Implementasi Critical Pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah

kesetaraan. Artinya tujuan pembelajaran sejarah dengan pendekatan critical pedagogy diarahkan pada terbentuknya kesadaran kritis peserta didik dan demokratisasi. Oleh karena itu, prinsip keterbukaan, keterkaitan dengan realitas yang terjadi di lingkungan sekitar, dan berbagai permasalahan masyarakat menjadi hal yang diangkat dalam tujuan pembelajaran sejarah. Aspek selanjutnya dalam implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah dilihat dari aspek subjek belajar, yakni guru dan peserta didik. Dalam perspektif critical pedagogy posisi antara guru dan peserta didik sama-sama sebagai learner, artinya tidak ada dominasi peran antara guru dan peserta didik. Dalam membangun komunikasi di antara keduanya, harus terjadi proses yang dialogis, sehingga terjadi proses yang saling mengisi. Guru tidak lagi berperan sebagai satu-satunya sumber dalam pembelajaran. Ditinjau dari aspek materi, terutama pada pembelajaran sejarah kontroversal, S.K. Kochhar 2008: 454-455 memberikan beberapa batasan pemilihan, yakni 1 topik yang diangkat berada dalam batas kompetensi kelompok, artinya disesuaikan dengan kemampuan guru dan peserta didik, 2 topik yang diminati dan penting bagi kelas, 3 isu yang tidak terlalu “panas” pada saat ini, karena ada kekhawatiran munculnya pretensi, dan justifikasi, 4 isu yang pembahasannya tidak memakan banyak waktu, serta 5 isu dengan materi yang memadai. Strategi yang diterapkan dalam pembelajaran sejarah dengan pendekatan critical pedagogy pada dasarnya bersifat fleksibel. Namun demikian, ada dua hal yang diperhatikan, yakni model pembelajaran harus bersifat dialogis dan kontekstual Freire, 2008: 51. Pada pelaksanaan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah, konstruktivisme dapat dijadikan salah satu landasan dalam pelaksanaan pembelajaran. Agar pembelajaran menjadi bermakna, pembelajaran harus berpusat pada peserta didik student centered artinya adalah guru memberikan peluang dari siswa untuk berapresiasi, bisa dalam bentuk kegiatan diskusi, debat, tugas mandiri, dan sebagainya. Kemudian, penggunaan variasi model dan media juga menjadi hal yang diperhatikan dalam pembelajaran agar peserta didik mudah dalam melakukan visualisasi, interpretasi, dan generalisasi Tsabit Azinar Ahmad dkk., 2008: 25. Implementasi critical pedagogy dalam aspek evaluasi pada prinsipnya menekankan bahwa evaluasi tidak hanya diberikan pada akhir pembelajaran, tetapi juga pada saat pembelajaran evaluasi proses, berupa menilai keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran seperti keaktifan dalam bertanya, menanggapi pertanyaan, menanggapi pernyataan, mengerjakan tugas, serta keaktifan dalam diskusi Tsabit Azinar Ahmad dkk., 2008: 29. Penyusunan alat evaluasi tidak hanya sebatas soal ujian, tetapi juga bisa berupa penugasan-penugasan yang bertujuan untuk mengembangkan kreasi dari peserta didik melalui pendekatan inquiry, seperti siswa ditugaskan untuk mencari berita tentang peristiwa Gerakan 30 September kemudian siswa ditugaskan untuk mengulas isi dan memberikan pendapatnya tentang berita tersebut. Artinya peserta didik diberikan peluang untuk melakukan suatu proses penemuan terhadap berbagai data dan fakta tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965. Penugasan diberikan bisa dalam bentuk karya tulis sederhana tentang berbagai pendapat tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965 Tsabit Azinar Ahmad, 2008: 29. Aspek penunjang dalam pembelajaran meliputi fasilitas-fasilitas pembelajaran. Implementasi critical pedagogy pada aspek penunjang dapat dilakukan dengan adanya pemanfaatan fasilitas-fasilitas secara maskimal oleh guru. Selain itu, guru juga harus mampu memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai salah satu sumber belajar.

2. Sejarah Kontroversial

Sejarah didefinisikan sebagai rekonstruksi masa lalu Kuntowijoyo, 1995: 17. Sejarah yang dimaksud dalam penelitian ini mencakup pengertian sejarah sebagai kisah, yakni catatan dari kejadian yang dilakukan oleh manusia pada masa lampau. Sementara itu, yang dimaksud dengan kontroversial adalah “perbedaan pendapat; pertentangan karena berbeda pendapat atau penilaian” Badudu dan Sutan Muhammad Zein, 2001: 715. Dengan demikian, sejarah kontroversial dapat diartikan sebagai sejarah yang dalam penulisannya terdapat beberapa pendapat yang berbeda, yang pada akhirnya memunculkan beberapa versi bahkan pertentangan antarversi. Pada sejarah kontroversial, antara pendapat satu dengan pedapat lain masing- masing memiliki landasan yang menurut penulisnya adalah kuat. Sebuah isu dapat menjadi kontroversial karena memberi dampak politik, sosial, maupun personal serta membangkitkan perasaan karena berkaitan dengan hal yang mempertanyakan kepercayaan dan nilai yang dianut Global Citizenship Guides, 2006: 2. Permasalahan tresebut dapat menjadi lebih rumit apabila sulit untuk dijelaskan dan disebabkan adanya perbedaan yang kuat dalam cara pandang terhadap perbedaan karena masalah pengalaman, minat, dan nilai- nilai tertentu. Wellington yang dikutip Cavet 2007: 2 menyatakan bahwa “a controversial issue must: involve value judgements, so that the issues cannot be settled by facts, evidence or experiment alone; be considered important by an appreciable number of people” masalah kontroversial harus: melibatkan penilaian, sehingga masalah tidak dapat diselesaikan oleh fakta, bukti atau percobaan sendiri; dianggap penting oleh jumlah orang yang cukup banyak. Cavet 2007: 2 mengutip The report Teaching controversial issues: A European perspective from the Childrens Identity Citizenship in Europe programme menyatakan bahwa “a controversial issue is one in which: there are competing values and interests; there is political sensitivity; emotions become strongly aroused; the subjectarea is complex; the subjectarea is of topical interest” . masalah kontroversial adalah satu di mana: ada bersaing nilai-nilai dan kepentingan, ada sensitivitas politik; emosi menjadi sangat