Critical Pedagogy dan Praksis Pembelajaran Sejarah

yang dimaksud adalah bahwa dalam pembelajaran sejarah kontroversial, berbagai pendapat yang menyatakan tentang peristiwa tersebut harus disampaikan, sehingga pemikiran peserta didik terbuka terhadap suatu peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial. Aspek keempat adalah aspek kesinambungan atau keberlanjutan dan keterkaitan peristiwa tersebut dengan peristiwa lainnya. Hal ini disebabkan peristiwa sejarah memiliki keterkaitan dengan berbagai peristiwa yang terjadi sebelum dan setelahnya. Critical pedagogy di dalam praksisnya menekankan pembelajaran sebagai proses bagaimana memahami, mengkritik, memproduksi, dan menggunakan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memahami realitas dan mengubahnya. Metode yang dipakai adalah kodifikasi dan dekodifikasi. Kodifikasi merupakan proses merepresentasikan fakta yang diambil dari kehidupan peserta didik dan kemudian mempermasalahkannya problematizing dan dekodifikasi adalah proses pembacaan atas fakta- fakta melalui dua metode, yakni deskriptif dan analitis Agus Nuryatno, 2008: 6. Metode deskriptif mencoba untuk memahami surface sctucture, sedangkan analitis digunakan untuk memahami deep structure, sebagai upaya memahami relasi antarkategori dalam membentuk realitas Agus Nuryatno, 2008: 6. Proses yang ditekankan dalam critical pedagogy adalah self reflection dan self actualization Listyana, Lavandez, Nelson, 2004: 10. Tahap refleksi mempertanyakan “mengapa sesuatu itu bisa terjadi” sementara tahap aktualisasi yang merupakan proses kontekstualisasi menekankan pada pertanyaan “bagaimana keterkaitan dengan kehidupan di sekitar saya?”, “bagaimana harus menyikapi permasalahan tersebut?”. Oleh karena penekanannya pada aspek pengembangan peserta didik, pembelajaran berada pada pertanyaan how to think bukan what to think . Aspek what to think lebih menekankan pada aspek materi. Sementara itu, how to think lebih menekankan pada proses atau metodologi pada aktivitas pembelajaran daripada aspek materi. Dengan demikian, proses berpikir, berdebat, berargumentasi, mengapresiasi pendapat, menjadi lebih penting daripada materi pelajaran itu sendiri. Hal ini disebabkan dalam proses tersebut akan terjadi kritisisme, sharing ideas, saling menghargai dan assesment terhadap pengetahuan Agus Nuryatno, 2008: 8. Guru dalam critical pedagogy tidak dianggap sebagai pusat segalanya. Ia bukan satu-satunya sumber pemilih otoritas kebenaran dan pengetahuan dan penguasa tunggal atas kelas. Guru dan murid sama-sama learner , subjek yang belajar bersama. Isi atau materi pelajaran dalam critical pedagogy tidak semata-mata hak prerogatif guru, kepala sekolah, atau para ahli tanpa melibatkan peserta didik. Pendekatan bottom up lebih dipilih dalam mengkonstruksi isi pembelajaran. Hal ini bertujuan agar pendidikan lebih bermakna dan agar peserta didik paham dengan realitas hidup yang sebenarnya Agus Nuryatno, 2008: 7. Posisi guru dalam critical pedagogy harus mampu mengarahkan peserta didik untuk memahami keterkaitan antara teori dan praktik atau antara refleksi dan aksi. Konsep ini dalam critical pedagogy dikenal dengan istilah “praxis” Listyana, Lavandez, Nelson, 2004: 7. Program yang dirancang oleh guru harus mampu mengembangkan critical languages untuk menjelaskan dunia yang melingkupi kehidupan keseharian masyarakat, tentang mengapa dan bagaimana sesuatu hal terjadi dalam kehidupan masyarakat. Di dalam pelaksanaannya, ada pertanyaan yang harus dipahami oleh guru, seperti “apa kacamata ideologis yang digunakan untuk melihat realitas sosial yang terjadi?”, “bagaimana cara kita merasakan aspek sosial, politik, ekonomi, dan institusional yang melingkupi kehidupan kita?”, bagaimana kita dapat mengenali dan melihat hubungan dan penyalahgunaan power dan berapa besar tingkat signifikansinya dalam dunia pendidikan dan dalam kehidupan masyarakat?” Listyana, Lavandez, Nelson, 2004: 8. Sejarah dalam perspektif critical pedagogy tidak bersifat unidimensional Carr, 2008: 86. Guru dan peserta didik harus memahami bahwa sejarah adalah multidimensional, sehingga dibutuhkan padangan yang multiperspektif bahwa sejarah adalah dilingkupi, didefinisikan, ditampilkan, dan dihubungkan dengan konteks pada saat ini. Artinya terdapat aspek kesinambungan dalam sejarah dan adanya sifat sejarah yang multiinterpretasi. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pembelajarannya, guru harus memiliki perhatian terhadap konstruksi dan interpretasi yang beragam dari sejarah Carr, 2008: 86. Penerapan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah dilakukan dengan mengutamakan proses dialogis dan bersifat kontekstual. Konsep pedagogis yang digunakan terutama mengacu pada konsep yang dikembangakan oleh Paulo Freire. Paulo Freire 2008: 51 mengecam adanya konsep pendidikan “gaya bank” yang menganggap peserta didik sebagai tempat penyimpanan pengetahuan belaka. Pendidikan “gaya bank” merupakan proses belajar mengajar ketika guru tidak memberikan pengertian kepada peserta didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada peserta didik untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Peserta didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya mereka itu sendiri yang “disimpan” sebab miskinnya daya cipta. Oleh karena itu, pendidikan “gaya bank” menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia Marthen Manggeng, 2005: 42. Model pendidikan “gaya bank” kemudian melahirkan kebudayaan bisu sebagai dampak dari berhentinya proses berpikir kritis akibat pendidikan yang satu arah dan tidak dialogis. Hal ini bertentangan pula dengan konsep masyarakat ideal model J. Habermas yang menghendaki terwujudnya masyarakat yang rasional. Proses pendidikan yang dilakukan dalam pembelajaran sejarah dengan pendekatan critical pedagogy mengacu pada kosep pendidikan “hadap masalah” seperti yang diterapkan oleh Paulo Freire 2008: 64. Pendidikan yang membebaskan dengan konsep “hadap masalah” bukan berisi pengalihan-pengalihan informasi transfers of knowledge, melainkan berisi laku-laku pemahaman acts of cognition. Konsep berpikir tersebut sesuai dengan konsep pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi peserta didik. Oleh karena itu, pendidikan sejarah senantiasa diajarkan dengan model kontekstual. Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap- masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada naradidik supaya ada kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi, dan politik Marthen Manggeng, 2005: 42. Utomo Dananjaya 2005: 57 menjelaskan bahwa pendidikan “gaya bank” adalah metode pendidikan yang tidak dialektis atau searah. Paulo Freire 2008: 63 menawarkan metode pendidikan dengan mengembangkan kesadaran ke arah keterbukaan, yaitu proses pendidikan terdiri atas guru yang murid, dan murid yang guru serta realitas dunia. Pendidikan yang benar adalah pendidikan yang harus menjadi kekuatan penyadaran dengan pembebasan, yaitu pendidikan “hadap masalah”. Pendidikan “hadap masalah” adalah proses kodifikasi dan dokumentasi, diskusi kultural, dan aksi kultural. Dengan pendekatan semacam itu, guru dan murid dibawa kepada dedikasi yang sesungguhnya, yaitu kemampuan untuk mengerti secara kritis mengenai dirinya sendiri dan dunianya Utomo Dananjaya, 2005: 58.

d. Implementasi Critical Pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah

Implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah dapat ditinjau dari beberapa aspek. Aspek tersebut dilihat dari unsur-unsur dalam pembelajaran meliputi 1 tujuan, 2 subjek belajar, 3 materi pelajaran, 4 strategi pembelajaran, 5 media pembelajaran, 6 evaluasi, dan 7 penunjang Ahmad Sugandi dkk., 2004: 28-30. Ditinjau dari aspek tujuan, implementasi dilakukan dengan menyusun tujuan pembelajaran yang sesuai dengan critical pedagogy, yakni dengan menerapkan aspek kesetaraan dan keadilan. Tujuan-tujuan yang disusun dalam pembelajaran sejarah sedapat mungkin mengakomodasi aspek-aspek keadilan dan kesetaraan. Artinya tujuan pembelajaran sejarah dengan pendekatan critical pedagogy diarahkan pada terbentuknya kesadaran kritis peserta didik dan demokratisasi. Oleh karena itu, prinsip keterbukaan, keterkaitan dengan realitas yang terjadi di lingkungan sekitar, dan berbagai permasalahan masyarakat menjadi hal yang diangkat dalam tujuan pembelajaran sejarah. Aspek selanjutnya dalam implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah dilihat dari aspek subjek belajar, yakni guru dan peserta didik. Dalam perspektif critical pedagogy posisi antara guru dan peserta didik sama-sama sebagai learner, artinya tidak ada dominasi peran antara guru dan peserta didik. Dalam membangun komunikasi di antara keduanya, harus terjadi proses yang dialogis, sehingga terjadi proses yang saling mengisi. Guru tidak lagi berperan sebagai satu-satunya sumber dalam pembelajaran. Ditinjau dari aspek materi, terutama pada pembelajaran sejarah kontroversal, S.K. Kochhar 2008: 454-455 memberikan beberapa batasan pemilihan, yakni 1 topik yang diangkat berada dalam batas kompetensi kelompok, artinya disesuaikan dengan kemampuan guru dan peserta didik, 2 topik yang diminati dan penting bagi kelas, 3 isu yang tidak terlalu “panas” pada saat ini, karena ada kekhawatiran munculnya pretensi, dan justifikasi, 4 isu yang pembahasannya tidak memakan banyak waktu, serta 5 isu dengan materi yang memadai.