peristiwa seputar proklamasi kemerdekaan, dan perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan pada
masa revolusi. Materi-materi tersebut menurut Zainab menjadi salah satu materi yang dapat menumbuhkan rasa patriotisme. Rasa cinta tanah air dan
patriotisme menjadi landasan untuk mewujudkan nasionalisme di kalangan peserta didik.
Materi tersebut tercantum dalam KD 1 Menganalisis hubungan antara perkembangan paham-paham baru dan transformasi sosial dengan
kesadaran dan pergerakan kebangsaan pada kelas XI IPS; 2 Menganalisis
peristiwa sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 dan pembentukan pemerintahan Indonesia; dan 3 Menganalisis perjuangan bangsa
Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dari ancaman disintegrasi bangsa terutama dalam bentuk pergolakan dan pemberontakan antara lain:
PKI Madiun 1948, DITII, Andi Aziz, RMS, PRRI, Permesta, G-30- SPKI.
Terkait dengan kesadaran kritis dan pendidikan sejarah, guru-guru telah berpandangan bahwa pada dasarnya pendidikan sejarah sejalan
dengan upaya menumbuhkembangkan kesadaran, pola pikir, dan sikap kritis peserta didik. Guru di SMA N 1 Semarang memandang bahwa
sejarah dapat menumbuhkan sikap kritis peserta didik karena dalam sejarah terdapat materi yang menumbuhkan kepekaan peserta didik dan
kemampuan menganalisis peristiwa dengan kemampuan nalar. Susilowati wawancara 19 Januari 2010 berpendapat bahwa semua
materi yang terkandung dalam SK dan KD memiliki peluang untuk menumbuhkembangkan kemampuan peserta didik untuk menjadi kritis.
Contohnya adalah materi tentang penelitian sejarah pada KD “menggunakan prinsip-prinsip dasar penelitian sejarah”. Materi tersebut
melatih peserta didik untuk dapat memanfaatkan sumber-sumber sejarah dan melakukan analisis terhadap sebuah peristiwa di masa lalu.
Pada kelas XI IPS, menurut Zainab Inawati wawancara 19 Januari 2010 pada materi tentang keruntuhan kerajaan Hindu-Budha pada KD
“menganalisis perkembangan kehidupan negara-negara kerajaan Hindu-
Buddha di Indonesia” mengarahkan peserta didik untuk menganalisis faktor-faktor yang menyababkan keruntuhan sebuah kerajaan besar. Selain
itu pada materi tentang runtuhnya VOC, materi tersebut dapat dikaitkan dengan masalah mengapa korupsi dapat menghancurkan sebuah lembaga
besar seperti VOC. Pada aspek materi-materi sejarah kontroversial, guru sejarah di
SMA N 1 Semarang berpandangan bahwa sejarah kontroversial menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pembelajaran sejarah. Susilowati
wawancara 20 Januari 2010 berpandangan bahwa sejarah yang kontroversial menjadi sarana untuk menumbuhkan kesadaran kritis peserta
didik. Sejarah kontroversial seperti peristiwa G 30 S dapat melatih peserta didik untuk memahami bahwa sebuah sejarah senantiasa berkembang, dan
dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Lebih lanjut lagi ia menjelaskan bahwa
… sikap kontroversi terbentuk karena kita memahami konsep, dan kontroversi lebih didasarkan pada kemampuan akal, sehingga
kontroversi lahir dari kemampuan berpikir, jadi kontroversi relevan terhadap kemampuan berpikir siswa. Wawancara 20 Januari 2010
Susilowati wawancara 20 Januari 2010 mengakui bahwa ia selalu menghadirkan kontroversi dalam pembelajaran sejarah. Pentingnya sejarah
kontroversial diajarkan dalam pembelajaran sejarah karena “sejarah kontoversial akan memberikan sebuah kesempatan pada siswa untuk lebih
peka dan kritis dalam menanggapi sesuatu” wawancara 20 Januari 2010.
Pendapat dari Susilowati senada pula dengan pandangan dari Zainab Inawati wawancara 19 Januari 2010 yang menyatakan bahwa
sejarah kontroversial adalah materi yang menarik dalam mata pelajaran sejarah. Menarik karena guru dan peserta didik dapat melihat sesuatu
peristiwa tidak hanya dari satu versi, tetapi dari multiversi. Terkait dengan pelaksanaan sejarah kontroversial, di SMA N 1
Semarang, guru telah berinisiatif untuk mengajarkan sejarah kontroversial dalam kelas. Hal ini diakui oleh Susilowati sebagai guru kelas XII IPS
wawancara 20 Januari 2010. Dalam pelaksanaannya, ia lebih cenderung untuk menekankan pembelajaran dengan cara bercerita kepada peserta
didik. Melalui bercerita ia mengakui bahwa peserta didik memiliki perhatian yang lebih untuk memperhatikan materi yang diajarkan. Alasan
yang diutarakan dari Susilowati bahwa ia lebih menekankan pada metode bercerita karena ia menganggap metode inilah yang dianggapnya sesuai
dengan karakteristik peserta didik di SMA N 1 Semarang. Ia menjelaskan bahwa
Murid-murid di sini sebagian besar berasal dari orang-orang kota. Orang tuanya juga rata-rata sibuk, jadi mereka tidak mendapatkan
cerita-cerita sejarah dari orang tua mereka. Jadi di sini saya memposisikan diri untuk menggantikan orang tua bercerita tentang
sejarah. Alasan itulah yang menyebabkan Susilowati wawancara 20
Januari 2010 lebih menekankan aspek bercerita dalam pembelajaran sejarah. Hal ini berlaku pula pada pembelajaran sejarah kontroversial,
tetapi dilakuan pula upaya untuk mengaitkan antara materi sejarah dengan
peristiwa aktual yang terjadi pada saat ini di sekitar peserta didik. Seperti halnya ketika ia mengulas materi reformasi pada KD “menganalisis proses
berakhirnya pemerintah Orde Baru dan terjadinya reformasi” dan “menganalisis perkembangan politik dan ekonomi serta perubahan
masyarakat di Indonesia pada masa reformasi” yang dikaitkan dengan kehidupan politik pada saat ini.
Contohnya adalah ketika dijelaskan gambaran politik yang terjadi pada saat ini memiliki kesamaan dengan peristiwa pada awal reformasi,
yakni ada dinamika dalam kondisi politik. Kasus Bank Century menurutnya menjadi peristiwa kontekstual untuk dikaitkan dengan materi
tentang kondisi politik pascareformasi. Dijelaskan bahwa kondisi saat ini dengan adanya kasus Bank Century dapat menjadi pemantik terjadinya
perubahan dalam aspek politik, sama halnya dengan peristiwa sebelum reformasi.
Susilowati wawancara 20 Januari 2010 menjelaskan bahwa metode bercerita yang ia terapkan menuntut banyak persiapan dari guru. Ia
menyatakan bahwa Guru harus memiliki bacaan yang banyak. Jadi tidak hanya
membacakan buku teks. kalau kita membacakan buku teks, siswa akan acuh dengan kita. Karena toh siswa akan beranggapan bahwa
jika materi sudah ada di buku teks mengapa harus memperhatikan guru. Jadi guru harus kreatif dalam menggali sumber-sumber baru.
Berbeda dengan Susilowati, Zainab Inawati wawancara 20 Januari 2010 memiliki pandangan tentang pengajaran sejarah kontroversial yang
tidak menekankan pada aspek cerita saja. Pembelajaran sejarah selain
menekankan pada aspek cerita ia lebih memandang bahwa pembelajaran sejarah kontroversial dengan pemanfaatan sumber-sumber mutakhir yang
terdapat di internet. Ia mengakui bahwa dalam pembelajaran, peserta didik diberikan keleluasaan untuk lebih memanfaatkan internet. Pemanfaatan
perangkat multimedia yang telah tersedia secara lengkap di SMA N 1 Semarang memberi peluang lebih besar terhadap pembelajaran yang lebih
atraktif. Terkait dengan aspek pemanfaatan situasi kekinian sebagai sumber
belajar, di SMA N 1 Semarang guru-guru berpandangan bahwa mereka mengaitkan pembelajaran antara materi yang diajarkan dengan kondisi
kekinian, terutama dalam hal politik. Susilowati menyatakan bahwa ketika memberikan materi tentang jatuhnya Soeharto dan peristiwa reformasi,
dikaitkan dengan situasi pada saat krisis dan merajalelanya korupsi. Zainab Inawati wawancara 19 Januari 2010 mengaitkan antara materi
dengan situasi kekinian. Contohnya adalah materi tentang perkembangan VOC pada KD “Menganalisis perkembangan pengaruh Barat dan
perubahan ekonomi, demografi, dan kehidupan sosial budaya masyarakat di Indonesia pada masa kolonial”. Pada materi tersebut guru mengaitkan
antara runtuhnya VOC akibat korupsi dengan runtuhnya kekuasaan Soeharto yang juga disebabkan oleh korupsi. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa materi tersebut dapat dimanfaatkan untuk memberikan gambaran pada peserta didik bahaya korupsi yang dapat meruntuhkan sebuah
pemerintahan.
Sebuhungan dengan aspek pemanfaatan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar, Susilowati menyatakan bahwa memang lingkungan sekitar
masih belum dimanfaatkan dengan optimal. Disadari bahwa untuk memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar tidak mudah
karena harus disesuaikan dengan SK dan KD yang berlaku. Dengan demikian, lingkungan sekitar tidak dapat dimanfaatkan secara penuh. Hal
ini diakui pula oleh peserta didik ketika dikonfirmasi. Mereka juga masih belum merasakan pemanfaatan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar,
terutama terkait dengan pembelajaran sejarah kontroversial. Berkaitan dengan masalah pembelajaran yang dialogis, guru-guru
di SMA N 1 juga sepakat bahwa pembelajaran yang dialogis memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk lebih mengeksplorasi pendapat dan
pemikiran mereka. Susilowati menyatakan bahwa walaupun ia menggunakan metode bercerita tidak berarti peserta didik tidak dilibatkan
dalam pembelajaran dan tidak dapat berperan pasif. Peserta didik masih dapat berperan aktif dengan cara presentasi penugasan. Susilowati sering
memberikan tugas yang pada akhirnya dipresentasikan oleh peserta didik. Contoh tugas yang diberikan adalah eksplorasi internet tentang G 30 S dan
materi-materi lainnya, seperti kehidupan politik pada tahun 1950-an, proses reformasi, dan kehidupan politik pascareformasi.
Critical pedagogy mengulas hubungan antara kekuasaan dan
pendidikan. Tekait hal tersebut, ternyata ada beberapa pemahaman guru yang tidak sama. Di SMA N 1 Semarang, guru mengakui bahwa tujuan
pendidikan sejarah memang terkait dengan upaya yang senada dengan tujuan negara, yakni untuk mewujudkan warga negara yang baik. Dengan
demikian, memang ada keterkaitan antara tujuan pendidikan sejarah dengan harapan yang diinginkan oleh pemerintah. Susilowati menyatakan
bahwa pemberlakuan KTSP merupakan salah satu bentuk konformitas antara pembelajaran yang dilakukan dengan harapan yang diinginkan oleh
pemerintah. Dirinya berpandangan bahwa memang pemerintah memiliki kekuasaan untuk menentukan materi yang akan diajarkan, yang tampak
dalam penyusunan SK dan KD untuk pelajaran sejarah. Namun demikian, ia belum secara tegas memberikan gambaran tentang kepentingan dari
pihak pemerintah terkait dengan penyusunan materi yang diajarkan dalam pembelajaran. ketika dikonfirmasi tentang penarikan buku ajar pada tahun
2007, ia mengakui hal itu bukan wewenang dari pihak sekolahan, sehingga dirinya mengaku hanya mematuhi aturan yang berlaku wawancara 7 April
2010. Namun demikian secara pribadi, diakui ada perasaan tidak sepakat dengan penarikan dan pembakaran buku teks sejarah pada tahun 2007.
Menurutnya ini tindakan yang tidak patut untuk dilakukan oleh pemerintah.
Pemahaman guru-guru sejrah di SMA N 5 Semarang terkait dengan implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah
kontroversial telah cukup baik, walau ada beberapa bagian yang belum optimal. Pemahaman tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek.
Ditinjau dari aspek pandangan guru terhadap tujuan pendidikan sejarah, Suratno wawancara 13 Januari 2010, guru sejarah kelas X,
berpandangan bahwa tujuan pendidikan sejarah adalah “agar peserta didik dapat memaknai masa lalu”. Lebih lanjut lagi menurut Suratno
pembelajaran sejarah memiliki tujuan “agar siswa mengetahu dan mengambil hikmah peristiwa yang terjadi”. Upaya pemaknaan terhadap
masa lampau bermanfaat agar siswa dapat mengambil pelajaran tentang berbagai dampak yang terjadi dari sebuah peristiwa dan agar tidak
mengulangi peristiwa buruk yang pernah terjadi di masa lampau. Selanjutnya, ia menambahkan bahwa
Berbagai konflik dan peperangan yang terjadi di masa lalu dapat jadi pelajaran yang bermakna bagi kita saat ini. Kita seharusnya
dapat belajar dan memaknai peristiwa tersebut. Seperti peristiwa perebutan kekuasaan di masa kerajaan Hindu-Budha dapat
dimaknai untuk kehidupan pada saat sekarang. Wawancara 13 Januari 2010
Pendapat Suratno tentang tujuan sejarah juga senada dengan Sri Lestari, guru sejarah dari SMA N 5 Semarang, yang menyatakan bahwa
“sebenanya tujuan pendidikan sejarah adalah agar manusia menjadi bijaksana” wawancara 18 Januari 2010. Sejarah menurutnya adalah
sebuah pelajaran yang dapat memberikan nilai-nilai luhur bagi peserta didik melalui kisah-kisah dan peristiwa pada masa lalu. Contohnya adalah
dalam SK “menganalisis perjalanan bangsa Indonesia pada masa negara- negara tradisional” terutama dalam KD “menganalisis perkembangan
kehidupan negara-negara kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia”. Pada KD
tersebut terdapat materi tentang pertikaian dan konflik yang terjadi pada masa kerajaan. Konflik-konflik pada masa kerajaan antara Majapahit dan
Pajajaran menyebabkan hubungan diplomatik kedua kerajaan menjadi terganggu. Sri Lestari wawancara 18 Januari 2010menjelaskan bahwa
“seharusnya kita dapat belajar dari masa lalu agar hal-hal buruk tidak terulangi lagi”.
Mindarwati, guru sejarah dari SMA N 5 Semarang, yang menyatakan bahwa “tujuan pendidikan sejarah adalah
menumbuhkembangkan rasa nasionalisme dan mengetahui peristiwa masa lampau untuk panduan masa kini dan yang akan datang” wawancara 13
Januari 2010. Menurutnya, nasionalisme menjadi hal yang sangat ditekankan dalam pendidikan sejarah.
Terkait aspek tujuan pendidikan sejarah dan pengembangan kesadaran dan sikap kritis, bagi guru di SMA N 5 Semarang, sejarah erat
kaitannya dengan kesadaran kritis. Mindarwati wawancara 18 Januari 2010 menjelaskan bahwa sejarah erat kaitannya dengan kesadaran kritis
“karena dengan pola pikir dan sikap yang kritis, manusia akan mampu menyelesaikan persoalan pribadi maupun bangsa dengan cepat dan tepat”.
Kemudian, Sri Lestari wawancara 18 Januari 2010 menjelaskan bahwa “ketika peserta didik memiliki kesadaran kritis, ia akan mampu melihat
secara lebih menyeluruh, dan dapat menilai mana yang benar dan mana yang salah” wawancara18 Januari 2010. Lebih lanjut lagi ia berpendapat
bahwa “dengan adanya pola pikir dan sikap kritis, siswa dapat berinteraksi dan berdiskusi dengan baik”.
Pada materi tentang peristiwa politik tahun 1950, pada KD “menganalisis perkembangan politik dan ekonomi serta perubahan
masyarakat di Indonesia dalam upaya mengisi kemerdekaan” peserta didik mengungkapkan gagasan dan pendapatnya tentnag gejolak politik pada
saat itu. Mindarwati wawancara 21 Januari 2010 memberikan penjelasan
bahwa sikap kritis yang dibangun melalui pendidikan sejarah dapat diraih dengan mengajarkan fakta-fakta sejarah tanpa kebohongan. Ia melihat
bahwa adanya fakta-fakta yang masih belum jelas justru akan membangun sikap kritis dari peserta didik. secara gambalang disebutkan bahwa “kalau
ada peristiwa dengan beberapa versi, siswa jadi berpikir mengapa muncul versi-versi itu. Siswa diajak untuk berpikir tentang sebuah kebenaran”.
Menurutnya, sikap kritis peserta didik tersebut tampak dari antusiasme pada saat pembelajaran, baik melalui aktivitas diskusi ataupun tanya
jawab. Materi-materi sejarah menurut Mindarwati wawancara 21 Januari
2010 memiliki potensi untuk melatih peserta didik menjadi kritis. Hal ini tampak pada materi tentang perkembangan politik Indonesia pada masa
demokrasi terpimpin pada KD “Menganalisis perkembangan politik dan ekonomi serta perubahan masyarakat di Indonesia dalam upaya mengisi
kemerdekaan” di kelas XII IPS. Pada materi tersebut, peserta didik dilatih
untuk dapat menanggapi berbagai macam perubahan yang terjadi secara cepat, terutama perubahan kabinet dan dinamika politik.
Ditinjau dari tanggapan guru terhadap kontroversi sejarah, Mindarwati wawancara 21 Januari 2010 menjelaskan bahwa alasannya
mengemukakan pandangan bahwa materi sejarah kontroversial memiliki peran terhadap sikap kritis peserta didik adalah karena
Melalui sejarah kontroversial, kita jadi paham tentang sesuatu secara lebih menyeluruh. Kita juga jadi tahu bahwa ada berbagai
macam versi yang melihat sebuah peristiwa. Sehingga, kita jadi belajar melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda.
Mindarwati mengakui memiliki inisiatif untuk mengajarkan sejarah kontroversial kepada peserta didik. Materi-materi kontroversial terutama
yang termasuk materi kontemporer. Selain itu, Sri Lestari wawancara 21 Januari 2010 berpendapat bahwa materi sejarah kontroversial memiliki
relevansi terhadap pengembangan skap kitis peserta didik karena “mereka mendapat pelajaran untuk melangkah ke depan lebih siap tantangan”.
Selanjutnya terkait dengan pengajarannya di dalam kelas Sri Lestari wawancara 24 Februari 2010 berpandangan bahwa upaya mengajarkan
materi G 30 S tetap diajarkan karena merupakan bagian dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Oleh karena itu, agar peserta didik memahami
sejarah Indonesia secara menyeluruh ia berpendapat bahwa sejarah kontroversial menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pembelajaran
sejarah di sekolah.
Mindarwati wawancara 24 Februari 2010 memiliki inisiatif untuk mengajarkan materi-materi kontroversial seperti Gerakan 30 September.
Saat mengajarkan materi ini Mindarwati menjelaskan versi selain PKI sebagai pelaku utamanya, yakni Soeharto dan Sukarno. Dalam wawancara
ia juga memberikan penjelasan bahwa di kelas XI ia juga mengajarkan kontroversi tentang asal usul Gajah Mada, kontroversi tentang keberadaan
Kraton Demak, serta kontroversi tentang tokoh penyebar Islam di Jawa, yakni tentang Syeh Siti Jenar.
Kontroversi tentang Gajah Mada terdapat dalam KD “menganalisis perkembangan kehidupan negara-negara kerajaan Hindu-Buddha di
Indonesia”. Dijelaskan bahwa Gajah Mada bukan orang Jawa asli, melainkan dari daerah Sumatera Utara. Hal ini dapat dilihat dari
rekonstruksi Gajah mada yan tidak menunjukkan tampilan orang Jawa. kontroversi keberadaan Kraton Demak dan Syeh Siti Jenar terdapat dalam
KD “menganalisis perkembangan kehidupan negara-negara, kerajaan- kerajaan Islam di Indonesia”. Kontroversi keberadaan Kraton Demak
dijelaskan Mindarwati dengan menanyakan pada peserta didik di mana sebenarnya posisi Kraton Demak yang sampai kini masih belum
ditemukan. Secara tegas Mindarwati wawancara 24 Februari 2010
berpendapat bahwa materi kontroversial memiliki potensi untuk membangun pola pikir dan sikap kritis peserta didik. Melalui pengajaran
sejarah kontroversial, ia beranggapan bahwa peserta didik berlatih untuk
melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Kemudian untuk mewujudkan pembelajaran sejarah kontroversial yang mampu
memberikan kesadaran kritis peserta didik, ia berpendapat bahwa pembelajaran yang dua arah akan lebih mewujudkan efektivitas
pencapaian tujuan. Suasana yang dialogis dalam kelas menurutnya menjadi sebuah prasyarat untuk mewujudkan sikap kritis peserta didik.
Suasana yang dialogis dalam kelas tampak ketik peserta didik secara aktif memberikan tanggapan-tanggapan tehadap permasalahan
kontroversial. Melalui kegiatan tanyajawab proses dialogis terwujud dalam pendidikan sejarah. Diskusi dilakukan pula untk mewujudkan kondisi
yang dialogis. Diskusi dilakukan dengan memberi peserta didik penugasan untuk dipresentasikan. Pada materi Gerakan 30 September tahun 1965
kelas dibagi menjadi beberapa kelompok untuk mencari sumber dari internet tentang versi-versi peristiwa tersebut.
Di SMA N 5 Semarang guru memandang bahwa dalam pembelajaran upaya mengaitkan antara materi dengan kejadian-kejadian
aktual adalah sesuatu yang penting. Ini bertujuan agar pembelajaran menjadi lebih bermakna. Mindarwati wawancara 24 Februari 2010
menjelaskan bahwa dirinya sering memanfaatkan metode diskusi dan tanya jawab dalam pembelajaran, terutama dalam pembelajaran sejarah
kontroversial. Pada materi tentang G 30 S, guru secara aktif bertanya pada peserta didik sebagai umpan balik agar proses belajar dalam kelas terjadi
secara dua arah. Baginya tidak masalah apabila keadaan kelas menjadi
ramai, karena yang diharapkan dengan kondisi yang semarak kondisi kelas menjadi hidup.
Senada dengan itu, Sri Lestari wawancara 24 Februari 2010 menyatakan bahwa pembelajaran sejarah kontroversial dilakukan melalui
diskusi. Sebelum diskusi peserta didik ditugaskan untuk membuat makalah tentang materi tertentu, misalnya adalah tentang G 30 S. Pada materi
tersebut setelah peserta didik membuat tugas, peserta didik dipersilakan untuk presentasi dari tugas yang telah dibuat.
Terkait masalah kontekstualisasi materi dengan kondisi kekinian, guru sejarah di SMA N 5 Semarang memandang bahwa harus ada
keterkaitan antara materi yang diajarkan dengan kondisi aktual pada saat ini. Sri Lestari wawancara 24 Februari 2010 menyatakan bahwa dalam
pembelajaran, ada materi-materi yang dapat dikaitkan dengan kehidupan pada saat ini. Pada kelas XII IPA, berbagai permasalahan lingkungan
terkait dengan revolusi hijau pada KD “menganalisis perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia” dapat dikaitkan dengan isu
tentang global warming dan berbagai akibat yang ditimbulkannya. Pada kelas XII IPS, Mindarwati wawancara 24 Februari 2010 menyataan
bahwa di kelas tersebut banyak materi yang dapat dikaitkan dengan kehidupan pada masa kini, karena banyak peristiwa yang menurutnya
sangat relevan dengan kondisi pada saat ini. Contoh yang dapat dikaitkan adalah tentang pemilihan umum 1955
pada KD “Menganalisis perkembangan politik dan ekonomi serta
perubahan masyarakat di Indonesia dalam upaya mengisi kemerdekaan” dikaitkan dengan pemilihan umum 2009, selain itu terdapat pula materi
tentang perubahan politik dari Sukarno ke Soeharto dapat dikaitkan dengan upaya perebutan kekuasaan melalui berbagai cara. Kemudian pada
peristiwa runtuhya Soeharto dan Reformasi pada KD “menganalisis proses berakhirnya pemerintah Orde Baru dan terjadinya reformasi” dapat
dikaitkan dengan peristiwa krisis keuangan yang terjadi pada tahun 2009, selain itu dapat dikaitkan pula dengan korupsi yang terjadi pada saat ini.
Terkait dengan pemanfaatan lingkungan sekitar, guru masih mengalami kendala. Kendala yang ditemui adalah tidak semua materi
dapat dikaitkan dengan lingkungan sekitar. Terkait dengan masalah sejarah lokal Mindarwati wawancara 24 Februari 2010 menyatakan
bahwa upaya mengaitkan antara lingkungan sekitar peserta didik dengan materi hanya pada pokok bahasan tertentu seperti tentang pertempuran
lima hari, di mana tedapat monumen peringatan yang terdapat di sekitar sekolah, yakni Tugu Muda. Materi tentang pertempuran lima hari di
Semarang tercantum dalam KD “Menganalisis perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dari ancaman disintegrasi
bangsa terutama dalam bentuk pergolakan dan pemberontakan antara lain: PKI Madiun 1948, DITII, Andi Aziz, RMS, PRRI, Permesta, G-30-
SPKI”. Selain itu pada materi tentang masa kolonialisme, terutama pada KD “Menganalisis perkembangan pengaruh Barat dan perubahan
ekonomi, demografi, dan kehidupan sosial budaya masyarakat di
Indonesia pada masa kolonial” dapat dikatkan dengan kawasan kota lama Semarang, termasuk gedung Lawang Sewu yang teletak tidak jauh dari
SMA N 5 Semarang. Ditinjau dari aspek peran pemerintah dalam pendidikan sejarah,
Mindarwati wawancara 6 April 2010 menyatakan bahwa memang ada kecenderungan pemerintah dalam melakukan upaya membuat sejarah yang
belum apa adanya. Dirinya menjelaskan bahwa pernah mengikuti acara pelatihan guru-guru di Jakarta, dan di sana ia melontarkan kritik tentang
upaya perumusan materi yang belum menyeluruh, termasuk dalam materi sejarah kontroversial yang masih belum diakomodasi secara penuh.
Mindarwati memang dikenal sebagai guru yang kritis, sehingga dirinya juga cukup kritis dalam memandang upaya reproduksi pengetahuan yang
dilakukan oleh pemerintah, terutama pada kasus penarikan buku ajar yang menurutnya sangat berbau politis wawancara 6 April 2010. Dengan
pembakaran buku-buku ajar tahun 2007, ia melihat ada hal yang berusaha untuk ditutupi oleh pemerintah, khususnya tentang peristiwa Gerakan 30
September. Untuk itu, dalam praksis telah disesuaikan materinya oleh pemerintah, walaupun masih tetap berani disampaikan versi-versi yang
beraneka ragam, seperti versi Soeharto sebagai aktor yang ada di belakang Gerakan 30 September.
Di SMA N 12 Semarang, pemahaman guru tentang impelmentasi critical pedagogy
dalam pembelajaran sejarah kontroversial dapat ditinjau dari beberapa aspek. Dilihat dari aspek tujuan pendidikan sejarah, Heri
Rohayuningsih Wawancara 12 januari 2010, guru sejarah kelas XII IPS dan kelas X menyatakan pendapat tentang tujuan pendidikan sejarah
bahwa Tujuan pelajaran sejarah menurut saya adalah mengenalkan kepada
siswa fakta-fakta setiap peristiwa sejarah yang pernah terjadi, meningkatkan kesadaran sejarah para siswa, serta meningkatkan
nasionalisme siswa.
Menurutnya, pelajaran sejarah juga memiliki peran penting dalam membangun karakter bangsa. Hal ini karena dengan sejarah, siswa diajak
untuk memaknai kehidupan pada masa lampau serta melihat apa makna di balik peristiwa tersebut. Fakta tentang kejayaan dan perjuangan bangsa
Indonesia pada masa lalu merupakan materi yang sangat relevan terhadap upaya menumbuhkan rasa kebanggaan dan cinta terhadap tanah air. Materi
tentang kejayaan kerajaan masa lalu tercantum dalam KD “menganalisis perkembangan kehidupan negara-negara kerajaan Hindu-Buddha di
Indonesia” dan “menganalisis perkembangan kehidupan negara-negara, kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia”.
Heri Rohayuningsih wawancara 18 Januari 2010 menyatakan bahwa “pola pikir dan sikap kritis membuat KBM kegiatan belajar
mengajar berjalan tidak hanya satu arah, sehingga KBM hidup dan menarik, siswa juga mudah untuk memahami materi”. Kemampuan
peserta didik menjadi kritis tampak dari adanya peserta didik yang antusias dan menanggapi permasalahan sejarah, khususnya sejarah kontemporer.
Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa peristiwa sejarah kontemporer seperti
sejarah tentang reformasi dapat melatih peserta didik untuk berpikir secara kritis. Pada materi tentang reformasi yang tercantum dalam KD
“menganalisis proses berakhirnya pemerintah Orde Baru dan terjadinya reformasi” dan “menganalisis perkembangan politik dan ekonomi serta
perubahan masyarakat di Indonesia pada masa reformasi” peserta didik memiliki rasa ingin tahu tentang faktor yang menyebabkan peristiwa
reformasi. Rasa ingin tahu inilah yang menurut Heri Rohayuningsih menjadi aspek yang melatih peserta didik untuk memiliki kesadaran kritis.
Terkait dengan hal sejarah kontroversial dan upaya pengembangan kesadaran kritis, Heri Rohayuningsih wawancara 23 Januari 2010
berpandangan bahwa sejarah kontroversial memiliki potensi dalam membangun pola pikir kritis peserta didik. Akan tetapi, dalam
pembelajaran ia hanya kadang-kadang saja dalam mengajarkan sejarah kontroversial, seperti materi tentang G 30 S atau Supersemar “kadang,
tergantung dari situasi dan kondisi”. Heri Rohayuningsih wawancara 23 Januari 2010 menambahkan
bahwa munculnya sikap kritis di kalangan peserta didik jika dikaitkan dengan pembelajaran sejarah kontroversial disebabkan “dalam diri siswa
muncul keingintahuan yang besar”. Keingintahuan yang besar di kalangan peserta didik adalah faktor yang mendorong tumbuhnya sikap untuk
mencari jawaban-jawaban terhadap sebuah permasalahan. Ini pulalah yang menjadi optimisme guru bahwa pada usia-usia SMA antara 16-18 tahun
peserta didik telah memiliki kemampuan yang cukup untuk mencerna materi-materi secara kritis.
Ditinjau dari aspek penerapan metode pembelajaran, guru sejarah mengakui bahwa dirinya sering manerapkan metode diskusi, bahkan kuis
pada peserta didik. Kuis yang diterapkan oleh Heri Rohayuningsih wawancara 24 Februari 2010 berupa pertanyaan-pertanyaan sederhana
yang dilontarkan pada peserta didik yang berisi fakta-fakta sejarah, seperti “apa saja 4 besar partai pemenang pemilu 1955?”. Melalui metode kuis
diakui bahwa peserta didik berani untuk berbicara di kelas. Dengan demikian, kuis dapat berfungsi sebagai umpan balik guru sekaligus
stimulus bagi peserta didik. Lebih lanjut lagi dinyatakan bahwa proses ini telah berjalan secara dialogis. Selain itu khusus pada materi kontroversial
guru juga menerapkan metode diskusi, tetapi hanya bersifat kadang- kadang.
Dalam memberikan tambahan agar materi tentang sejarah kontroversial agar dapat dipahami secara mendalam oleh peserta didik,
Heri Rohayuningsih wawancara 24 Februari 2010 menjelaskan bahwa dirinya menerapkan metode penilaian proyek, yakni dengan memberikan
penugasan, biasanya dalam bentuk makalah yang kemudian makalah tersebut dipresentasikan oleh peserta didik. Namun demikian, ia belum
menerapkan metode debat sebagai metode untuk pembelajaran sejarah kontroversial. Debat yang terjadi menurutnya hanya sebatas pada adu
argumentasi pada saat peserta didik berdiskusi.
Ditinjau dari aspek pemanfaatan lingkungan sekitar dalam pembelajaan, Heri Rohayuningsih wawancara 24 Februari 2010
menyatakan bahwa hanya pada materi-materi tertentu saja lingkungan sekitar dimanfaatkan, seperti ketika ia mengulas tentang folklore pada KD
“mendeskripsikan tradisi sejarah dalam masyarakat Indonesia masa pra- aksara dan masa aksara”. Pada materi tersebut ia memberikan gambaran
folklore tentang Goa Kreo.
Pada materi kontroversial, belum dimanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar karena ketidaksesuaian antara materi dengan lingkungan.
Namun, ada beberapa materi yang diangkat antara kebijakan-kebijakan Sukarno tentang konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1960-an pada
KD “menganalisis perkembangan politik dan ekonomi serta perubahan masyarakat di Indonesia dalam upaya mengisi kemerdekaan” dengan
peristiwa klaim yang dilakukan oleh Malaysia terhadap beberapa hasil kebudayaan Indonesia dan pelanggaran batas negara.
Berhubungan dengan masalah peran pemerintah, Heri Rohayuningsih wawancara 7 April 2010 memandang bahwa pemerintah
memiliki kewenangan dalam membuat kurikulum dan menentukan materi apa yang diajarkan, sehingga digunakan buku dan sumber yang sesuai
dengan apa yang telah dianggap “resmi” oleh pemerintah. Dalam pembelajaran, dimanfaatkan sumber LKS yang isinya menyalahkan PKI
sebagai sumber dan penggerak tunggal peristiwa Gerakan 30 September. Terkait dengan penarikan buku ajar yang dilakukan pemerintah, ia
memandang bahwa hal tersebut adalah wewenang pemerintah, walaupun secara pribadi ada ketidaksepakatan karena hal itu memberikan kesan yang
negatif. Dari gambaran yang telah disajikan di atas, tampak bahwa guru-
guru secara pribadi telah menerima critical pedagogy sebagai pendekatan pembelajaran sejarah kontroversial, walau dalam pelaksanaannya tidak
dapat dilaksanakan secara penuh. Namun demikian, apabila ditinjau dari produk yang dihasilkan oleh guru-guru sejarah dalam mengulas peristiwa
sejarah kontroversial, terutama tentang materi Gerakan 30 September tampak adanya kesan guru sejarah memihak dan memberikan justifikasi
kebenaran terhadap satu versi saja. Pada Lembar Kerja Siswa LKS yang disusun oleh MGMP
Sejarah Kota Semarang terdapat indikator yang menytakan tentang peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965. Indikator yang dijadikan
landasan tujuan pembelajaran pada LKS tersebut adalah sebagai berikut: 1 Mengidentifikasi strategi politik PKI masa demokrasi liberal
dan terpimpin; 2 Mengidentifikasi aksi-aksi sepihak PKI sebelum G 30 SPKI 1965; 3 menunjukkan kaitan antara Gerakan 30
September dengan Dewan Revolusi; 4 Menjelaskan Gerakan 30 September PKI telah melakukan perebutan kekuasaan yang sah; 5
Mengidentifikasi nama-nama dalang di balik Gerakan 30 September PKI; 6 Menganalisa kebenaran isu adanya dokumen
Gilchrist; 7 Menerangkan proses pengangkatan jenazah korban kebiadaban PKI di Lubang Buaya; 8 Menyebutkan upaya-upaya
penumpasan G 30 SPKI 1965; 9 Mengakibatkan akibat sosial politik G 30 SPKI 1965; 10 Mengidentifikasi adanya bahasa
laten komunis. Tim Penyusun MGMP Sejarah Kota Semarang, 2008: 22
LKS tersebut disusun secara mandiri oleh MGMP Sejarah Kota Semarang dan didistribusikan di SMA-SMA di Kota Semarang. Di SMA
N 1 Semarang LKS tersebut tidak dimanfaatkan karena guru menggunakan buku yang lain, selain itu juga menurut Susilowati SMA N
1 tahun ini tidak mendapatkan jatah wawancara 7 April 2010.