Critical Pedagogy dalam Konteks Indonesia

terhadap konteks Indonesia dibutuhkan karena pada dasarnya critical pedagogy tidak dapat lepas dari konteks di mana ia diterapkan. Ini karena critical pedagogy mencoba melakukan pemaknaan terhadap berbagai isu sosial yang terjadi di masyarakat Monchinski, 2008: 2. Penyesuaian terhadap konteks lokalitas tertentu di mana critical pedagogy tersebut diterapkan sesuai dengan padangan dari Giroux yang dikutip Tilaar 2002: 249-253 bahwa ada beberapa prinsip yang mendasar dalam critical pedagogy, yakni 1 Pendidikan bukan hanya terbatas kepada menghasilkan ilmu pengetahuan, melainkan juga melahirkan subjek politik, yakni masyarakat yang mempunyai dan mampu memanfaatkan hak-hak politiknya; 2 Etika merupakan masalah sentral di dalam masyarakat demokratis karena masyarakat tanpa etika tidak mungkin melahirkan suatu masyarakat demoktastis secara substansial; 3 Perlu lahir mekanisme pertukaran ide secara terbuka melalui proses yang komunikatif dan dialogis; 4 Kebudayaan bukanlah suatu yang telah ditetapkan melainkan suatu diskursus mengenai kekuasaan dan ketidakadilan; 5 Mengedepankan isu mengenai ke-bhineka-an dalam masyarakat yang menekankan pada pentingnya toleransi dengan win-win solution ; 6 Kebenaran yang berlaku di dalam suatu masyarakat mempunyai akar di dalam sejarah dan merupakan konstruksi sosial; 7 Mengembangkan sikap kritis yang ditindaklanjuti dengan mengungkapkan adanya kemungkinan-kemungkinan yang tersedia; 8 Guru berperan bukan hanya sebagai sarana produksi dari ideologi dan praktik sosial yang ada, melainkan juga membantu membuka cakrawala melalui pemikiran- pemikiran kritis terhadap kehidupan ideologi dan sosial yang hidup di masyarakat. Dari prinsip-prinsip di atas, tampak bahwa konteks di mana critical pedagogy diterapkan banyak memberikan pengaruh terhadap praksisnya dalam pendidikan dan pembelajaran. Etika menjadi satu faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran. Berkait dengan hal itu Antonio Gramsci yang dikutip Tilaar 2002: 254 menyatakan bahwa “… etika merupakan jiwa dari pedagogik yang membebaskan. Tanpa etika, pedagogik akan menjadi tumpul dan tidak peka terhadap ketimpangan-ketimpangan yang ada di masyarakat.” Dalam konteks Indonesia aspek yang diperhatikan dalam penerapan critical pedagogy adalah bahwa dalam masyarakat berkembang konsep pemikiran yang diidealkan, yakni nilai-nilai Pancasila. Tilaar 2002: 199 menyebutkan ada beberapa nilai yang disandang oleh manusia Indonesia berdasarkan Pancasila yakni 1 Manusia yang memiliki landasan moral dan etika; 2 Mengapresiasi hak asasi manusia, toleransi dan kerjasama global untuk kemakmuran dan perdamaian; 3 Saling menghargai perbedaan, menjunjung persatuan, menghormati simbol- simbol negara persatuan, serta bangga sebagai orang Indonesia; 4 menjunjung nilai-nilai demokrasi, populis, serta penerapan teknologi untuk kemakmuran rakyat, serta; 5 memiliki rasa solidaritas sosial sebagai bangsa dan gotong royong menanggulangi permasalahan nasional. Oleh karena itu, penerapan critical pedagogy tidak boleh lepas dari kerangka pemikiran bahwa manusia yang dididik adalah manusia Indonesia yang telah berada pada satu konteks pemikiran sosiokultural yang membingkai kehidupan dan keseharian masyarakat menuju manusia Indonesia baru. H.A.R. Tilaar 2002: 79 menyebutkan ada beberapa aspek yang menjadi ciri dari manusia Indonesia baru. Konsep manusia Indonesia baru ini merupakan sebuah gambaran ideal tentang konsep manusia yang diharapkan dalam kondisi sosial yang senantiasa mengalami perubahan melalui pendidikan dan pembelajaran. Dengan demikian, jika critical pedagogy diterapkan di Indonesia maka diharapkan tidak terlepas dari konteks manusia Indonesia baru tersebut, yakni 1 Lahirnya masyarakat demoktaris dan terbuka serta toleran; 2 Manusia dan masyarakat yang cerdas; 3 Partisipasi masyarakat dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial; 4 Revitalisasi budaya lokal; 5 Lahirnya nasionalisme yang “genuine” dalam perkembangan kapital sosial; 6 Ekonomi berdasarkan ilmu pengetahuan dan sumber lokal; 7 Lahirnya masyarakat telematika; 8 Pelestarian dan pemanfaatan sumber daya alam daerah; 9 Sumber daya manusia berkualitas dan mampu bersaing dalam dunia regional dan global; 10 Anggota masyarakt global yang berbudaya. Tilaar, 2002: 79 Selain itu, penerapan critical pedagogy pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan nasional seperti tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, yakni manusia yang “beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

c. Critical Pedagogy dan Praksis Pembelajaran Sejarah

Di dalam pendidikan sejarah, critical pedagogy memiliki fungsi untuk mengubah ketidaksetaraan hubungan yang muncul akibat kekuasaan di dalam kelas maupun dalam masyarakat. Dengan demikian, critical pedagogy mencoba melakukan pendekatan yang lebih lentur untuk mendekonstruksi struktur hierarkis yang melemahkan demokratisasi dalam kelas, melakukan redefinisi atas pengetahuan, memahami bagaimana pengetahuan itu dibuat, serta mengubah ketidakadilan Ochoa Lassale, 2008: 1. Pada pendidikan sejarah, secara lebih operasional Kuntowijoyo 1995: 2 menyatakan bahwa pendidikan sejarah yang diberikan secara kritis pada dasarnya menyangkut tiga hal, yakni aspek 1 mengapa sesuatu terjadi, 2 apa yang sebenarnya terjadi, serta 3 ke mana arah kejadian-kejadian itu. Dari pemikiran tersebut, Tsabit Azinar Ahmad dkk. 2008: 12 menyatakan bahwa kandungan yang harus terdapat dalam critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah meliputi aspek 1 kausalitas, 2 kronologis, 3 komprehensif, serta 4 kesinambungan. Aspek kausalitas menggambarkan kondisi masyarakat dalam berbagai aspek yang turut melatarbelakangi terjadinya suatu peristiwa. Aspek kronologis adalah urutan terjadinya suatu peristiwa. Aspek komprehensif yang dimaksud adalah bahwa dalam pembelajaran sejarah kontroversial, berbagai pendapat yang menyatakan tentang peristiwa tersebut harus disampaikan, sehingga pemikiran peserta didik terbuka terhadap suatu peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial. Aspek keempat adalah aspek kesinambungan atau keberlanjutan dan keterkaitan peristiwa tersebut dengan peristiwa lainnya. Hal ini disebabkan peristiwa sejarah memiliki keterkaitan dengan berbagai peristiwa yang terjadi sebelum dan setelahnya. Critical pedagogy di dalam praksisnya menekankan pembelajaran sebagai proses bagaimana memahami, mengkritik, memproduksi, dan menggunakan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memahami realitas dan mengubahnya. Metode yang dipakai adalah kodifikasi dan dekodifikasi. Kodifikasi merupakan proses merepresentasikan fakta yang diambil dari kehidupan peserta didik dan kemudian mempermasalahkannya problematizing dan dekodifikasi adalah proses pembacaan atas fakta- fakta melalui dua metode, yakni deskriptif dan analitis Agus Nuryatno, 2008: 6. Metode deskriptif mencoba untuk memahami surface sctucture, sedangkan analitis digunakan untuk memahami deep structure, sebagai upaya memahami relasi antarkategori dalam membentuk realitas Agus Nuryatno, 2008: 6. Proses yang ditekankan dalam critical pedagogy adalah self reflection dan self actualization Listyana, Lavandez, Nelson, 2004: 10. Tahap refleksi mempertanyakan “mengapa sesuatu itu bisa terjadi”