Latar Belakang Masalah tesis tsabit azinar ahmad sejarah pps uns 2010

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan sejarah tidak pernah lepas dari unsur kepentingan politik. Di dalam praksisnya, minimal ada dua jenis kepentingan dalam pendidikan sejarah. Pertama, pendidikan sejarah dipandang sebagai alat untuk menumbuhkan nasionalisme dan kesadaran kolektif tentang identitas kebangsaan. Kedua, pendidikan sejarah dilihat sebagai alat legitimasi kekuasaan. Makna politis pertama dikategorikan sebagai kepentingan yang bersifat afirmatif. Sementara itu, makna kedua bersifat kompulsif dan manipulatif. Sifat kompulsif dan manipulatif itu disebabkan adanya pemanfaatan sejarah untuk kepentingan salah satu pihak dengan menonjolkan keunggulan-keunggulan penguasa dan mereduksi sejarah yang tidak sesuai dengan “sejarah resmi”. Realisasi dalam pembelajaran sejarah di sekolah kecenderungan kedua ini lebih menonjol daripada kecenderungan yang pertama. Pemanfaatan pendidikan sejarah sebagai alat kepentingan kekuasaan pernah terjadi pada pemerintahan Orde Baru. Dwight Y King dalam Arif Rohman, 2009: 177 menjelaskan bahwa kekuasaan politik Orde Baru memiliki karakter bureaucratic authoritarian yang ditandai dengan adanya dominasi peran negara di segala bidang dan adanya penekanan terhadap kekuatan politik lain. Dominasi itu terlihat dari pemberlakuan kurikulum nasional untuk seluruh 1 sekolah. Arif Rohman 2009: 13 menjelaskan bahwa “pemberlakukan kurikulum nasional memiliki hidden goals berupa terwujudnya penyeragaman yang memungkinkan negara mengatur materi dan isi kurikulum, serta adanya marginalisasi dan kooptasi otonomi guru”. Pada pemerintahan Orde Baru, pendidikan digunakan sebagai alat kepentingan kekuasaan negara. Darmaningtyas dalam Media Indonesia 2005: 22 menjelaskan bahwa pada masa pemerintahan Orde Baru, pendidikan merupakan ajang indoktrinasi ideologi militeristik dan pemenangan partai tertentu dalam pemilihan umum, sehingga menyebabkan terhambatnya kualitas pendidikan nasional. Selanjutnya, Winarno Surakhmad dalam Suara Pembaruan 2008: 13 menyatakan bahwa intervensi politis dalam bidang pendidikan menyebabkan dunia pendidikan tergantung oleh proses politik penguasa dan hal ini merupakan kesalahan terbesar pemerintah dalam hal pengembangan pendidikan. Permasalahan-permasalahan di atas terjadi dalam pendidikan nasional secara umum, termasuk dalam pendidikan sejarah. Materi-materi sejarah telah diatur sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan tujuan penguasa. Pengaturan itu tampak dengan adanya tulisan sejarah yang bersifat manipulatif. Oleh karena itu, pendidikan nasional terutama pendidikan sejarah telah mengalami proses eksploitasi menjadi instrumen untuk menanamkan watak loyal dan kepatuhan bagi warga negara terhadap kekuasaan negara Arif Rohman, 2009: 11. Pada masa Orde Baru, pemerintah sedemikian rupa melakukan upaya pembentukan pengetahuan sejarah historical knowledge yang seragam dan sesuai dengan versi pemerintah. Upaya pembentukan pengetahuan sejarah telah menyebabkan tidak adanya apresiasi terhadap tulisan dan pemikiran sejarah yang bersifat alternatif, serta memunculkan kecenderungan rekayasa sejarah untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari 2008: 3 menyatakan “para sejarawan kritis telah menunjukkan bahwa sejarah versi Orde Baru telah membungkam suara dari pihak-pihak yang dianggap mengganggu dan mengancam pemerintahan militer yang berkuasa”. Senada dengan hal di atas, Bambang Purwanto 2001a: 111 menjelaskan bahwa “Indonesian history is considered primarily as a product of social and political engineering of the New Order rather than an appropriate scholarly apparatus”. Sejarah Indonesia ditetapkan sebagai hasil dari mesin sosial dan politik dari Orde Baru daripada hasil dari pihak akademisi. Dominasi penguasa terhadap pendidikan sejarah pada pemerintahan Orde Baru memunculkan dampak yang negatif. Slamet Soetrisno 2006: 55 menyebutnya sebagai “teror sejarah” yang ditandai dengan pergeseran sejarah ke arah mitos dan penggunaan sejarah untuk kepentingan-kepentingan individual. Pada masa pemerintahan Orde Baru kisah kepemimpinan Soeharto digeser ke arah mitos sebagai godfather, penyelamat bangsa, pengaman Pancasila, sampai kemudian mendapatkan gelar “Bapak Pembangunan” Slamet Soetrisno, 2007: 55-56. Kecenderungan tersebut tampak pada penempatan sosok Soeharto sebagai tokoh sentral sejarah Indonesia, terutama semenjak Serangan Umum 1 Maret sampai memuncak pada peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965 dan keluarnya Surat Perintah 11 Maret tahun 1966. Selain itu, tema sentral yang sering dimunculkan adalah tentang keberhasilan-keberhasilan yang dicapai oleh Orde Baru. Peristiwa-peristiwa inilah yang senantiasa ditampilkan secara berlebihan dan tidak seimbang dalam pendidikan sejarah. Kecenderungan mitologisasi dalam pendidikan sejarah memunculkan dikotomi yang oleh Paulo Freire 2008: 12-24 disebut dengan kaum penindas dan kaum tertindas. Penguasa Orde Baru bertindak sebagai kaum penindas. Sementara itu, guru, murid, dan masyarakat termasuk dalam kelompok tertindas. Penindas melakukan proses “penjinakan” melalui proses “pemolaan” dengan pemaksaan pilihan dan mengembangkan kesadaran palsu Freire, 2008: 16. Kenyataan ini berkembang dalam proses pendidikan sejarah pada pemerintahan Orde Baru. Pemanfaatan sejarah sebagai alat semakin terlihat dengan ditetapkannya Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa PSPB pada kurikulum 1984 dan 1986. Pelaksanaan PSPB didasarkan pada Ketetapan MPR No. IIMPR1982 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Di dalam PSPB terdapat tujuan instruksional yang sangat bermakna politis untuk menonjolkan peran Orde Baru sebagai upaya untuk mendapatkan legitimasi. Tujuan instruksional tersebut berbunyi “peserta didik meyakini bahwa Orde Baru mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat” Asvi Warman Adam, 2005: 96. Kecenderungan pendidikan sejarah digunakan sebagai alat penguasa mulai terkikis setelah reformasi. Kecenderungan tersebut tampak dari munculnya tahapan baru dalam penulisan sejarah. Penulisan sejarah merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari pendidikan sejarah karena menunjang pelaksanaan pembelajaran sejarah. Kuntowijoyo seperti dikutip Asvi Warman Adam 2007a: 8-9 menyebut tahapan baru penulisan sejarah Indonesia dengan istilah “gelombang ketiga historiografi Indonesia”. Gelombang ketiga dalam historiografi Indonesia ditandai dengan adanya upaya pelurusan terhadap hal-hal yang kontroversial dalam sejarah yang ditulis semasa Orde Baru. Berkembangnya nuansa kebebasan dalam masyarakat dan munculnya tahapan baru historiografi Indonesia telah memberikan pandangan baru bagi masyarakat tentang pemikiran-pemikiran alternatif. Pada saat ini telah banyak beredar buku-buku tentang peristiwa-peristiwa yang semasa Orde Baru dianggap terlarang, seperti penulisan beberapa versi baru tentang Gerakan 30 September. Selain itu, ada pula penerbitan-penerbitan sejarah akademis kritis berupa karya- karya ilmiah yang berasal dari penelitian-penelitian baik disertasi, tesis, skripsi, atau penelitian lainnya. Kemudian setelah reformasi muncul pula penerbitan biografi tokoh-tokoh terbuang, seperti A.M. Hanafi, Sulami, Aidit dan keluarganya, serta Tan Malaka. Beberapa hal tersebut menurut Asvi Warman Adam 2007a: 9-14 menjadi ciri dalam tahapan ketiga historiografi Indonesia yang di satu sisi memunculkan konsekuensi bahwa kontroversi sejarah tidak lagi dianggap tabu dalam perbincangan umum. Namun demikian, di sisi lain dinamika penulisan sejarah tidak sejalan dengan pelaksanaan pembelajaran sejarah di sekolah. Keterbukaan dalam pendidikan sejarah setelah reformasi yang ditandai dengan dinamika penulisan sejarah, ternyata belum memberikan perubahan dalam pembelajaran sejarah di sekolah. Praksis pembelajaran sejarah ternyata tidak sejalan dengan perkembangan yang pesat dalam historiografi setelah reformasi. Pembelajaran sejarah sekolah masih berada dalam situasi yang stagnant. Stagnasi dalam pembelajaran senada dengan pendapat bahwa pendidikan merupakan salah satu kegiatan yang paling konservatif di dalam era refomasi dewasa ini Tilaar, 2002: 101. Stagnasi dalam pembelajaran sejarah terlihat pada upaya penguasa yang masih tetap melakukan campur tangan secara berlebihan dalam pendidikan sejarah. Walaupun terjadi perubahan dalam kurikulum, mulai dari adanya suplemen tahun 1999, Kurikulum 2004, sampai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, masih ada seperangkat kebijakan pemerintah yang masih belum membuka peluang maksimal untuk pengembangan proses berpikir kritis peserta didik. Kecenderungan sikap pemerintah yang represif terutama tampak pada pembelajaran sejarah kontroversial di sekolah. Pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial masih belum maksimal. Materi-materi yang diajarkan masih sebatas pada materi-materi yang tidak memberikan pengaruh dan bersinggungan langsung dengan masyarakat, seperti materi-materi dari sejarah yang peristiwanya jauh dari masa sekarang. Sementara itu, materi-materi sejarah kontemporer yang bersifat sensitif dan politis seperti Gerakan 30 September, Supersemar, dan Serangan Umum 1 Maret 1949 belum sesuai dengan perkembangan historiografi setelah reformasi. Hal ini tampak dari adanya intervensi yang berlebih dari pemerintah dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 019AJA032007 pada tanggal 5 Maret 2007 yang melarang buku-buku pelajaran sejarah yang tidak membahas pemberontakan PKI tahun 1948 dan 1965 Asvi Warman Adam, 2007a: xiv. Munculnya kenyataan seperti ini merupakan salah satu hal yang menghilangkan kaidah sejarah sebagai ilmu, sekaligus menjadikan sejarah sebagai alat indoktrinasi untuk menghasilkan pengikut yang penurut Bambang Purwanto, 2006: 270. Keadaan tersebut bertentangan dengan tahapan pengajaran sejarah yang diungkapkan oleh Kuntowijoyo. Kuntowijoyo 1995: 3-4 menyatakan bahwa pendekatan pengajaran sejarah pada jenjang pendidikan SMA, mestinya diajarkan secara kritis. Melalui pendekatan itu diharapkan peserta didik “mampu berpikir mengapa sesuatu terjadi, apa yang sebenarnya terjadi, serta ke mana arah kejadian-kejadian itu”, sebab pada jenjang tersebut daya nalar peserta didik sudah bisa diajak untuk berpikir secara kritis Kuntowijoyo, 1995: 4. Kenyataan itu membutuhkan satu pendekatan khusus dalam pelaksanaan pendidikan sejarah, agar pembelajaran sejarah dapat sesuai dengan perkembangan pemikiran anak yang telah mampu berpikir secara kritis. Di negara-negara maju pada saat ini telah berkembang satu ideologi pendidikan yang berupaya memberikan suatu kesadaran kritis bagi peserta didik, yakni dengan menerapkan critical pedagogy sebagai pendekatan dalam pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran. Critical pedagogy merupakan sebuah pendekatan pendidikan yang memandang bahwa terdapat muatan-muatan politis dalam pendidikan. Critical pedagogy bertujuan memberdayakan kaum tertindas dan mentransformasi ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat melalui media pendidikan Agus Nuryatno, 2008: 1-2. Pendidikan kritis memandang bahwa terdapat relasi antara pengetahuan, kekuasaan, dan ideologi. Di dalam pendidikan kritis, dikenal adanya critical thinkingconsciousness yakni sebuah konsep pemikiran yang mampu menyingkap fenomena-fenomena tersembunyi atau melampaui asumsi-asumsi yang hanya berdasarkan common sense akal sehat. Oleh karena itu, pendidikan kritis atau critical pedagogy sangat relevan sebagai pendekatan dalam pendidikan sejarah. Terlebih lagi dalam pendidikan kritis landasan yang digunakan adalah keadilan dan kesetaraan. Penerapan critical pedagogy dalam pendidikan sejarah diharapkan mampu menjadikan pendidikan sebagai medium bagi kritik sosial sekaligus mampu menawarkan kemungkinan-kemungkinan dikembangkannya democratic public spheres melalui proses self empowerment pemberdayaan diri dan self reflection refleksi diri sebagai titik tolak mewujudkan transformasi sosial Agus Nuryatno, 2008: 5. Relevansi critical pedagogy dalam pendidikan sejarah, khususnya pembelajaran sejarah disebabkan pula oleh adanya kesamaan-kesamaan pandangan di antara keduanya. Persamaan pertama, keduanya memandang bahwa ada keterkaitan antara pendidikan dengan politik, bahwa ada dalam pendidikan terdapat kepentingan-kepentingan politik, begitu pula sebaliknya bahwa dalam aktivitas politik terdapat muatan-muatan edukatif. Persamaan kedua adalah keduanya tidak dapat melepaskan diri dari konteks yang melingkupinya. Pendidikan sejarah maupun critical pedagogy memandang bahwa kondisi sekitar, baik kondisi politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya sangat berpengaruh terhadap pendidikan. Pendidikan senantiasa mengaitkan antara realitas dengan konsep- konsep. Persamaan ketiga ditinjau dari tujuan yang dicapai, yakni terbangunnya kesadaran kritis dari peserta didik atau masyarakat dalam melihat realitas yang menjadikannya sebagai landasan dalam bertindak. Persamaan keempat adalah keduanya memiliki landasan yang sama, yakni keadilan dan kesetaraan. Keadilan dan kesetaraan menjadi kata kunci yang penting dalam proses pemberdayaan masyarakat dan refleksi diri guna mencapai transformasi sosial. Dari pemikiran di atas, penelitian ini mencoba untuk menganalisis pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial ditinjau dari perspektif critical pedagogy , serta bagaimana pandangan dan apresiasi peserta didik terhadap implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Secara lebih spesifik, penelitian ini dilakukan di Kota Semarang karena berdasarkan data awal yang diperoleh dari penelitian Abu Su’ud 2008a terhadap guru-guru sejarah di 16 Sekolah Menengah Atas Negeri ternyata kepedulian para pengajar sejarah terhadap isu kontroversial yang berkembang cukup tinggi. Hal ini menjadi modal awal dalam penerapan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial, sehingga sangat menarik untuk meneliti tentang pelaksanaan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial yang dilakukan oleh guru-guru sejarah di Kota Semarang. Selain itu, Semarang termasuk kota yang dinamis karena banyak terdapat informasi-informasi terbaru yang dapat diakses dengan mudah. Penelitian ini akan menganalisis pemahaman guru-guru terhadap pelaksanaan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial, bagaimana penerapannya, serta apa kendala-kendala yang ditemui. Selain itu, diamati pula bagaimana pandangan dan apresiasi peserta didik dengan implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan satu kajian tentang pelaksanaan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial, sehingga dapat menghasilkan masukan-masukan baru dalam pendidikan sejarah yang bertujuan untuk menumbuhkan pola pikir dan kesadaran kritis peserta didik.

B. Rumusan Masalah