Kendala Guru dalam Implementasi Critical pedagogy dalam

kendala yang berarti. Ia masing menggunakan silabus yang disusun oleh pusat kurikulum. Aspek yang menurutnya masih membutuhkan perhatian adalah faktor alokasi waktu yang terbatas. Hal ini disebabkan banyak kompetensi dasar dalam mata pelajaran Sejarah yang memerlukan waktu tidak sedikit dan terbagi ke dalam materi yang cukup banyak. Selain itu, pada materi G 30 SPKI sumber-sumber yang tersedia di SMA N 1 Semarang belum mencukupi. Dengan demikian, pemanfaatan internet menjadi salah satu faktor penting untuk mendapatkan informasi terbaru tentang G 30 S. Kendala terakhir dari aspek perencanaan adalah adanya kebijakan pemerintah yang kurang mendukung dalam pembelajaran untuk materi G 30 SPKI. Pada aspek tujuan, menurut guru di SMA N 1 Semarang tidak ada permasalahan berarti yang menjadi kendala. Ditinjau dari aspek peserta didik, kendala yang ditemui menurut Susilowati wawancara 20 Januari 2010 adalah “di sini pelajaran sejarah dianggap sebagai intermezo, jadi siswanya lebih fokus ke pelajaran lain daripada pelajaran sejarah. Apalagi sejarah tidak masuk dalam ujian nasional”. Dari aspek peserta didik ada kecederungan kurang antusias dalam pembelajaran, namun secara keseluran karena materi-materi pada kelas XII IPS adalah materi tentang sejarah kontemporer, maka peserta didik cenderung untuk antusias. Hal ini karena peristiwa sejarah kontemporer tidak terlalu jauh waktu terjadinya dari masa sekarang, sehingga peserta didik mampu untuk belajar secara mandiri serta mengumpulkan materi dari berbagai sumber yang banyak tersedia. Dalam hal penerapan metode pembelajaran, pada dasarnya tidak terlalu ditemui kendala karena pada dasarnya guru telah menerapkan beberapa metode dalam mengajarkan materi yang mengulas peristiwa Gerakan 30 September, walaupun masih menekankan pada aspek bercerita. Guru menjelaskan bahwa selepas dirinya mengikuti PLPG Pendidikan dan Latihan Profesi Guru di Unnes dia mendapatkan banyak pengalaman yang berharga tentang penerapan berbagai metode dalam mengajar. Media-media yang digunakan dalam pembelajaran sejarah kontroversial pada materi G 30 SPKI seperti diungkapkan Susilowati wawancara 20 Januari 2010 memang tidak tersedia dalam jumlah yang bervariasi. Media-media yang belum tersedia secara mencukupi antara lain film dokumenter serta dokumen-dokumen, namun ditinjau dari aspek fasilitas tidak ada permasalahan karena di SMA N 1 Semarang fasilitas belajar telah tersedia secara lengkap seperti komputer dan LCD pada tiap ruang kelas. Ketersediaan LCD telah dilengkapi dengan software yang menunjang pelaksanaan pembelajaran, seperti Windows Media Player untuk memutar video, aplikasi Microsoft Office Power Point dan Flash Player untuk media presentasi. Ditinjau dari aspek sumber belajar, di SMA N 1 Semarang belum terdapat buku-buku yang menunjang pembelajaran sejarah kontroversial. Buku-buku yang terdapat di sana masih bersifat standar seperti Sejarah Nasional Indonesia. Sementara itu guru lebih cenderung untuk menggunakan internet dan buku teks dalam pembelajaran. Kendala yang ditemui dari aspek evaluasi menurut Susilowati tidak terlalu bermasalah, hanya saja untuk tes kadang kala pembuat soal dari MGMP tidak mengakomodasi permasalahan sejarah kontroversial. Kendala yang ditemui dalam aspek pendukung lain, yakni tanggapan masyarakat menurut Susilowati wawancara 20 Januari 2010 tidak ada yang memunculkan permasalahan. Hal ini disebabkan masyarakat Semarang bukan masyarakat yang fanatik dan bukan sebagai lokasi yang mendapatkan dampak langsung dari peristiwa Gerakan 30 September. Hal ini turut mempermudah pengajaran materi sejarah kontroversial tersebut. Faktor-faktor pendukung lain dalam pembelajaran yang dimaksudkan dalam penelitian ini meliputi segenap hal yang kehadirannya turut mempengaruhi pelaksanaan pembelajaran. Pada penelitian ini faktor pendukung tersebut adalah peran organisasi profesi dan keilmuan, peran perguruan tinggi, faktor masyarakat, media massa, serta kebijakan pemerintah. Organisasi profesi yang menaungi guru sejarah di Kota Semarang adalah Musyawarah Guru Mata Pelajaran MGMP. Berkaitan dengan hal tersebut, Susilowati menyatakan bahwa dirinya tidak aktif dalam MGMP, sehingga baginya tidak ada peran yang signifikan dari MGMP dalam menunjang pembelajaran sejarah kontroversial. Selain itu, untuk orgnanisasi keilmuan seperti Masyarakat Sejarah Indonesia MSI atau organisasi kesejarahan lainnya menurut Susilowati wawancara 20 Januari 2010 belum ada peran yang signifikan. Berkaitan dengan peran serta perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi sebagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan LPTK Susilowati juga menyatakan peran LPTK dalam pembelajaran sejarah kontroversial masih minim, peran LPTK yang selama ini dirasakan hanya dalam pelatihan-pelarihan untuk meningkatkan keterampilan guru dalam pengembangan metode pembelajaran. Di SMA N 5 Semarang, pembelajaran sejarah juga mengalami kendala-kendala mulai dari penyusunan perangkat dan pelaksanaan pembelajaran. Pada aspek perencanaan pembelajaran guru telah menyusunnya secara mandiri, tetapi belum secara penuh. Guru masih menggunakan tujuan atau indikator pembelajaran yang disusun oleh pusat kurikulum. Hal ini tampak dari tujuan pembelajaran yang digunakan oleh guru pada pembelajaran untuk materi tentang G 30 S. Pada perangkat pembelajaran, indikator masih menggunakan rumusan yang disusun oleh puskur. Terkait dengan perencanan pembelajaran, aspek alokasi waktu untuk pengajaran sejarah menurutnya juga masih kurang, terutama dalam mengajarkan sejarah kontroversial dalam pembelajaran. ia memberikan penjelasan bahwa materi-materi pada saat ini cukup padat, sehingga upaya untuk menjelaskan secara mendalam mengalami kendala. Pada materi G 30 SPKI sumber-sumber yang tersedia di SMA N 5 Semarang belum mencukupi. Buku-buku yang mengulas tentang kontroversi sejarah masih belum dijumpai di perpustakaan sekolah. Hal ini menyebabkan adanya kendala bagi guru terutama bagi peserta didik untuk lebih memperdalam materi sejarah kontroversial. Kemudian Mindarwati wawancara 24 Februari 2010 menyatakan bahwa kebijakan pemerintah yang kurang mendukung dalam pembelajaran untuk materi G 30 S turut berpengaruh dalam pembelajaran, seperti ketika terjadi penarikan dan pembakaran buku ajar sejarah. Pada aspek tujuan, menurut guru di SMA N 5 Semarang tidak ada permasalahan berarti yang menjadi kendala. Mindarwati wawancara 24 Februari 2010 menjelaskan bahwa memang dalam pembelajaran ia senantiasa menekankan pentingnya bepikir kritis dan mengajarkan sejara kontroversial dengan inisaiatifnya sendiri. Ditinjau dari aspek peserta didik, ia menyatakan bahwa peserta didik dirasakan telah cukup siap untuk menerima materi-materi sejarah kontroversial. Akan tetapi tingkat penerimaan dan kemampuan berpikir dari anak-anak IPS masih kurang dibandingkan dengan anak-anak IPA. Dari aspek peserta didik, Mindarwati wawancara 24 Februari 2010 menyatakan bahwa sering kali ketika kelas mengadakan diskusi ada sebagian peserta didik yang justru tidak memperhatikan temannya yang tengah presentasi. Selain itu dijelaskan bahwa dari aspek peserta didik, kendala yang ditemui adalah “pembelajaran akan menjadi susah untuk anak yang kurang suka membaca”. Adanya peserta didik yang kurang membaca disebabkan minimnya referensi menarik yang mengulas tentang sejarah, terutama sejarah kontroversial. Pada aspek guru, Mindarwati wawancara 6 April 2010 menjelaskan bahwa “kunci untuk mengajarkan sejarah adalah dengan menguasai materi, dan untuk menguasai materi kita guru sejarah harus banyak membaca buku”. Apabila guru telah menguasai materi maka pembelajaran tidak menjadi terkendala. Dalam hal penerapan metode pembelajaran, guru juga tidak mengalami kendala yang berarti walau ada permasalahan yang masih ditemui. Mindarwati menambahkan bahwa memang sampai saat ini belum ada format baku tentang bagaimana mengajarkan sejarah kontroversial, karena banya sekali jenis sejarah kontroversial. Ia mengajarkan sejarah sesuai dengan kemampuannya, yakni dengan diskusi. Pada saat diskusi situasi kelas cukup dinamis, tetapi hanya pada peserta didik tertentu, dan selebihnya mereka melakukan aktivitas yang lain. Media-media yang digunakan dalam pembelajaran sejarah kontroversial pada materi G 30 SPKI seperti diungkapkan Mindarwati wawancara 6 April 2010 juga tidak tersedia dalam jumlah yang bervariasi, seperti film dokumenter serta dokumen-dokumen. Namun ditinjau dari aspek fasilitas tidak ada permasalahan karena di SMA N 5 Semarang fasilitas belajar telah tersedia secara lengkap seperti komputer dan LCD pada tiap ruang kelas. Namun demikian, sampai saat ini di sana masih belum terdapat laboratorium sejarah yang menyediakan media- media pembelajaran khusus untuk sejarah. Pada aspek evaluasi, dijelaskan Mindarwati wawancara 6 April 2010 bahwa dalam pembuatan alat evaluasi untuk sejarah kontroversial, ia menggunakan penilaian proyek, yakni dengan penugasan untuk pembuatan makalah. Dinyatakan bahwa tidak semua materi kontroversial bisa dibuatkan evaluasi karena terbatasnya alokasi waktu dan tidak adanya materi-materi tertentu dalam SK dan KD. Ditinjau dari aspek sumber belajar, di SMA N 5 Semarang belum terdapat buku-buku yang menunjang pembelajaran sejarah kontroversial. Buku yang tersedia di sana masih sebatas buku teks dan buku-buku referensi lama, seperti SNI dan 30 Tahun Indonesia Merdeka. Kemudian Mindarwati menambahkan bahwa belum ada panduan yang disusun oleh pemerintah yang memberikan penjelasan tentang sejarah kontroversial. Kendala yang ditemui dalam aspek tanggapan masyarakat menurut guru tidak ada. Hal ini disebabkan masyarakat Semarang bukan masyarakat yang fanatik dan bukan sebagai lokasi yang mendapatkan dampak langsung dari peristiwa Gerakan 30 September. Berkaitan dengan peran MGMP dalam pembelajaran sejarah kontroversial, Mindarwati wawancara 6 April 2010 menyatakan bahwa peran MGMP belum optimal. Ia menyatakan Peran MGMP kurang, kadang-kadang ada pertemuan tetapi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pembelajaran sejarah … MGMP seharusnya lebih bisa memberikan motivasi agar pembelajaran sejarah lebih baik. Kemudian, masih terkait dengan MGMP, dijelaskan pula bahwa selama ini MGMP hanya berperan dalam pembuatan perangkat dan soal- soal dan belum menyentuh aspek kontroversi sejarah. Lebih lanjut lagi diharapkan MGMP mampu untuk melakukan penyempurnaan media pembelajaran, pembuatan alat peraga, serta melakukan studi banding. Selain itu, untuk orgnanisasi keilmuan seperti Masyarakat Sejarah Indonesia MSI atau organisasi kesejarahan lainnya menurut Mindarwati belum ada peran yang signifikan. Ia juga tidak terlibat dalam aktivitas yang diselenggarakan oleh MGMP. Berkaitan dengan peran serta Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan LPTK Mindarwati wawancara 6 April 2010 menyatakan peran LPTK dalam pembelajaran sejarah kontroversial kurang. Peran LPTK masih sebatas dalam PPL Praktik Pengalaman Lapangan dan pelatihan yang bersifat umum. Ia beharap agar LPTK dapat mengadakan sebuah acara secara berkelanjutan bagi guru-guru sejarah, terutama terkait pembelajaran sejarah kontroversial. Di SMA N 12 Semarang, Heri Rohayuningsih wawancara 23 Januari 2010 menjelaskan bahwa secara umum kendala yang ditemui terkait dengan pembelajaran sejarah kontroversial adalah alokasi waktu dan sumber belajar. Ia menjelaskan bahwa permasalahan waktu menjadi sangan penting karena selama ini waktu yang tersedia sangat minim dalam mengajarkan sejarah kontroversial, sehingga tidak banyak materi kontroversial yang diajarkan. Secara khusus, kendala guru dapat dilihat pada aspek perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Perencanaan pembelajaran yang digunakan dalam KTSP bagaimana upaya guru dalam menyusun silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran RPP. Pada penyusunan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran untuk materi yang mengulas peristiwa tentang Gerakan 30 September pada kelas XII IPS di SMA N 12 Semarang, Heri Rohayuningsih wawancara 23 Januari 2010 menyatakan bahwa dirinya tidak menemukan kendala yang berarti, karena ia melibatkan MGMP Kota dalam penyusunan perangkat pembelajaran. Aspek yang menurutnya masih membutuhkan perhatian adalah faktor alokasi waktu yang terbatas. Hal ini disebabkan banyak sejarah kontroversial yang masih belum dapat dikembangkan karena pembahasan yang memakan waktu tidak sedikit. Ia juga menambakan bahwa dalam kurikulm masih sedikit materi yang dapat dikembangkan untuk menjadi materi kontroversial Pada materi G 30 SPKI sumber-sumber yang tersedia di SMA N 12 Semarang belum mencukupi. Guru mengakui bahwa tidak memiliki sumber yang baku tentang peristiwa kontroversial, sehingga dirinya lebihcenderung memanfaatkan materi yang sudah termuat dalam buku teks. Dari aspek perencanaan ia menambahkan bahwa adalah adanya kebijakan pemerintah yang kurang mendukung dalam pembelajaran untuk materi G 30 SPKI menjadi kendala tersendiri dalam pembelajaran sejarah, sehingga ia memilih untuk berada pada posisi yang aman. Pada aspek tujuan, menurut guru di SMA N 12 Semarang tidak ada permasalahan berarti yang menjadi kendala. Heri Rohayunignsih wawancara 23 Januari 2010 menyatakan bahwa dirinya bekerja sama dengan MGMP dalam penyusunan perangkat, sehingga tidak mengalami kendala yang berarti. Hanya saja karena ada beberapa materi kontroversial yang masih belum tercantum dalam kurikulum dirinya tidak dapat membuat rumusan yang pasti tentang tujuan pembelajaran sejarah kontroversial. Ditinjau dari aspek peserta didik, Heri Rohayuningsih wawancara 7 April 2010 menyatakan bahwa di SMA N 12 Semarang, kebanyakan peserta didik tidak berasal dari kawasan perkotaan, sehingga peserta didik terkendala untuk masalah pencarian informasi terbaru. Kemudian peserta didik berasal dari kalangan kelas menengah, sehingga kepemilikan buku teks terbatas pada kalangan-kalangan tertentu. Kemudian, ia menambahkan bahwa ada beberapa peserta didik yang memiliki daya tangkap yang kurang, sehingga menyulitkan sebagian peserta didik untuk memahami materi secara efektif. Dalam hal penerapan metode pembelajaran, kendala yang ditemui adalah pada aspek belum adanya metode yang baku untuk mengajarkan sejarah kontroversial. Selama ini guru hanya menekankan pada metode ceramah bervariasi dan sesekali diskusi tentang peristiwa sejarah kontroversial. Media-media yang digunakan dalam pembelajaran sejarah kontroversial pada materi G 30 S seperti diungkapkan Heri Rohayuningsih tidak tersedia dalam jumlah yang bervariasi. Media-media yang belum tersedia secara mencukupi antara lain film dokumenter serta dokumen-dokumen. Di SMA N 12 Semarang belum tersedia fasilitas belajar seperti LCD dalam kuantitas yang memadai. Laboratorium sejarah sebagai tempat khusus untuk belajar sejarah secara maksimal masih belum tersedia. Ditinjau dari aspek sumber belajar, di SMA N 12 Semarang belum terdapat buku-buku yang menunjang pembelajaran sejarah kontroversial. Buku-buku yang terdapat di sana, seperti sekolah yang lain, masih bersifat standar seperti SNI. Kemudian, ditinjau dari aspek evaluasi, karena alokasi yang minim dan belum banyaknya materi yang tercantum dalam kurikulum, maka masih sedikit evaluasi yang dibuat untuk materi kontroversial. Ditinjau dari aspek organisasi profesi yang menaungi guru sejarah di Kota Semarang, yakni Musyawarah Guru Mata Pelajaran MGMP, Heri Rohayuningsih wawancara 7 April 2010 menyatakan bahwa MGMP telah berperan dalam pembelajaran. namun demikian ia menambahkan bahwa peran MGMP hanya sebatas pada pertemuan- pertemuan dan pembuatan soal, dan belum mengulas permasalahn sejarah kontroversial. Selain itu, untuk organisasi keilmuan seperti Masyarakat Sejarah Indonesia MSI atau organisasi kesejarahan lainnya menurut Heri Rohayuningsih juga belum ada peran yang signifikan. Berkaitan dengan peran serta sebagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan LPTK Heri Rohayuningsih menyatakan peran LPTK dalam pembelajaran sejarah kontroversial masih minim, peran LPTK yang selama ini belum menyentuh aspek sejarah kontroversial. Pada aspek masyarakat, secara umum tidak terdapat kendala. Hal ini disebabkan masyarakat di Kota Semarang cenderung terbuka. Kota Semarang juga bukan sebagai wilayah yang memiliki akses langsung terhadap dampak dari peristiwa Gerakan 30 September. Dengan demikian masyarakat yang ada di Semarang tidak berhubungan secara langsung dengan peristiwa seputar Gerakan 30 September. Salah satu aspek pendukung lain dalam pembelajaran adalah media massa. Media massa yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi media massa cetak serta media massa elektronik. Media massa dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar. Hal ini disebabkan media memberikan kepada masyarakat pada umumnya, serta guru sejarah pada khususnya tentang berbagai informasi kesejarahan terbaru. Informasi dari meda massa menjadi sangat berharga ketika akses informasi dari jalur formal oleh perintah sangat sulit. Pada aspek media massa, pada dasarnya kendala utama yang ditemui adalah keterbatasan untuk melakukan akses informasi secara mudah dan murah. Pada pembelajaran sejarah kontroversial, terjadi ketidaksesuaian antara semangat reformasi yang menunjung tinggi semangat keterbukaan dan kebebasan mengemukakan pendapat dengan kenyataan pendidikan sejarah pada saat ini, yakni adanya seperangkat kebijakan pemerintah yang masih belum membuka peluang yang maksimal untuk pengembangan proses berpikir kritis. Hal ini nampak dari dikeluarkannya Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 019AJA032007 pada tanggal 5 Maret 2007 yang melarang buku-buku pelajaran sejarah yang tidak membahas pemberontakan PKI tahun 1948 dan 1965. Akibatnya, terjadi penarikan buku ajar besar-besaran disertai dengan pemusnaham buku tersebut secara massal. Permasalahan kebijakan menjadi salah satu kendala yang menyebabkan kebingungan di kalangan guru sejarah. Kebingungan itu adalah kebingungan dalam hal pemanfaatan sumber sebagai referensi dalam mengajar dan sebagai pegangan bagi peserta didik. Berikut adalah tabel kendala pada aspek pendukung pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial.

d. Apresiasi Peserta Didik terhadap Implementasi Critical pedagogy

dalam Pembelajaran Sejarah Kontroversial Pembelajaran sejarah kontroversial dengan pendekatan critical pedagogy walau dalam implementasinya masih belum berjalan secara maksimal ternyata memunculkan apresiasi di kalangan peserta didik. Apresiasi tersebut merupakan reaksi yang berkembang dari persepsi yang muncul di kalangan peserta didik. Akan tetapi, apresiasi dari peserta didik terhadap pembelajaran sejarah kontroversial tidak serta merta digeneralisasikan dalam sebuah narasi tunggal. Ada berbagai macam pemikiran dan tanggapan dari peserta didik tentang pembelajaran sejarah yang diimplementasikan di sekolahnya masing-masing. Di SMA N 1 Semarang, berdasarkan wawancara yang dilakukan, ada berbagai pandangan dan apresiasi dari peserta didik tentang pembelajaran sejarah pada umumnya, dan sejarah kotroversial pada khususnya. Apresiasi peserta didik tentang pembelajaran sejarah kontroversial dapat dibagi dalam beberapa hal, yakni apresiasi terhadap pelajaran sejarah secara umum, apresiasi terhadap materi, apresiasi terhadap metode pengajaran yang diterapkan oleh guru, apresiasi terhadap sumber dan media pembelajaran yang dimanfaatkan, serta apresiasi terhadap penugasan dan proses belajar sejarah secara mandiri oleh peserta didik. Sebelum membahas tentang apresiasi peserta didik pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critial pedagogy, terhadap beberapa peserta didik diberikan pertanyaan tentang pandangan peserta didik tentang pembelajaran itu sendiri. Secara umum sebagian siswa menyenangi pelajaran sejarah, tetapi tidak jarang pula ada yang menganggap pelajaran sejarah sebagai pelajaran yang kurang menarik. Salah seorang siswa bernama Kinanti Widiari Wawancara 1 Maret 2010 berpendapat bahwa “saya menyukai pelajaran sejarah, karena membuat imajinasi dan sangat menyenangkan membaca cerita-cerita dari masa lalu”. Hal tersebut didukung pula oleh pendapat dari Reza Wijaya wawancara 1 Maret 2010 “lumayan seru, apalagi kalau gurunya mantap, plus kalau membahas tentang politik”. Selain menyenangi pelajaran sejarah karena kandungan materi dan cerita-ceritanya, ada pula yang menganggap pelajaran sejarah adalah pelajaran yang menyenangkan karena pelajaran sejarah dianggap sebagai pelajaran intermezo di sela-sela padatnya pelajaran ilmu pasti pada jurusan IPA. Hal ini diungkapkan oleh Dedi Permana wawancara 8 Maret 2010, peserta didik Jurusan IPA yang menyatakan bahwa “saya menikmati pelajaran sejarah dengan baik karena salah satu pelajaran IPS dalam bidang IPA”. Di samping itu, ada pula pendapat yang berbeda dari Sinta Anindita wawancara 1 Maret 2010 yang menyatakan “pelajaran sejarah sebenarnya menarik, karena mengulas peristiwa zaman dahulu, tetapi karena pelajaran sejarah berisi tentang teori-teori, saya jadi kurang tertarik dengan pelajaran sejarah”. Hal yang hampir sama diungkapkan pula oleh Yulia Meutia wawancara 1 Maret 2010 bahwa “sejarah menarik bila