Pembahasan tesis tsabit azinar ahmad sejarah pps uns 2010

Kesadaran sejarah memperlihatkan kebebasan manusia dari keniscayaan sejarah yang tidak dapat dihindari dan dari tekanan-tekanan kondisi, serta menunjukkan kebebasan manusia untuk menentukan sikapnya dan hubungannya dengan situasi tertentu Soedjatmoko, 1995: 369. Dalam kenyataan dan pelaksanaannya, terjadi hal yang bertentangan yakni guru masih cenderung untuk menghindari isu kontroversial walaupun secara pemahaman mereka telah mengetahui arti penting critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Dalam penelitian yang dilakukan, ternyata guru-guru yang diwawancarai sebagian telah cukup terbuka dan memahami bagaimana implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Akan tetapi, keterbukaan tersebut masih belum menjadi jaminan ketika dalam praktik pelaksanaannya guru ternyata belum memiliki keberanian untuk mengungkapkan peristiwa sejarah kontroversial dengan inisiatif mereka secara mandiri. Pemahaman guru yang mendukung implementasi critical pedagogy walaupun masih belum secara menyeluruh terhadap pembelajaran sejarah kontroversial telah menunjukkan bahwa guru telah memasuki tingkat refleksi. Karena masih rendahnya kemauan dan kemampuan disertai adanya konteks yang belum mendukung secara penuh menyebabkan aspek aksi atau aktualisasi masih belum tampak dalam pembelajaran. Pembelajaran sejarah kontroversial yang dilakukan oleh guru masih sebatas pada jalur yang ditetapkan. Kalaupun ada perbedaan, tidak terlalu melenceng jauh dari aturan yang telah ditetapkan. Kecenderungan dari guru untuk mempertahankan status quo, mengutamakan konformitas, dan menghindari isu kontroversial merupakan faktor internal dari guru yang berpengaruh terhadap pemahaman mereka terhadap implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Faktor internal dari guru menyebabkan keengganan guru dalam mengeksplorasi sumber- sumber baru untuk menunjang pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial. Faktor internal dari guru ini senada dengan pendapat dari Bambang Purwanto 2005: 11 tentang faktor internal dalam diri sejarawan terkait dengan permasalahan historiografi nasional. Ia menyatakan bahwa “bukan orang lain faktor luar yang seharusnya dipersalahkan terlebih dahulu, tapi mugnkin diri kita sendiri sebenarnya yang mengandung banyak kelemahan” Bambang Purwanto, 2005: 11. Dengan demikian, sikap dan pendirian guru secara pribadi berpengaruh terhadap pemahaman mereka terhadap implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Faktor internal dalam diri guru merupakan sebuah prasyarat yang menjadi landasan dalam pemahaman terhadap tujuan pelaksanaan pendidikan, termasuk dalam pendidikan sejarah dan pembelajaran sejarah kontroversial. Pembenahan terhadap kondisi internal guru menjadi prasyarat utama dalam mewujudkan pemahaman terhadap konsep critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Faktor kemauan guru untuk senantiasa menambah informasi merupakan bagian dari faktor internal yang berpengaruh terhadap pemahamannya. Faktor internal yang membentuk pemahaman guru terhadap implementasi critical pedagogy disebabkan oleh adanya faktor-faktor psikologis, seperti intelegensi, motivasi, minat, sikap, dan bakat. Sementara itu faktor lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap pemahaman guru. Dalam perkembangannya, faktor lingkungan inilah yang memerikan pengaruh besar terhadap pemahaman guru sejarah. Faktor lingkungan yang berpengaruh ini termasuk dalam faktor ekstenal. Selain faktor internal dari guru ada pula faktor eksternal yang berpengaruh kuat terhadap guru. Faktor eksternal tersebut telah membetuk pemahaman sebagian besar guru tentang sejarah kontroversial. Faktor eksternal tersebut adalah sebuah konteks di mana praksis pendidikan dijalankan. Konteks tersebut terkait dengan beberapa aspek. Pertama, aspek ideologi pemerintah dalam pendidikan. Kedua, aspek permasalahan dalam sejarah kontroversial. Ketiga adalah konvergensi aspek pertama dan kedua berhubungan dengan politik pemerintah, yakni masalah kebijakan dalam pendidikan sejarah, terutama pembelajaran sejarah kontroversial. Aspek-aspek di atas, termasuk dalam faktor eksternal yang sangat mempengaruhi pemahaman guru terhadap implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Tradisi pendidikan yang dipraktikkan di Indonesia terutama sebelum reformasi memberikan pengaruh yang kuat bagi cara pandang guru terhadap critical pedagogy . Hal ini disebabkan selama ini pendidikan yang dipraktikkan di Indonesia cenderung berada dalam tekanan pemerintah, terutama pada masa pemerintahan Soeharto. Praktik pendidikan pada masa Soeharto sampai saat ini ternyata tidak mengalami perubahan yang berarti. Merujuk pada pemikiran Aronowitz dan Giroux 2003, saat ini di Indonesia kecenderungan yang tampak adalah ideologi konservatif dan ideologi liberal dalam pendidikan. Bahkan dalam konteks Indonesia pascareformasi Edi Subkhan 2009: 1 menyebut bahwa ideologi tersebut telah berkembang ke arah neokonservatif dan neoliberal. Mansour Fakih 2001: xiii-xvi menjelaskan bahwa kaum konservatf melihat pentingnya harmoni dalam masyarakat dan menghindarkan konflik dan kontradiksi dalam bingkai dominasi budaya dan represi politik dalam masyarakat. Sementara itu, paradigma liberal yang bersifat positivistik mencoba menempatkan pendidikan sebagai sesuatu apolitis yang justru menjauhkan pendidikan dari realitas yang dipengaruhi oleh faktor-faktor politis dan lekat dengan masyarakat. Pendidikan dengan paradigma liberal lebih melihat adanya perubahan moderat dan cenderung bersifat mekanis Mansour Fakih, 2001: xvi. Sebenarnya, tidaklah salah ketika kebijakan pendidikan ke arah ke dua ideologi tersebut, tetapi yang menjadi masalah adalah bahwa penerapan ideologi tersebut tidak dalam kapasitas yang berimbang dengan ideologi yang lain, yakni ideologi kritis. Selama ini, perkembangan ke arah ideologi kritis atau neomarxis masih belum mendapatkan apresiasi dalam praksis pendidikan. Ideologi pendidikan yang berkembang selama ini sejak pemerntahan Soeharto tampak pada ideologi yang dipegang pada pemerintahan Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru dijalankan oleh tiga kekuatan elite yakni elite militer, elite birokrasi, dan para teknokrat Arif Rohman, 2009: 176. Fenomena tersebut dilihat oleh Dwight Y. King yang dikutip Arif Rohman 2009: 177-179 sebagai pemerintahan denga karakteristik bureaucratic authoritarian dengan ciri 1 kewenangan tertinggi di tangan militer, 2 adanya mentalitas teknokratik yang merata, 3 adanya proses untuk menciptakan massa mengambang, menciptkan konsensus dan konformitas, 4 upaya untuk mencapai tujuan melalui represi. Dengan demikian, tampak bahwa peran negara sangat dominan dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat yang diwujudkan dengan adanya pembatasan-pembatasan dalam masyarakat dalam kerangka ideologis yang danut oleh negara. Kemunculan pemikiran-pemikiran alternatif di beberapa aspek vital, seperti masalah politik, sosial, ekonomi, dan pendidikan dalam kondisi seperti itu dapat dipastikan tidak mampu untuk berkembang. Pendapat Dwight Y. King dikuatkan oleh Rabasa dan Haseman 2002: 36 yang menyatakan bahwa In the early years of the New Order, the army played a much more overt role in politics than had previously been the case … Military officers held the key positions in the cabinet and in the higher levels of the bureaucracy and were allocated 20 percent of the seats in the legislature. Pada awal Orde Baru, militer memainkan lebih banyak peran dalam aspek politik dibandingkan dengan masa sebelumnya. Dalam perkembangannya militer memegang posisi penting dalam kabinet, elite birokrasi dan memiliki alokasi 20 yang duduk sebagai anggota legislatif. Lekatnya militer dalam pemerintahan Orde Baru disebabkan adanya konsep Dwi Fungsi yang ada di dalam militer Indonesia. Militer tidak hanya berperan dalam masalah ketahanan negara, tetapi juga dalam masalah sosial dan politik masyarakat Cribb dan Kahin, 2004: 122-124. Selain itu, militer menjadi penopang utama kekuasaan Orde Baru, seperti mulai 1980 ada program ABRI Masuk Desa, serta adanya pengaruh yang kuat dari militer dari tingkat provinsi Kodam [Komando Daerah Militer] sampai tingkat desa Babinsa [Bintara Pembina Desa]. Selanjutnya, Orde Baru menekankan sendi penopang pada para teknokrat. Teknokrat terdiri atas para cendekiawan yang bekerja untuk pemerintah dan menekankan pentingnya pembangunan, khususnya dalam bidang ekonomi. Pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat sekumpulan teknokrat populer yang disebut “Mafia Berkeley”. Mereka adalah para sarjana lulusan Universitas California di Berkeley, seperti Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, Mohamad Sadli, dan Barli Halim yang sangat terpengaruh oleh International Monetary Fund Cribb dan Kahin, 2004: 37. Kuatnya pengaruh teknokrat sebagai penopang Orde Baru telah membentuk karakteristik pemerintahan Soeharto ke arah developmentalisme. Hal yang dilakukan oleh Orde Baru identik dengan pemikiran Althusser yang dikutip Edi Subkhan 2009: 3 bahwa dalam negara terdapat Repressive State Apparatus RSA yang terdiri atas pemerintah, birokras, militer, pengadilan, dan penjara. Kemudian ada pula Ideological State Apparatus ISA yang terdiri atas agama, pendidikan, keluarga, hukum, politik, dan perdagangan. Keduanya berpengaruh terhadap corak ideologi dalam pendidikan dan bertujuan untuk mengekalkan kapitalisme. RSA dan ISA dalam konteks pendidikan sangat berpengaruh terhadap kecenderungan ideologi pendidikan yang menjadi landasan dalam implementasi critical pedagogy pada pembelajaran sejarah kontroversial. Ketika RSA dan ISA tidak memberikan peluang terhadap perkembangan pembelajaran sejarah kontroversial, maka permasalahan tersebut sangat berpengaruh terhadap model dan metode pembelajaran sejarah yang dilakukan. Dua kekuatan besar yang berkembang dalam Orde Baru turut berpengaruh terhadap aspek pendidikan nasional di Indonesia. Kecenderungan paradigma pendidikan yang muncul pada pemerintahan Soeharto terpengaruh oleh kapitalisme yang berkembang pada saat itu. Ini karena developmentalisme yang ditekankan oleh Soeharto membutuhkan manusia-manusia siap pakai untuk dipekerjakan. Dengan demikian, kurikulum yang disusun adalah untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja. Permasalahan tersebut menurut Giroux yang dikutip Agus Nuryatno 2008: 57 memunculkan budaya positivisme. Budaya positivisme memunculkan adanya rasionalitas teknokratik yang memiliki ciri uniformitas dan kontormitas, serta memunculkan adanya one dimentional man and society, manusia dan masyarakat satu dimensi Agus Nuryatno, 2008: 57-58. Budaya positivisme menjadi satu faktor yang juga bepengaruh kuat dalam pemilihan model dan metode pembelajaran yang diterapan oleh guru. Secara praksis, positivisme juga berpengaruh terhadap kencederungan kebijakan yang tercermin dalam muatan kurikulum dan tujaun pendidikan. Permasalahan yang sampai saat ini berkembang adalah walaupun secara legal formal pemerintahan Soeharto telah digantikan melalui proses reformasi, ada kecenderungan bahwa rasionalitas teknokratik yang dipupuk pada masa lalu masih memiliki pengaruh dan tampak jelas dalam praktik kehidupan pada saat ini, termasuk dalam pendidikan sejarah di sekolah. Dengan demikian, pendidikan diarahkan pada nilai-nilai budaya yang ada baik penekanan pada suatu nilai tertentu ataupun secara keseluruhan, ataupun menjadikan pendidikan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan Tilaar, 2009: 56. Realitas di atas merupakan sebuah fenomena yang menunjukkan adanya hubungan yang erat antara pendidikan dan kekuasaan. Kaitan antara pendidikan dan kekuasaan tersebut pada akhirnya akan membawa pada masalah ideologi. Dari kasus Orde Baru, Tilaar 2009: 131 menyatakan bahwa ideologi telah dijadikan sumber indoktrinasi yang telah mematikan kreativitas peserta didik dan berubah menjadi alat penekan dari penguasa dalam mengendalikan sistem dan isi pendidikan nasional. Dengan demikian, telah terjadi sebuah hegemoni dalam proses pendidikan. Hal ini tampak dengan adanya kebijakan seperti pelarangan buku-buku aliran kiri serta pembentukan sejarah resmi dari pemerintah yang tidak mengakomodasi sejarah alternatif. Hegemoni menjadi bagian yang tidak lepas dari sebuah sistem pendidikan. Croce yang dikutip Tilaar 2009: 136 menyebut hegemoni sebagai sistem kekuasaan yang didasarkan pada konsensus yang dilaksanakan oleh negara. Sementara itu Antonio Gramsci yang dikutip Agus Nuryatno 2009: 33 menyatakan bahwa hegemoni adalah kondisi sosial ketika segala aspek termasuk ralitas sosial didominasi dengan dukungan kelas tunggal single class atau kelompok dominan. Pada penulisan dan pendidikan sejarah, proses hegemoni tampak dari adanya accepted history atau sejarah resmi dari pemerintah yang menjadi materi ajar untuk ditransmisikan dalam pembelajaran, terutama di sekolah-sekolah. Dengan demikian, sekolah berfungsi sebagai institusi perekat hegemoni dalam masyarakat dan tidak lepas dari kepentingan kelompok sosial yang berkuasa. Hal ini bertujuan agar penguasa mendapatkan legitimasi melalui serangkaian proses dalam pendidikan. Oleh karena itu, hubungan antara faktor-faktor tersebut menurut Michel Foucault yang dikutip Tilaar 2009: 140 dapat disimpulkan bahwa kekuasaan menciptakan pengetahuan dan pengetahuan serta kekuasaan saling mempengaruhi secara langsung satu dengan yang lain. Kekuasaan sangat memberikan pengaruh terhadap perkembangan dunia pendidikan. Oleh karena itu, sudah menjadi hal yang jamak ketika kekuasaan menyusup dalam aktivitas pendidikan, baik secara objektif dan terang terangan, ataupun secara subkejtif dan tidak disadari. Dalam hal ini dikenal adanya muatan- muatan kepentingan dalam praksis pendidikan yang disebut dengan hidden curriculum . Michael W. Apple 2004: 78-79 menjelaskan bahwa hidden curriculum merupakan nilai dan norma yang memiliki sifat implisit, tetapi diajarkan dalam kelas. Sebagai seuatu yang implisit, keberadaannya tidak tampak dalam aturan formal dan tujuan pembelajaran. Di dalam hidden curriculum tampak jelas bahwa betapa suatu kelompok dalam masyarakat berkeinginan memasukkan nilai-nilai atau ideologinya melalui proses pendidikan, walau hal itu bertentangan dengan hak azasi manusia, sehingga menjadikan pendidikan tidak demokratis, tidak memberdayakan, dan bahkan memperdayakan Apple, 2004. Contoh yang terjadi adalah adanya doktrin bahwa segala sesuatu yang benar adalah menurut versi pemerintah, sehingga penanaman nilai dilakukan berdasarkan ideologi yang dipegang oleh pemerintah. Giroux yang dikutip Agus Nuryatno 2008: 59 menyatakan bahwa hidden curriculum di sekolah merujuk pada norma-norma, nilai-nilai, dan sikap bawah sadar yang sering kali ditransmisikan secara halus lewat relasi-relasi sosial di sekolah dan kelas. Hidden curriculum menekankan pada aturan konformitas, pasivitas, dan ketertundukan. Dengan demikian, hidden curriculum menjadi sebuah media sosialisasi yang kuat untuk memproduksi tipe-tipe individu yang menerima hubungan sosial dan struktur kekuasaan di mana mereka bekerja Giroux dalam Agus Nuryatno, 2008: 59. Pada masa Soeharto, perkembangan hidden currciculum lebih cenderung untuk mengarah pada arah mitos tentang keunggulan Soeharto, sehingga lebih banyak menguntungkan pihak-pihak tertentu Slamet Sutrisno, 2006: 51-60. Adanya praksis pendidikan yang dilaksanakan berdasarkan kekuasaan menurut Tilaar 2009: 146 memunculkan empat masalah, yakni 1 domestifikasi dan stupidifikasi pendidikan, 2 indoktronasi, 3 demokrasi dalam pendidikan, dan 4 integrasi sosial. Proses domestifikasi atau penjinakan memiliki dampak adanya upaya untuk membunuh kreativitas dan menjadikan peserta didik sebagai objek yang hanya menerima secara pasif transmisi nilai-nilai kebudayaan yang ada. Proses ini menurut Tilaar 2009: 146 sebagai bentuk imperialisme pendidikan dan kekuasaan, sehingga menimbulkan stupidifikasi pembodohan. Indoktrinasi dalam pendidikan merupakan hal yang saling terkait. Apple 2004: 25-40 menyatakan bahwa kurikulum yang berlaku sebenarnya merupakan sarana indoktrinasi dari suatu sistem kekuasaan. Indoktrinasi merupakan proses pengekalan struktur kekuasaan yang tampak secara teknis dalam kurikulum nasional. Nilai-nilai yang dijadikan aspek yang ingin ditanamkan biasanya adalah aspek konformitas, ketundukan, antikonflik, dan sikap-sikap yang mendukung pada upaya harmonisasi. Secara kasat mata sebenarnya indoktrinasi untuk mengarahkan pada keselarasan dan harmoni tampak tidak bermasalah. Akan tetapi, ketika keselarasan dan harmoni yang dibangun atas dasar mengokohkan sebuah pemikiran tunggal akan mengarah pada sikap otoritarianisme yang antikritik. Inilah yang kemudian menjadi masalah ketika terjadi indoktrinasi dalam pendidikan. Permasalahan yang muncul apabila pendidikan dilaksanakan berdasarkan kekuasaan adalah permasalahan demokrasi dalam pendidikan. Demokrasi pendidikan akan muncul apabila kekuasaan bersifat transformatif, tetapi akan mengalami kegagalan apabila kekuasaan bersifat transmisif. Apabila kekuasaan dalam pendidikan yang terbentuk adalah kekuasaan transformatif, maka orientasi yang berkembang adalah orientasi yang advokatif. Dengan demikian ia mendorong tumbuhnya pendekatan multikulturalisme dalam pendidikan. Akan tetapi jika kekuasaan lebih cenderung bersifat transmitif maka yang terjadi adalah proses transmisi antara pemegang kekuasaan terhadap subjek yang terkena kekuasaan, sehingga orientasinya bersifat legitimatif Tilaar, 2009: 144- 145. Di dalam praktiknya, kekuasaan yang bersifat transmitif dengan orientasi legitimatif inilah yang lebih banyak berkembang, sehingga makin menguatkan proses domestifikasi dan stupidifikasi dalam pendidikan. Dengan demikian, proses demokrasi tidak berkembang dalam pendidikan. Permasalahan keempat terkait hubungan antara kekuasaan dan pendidikan adalah masalah integrasi sosial. Abu Suud 2008b: 23 menjelaskan bahwa integrasi sosial merupakan proses yang datang dari dalam immanent pada setiap masyarakat, agar tetap survive, agar tidak terjadi centang perentang dalam tatanan masyarakat, atau agar tidak terjadi desintegrasi. Kosep ini menekankan adanya keseimbangan equilibrium. Ini berarti masih dibenarkan adanya keanekaragaman, meski dalam suatu harmoni serasi, selaras, dan seimbang. Dengan demikian, dimungkinkan munculnya pembaharuan-pembaharuan. Akan tetapi, kecenderungan yang tampak adalah bahwa yang dilakukan adalah sebuah sistem pendidikan yang uniform dan otoriter, sehingga mematikan kemampuan untuk mengembangkan budaya lokal Tilaar, 2009: 154. Dampak yang dirasakan dengan adanya fenomena seperti dijelaskan di atas pada tingkatan praksis adalah ada kecenderungan masih berkembangnya rasionalitas teknokratik. Pada rasionalitas ini, terjadi proses untuk pendangkalan penalaran kritis reflektif yang dibutuhkan manusia untuk mewujudkan transformasi sosial. Akibatnya, guru masih tetap untuk mempertahankan status quo dalam pembelajaran, sehingga mereka lebih memilih untuk menghindari isu kontroversial di dalam praksis pembelajaran. Pendidikan dengan model seperti ini akan menghilangkan peran utama pendidikan sebagai sarana empowering pemberdayaan yakni sebuah proses yang membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan, serta melakukan penyadaran akan kemampuan dan identitas seseorang atau kelompok Tilaar, 2009: 125. Dari gambaran tersebut dapat dilihat bahwa pada masa Soeharto pemerintah menekankan pada konservatisme pendidikan dengan menekankan pada aspek ideologisasi. Pada kondisi seperti itu, ada dua kemungkinan terhadap perkembangan critical pedagogy . Kemungkinan pertama adalah ketika kerangka pikir pendidikan tidak mengarah pada upaya untuk memberdayakan dan justru digunakan sebagai ajang indoktrinasi, political will tidak mendukung perkembangan critical pedagogy . Ini disebabkan telah adanya standar baku yang menjadi pegangan dan acuan dalam pendidikan. Pendidikan lebih bersifat sentralistik dan terpusat, sehingga memudahkan untuk memproduksi sistem pendidikan yang mendukung sebuah sistem yang tengah berkuasa. Tilaar 2009: 125 menjelaskan bahwa pendidikan dapat bebentuk sesuatu yang mengikat kebebasan seseorang jika pendidikan dijadikan alat oleh sistem penguasa yang ada untuk mengungkung kebebasan individu. Akibatnya critical pedagogy hanya akan menjadi gerakan bawah tanah yang hanya dikenal pada kalangan terbatas, sehingga tidak populis. Kemungkinan kedua adalah bahwa pada kondisi pendidikan penuh nuansa represif, critical pedagogy memiliki ruang untuk dapat memfungsikan perannya secara maksimal sebagai sarana untuk memberdayakan masyarakat. Kondisi masyarakat yang penuh ketimpangan dalam berbagai sistem kehidupan merupakan materi yang menjadi kajian utama critical pedagogy. Dengan demikian, ia memiliki potensi yang besar untuk berkembang karena ada sebuah sistem yang nyata untuk dianalisis dan ditransformasikan. Namun demikian, dalam konteks Indonesia kemungkinan kedua baru menemukan titik balik pada saat reformasi dan sampai saat ini masih belum berkembang secara luas. Pada saat ini ternyata masih terus berkembang ideologi pendidikan yang dipegang pada masa Orde Baru, tetapi dengan konsep yang berbeda. Konservatisme menurut Edi Subkhan 2009: 1 telah berkembang ke arah neokonservatisme dalam pendidikan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya dua basis konservatisme, yakni konservatisme berbasis agama dan konservatisme berbasis negara. Pada konservatisme berbasis agama, saat ini muncul dan berkembang pendidikan agama dalam bingkai yang dinamakan “garis keras” atau “ekstrem kanan”. Sementara itu, konservatisme berbasis negara ditandai dengan adanya kecenderungan yang mengarah pada status quo. Namun demikian, status quo yang ditekankan pada ideologi neokonservatisme dalam pendidikan bukan hanya pada status quo pada aspek kekuasaan politik negara, melainkan juga pada aspek pasar bebas yang telah demikian menghegemoni Edi Subkhan, 2009: 5. Pada sisi yang lain, kondisi politik yang dari dulu berkembang dan masih belum mengalami perubahan secara fundamental inilah yang memunculkan kecenderungan guru untuk menghindari isu kontroversial dan mempertahankan status quo -nya. Hal ini memiliki dampak terhadap keengganan guru untuk mengeksplorasi sumber-sumber terbaru untuk menambah wawasannya. Namun demikian, ada pula sebagian guru yang tidak terbawa oleh arus besar budaya positivisme. Guru-guru yang memiliki kemauan untuk menggali sumber-sumber selain sumber standar dan mencari referensi-referensi tambahan menjadi guru- guru yang memiliki pemahaman yang baik terhadap tujuan pembelajaran. Guru- guru dengan semangat untuk menambah informasi dan terbuka inilah kemudian menjadi guru yang terbuka terhadap konsep-konsep dalam critical pedagogy. Aspek kedua yang berpengaruh terhadap pemahaman guru terhadap implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial berhubungan dengan permasalahan sejarah kontroversial itu sendiri. Permasalahan sejarah kontroversial ditinjau dari aspek keilmuan merupakan permasalahan yang sampai saat ini senantiasa berkembang dan menjadi hal yang jamak dalam pergulatan keilmuan, terutama dalam proses tersusunnya historiografi. Menurut E.H. Carr 1987 sejarah merupakan proses berkesinambngan dari interaksi antara sejarawan dan fakta-fakta yang dimilikinya, suatu dialog yang tidak berkesudahan antara masa sekarang dengan masa lampau, sehingga tidak ada tulisan yang bersifat benar-benar final. Dengan demikian, kemungkinan munculnya fakta dan interpretasi baru senantiasa berkembang. Permasalahan kontroversi tidak pernah lepas dari penulisan sejarah, karena dalam penulisan sejarah kemunculan kontroversi disebabkan adanya perbedaan pendekatan yang dilakukan oleh sejarawan dalam merekonstruksi data dan fakta sejarah. Dengan demikian, penelusuran terhadap munculnya kontroversi dalam penulisan sejarah tidak lepas dari permasalahan subjektivitas dalam historiografi. Permasalahan subjektivitas dalam historiografi diulas dalam sebuah buku karangan Poespoprodjo 1987 berjudul Subjektivitas dalam Historiografi, Suatu Analisis Kritis Validitas Metode Subjektivo-Objektif dalam Ilmu Sejarah . Sejarah dalam pengertian histoire recité kisah tentang peristiwa merupakan hasil historiografi yang dipandang serba subjektif karena sudah dipakai interpretasi dan seleksi sejarah yang melibatkan pendirian pribadi sejarawan, tidak seperti histoire réalité kejadian sebenarnya sebagai peristiwa yang bersifat objektif Poespoprodjo, 1987: 1-2; Soedjatmoko, 1995: 360. Terkait hal tersebut, E.H. Carr dalam Poespoprodjo: 1985: 2 menyatakan bahwa “fakta sejarah tidak dapat murni objektif karena menjadi fakta sejarah hanya karena arti yang diberikan oleh sejarawan”. Kemudian, Bambang Purwanto 2008: xxii menyatakan bahwa dalam historiografi nasional terdapat pesan normatif dan pesan ideologis sebagai hasil dari subjektivitas personal dan generasi, maupun subjektivitas rezim. Permasalahan subjektivitas pada dasarnya wajar dalam sejarah, jika subjektivitas masih ditempatkan pada kerangka pemikiran bahwa fokus ilmu sejarah adalah apa yang sesungguhnya terjadi wie es eigenlich gewesen dan didukung oleh sumber-sumber primer yang memiliki eksistensi di luar pemikiran manusia Poespoprodjo, 1987: 18-19. Permasalahan subjektivitas yang terkandung dalam historiografi menjadi pemicu munculnya kontroversi sejarah adalah ketika subjektivitas tersebut berubah menjadi subjektivisme. Subektivisme merupakan kewenangan subjek dalam mengadakan seleksi, interpretasi, dan menyusun periodisasi, dan sebagainya, yang terjadi karena tidak bertumpu pada dasar yang dapat dipertanggungjawabkan. Permasalahan-permasalahan di atas merupakan alasan metodologis yang menyebabkan munculnya sejarah kontroversial. Permasalahan tentang subjektivitas makin memberikan kerumitan apabila terdapat kepentingan pada tataran sumber. Permasalahan terjadi terutama dalam sejarah kontemporer. Ini karena pelaku atau saksi sejarahnya masih ada dan masih memiliki satu implikasi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat pada masa ini. Kepentingan itu bisa datang dari pihak-pihak yang terlibat dalam satu peristiwa sejarah ataupun dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkan satu peristiwa sejarah untuk tujuan-tujuan tertentu. Kepentingan yang datang dari pihak pelaku sejarah ataupun keturunannya karena pelaku sejarah merasa dirugikan dengan adanya penulisan sejarah dari pihak tertentu. Selain itu hal yang menyebabkan kontroversial adalah bahwa peristiwa sejarah, terutama sejarah kotemporer masih belum selesai sepenuhnya, tetapi senantiasa berproses. Sampai saat ini masih banyak terjadi perbedaan pandangan para pelaku sejarah berkaitan dengan satu peristiwa sejarah, dan ada pula perbedaan pandangan antara temuan berupa fakta- fakta baru dengan pemahaman masyarakat yang berkembang selama ini. Selain ditinjau dari aspek filosofis dan metodologis, ada faktor lain yang menyebabkan munculnya sejarah kontroversial. Permasalahan tersebut dapat dilihat dari aspek kepentingan yang lekat dalam setiap penulisan sejarah. Sejarah senantiasa digunakan sebagai sarana untuk melegitimasi kepentingan, baik oleh kalangan mayoritas dan minoritas Bambang Purwanto, 2005: 14. Dengan demikian, ada kecenderungan masing-masing kelompok untuk menulis sejarah yang disesuaikan dengan tujuan dan kepentingan masing-masing. Kecenderungan yang tampak di Indonesia adalah bahwa masing-masing kelompok berupaya untuk mengunggulkan dan membenarkan tindakan-tindakannya melalui sejarah. Tidak jarang pembelaan-pembelaan baik individu atau institusional terjadi, seperti pembelaan yang dilakukan di kalangan Angkatan Udara dengan penulisan buku “Menyingkap Kabut Halim”, selain itu ada pula pembelaan dari keluarga dari D.N. Aidit tentang kiprah Aidit di dalam PKI. Pembelaan-pembelaan yang merujuk pada pertentangan pendapat muncul pula pada kasus reformasi, seperti terjadinya pertentangan pendapat antara Habibie-Prabowo-Wiranto. Masing- masing saling membenarkan dirinya dalam perang wacana antara ketiganya yang sempat merebak pada tahun 2007. Apabila kecenderungan untuk berbeda pendapat dalam historiografi dianggap wajar, pertanyaannya adalah mengapa hanya sejarah versi pemerintah yang berkembang? Permasalahan tersebut terjawab dengan alasan bahwa pemerintahlah yang memiliki akses untuk melakukan distribusi secara formal dan masif terhadap masyarakat. Dengan demikian, akses masyarakat terhadap sejarah- sejarah alternatif yang ditulis dengan perspektif berbeda sangat terbatas. Sementara itu para sejarawan terjebak dalam menara gading keilmuannya. Dengan demikian, kepentingan pemerintahlah yang akan dimenangkan dalam perang wacana pada konteks seperti itu. Aspek kepentingan yang beperan dalam menciptakan sejarah kontroversial tampak dalam perkembangan historiografi Indonesia. Tradisi historiografi merupakan suatu hal yang masih baru, sehingga sampai saat ini belum berada pada tempat yang mapan, dan masih mencari formatnya untuk terus berkembang Mc Gregor, 2008: 72. Sejak adanya Seminar Sejarah Nasional I pada tahun 1957, penulisan sejarah Indonesia mengalami perubahan orientasi menuju arah Indonesiasentris. Akan tetapi seminar tersebut juga membawa kontroversi, antara pandangan dari Moh. Yamin dengan Soedjatmoko Nordholt, 2004: 4. Yamin melihat bahwa penelitian keilmuan seyogyanya mengarahkan pada penafsiran tentang nasionalisme dan digunakan untuk menguatkan kesadaran nasional. Namun, Soedjatmoko berbeda pandangan dan lebih banyak melakukan kritik terhadap “utopia masa lalu” beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dia lebih mendukung adanya tanggung jawab individu dan menyatakan bahwa nasionalisme bukan termasuk dalam sebuah penelitian ilmiah. Namun demikian pemkiran Soedjatmoko tersebut tidak sesuai dengan konteks Indonesia pada tahun 1950-an ketika masyarakat tengah mencari identitas jati dirinya Nordholt, 2004: 5. Pertentangan kepentingan yang ada dalam penulisan sejarah seperti dijelaskan oleh Mohammad Ali 1995: 3 yang menyatakan bahwa ada dilema terhadap sejarah. Permasalahan tersebut yang pertama adalah demi kepentingan nasional, terdapat permasalan politls untuk menentukan dan mengembangkan kepribadian bangsa. Selain itu juga terdapat permasalahan ilmiah yang muncul dari tuntutan-tuntutan studi sejarah, yang mungkin bertentangan dengan kepentingan politis. Namun demikian, dalam perkembangannya kecenderungan historiografi yang muncul dan disepakati adalah tentang bagaimana menumbuhkan rasa cinta dan semangat nasionalisme melalui penulisan sejarah dalam perspektif Indonesia. Perkembangan historiografi dengan demikian masih belum mapan, sehingga senantiasa mencari format idealnya. Harapan untuk menumbuhkan kesadaran kolektif melalui historiografi justru berlawanan dengan kenendak politik pada masa demokrasi terpimpin, di mana sejarah Indonesia menjadi alat ideologis untuk memobilisasi massa Nordholt, 2004: 4. Pada perkembangannya, historiografi Indonesiasentris ternyata cenderung menjauh dari sejarah objektif karena berkembangnya prinsip dekolonisasi historiografis yang bersifat ultranasionalis dan lebih mementingkan retorika. Mc Gregor 2008: 73 menyatakan bahwa pada masa demokrasi terpimpin sejarah digunakan untuk memajukan keseragaman ideologi dan persamaan misi tetang masa lalu masional yang digunakan untuk pembinaan bangsa. Hal itu terutama tercermin di dalam karya generasi-generasi sejarawan awal pascakolonial seperti M. Yamin, Sukanto, dan Sanusi Pane Bambang Purwanto, 2001b: 32. Kritik yang muncul dalam tradisi historiografi Indonesiasentris adalah bahwa historiografi itu dalam kenyataannya lebih mementingkan ideologisasi terhadap masa lalu daripada merekonstruksi kebenaran sejarah. Akibatnya, keberadaan validitas normatif dalam kebenaran naratif tidak didukung oleh validitas empirik Bambag Purwanto, 2001b: 33. Faktor inilah yang dalam perkembangannya memunculkan kontroversi ketika tradisi keilmuan dan metodologi sejarah telah berkembang. Kemudian dalam perkembangannya muncul anggapan bahwa Indonesiasentrisme yang menjadi dasar penulisan sejarah nasional ternyata tidak relevan bagi praktik penulisan sejarah nasional. Sejarah struktural atau penulisan sejarah dengan pendekatan multidimensional menjadi ciri penting perkembangan historiografi Indonesia selanjutnya Bambang Purwanto, 2001b: 35. Pendekatan ini secara akdemis menguntungkan karena meningkatkan kualitas penulisan sejarah. Akan tetapi perkembangan sejarah dalam perspektif ini mendapatkan kritik karena hanya berada di menara gading. Sejarah menjadi bersikap netral terhadap penguasa, bahkan jauh dari posisi sebagai kritik sosial Asci Warman Adam, 2007: 9. Permasalahan yang muncul ketika sejarawan sibuk dengan permasalahan internalnya, hal yang terjadi adalah upaya pembentukan sejarah yang dilakukan oleh penguasa. Di satu sisi ketika pnulisan sejarah mulai diambil alih oleh penguasa, sejarawan cenderung untuk memilih sikap berhati-hati dalam melakukan penelitian. Pada masa itu pemerintahan di bawah Soeharto melakukan upaya mengendalikan dan mengkoordinasi alur-alur kebenaran tertentu Nordholt, Ratna Saprati, dan Bambang Purwanto, 2009: 3. Pada era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto 1966-1998 diperkenalkan sebuah pendekatan pembangunan otoriter yang bertujuan mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat serempak dengan stabilitas politik. Negara dilihat sebagai satu-satunya pelaksana yang sah dari proses terkendali yang akan membawa Indonesia pada sebuah era baru ke arah kemajuan dan kemakmuran. Secara ekstrem Nordholt 2004: 5 menyatakan bahwa mimpi dari Orde Baru adalah mencapai “akhir sejarah” dengan mendirikan sebuah orde yang bercirikan bebas dari kejadian-kejadian yang mengganggu. Pendekatan sentralistis ini diiringi dengan historiografi yang juga sentralistis dan eskatologis Nordholt, 2004: 5. Ciri historiografi nasional yang dibentuk selama Orde Baru adalah sentralitas negara yang di-ejawantah-kan oleh militer. Sejarah nasional menurut Nordholt 2008: xviii disamakan dengan sejarah militer dan produksi sejarah dikenalikan oleh negara dan militer. Contohnya adalah menurut pandangan sejarah ini, sepanjang tahun 1950-an militerlah yang menyelamatkan bangsa dari disintegrasi dengan mengabaikan fakta bahwa militer memainkan peran penting dalam pemberontakan di daerah-daerah. Akibatnya muncul historiografi yang seragam sebagai produk dari interpretasi tunggal atas masa lalu, sehingga menuju pada arah mempertahankan dominasi penguasa dan cenderung merugikan rakyat dan bangsa secara umum Bambang Purwanto, 2008: xx. Asvi Warman Adam 1999: 567-576 menjelaskan bahwa fenomena tersebut merupakan pengendalian sejarah. Pengendalian sejarah tersebut dilakukan melalui dua cara, yakni dengan penambahan unsur tertentu dalam sejarah dan menciptakan kebisuan sejarah le silence de l’histoire. Kebisuan sejarah menyangkut beberapa hal, yakni aspek legitimasi, kondisi masyarakat, dan hal-hal yang memalukan di masa lampau Ferro dalam Asvi Warman Adam, 1999: 568-569. Pada masa Soeharto, pengendalian sejarah tampak dengan upaya untuk mereduksi peran Sukarno dan membesar-besarkan peran Soeharto. Hal ini tampak dari adanya penulisan buku ajar yang mengangkat peran Soeharto dalam berbagai peristiwa, seperti Serangan Umum 1 Maret dan Gerakan 30 September. Selain itu ada pula pembuatan film-film seperti Serangan Fajar yang menonjolkan peran Soeharto. Pengendalian sejarah yang dilakuan oleh Orde Bau dijalankan melalui instansi militer. Mc Gregor 2009: 303 menjelaskan bahwa sejak Orde Baru militer memperkuat pengendaliannya atas sejarah resmi. Pada saat itu, sejarah menjadi alat legitimasi bagi penguasa sekaligus alat represi terhadap kelompok yang berseberangan Asvi Warman Adam, 2007: 9. Sejarah digunakan sebagai sebuah sarana untuk legitimasi atas dalih persatuan Wood, 2005: 209. Lebih lanjut lagi Wood 2005: 9 menyatakan bahwa ada beberapa peristiwa yang dimanfaatkan Orde Baru dalam menjaga integritas dan harmoni, seperti menangkat keunggulan Majapahit, Kesultanan Islam, kejayaan masa revolusi, serta peristiwa Gerakan 30 September yang secara terus menerus dikomunikasikan melalui media, seperti monumen-monumen, buku teks, film, televisi, surat kabar, novel, dan berbagai karya sastra. Salah satu peristiwa yang mendapat perhatian cukup banyak pada saat ini adalah tentang historiografi peristiwa Gerakan 30 September 1965. Historiografi tentang peristiwa tersebut sangat beragam bahkan mengarah kepada kecarutmarutan. Bambang Purwanto 2006: 230 menjelaskan bahwa carut marut tersebut terjadi salah satunya karena politik historiografi. Politik historiografi tersebut kemudian ditransmisikan dalam praksis pendidikan melalui pembelajaran sejarah di kelas-kelas lewat materi-materi yang telah memiliki muatan hidden curriculum . Dari pelbagai penjelasan tentang faktor yang menyebabkan munculnya sejarah kontroversial dapat disimpulkan bahwa sejarah kontroversial muncul karena dua hal, yakni sejarah kontroversial karena permasalahan metodologis dan sejarah kontroversial karena permasalahan politis. Permasalahan metodologis menyangkut ketidakmampuan secara historiografis dan metodologis untuk melakukan konstruksi dan rekonstruksi atas masa lalu dengan muatan subjektivitas yang rendah yang tercipta karena keterbatasan wawasan, penguasaan ilmu, dan keterampulan para sejarawan yang membangun tradisi historiografi, para penulis buku ajar sejarah, dan para guru sejarah. Kemudian, permasalahan kontroversial politis menyangkut tiga hal, yaitu peristiwa politis itu sendiri, akibat politis yang ditimbulkan oleh peristiwa sejarah, dan kepentingan politis yang mengikuti interpretasi dan penjelasan dalam menyusn kurikulum dan menghadirkan peristiwa sejarah sebagai materi ajar. Bambang Purwano 2009: 2 menambahkan bahwa secara teoretis, sejarah dan pembelajarannya menjadi kontroversial ketika penulisan sejarah, penyusunan kurikulum sejarah, dan proses pembelajaran sejarah menjadi bagian yang integral dari politik kekuasaan sebuah rezim. Kontroversi biasanya diproduksi dan direproduksi dari sebuah subjektivitas esktrem politik kekinian negara atau rezim yang mendikte tradisi keilmuan sejarah, penyusunan kurikulum, materi ajar, dan proses pembelajarannya Bambang Purwano, 2009: 2. Aspek metodologis dan politis yang menyebabkan munculnya sejarah kontroversial menjadi penyebab adanya permasalahan dalam pembelajaran sejarah. Permasalahan tersebut tampak dari adanya lemahnya penguasaan guru terhadap materi-materi sejarha kontroversial. Selain itu faktor politis yang melahirkan kebijakan dalam pembelajaran sejarah menyebabkan adanya keengganan di kalangan guru untuk melakukan upaya mendekonstruksi pemahamannya tentang sejarah kontroversial, terutama dalam perspektif critical pedagogy . Dengan demikian, sejarah kontroversial dapat dipahami ulang sebagai pertentangan antara pengetahuan sejarah historical knowledge yang dimilikidibentuk dengan fakta-fakta sejarah baruberbeda yang tidak sevisi dengan pengetahuan sejarah yang dimiliki masyarakat. Oleh karena sejarah kontroversial erat kaitannya dengan masalah pertentangan, peneliti memberikan titik tekan kepada beberapa pertentangan yang muncul. Pertentangan tersebut menyangkut 1 pertentangan antara sesuatu yang tampak dan yang tersembunyi, 2 pertentangan antara sesuatu yang empiris dan normatif, 3 pertentangan antara fakta dan mitos atau sesuatu yang direkayasa, 4 pertentangan antara sejarah resmiaccepted historygrand naration dengan sejarah alternatif, dan 5 pertentangan antara yang berjasa dan yang berdosa. Pertentangan pertama dan keempat terkait dengan masalah peristiwa, sedangkan pertentangan terakhir terkait dengan posisi dan peran tokoh sejarah dalam peristiwa. Pertentangan pertama adalah pertentangan antara sejarah yang tampak dan sejarah yang tersembunyi. Pertentangan ini disebabkan oleh adanya pengungkapan beberapa fakta sejarah yang baru dalam penulisan sejarah. Pertentangan antara faktor tampak dan tersembunyi terjadi ketika di satu sisi masyarakat belum memiliki pemahaman terhadap sebuah peristiwa yang pada awalnya tidak diketahuinya. Kecenderungan kontroversial yang muncul adalah ketika dalam masyarakat terjadi cultural shock dengan adanya sesuatu yang baru. masyarakat menjadi tahu apa yang semula tidak diketahuinya. Pertentangan dalam aspek ini dapat bersifat metodologis ketika sebuah peristiwa sejarah memang berangkat dari sumber-sumber yang baru. Akan tetapi, pertentangan ini dapat pula bersifat politis jika fakta yang baru diketahui oleh masyarakat adalah fakta yang keberadaannya sengaja untuk tidak diberitahukan untuk alasan-alasan tertentu. Dengan demikian, proses untuk menyembunyikan sebuah peristiwa telah termasuk dalam menciptakan kebisuan sejarah. Permasalahan dalam kategori ini adalah bahwa adanya keterbatasan di kalangan masyarakat luas untuk mendapatkan informasi tentang sebuah peristiwa sejarah. Akibatnya, sejarah hanya diketahui oleh kalangan terbatas, sehingga peran sejarah sebagai sarana untuk membangkitkan kesadaran menjadi terkendala. Salah satu contoh peristiwa yang termasuk dalam kategori pertentangan ini adalah tentang pertentangan tentang penemuan fakta-fakta baru terkait dengan manusia purba di daerah flores yang disebut homo fleresiensis. Permasalahan kontroversial yang juga termasuk dalam kategori ini adalah tentang mitos penjajahan 350 tahun. Pemahaman tentang mitos penjajahan 350 tahun masih terbatas pada mereka yang mempelajari sejarah, sementara pemahaman di kalangan masyarakat masih terbatas. Kemudian kasus yang belum lama ini marak adalah tentang munculnya pengakuan orang di daerah Semarang bernama Andaryoko Wisnuprabu yang mengaku sebagai Supriyadi, seorang tokoh pemberontakan peta. Andaryoko mengaku sebagai Supriyadi dan hadir pada peristiwa-peristiwa besar, seperti sidang BPUPKI tanggal 29 Mei-1 Juni 1945, menjadi pengibar bendera bersama Latif Hendraningrat pada saat proklamasi 17 Agustus 1945, dan yang tidak kalah menghebohkan adalah ia juga hadir di Istana Bogor saat tiga jenderal, yakni Basuki Rachmat, M. Yusuf, dan Amir Machmud mendatangi Sukarno untuk keperluan pembuatan Surat Perintah Sebelas Maret Baskara T. Wardaya, 2008: 76-122. Munculnya Andaryoko yang mengaku sebagai Supriyadi secara tiba-tiba memunculkan kontroversi dalam masyarakat tentang kebenaran pengakuannya tersebut. Contoh yang menandakan sesuatu yang belum ditampakkan adalah tentang historiografi etnis Tionghoa. Selama lebih dari empat dekade lalu, penulisan sejarah tentang etnis Tionghoa dalam konteks sejarah nasional mengalami kendala. Secara politis permasalahan langkanya tulisan sejarah tentang Tionghoa karena adanya upaya yang represif terhadap etnis Tionghoa oleh penguasa. Setelah reformasi muncul tulisan-tulisan tentang peran etnis Tionghoa dalam sejarah Indonesia yang bermuara pada munculnya kontroversi, seperti ketika muncul tulisan Slamatmulyana yang sempat ditarik pada tahun 1960-an tentang peran Tionghoa sebagai penyebar agama Islam. Fakta sejarah tentang peran etnis Tionghoa selama ini telah disembunyikan, sehingga ketika fakta tersebut muncul ke permukaan banyak melahirkan pertentangan. Pertentangan kedua menyangkut pertentangan antara sesuatu yang empiris dan yang normatif. Sesuatu yang normatif biasanya merupakan peristiwa yang ditujuan untuk pendidikan nilai yang bekerja melalui sistem kepercayaan. Sesuatu yang normatif ini bisa berupa nilai budaya dan nilai keagamaan. Pesan-pesan moral atau ajaran tertentu menjadi titik tekan dari peristiwa yang bersifat normatif. Permasalahan normativisme menjadi permasalahan ketika disatu sisi dipertentangkan dengan sesuatu yang berangkat dari empirisme. Ada kecenderungan pertentangan ketika sebuah peristiwa semata-mata hanya digunakan untuk memberikan penanaman nilai bagi masyarakat tanpa memeprhatikan fakor empirisme dari peristiwa tersebut. Ketika normativisme terkait dengan nilai budaya tertentu, ada kecenderungan muncul kontroversi ketika dalam masyarakat ternyata penulisan sejarah dengan kaidah ilmiah masih merupakan sesuatu yang ahistoris, sehingga apabila muncul penulisan sejarah yang bertentangan dengan nilai yang diyakini oleh masyarakat maka kontroversi dalam sejarah tidak dapat dielakkan. Contoh dari kasus ini adalah ketika muncul gugatan terhadap mitos-mitos yang selama ini dipercayai oleh masyarakat, seperti upaya untuk mempertanykan kembali apakah benar kemampuan atau kesaktian yang dimiliki oleh para pemimpin kerajaan tradisional, apakah benar Jaka Tingkir menaiki perahu yang ditarik oleh buaya. Pertentangan antara hal yang normatif dengan yang empiris terjadi pula ketika ada upaya untuk membandingkan antara nilai-nilai yang ada dalam agama dengan kenyataan empiris. Contohnya adalah ketika muncul pertanyaan tentang apakah benar Adam sebagai manusia pertama, bagaimana Adam dilihat dari perspektif sejarah dan teori evolusi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak akan terjawab secara tuntas karena memperbadingkan antara sesuatu yang normatif, yang keberadaannya diperkuat melalui kepercayaan, dengan sesuatu yang empiris, di mana keberadaannya diperoleh melalui penelusuran peninggalan-peninggalan masa lampau. Upaya mempertentangkan antara sesuatu yang normatif dan yang empiris merupakan permasalahan dalam filsafat ilmu, karena mempertentangkan antara kebenaran agama dan kebenaran ilmiah. Oleh karena itu, ketika terjadi pertentangan maka kontroversi sejarahlah yang akan muncul. Pertentangan ketiga adalah pertentangan antara realitas dan mitos. Mitos yang dimaksud dalam tulisan ini adalah tentang segala sesuatu yang keberadaannya sengaja untuk diciptakan dan tanpa adanya dukungan yang kuat dari sumber-sumber primer. Dalam tulisannya, Bambang Purwanto 2001a memberikan gambaran tentang permasalahan mitos dan realitas yang terjadi dalam sejarah Indonesia. Permasalahan ini kemudian mengerucut pada permasalahan kontroversi sejarah, sehingga memunculkan sejarah kontroversial. Sejarah yang lebih menempatkan landasan pada aspek ideologi menjadi sarana untuk menciptakan mitos-mitos Bambang Purwanto, 2001a: 116. Mitos yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mitos yang bersifat politis dan sengaja untuk diciptakan sebagai sarana legitimasi, dan berbeda dengan mitos yang dipercayai oleh masyarakat melalui sarana folklore. Akibatnya historiografi terjebak pada penciptaan mitos baru atau reinterpretasi atas mitos lama yang menguatkan mitos tersebut. Dibandingkan dengan aspek normatif dan empiris, aspek mitos dan realitas lebih cenderung politis daripada metodologis. Contoh mitos yang menjadi satu hal yang sengaja untuk diciptakan adalah seperti penulisan sejarah pada masa Orde Baru lebih menekankan peran sentral Soeharto dalam revolusi dan pengendalian keamanan, sehingga muncullah mitos bahwa “Soeharto sebagai pahlawan”. Selain itu dalam perkembangannya banyak pendapat yang mengunggulkan Soeharto dalam aspek ekonomi, sehingga terciptalah mitos “Bapak Pembangunan”. Pertentangan keempat terkait dengan permasalahan antara kemunculan sejarah resmi dengan sejarah alternatif. Pertentangan antara keduanya menjadi permasalahan yang menyebabakan munculnya sejarah kontroversial karena ketika sejarah yang dipahami oleh masyarakat adalah sejarah yang termasuk dalam sejarah resmi mendapatkan tentangan dari sejarah dengan versi yang lain, maka muncul pertanyaan besar di kalangan masyarakat tentang “apa yang sebenarnya terjadi” serta “mana yang benar dari sejarah itu”. Permasalahan ini sangat mungkin muncul karena dalam sekian waktu masyarakat hanya disodori oleh versi-versi resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berkuasa. Kemudian karena sejarah resmi dikeluarkan oleh pihak yang berkuasa, maka mereka melakukan upaya secara masif untuk melakukan sosialisasi dan indoktrinasi melalui sejarah versi resmi tersebut. Hal ini mengakibatkan pembentukan pengetahuan sejarah sesuai dengan harapan penguasa dan adanya pembatasan terhadap munculnya sejarah dalam versi yang berbeda. Sejarah dalam arti alternatif ini dapat berasal dari penulisan sejarah dengan perspektif yang berbeda melalui penelusuran data dari sumber-sumber yang berbeda pula. Contoh dari sejarah alternatif yang banyak bekembang pada setelah reformasi adalah munculnya tulisan-tulisan dari perspektif korban. Contoh sejarah resmi yang berkembang di Indonesia adalah tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965. Pemerintah mengeluarkan versi resmi dari perstiwa tersebut dalam sebuah buku putih yang terbit pada tahun 1994. Sementara itu di satu sisi muncul upaya untuk membatasi peredaran historiografi alternatif. Contohnya adalah ketika terjadi pelarangan buku-buku yang memiliki kaitan dengan ideologi “kiri”, seperti tulisan Pramoedya Ananta Toer. Tulisan- tulisan alternatif yang telah berkembang dengan pesatnya pada dasarnya menjadi hal yang justru menyemarakkan penulisan sejarah di Indonesia dan memberi dampak positif sebagai sarana untuk menumbuhkan kesadaran multikultural pada masyarakat Indonesia yang plural. Ditinjau dari aspek konteks, adanya pertentangan-pertentangan dalam sejarah kontroversial disebabkan kondisi pada masa peralihan dari rezim otoriter menuju demokrasi yang ditunjang dengan adanya kemberdekaan pers. Pada kondisi seperti itu muncul kritik terhadap monopoli kebenaran sejarah yang dimiliki penguasa Asvi Warman Adam, 2009: 1. Pertentangan kelima tentang persamsalahan posisi dan peran tokoh dalam sebuah peristiwa. Pertentangan tersebut adalah pertentangan antara yang berjasa dan yang berdosa. tidak jarang dalam diri satu tokoh ada beberapa pandangan sekaligus, dianggap sebagai pahlawan atau penjahat. Tokoh-tokoh sejarah sangat sering memunculkan kontroversi. Dalam historiografi tradisional peran tokoh menjadi penggerak utama dalam jalannya sejarah, sehingga keberadaannya menjadi kunci sifat kontroversial dalam sebuah peristiwa. Mulai dari zaman klasik posisi tokoh sejarah sering berada di dua sisi, seperti kontroversi tentang Ken Arok atau Ken Angrok. Di satu sisi ia disebut sebagai penjahat karena menggulingkan kekuasaan yang sah, tetapi di sisi lain dianggap sebagai pahlawan yang mendirikan kerajaan Singhasari. Pada masa kerajaan Islam di Jawa, ada beberapa tokoh yang kontroversial. Dalam kisah suksesi Demak, ada tokoh bernama Arya Penangsang. Keberadaan Arya Penangsang dianggap oleh masyarakat Demak dan Jepara sebagai penjahat karena melakukan pembunuhan terhadap Hadlirin dan saudaranya. Akan tetapi di kawasan Rembang ia dianggap sebagai tokoh yang berjasa. Pada sejarah kontemporer, posisi tokoh sejarah tidak luput dari permasalahan kontroversi, salah satunya tentang peran Soeharto dalam sejarah Indonesia. Pada masa pemerintahannya, penulisan sejarah diarahkan untuk menampilkan Soeharto sebagai tokoh sentral dalam sejarah Indonesia. Dalam konteks pembelajaran, tidak semua peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial dapat disajikan dalam materi ajar untuk pembelajaran sejarah di SMA. Hal ini karena adanya skala prioritas untuk mengajarkan sejarah yang memiliki potensi dalam mengembangkan aspek-aspek yang dimiliki oleh peserta didik, khususnya aspek menyangkut cinta tanah air, nasionalisme, dan sebagainya. Selain itu, peristiwa-peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial belum dapat diajarkan secara keseluruhan karena pada jenjang SMA, peserta didik belum dianggap perlu untuk mempelajari secara mendetail tentang berbagai peristiwa sejarah. Hal ini karena materi-materi yang diajarkan di SMA, pada dasarnya sudah disusun garis besar penyampaiannya dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar. Peristiwa-peristiwa sejarah yang dijadikan materi ajar dalam pembelajaran sejarah yang bersifat kontroversial hanya peristiwa-peristiwa yang dianggap signifikan dan mendukung dalam proses pemahaman peserta didik terhadap suatu rangkaian peristiwa dan konsep tentang masa lalu. Dari penjelasan tentang permasalahan sejarah kontroversial di atas, dapat disimpulkan bahwa sejarah kontroversial yang menjadi permasalahan dalam pemahaman guru terhadap impelementasi critical pedagogy pada pembelajaran sejarah kontroversial adalah disebabkan oleh permasalahan metodologis dan politis. Pada aspek metodologis muncul karena adanya subjektivisme dalam penulisan sejarah melalui kesewenangan dalam pengambilan data, reduksi data, sampai pada penulisan sejarah. Kemudian ada pula kontroversi yang bersifat politis karena adanya politik historiografi. Antara aspek metodologis dan politis saling interdependen, bahkan kecenderungan kuat yang tampak adalah bahwa faktor politis mempengaruhi faktor metodologis. Kemudian dalam sejarah kontroversial muncul beberapa pertentangan, yakni 1 pertentangan antara yang tersembunyi dengan yang tampak, 2 pertentangan antara aspek normatif dan empiris, 3 pertentangan antara mitos dan realitas, 4 pertentangan antara sejarah resmi dan alternatif, dan 5 pertentangan antara yang berdosa dan yang berjasa. Peliknya permasalahan dalam sejarah kontroversial yang menyebabkan pemahaman guru terhadap sejarah kontroversial lemah apabila guru-guru tidak membekali diri dengan sumber-sumber yang dapat diandalkan. Secara sederhana penjelasan tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah Gambar 3. Kemunculan Sejarah Kontroversial dan Macam Pertentangan yang Terjadi di Dalamnya sumber: diolah dari hasil penelitian Ada permasalahan lain dari luar faktor ideologi penguasa dan historiografi sejarah kontroversial terhadap pemahaman guru. Satu faktor yang berpengaruh terhadap pemahaman guru pada implementasi critical pedagogy pada pembelajaran sejarah kontroversial adalah aspek kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah pada saat ini tertuang dalam standar isi seperti tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Permendiknas No. 22 tahun 2006. Dalam KTSP sebenarnya pembelajaran sejarah memiliki peluang untuk dikembangkan sesuai dengan kebutuhan tingkat satuan pendidikan tertentu, baik pada tingkat kabupatenkota maupun pada level sekolah. Kebijakan dalam hal kurikulum yang lebih terbuka daripada sebelumnya sebenarnya memberikan peluang bagi guru untuk mengembangkan pembelajaran sesuai dengan kemajuan zaman. Akan tetapi, pada tingkat praksis, kurikulum hanya menjadi dokumen yang menumpuk di atas meja, sehingga pemahman guru hanya sebatas memahami tanpa adanya upaya untuk melakukan perubahan. Perubahan kurikulum sejarah yang seiring dengan proses reformasi ternyata tidak mendapatkan dukungan sepenuhnya oleh pemerintah. Secara teoretis, kurikulum baru telah memberikan titik terang tentang pelaksanaan sejarah kontroversial, karena pemerintah hanya menyusun sampai tingkat kompetensi dasar KD. Akan tetapi, ada kebijakan-kebijakan yang kurang mendukung pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial, seperti adanya Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 019AJA032007 pada tanggal 5 Maret 2007 yang melarang buku-buku pelajaran sejarah yang tidak membahas pemberontakan PKI tahun 1948 dan 1965. Akibatnya, terjadi penarikan buku ajar besar-besaran disertai dengan pemusnaham buku tersebut secara massal. Selain itu, pemerintah juga belum mengeluarkan kebijakan yang secara khusus memberikan pemahaman terhadap sejarah-sejarah kontroversial. Hal ini berakibat adanya sikap guru yang mengabaikan sejarah kontroversial karena secara legal keberadaan materi kontroversial tidak difasilitasi secara penuh oleh pemerintah. Permasalahan kebijakan yang kurang mendukung pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial sangat berbeda ketika dibandingkan dengan pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial di luar negeri, seperti di Inggris dan di Amerika Serikat. Di Inggris terdapat asosiasi yang terdiri atas para pemerhati sejarah, guru sejarah, dan sejarawan yang tergabung dalam The Historical Association . Organisasi tersebut dengan didukung oleh kementerian pendidikan di Inggris tengah menaruh perhatian terhadap pembelajaran sejarah kontroversial The Historical Association, 2008. Menurut panduan yang diterbitkan oleh Oxfam, sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan di Inggris, dalam Global Citizenship Guides 2006 yang berjudul Teaching Controversial Issues alasan utama mengapa pengajaran isu kontroversial dilakukan adalah karena di dalam struktur kurikulumnya tesedia alokasi untuk membahas peristiwa dan isu kontroversial. Hal yang serupa terjadi di Amerika Serikat bahwa untuk mengajarkan isu-isu kontroversial, NCSS National Council of Social Studies membat panduan bagi guru-guru. Di dalam dokumen tersebut terdapat penjelasan tentang relevansi pembelajaran isu kontroversial serta panduan tentang bagaimana mengajarkan isu kontroversial Faulconer dan Freeman, 2005: 324. Permasalahan yang terdapat dalam kebijakan terkait dengan pembelajaran sejarah kontroversial adalah adanya keberlanjutan tradisi yang dipegang pada masa Orde Baru dalam dunia pendidikan dengan tetap berkembangnya ideologi pendidikan konservatif dan liberal yang telah berubah menjadi ideologi pendidikan neokonservatif dan neoliberal. Secara praksis guru-guru yang mengajar adalah produk dari pendidikan masa Orde Baru yang telah terbiasa dengan konsep yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru. Apalagi jika guru- guru tersebut telah berpengalaman lebih dari 20 tahun, ada kecenderungan yang kuat pengaruh pendidikan dan ideologi Orde Baru yang mengutamakan konformitas dengan menekankan pada ideologisasi dalam pembelajarannya. Permasalahan kebijakan menjadi salah satu hal yang menjadi alasan guru untuk mengajarkan atau tidak peristiwa sejarah kontroversial. Kebijakan tersebut tekait dengan permasalahan pemilihan materi ajar, pembagian alokasi waktu, ketersediaan sumber dan media belajar, serta dukungan pemerintah dalam menyediakan referensi dan pendampingan terhadap guru untuk memahami permasalahan pembelajaran sejarah mutakhir. Permasalahan kebijakan berpengaruh pula terhadap pemahaman guru terhadap critical pedagogy. Critical pedagogy pada saat ini belum berkembang salah satunya adalah karena belum adanya upaya untuk mengenalkan konsep tersebut secara formal dan teknis bagi guru-guru. Tanpa menafikkan faktor internal berupa keengganan guru untuk mengetahui perkembangan mutakhir, ternyata guru lebih sepakat apabila segala sesuatu yang dijadikan ladasan pelaksanaan pembelajaran telah memiliki aturan yang jelas. Guru-guru masih belum terbiasa untuk melakukan sesuatu secara mandiri, termasuk dalam pengembangan pembelajaran sejarah, terutama pembelajaran sejarah kontroversial. Permasalahan tentang kebijakan yang dikeluarkan tidak lepas dari konsep kuasa dalam pendidikan seperti dijelaskan di atas. Dari konsep hegemoni ditemukan benang merah bahwa pendidikan dapat dijadikan sebagai sarana indoktrinasi penguasa dalam menciptakan konformitas. Di satu sisi pendidikan digunakan pula sebgai sebuah sarana legitimasi. Secara teknis upaya dalam pemanfaatan pendidikan untuk kepentingan penguasa adalah melalui perumusan kebijakan dalam pendidikan, termasuk dalam pendidikan sejarah pada jalur formal. Kecenderungan yang politis dalam pendidikan sejarah seperti diungkapkan oleh Bambang Purwanto pada seminar nasional di Pascasarjana UNS tanggal 29 Mei 2009. Pada kesempatan itu ia menyatakan bahwa proses penyusunan SK dan KD untuk sejarah sangat politis, karena di satu sisi selain faktor keilmuan ada pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam perumusan kompetensi dasar untuk sejarah. Dalam hal pendidikan sejarah, Bambang Purwanto 2006: 268-269 menyatakan bahwa Pada dasarnya pendidikan sejarah di sekolah tidak lepas dari pengaruh nilai yang paling dominan, termasuk politik. Pendidikan sejarah selalu menjadi ladang yang diperebutkan oleh kepentingan politik untuk menunjukkan kekuasaannya. Sampai saat ini permasalahan kebijakan pelajaran sejarah menurut Bambang Purwanto 2005: 5 belum ada perubahan penting dalam kurikulum, materi yang diajarkan, dan metode pada pedidikan sejarah. Hal ini myenyebabkan permasalahan yang menjadi hambatan untuk mengimplementasikan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Tiga aspek yang telah dijelaskan di atas merupakan faktor yang termasuk dalam faktor eksternal yang mempengaruhi pemahaman guru terhadap implementasi critical pedagogy. Secara sederhana ketiga aspek yang telah dijelaskan di atas dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut Gambar 4. Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Pemahaman Guru dalam Implementasi Critical Pedagogy pada Pembelajaran Sejarah Kontroversial sumber: diolah dari hasil penelitian Pada aspek pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial guru-guru ternyata belum maksimal dalam implementasi critical pedagogy. Tidak ada perbedaan yang mendasar dalam pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy pada setiap sekolah dengan karakteristik yang berbeda. Tidak ada jaminan bahwa SMA negeri yang memiliki status tertentu menjadi lebih baik dalam pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversialnya. Aspek yang membedakan hanya pada aspek penunjang secara fisik, seperti ketersediaan referensi, media pembelajaran, dan fasilitas lain. Hal ini disebabkan pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial lebih disebabkan oleh karakteristik masing-masing guru dalam mengajar dan menyampaikan materi. Kecenderungan yang brebeda pada tiap karakteristik sekolah hanya pada ada atau tidaknya inisiatif dalam mengajarkan sejarah kontroversial. Di SMA negeri yang berada di perkotaan ada kecenderungan guru untuk secara pribadi mengajarkan sejarah kontroversial, walaupun itu hanya bersifat kasuistik. Artinya, hal itu disebabkan oleh karakter guru yang dikenal memiliki sikap kritis. Akan tetapi ada pula guru yang masih pasif dalam menanggapi permasalahan kontroversi, yakni guru menjelaskan aspek kontroversial apabila muncul pertanyaan dari peserta didik. Pada pembelajaran sejarah kontroversial ada kecenderungan guru-guru untuk menghindari isu kontroversial dalam pembelajaran. Hal tersebut merupakan kecenderungan umum yang terjadi, walaupun ada sebagian kecil guru yang berani untuk menyatakan pendapat dan memiliki inisiatif dalam mengajarkan sejarah kontroversial. Kecenderungan guru untuk menghindari isu kontroversial dalam pembelajaran menjadi hal yang kontradiktif dengan pemahaman yang mereka miliki. Dalam aspek pemahaman, guru telah menyadari bahwa pendidikan sejarah, terutama pembelajaran sejarah kontroversial memiliki kontribusi dalam mengembangkan kesadaran, pola pikir, dan sikap kritis peserta didik. Akan tetapi implementasi di dalam pembelajarannya sering kali tidak seperti yang diungkapkan. Pada perspektif critical pedagogy, guru masih berada pada tahapan refleksi dan belum pada tahap aksiaktualisasi. Pada tahap refleksi ada beberapa pertanyaan yang sebenarnya telah mampu untuk dijawab oleh guru, yakni “apa yang penting dari pembelajaran sejarah kontroversial melalui perpsketif critical pedagogy?”, “mengapa pesan tersebut dianggap penting?”, “apa manfaat yang bida diambil?”, “apa dampak jika saya tidak melaksanakannya tersebut?”. Pada tahap refleksi guru telah memahami dan mampu melihat konteks mengapa pembelajaran sejarah kontroversial ada dan mengapa penting untuk disampaikan. Namun demikian, guru masih belum optimal dalam tahap aksiaktualisasi, yakni ketika kesadaran yang dimiliki oleh guru di-ejawantah-kan dalam ranah laku. Dengan demikian, guru masih lemah dalam hal praksis. Untuk menganalisis lebih lanjut pelaksanaan pembelajaran sejarah yang bersifat kontroversial, penelitian ini akan memilah deskripsi tentang pembelajaran sejarah menjadi dua, yakni 1 pada saat perencanaan pembelajaran, 2 dan pada saat pelaksanaan. Perencanaan pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 20 meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar. Dalam hal ini, guru telah menyusun perencanaan pembelajaran dalam bentuk penyusunan rencana minggu efektif, program tahunan, program semester, silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran yang di dalamnya meliputi tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar. Pada penyusunan silabus, guru mendasarkan pada penyusunan silabus yang telah disusun pada kurikulum tahun 2004, hanya saja dengan melakukan perubahan dan penyesuaian dengan kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Dalam pelaksanaannya ada sekolah yang menyusun secara mandiri tetapi ada pula sekolah yang menyusun silabus bersama MGMP. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran RPP yang disusun oleh guru menggunakan model penyusunan rencana pelakasnaan tiap satu kompetensi dasar. Artinya adalah perencanaan disusun untuk satu kompetensi dasar dan di dalamnya diuraikan beberapa pertemuan, sesuai dengan indikator yang disusun. Akan tetapi dalam penyusunan RPP masih terdapat kelemahan, yakni kalimat yang digunakan masih belum bersifat operasional dan menggunakan kalimat yang bersifat umum. Idealnya pembuatan RPP adalah dengan menggnakan kalimat yang operasional, di mana pelaksanaan pembelajaran seusai dengan apa yang telah direncanakan. Adanya hal ini menyebabkan kecederungan bahwa pelakasnaan pembelajaran hanya memiliki satu garis besar perencanaan untuk tiap pertemuan, bukan perencanaan untuk tiap-tiap tahapan pada satu pertemuan. Namun demikian, walaupun guru masih memiliki kelemahan dalam bidang perencanaan, pelaksanaan pembelajaran telah sesuai dengan apa yang direncanakan. Ditinjau dari aspek pelaksanaan pembelajaran terkait dengan tujuan, pada dasarnya tujuan yang disusun oleh guru belum sepenuhnya sesuai dengan critical pedagogy . Tujuan ideal dari pembelajaran yang bermuara pada bagaimana meningkatkan pemahaman peserta didik secara komprehensif terhadap suatu peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial masih belum trakomodasi dan diapresiasi secara optimal. Kemudian, karena ada beberapa materi yang tidak disampaiakan secara maksimal, tujuan-tujuan yang disusun belum terlaksana secara optimal. Aspek berikutnya dalam pembelajaran adalah aspek subjek belajar. Dalam hal ini aspek guru dan peserta didik sangat berpengaruh dalam pelaksanaan pembelajaran sejarah yang mengangkat materi ajar tentang sejarah yang bersifat kontroversial. Pemahama guru menjadi satu hal yang sangat berperan dalam menentukan suksesnya pelaksanaan pembelajarah sejarah kontroversial. Ditinjau dari aspek peserta didik, SMA Negeri 1 dan 5 Semarang dapat dikatakan sebagai sekolah yang unggulan, sehingga masukan in put dari aspek peserta didik tentu saja sangat mendukung dalam pelaksanaan pembelajaran materi sejarah yang bersifat kontroversial. Rata-rata kemampuan peserta didik dalam menerima pelajaran adalah baik. Hal ini disebabkan pada dasarnya peserta didik memang telah memiliki bekal yang cukup untuk diajak guru dalam berdiskusi dan berinterkasi dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Kemampuan peserta didik yang baik ini mejnadi bekal yang sangat bermanfaat untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dengan demikian, peran guru mengalami menjadi tidak sebagai satu-satunya informasi dan hanya membangun komunikasi satu atah, tetapi guru menjadi berperan sebagai sarana yang mengantarkan pesrta didik untuk mencapai kompetensi secara mandiri. Adanya kemampuan peserta didik yang baik, maka komunikasi dua arah antara guru dan peserta didik dimungkinkan untuk terjadi secara efektif. Dengan demikian, pada pembelajaran sejarah kontroversial, faktor peserta didik menjadi hal yang mendorong dan mempermudah terwujdunya tujuan pembelajaran. Akan tetapi dalam beberapa kasus ditemukan adanya pandangan dari kalangan peserta didik yang kurang antusias terhadap pembelajaran, bahkan cenderung mengacuhkan pelajaran sejarah. Metode pembelajaran yang digunakan dalam mengajarkan materi yang bersifat kontroversial adalah adanya kecenderungan guru untuk menerapkan perpaduan metode. Ada kesamaan tahapan yang dilakukan, yakni pada pertemuan awal guru bercerita tentang latar belakang terjadinya peristiwa sejarah. Setelah itu tedapat ulasan tentang aspek kronologis. Kemudian peserta didik juga disarankan untuk belajar secara mandiri untuk memperdalam kajian. Pada pelaksanaan pembelajarannya, ada beberapa hal yang masih lemah dalam implementasi critical pedagogy pada pembelajaran sejarah kontroversial. Ditinjau dari aspek 4K dalam pembelajaran sejarah, guru cenderung lemah terutama dalam aspek komprehensivitas. Pada aspek ini disajikan keberagaman versi dan perspektif dalam melihat sebuah peristiwa sejarah. Pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 keberagaman versi tersebut memunculkan untuk disampaikan dalam kelas. Selain aspek komprehensivitas dalam menyajikan versi-versi dari sebuah peristiwa sejarah kontroversial, permasalahan lain adalah ditinjau dari metode yang digunakan dalam critical pedagogy. Pada critical pedagogy terdapat dua metode yakni kodifikasi dan dekodifikasi Agus Nuryatno, 2008: 6. Kodifikasi mengacu pada proses merepresentasikan fakta yang diambil dari kehidupan peserta didik kemudian mempermasalahkannya. Sementara itu dekodifikasi mencakup metode deskriptif untuk memahami surface structure dan metode analitis untuk memahami deep structure. Pada aspek kodifikasi, guru lemah dalam memberikan inisiatif pembelajaran sejarah kontroversial. Pada aspek dekodifikasi, pelaksanaan pembelajaran masih belum tuntas pada metode analitis. Belum ada upaya yang dilakukan secara menyeluruh tentang versi-versi yang ada dalam pembelajaran sejarah peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965. Ditinjau dari tahapan yang dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran kritis, ternyata ada tahapan yang masih belum tuntas dalam pengimplementasian critical pedagogy . Tahapan tersebut adalah: 1 Naming, tahapan mempertanyakan sesuatu permasalahan dengan pertanyaan “apa masalahnya”; 2 Reflecting , tahapan dengan mengajukan pertanyaan “mengapa peristiwa tersebut terjadi” yang bertujuan agar peserta didik dibiasakan untuk berpikir kritis dan reflektif; 3 Acting, tahapan berupa proses pencarian alternatif untuk memecahkan masalah Taylor dalam Agus Nuryatno, 2008: 10. Tahapan yang masih lemah di kalangan pelaksanaan oleh guru adalah tahapan acting. Lemahnya guru dalam tahapan acting terjadi pada pemahaman dan pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial. Ditinjau dari proses pelaksanaan critical pedagogy berupa pembelajaran dialogis dan kontekstual, guru-guru telah mengimplementasikan dengan baik. Proses dialogis dalam mengulas permasalahan tercermin dari kegiatan pembelajaran yang tidak hanya berpusat pada guru. Dalam hal ini peserta didik diberikan keleluasaan untuk memecahkan masalah dengan menggali informasi secara mandiri. Dalam pembelajaran ada upaya untuk mengakomodasi gagasan peserta didik melalui diskusi, walaupun intensitasnya belum terlalu sering. Pada aspek kontekstual, pembelajaran sejarah telah dilakukan yakni dengan mengaitkan antara materi dengan kondisi kekinian. Akan tetapi di kalangan guru terdapat kesulitan dalam menerapkan aspek pembelajaran kontekstual terkait dengan peristiwa sejarah kontroversial. Ditinjau dari aspek sumber belajar, sumber-sumber yang dimanfaatkan guru dalam pembelajaran sejarah pada dasarnya sudah cukup beragam, karena guru tidak hanya menggunakan buku teks, tetapi juga menggunakan beberapa referensi sebagai pelengkap. Akan tetapi ada beberapa kelemahan dalam aspek pemanfaatan sumber. Pada buku teks yang disusun oleh I Wayan Badrika 2008 pada materi tentang peristiwa Gerakan 30 September ditinjau dari kaca mata critical pedagogy pada dasarnya telah memenuhi setiap aspek yang terkandung, yakni ada kandungan latar belakang, penjelasan kronologis terjadinya suatu peristiwa, beberapa pendapat yang menyatakan peristiwa tersebut, serta bagaimana dampak atau pengaruh dari peristiwa sejarah tersebut bagi peristiwa- peristiwa sedudahnya. Akan tetapi, dalam buku tersebut, kelemahannya adalah masih lemah dalam aspek komprehesif. Di sini penulis buku belum memaparkan secara menyeluruh teori-teori terjadinya peristiwa tahun 1965 tersebut. Hanya ada beberapa teori saja yang dituliskan dalam buku tersebut. Selain menggunakan buku teks, guru juga memanfaatkan modul dan lembar kerja peserta didik LKS yang mamdahkan peserta didik dalam memahami suatu materi karena di dalam modul tersebut terdapat rangkuman materi sekaligus soal latihan dan penugasan yang dapat dikerjakan oleh peserta didik. Setelah ditinjau dari perspektif pendekatan kritis, modul dan LKS sudah cukup layak untuk dijadikan buku pendamping dan latihan untu peserta didik. LKS yang digunakan oleh guru yang disusun oleh MGMP ternyata belum menunjang pelaksanaan sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy. Hal ini tampak dari adanya indikator yang dirumuskan untuk materi tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965, yakni: 1 Mengidentifikasi strategi politik PKI masa demokrasi liberal dan terpimpin; 2 Mengidentifikasi aksi-aksi sepihak PKI sebelum G 30 SPKI 1965; 3 Menunjukkan kaitan antara gerakan 30 September dengan dewan revolusi; 4 Menjelaskan gerakan 30 September PKI telah melakukan perebutan kekuasaan yang sah; 5 Mengientifikasi nama-nama dalang di balik gerakan 30 September PKI; 6 Menganalisa kebenaran isu adanya dokumen Gilchrist; 7 Menerangkan prosesi pengangkatan jenazah korban kebiadaban PKI di Lubang Buaya; 8 Menyebutkan upaya-upaya penumpasan G 30 SPKI 1965; 9 Menjelaskan akibat sosial politik G 30 SPKI 1965, 10 Mengidentifikasi adanya bahaya laten komunis. Dimanfaatkannya LKS dengan indikator yang bersifat politis seperti di atas menjadi salah satu hal yang menyebabkan pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy tidak berjalan dengan baik karena tidak dudukung oleh sarana belajar yang tidak mendukung critical pedagogy. Kaitannya dengan pemanfaatan sumber berupa buku, diakui bahwa guru belum dapat menafaatkan sumber yang secara spesifik menyatakan suatu peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial, seperti tentang peristiwa Gerakan 30 September. Hal ini dapat dipahami karena sumber-sumber tersebut tidak dapat secara mudah diakses oleh guru-guru sejarah. Sumber lain yang dimanfaatkan guru dalam pembelajaran sejarah adalah sumber dari internet. Internet sebagai sumber belajar memiliki keunggulan adanya data-data yang cukup banyak dan memilii nilai keterbaruan yang tinggi. Hal ini karena dengan pemafaatan internet sebagai sumber belajar, berbagai infromasi dari belahan dunia dapat diakses secara mudah dan cepat. Akan tetapi sebagai sumber belajar, interet juga memiliki kelemahan. Walaupun memiliki nilai keterbaruan yang tinggi, internet memiliki nilai keakuratan accuracy dan kepercayaan validity yang rendah. Tingat keakuratan dan kepercayaan data di internet lemah. Hal ini karena tidak semua tulisan yang ada di internet dapat dimanfaatkan sebagai sumber. Hal ini disebabkan sifat dari internet yang terbuaka bagi siapa saja untuk memanfaatkannya. Oleh karena banyak orang yang dapat mengakses, maka kadar kepercayaan data adalah lemah. Hal ini karena bisa saja orang menulis sejarah semaunya, padahal yang dituliskannya belum tentu benar. Oleh karena itu, untuk memanfaatkan internet sebagai sebagai sumber belajar perlu diterapkan beberapa upaya untuk menyeleksi sumber yang akan dimanfaatkan. Bekaitan dengan pemanfaatan internet terlebih dahulu patut dipertanyakan tentang sumber dari tulisan, apakah berasal dari sumber yang terpercaya. Apakah tulisan tersebut memang didasarkan pada referensi-referensi tertentu. Selain itu guru harus memahami bahwa sumber di internet bukan sebagai satu-satunya sumber dan sumber yang paling utama. Pada pelaksanaan pembelajaran sejarah yang bersifat kontroversial, guru memanfaatkan beberapa media pembelajaran. Media dalam pembelajaran sejarah memegang peranan dan posisi yang penting. Hal ini karena media membantu dalam menggambarkan dan memberikan informasi tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Peranan media yang lain adalah sebagai pengembang konsep generalisasi serta membantu dalam memberikan pengalaman dari bahan yang abstrak seperti buku teks menjadi bahan yang jelas dan nyata. Dengan demikian untuk mewujudkan efektivitas pembelajaran sejarah harus dilakukan optimalisasi penggunaan media pembelajaran. Pada pendidikan tingkat dasar dan menengah, peran media sangat diperlukan dalam pengajaran sejarah. Hal ini selain mempermudah guru dalam penyampaian materi, media berfungsi untuk mengembangkan kemampuan indera anak didik. Di dalam pembelajaran sejarah, media berperan dalam mewujudkan tiga hal, yakni 1 visualisasi, 2 interpretasi, dan 3 generalisasi. Media pembelajaran membantu menyampaikan pesan dari guru kepada peserta didik agar dalam diri peserta didik terbangun pemahaman yang menyeluruh tentang peristiwa sejarah kontroversial. melalui media peserta didik mampu mengonkretkan konsep-konsep atau peristiwa yang masih berisfat abstrak. Inilah fungsi media dalam aspek visualisasi. Selain itu media pembelajaran membantu peserta didik melakukan penafsiran terhadap peristiwa-peristiwa sejarah. Dengan adanya kemampuan peserta didik untuk mengetahui dan menghayati peristiwa sejarah maka inilah fungsi media dalam mengembangkan kemampuan peserta didik melakukan interpretasi. Media pembelajaran selain itu juga mampu memberikan kemudahan bagi peserta didik dalam menarik simpulan dan menemukan konseo-konsep umum serta benang merah dari suatu peristiwa. Berbagai media yang dimanfaatkan guru dalam pembelajaran sejarah kontroversial antara lain 1 media pandang yang yang tidak diproyeksikan seperti gambar diam, gambar kronologi, peta dan 2 media pandang yang diproyeksikan, seperti media slide dengan aplikasi microsoft power point. Gambar 5. Fungsi Media Pembelajaran dalam Pembelajaran Sejarah Kontroversial sumber: diolah dari hasil penelitian Pada pelaksanaan pembelajaran, pemanfaatan media oleh guru terdapat beberapa kelemahan dalam hal 1 persiapan, 2 ketersediaan, 3 keterjangkauan, dan juga 4 pemanfaatan. Ditinjau dari aspek persiapan, pemanfaatan media yang komplet membutuhkan waktu yang lama. Selain itu ketersediaan media berupa note book dan LCD ataupun OHP tidak dalam jumlah yang cukup, karena pemakaiannya bergantian dengan pelajaran lain. Hal ini terjadi pada SMA yang terletak di kawasan pinggiran kota. Pemanfaatan media berupa film masih belum dapat digunakan karena tidak dimilikinya film-film terkait dengan pembelajaran sejarah kontroversial. Dari aspek keterjangkauan, ada beberapa media yang belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena tidak tersedia dan keterbatasan dalam hal pemanfaatan. Pemanfaatan media-media pembelajaran alternative belum dimanfaatkan pula oleh guru. Media-media yang masih belum dimanfaatkan antara lain Fungsi media pada pembelajaran sejarah Mewujudkan visualisasi Membantu dalam interpretasi fakta Mengembangkan konsep generalisasi Tujuan pembelajaran sejarah kontroversial Tabel 3. Beberapa Media dan Sumber Belajar Tentang Peristiwa Gerakan 30 September Tahun 1965 Jenis Contoh Film Pemberontakan G 30 SPKI produksi Perusahaan Film Negara dan Gie produksi Miles Production NovelCerpen Para Priyayi I II karya Umar Kayam, Sri Sumarah kumpulan novelet dan cerpen Umar kayam Media Massa Surat kabar, majalah, internet Buku Adam, Asvi Warman. 2007. Seabad Kontroversi Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Sekretariat Negara RI. 1994. G30SPKI: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya . Jakarta: Setneg RI. Sulistyo Hermawan. 2001. Palu Arit Di Ladang Tebu. 2001. Jakarta: KPG Syamdani ed. 2001. Kontroversi Sejarah di Indonesia. Jakarta: Gramedia Sumber: Tsabit Azinar Ahmad 2008: 25 Pada aspek evaluasi, guru telah menerapkan variasi model penilaian yang digunakan untuk mengetahui tingkat pencapaian belajar peserta didik dan kemajuan mereka dalam pembelajaran. Ada beberapa model penilaian yang dilakukan guru dalam pembelajaran materi sejarah yang bersifat kontroversial. Penilaian yang digunakan guru dalam pembelajaran ini adalah 1 penilaian unjuk kerja, 2 penilaian tertulis, 3 penilaian sikap, 4 penilaian proyek, serta 5 penilaian portofolio. Penilaian unjuk kerja merupakan penilaian yang dilakukan dengan mengamati kegiatan peserta didik dalam melakukan sesuatu, dalam hal ini adalah penilaian terhadap presentasi yang dilakukan oleh peserta didik pada saat kegiatan diskusi. Penilaian secara tertulis dilakukan dengan tes tertulis. Tes Tertulis merupakan tes dimana soal dan jawaban yang diberikan kepada peserta didik dalam bentuk tulisan. Di SMA N Kota Semarang ada dua bentuk soal tes tertulis, yaitu 1 memilih jawaban seperti pilihan ganda, dua pilihan benar-salah, ya- tidak, serta 2 menyupali jawaban, yakni dalam bentuk isian atau melengkapi, jawaban singkat atau pendek, dan soal uraian. Tes tulis dilakukan tidak hanya pada tiap akhir pemhasana suatu kompetensi dasar tetapi juga pada saat pembelajaran berlangsund seperti pemberian quiz. Penilaian sikap digunakan sebagai upaya untuk menilai perilaku peserta didik pada saat pembelajaran berlangsung. Penelitian ini dilakukan denga pengisian isian tentang perilaku peserta didik pada saat pembelajaran. Penilaian proyek merupakan kegiatan penilaian terhadap suatu tugas yang harus diselesaikan dalam periodewaktu tertentu. Tugas tersebut berupa suatu investigasi sejak dari perencanaan, pengumpulan data, pengorganisasian, pengolahan dan penyajian produk. Bentuk penilaian ini adalah penugasan dalam pembuatan artikel. Penilaian portofolio merupakan penilaian berkelanjutan yang didasarkan pada kumpulan informasi yang menunjukkan perkembangan kemampuan peserta didik dalam satu periode tertentu. Informasi tersebut dapat berupa karya peserta didik hasil pekerjaan dari proses pembelajaran yang dianggap terbaik oleh peserta didiknya, lembar jawaban tes yang menunjukkan soal yang mampu dan tidak mampu dijawab bukan nilai, atau bentuk informasi lain yang terkait dengan kompetensi tertentu dalam satu mata pelajaran. Penilaian portofolio pada dasarnya menilai karya-karya peserta didik secara individu pada satu periode untuk suatu mata pelajaran. Akhir suatu priode hasil karya tersebut dikumpulkan dan dinilai oleh guru dan peserta didik. Berdasarkan informasi perkembangan tersebut, guru dan peserta didik sendiri dapat menilai perkembangan kemampuan peserta didik dan terus melakukan perbaikan. Sarana penunjang lain dalam pembelajaran sejarah di Kota Semarang cukup baik. Hal ini terlihat dari adanya akses internet yang sudah dapat dengan mudah dijangkau, tersedianya fasilitas sekolah seperti ruang auido visual yang dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran sejarah, adanya referensi dan sumber- sumber di perpustakaan yang dapat dimanfaatkan. Namun demikian, ada kelemahan dalam hal sarana penunjang ini, yakni belum ada suatu sarana yang secara khusus dimanfaatkan untuk pembelajaran sejarah. Di SMA Kota Semarang masih belum terdapat ruang sejarah atau laboratorium sejarah. Ruangan ini meruapakan ruangan yang ditata sedemikian rupa, yang di dalamnya terdapat berbagai media, seperti gambar, peta, sampai multimedia, sehingga memudahkan peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran sejarah. Bahasan tentang implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial mengarah pada kendala-kendala pelaksanaan pembelajaran. sebelum mengulas tentang permasalahan kendala secara tekni ada permasalahan yang muncul dalam konteks pembelajaran sejarah. Permasalahan itu adalah permasalahan tentang subjektivitas dalam historiografi ditambah dengan adanya faktor eksternal berupa campur tangan dari pihak lain telah menyebabkan penulisan sejarah memiliki perbedaan sudut pandang, bahkan tidak jarang bertentangan. Namun selama ketaksamaan visi dan pendekatan yang memunculkan perbedaan dan pertentangan sebuah tulisan sejarah didukung oleh fakta-fakta pada dasarnya dari sudut pandang keilmuan hal tersebut masih wajar. Namun demikian yang menjadi permasalahan adalah ketika ternyata pertentangan itu masuk dalam ranah pendidikan. Penulisan sejarah dalam ranah pendidikan tidak lagi semata-mata ditujukan untuk ilmu pengetahuan, tetapi juga digunakan sebagai sarana untuk memberikan pemahaman-pemahaman tehadap sebuah fenomena. Selain itu dalam ranah pendidikan ada pula tujuan-tujuan yang menjadi sekat pembatas dan jalur penuntun bagaimana penerapan penulisan sejarah untuk mencapai sasaran tertentu. Oleh karena itu permasalahan kontroversi sejarah akan menjadi lebih rumit ketika telah masuk dalam ranah pendidikan. Adanya permasalahan yang cukup rumit ini menjadi alasan munculnya kendala-kendala pembelajaran dalam aspek teknis pembelajaran. Dalam pelaksanaannya, critical pedagogy belum dapat dilaksanakan secara optimal. Ada beberapa permasahan terkait masalah belum optimalnya implementasi critical pedagogy di kalangan guru, yakni 1 masih belum dikenalnya konsep critical pedagogy secara teknis dan formal di kalangan guru-guru baik karena keengganan untuk mencari pengetahuan baru maupun karena minimnya akses untuk mendapatkan informasi, 2 perkembangan critical pedagogy kalah saing dengan perkembangan pendekatan pembelajaran yang lain, 3 belum adanya pengembangan critical pedagogy dalam pendidikan calon guru, 4 minimnya pelatihan dan pendampingan bagi guru untuk mengimplementasikan critical pedagogy , 5 kebijakan pemerintah belum memberikan ruang terhadap perkembangan critical pedagogy. Pada aspek perencanaan, apabila kendala-kendala tersebut dianalisis, ternyata kendala-kendala itu masih memiliki keterkaitan satu sama lain. Tabel 4. Analisis Kendala-Kendala dalam Perencanaan Pembelajaran Sejarah yang Bersifat Kontroversial No Kendala Disebabkan oleh Menyebabkan 1 Minimnya contoh-contoh rencana pembelajaran • Sosialisasi yang tidak merata dan kurang • Komunikasi yang kurang antarguru sejarah Lemahnya kemampuan guru dalam hal perencanaan pembelajaran 2 Sumber-sumber masih terbatas • Minimnya akses untuk memperoleh sumber • Belum ada sumber yang secara “resmi” disusun oleh pemerintah Kesulitan guru dalam memahami peristiwa- peristisa sejarah kontroversial 3 Akses untuk mendapatkan informasi yang sulit • Ketersediaan sumber terbatas Sulitnya mendapatkan sumber yang baik 4 Alokasi waktu yang terbatas dalam pembelajaran • Struktur kurikulum yang tidak memungkinkan dimasukannya materi tertentu • Banyaknya materi lain yang juga harus diberikan Sulit dalam melakukan variasi model pembelajaran 5 Kebijakan pemerintah yang membingungkan • Faktor kepentingan • Desakan salah satu golongan Munculnya masalah dalam hal pelaksanaan pembelajaran sejarah 6 Ada materi yang tidak memiliki alokasi waktu khusus dalam pembelajaran Materi menjadi bagian dari materi lain yang lebih bersifat umum Kesulitan dalam pelaksanaan pembelajaran Sumber: Diolah dari hasil penelitian Kemunculan kendala-kendala tersebut pada akhirnya akan menyebabkan lemahnya kemampuan guru dalam perenacnaan pembelajaran. Lemahnya aspek perencanaan mengakibatkan pembelajaran yang dilakukan tidak terstruktur, sehingga pencapaian tujuan pembelajaran tidak dapat terwujud secara efektif. Pada aspek pembelajaran kendala-kendala hampir ditemui pada setiap aspek dalam pembelajaran meliputi 1 tujuan, 2 subjek belajar, 3 materi, 4 metode pembelajaran, 5 media pembelajaran, 6 evaluasi, serta 7 aspek-aspek penunjang. Kendala-kendala yang ditemui dalam aspek pembelajaran masih berpusat pada keterbatasan keterampilan guru dalam penerapan variasi pembelajaran, minimnya antusias peserta didik, materi yang memunculkan serangkaian kesulitan dalam pemahamannya, masalah dalam media pembelajaran, penerapan sistem evaluasi, serta keterbatasan fasilitas dan sumber. Kendala-kendala ini menyebabkan kegiatan pembelajaran tidak berjalan dengan optimal dan berlangsung secara tidak efektif. Kendala-kendala dalam pembelajaran sejarah merupakan permasalahan yang menyebabkan belum tercapaian pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy. Munculnya kendala-kendala ini disebabkan oleh beberapa hal seperti yang digambarkan dalam uraian pada tabel di bawah ini Tabel 5. Analisis Kendala-Kendala dalam Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah yang Bersifat Kontroversial No Aspek Permasalahan Utama Penyebab 1 Tujuan Banyaknya materi menyebabkan kekhawatiran tidak tercapainya tujuan Banyaknya materi dan keterbatasan alokasi waktu 2 Subjek belajar • Pengetahuan guru terbatas • Peserta didik kurang antusias • Akses yang sulit • Kebijakan yang membingungkan. • Bagi aspek peserta didik karena kurang adanya variasi pembelajaran 3 Materi Materi bersifat sensitif dan terdiri atas banyak versi Perubahan corak historiografi dan adanya faktor kepentingan 4 Metode pembelajaran Minim pemanfaatan variasi metode dan keterbatasan alokasi waktu Keterbatasan waktu dan pengetahuan atas variasi metode 5 Media pembelajaran Kendala dalam persiapan, ketersediaan, keterjangkauan, dan juga pemanfaatan Minimnya jumlah media, belum dioptimalkannya media yang tersedia 6 Evaluasi Kesulitan dalam aspek penyusunan soal yang “netral” Sifat materi yang sarat akan nilai dan kepentingan 7 Penunjang Keterbatasan fasilitas dan ketidakoptimalan pemanfaatan fasilitas tersebut Minimnya sumber belajar Sumber: diolah dari hasil penelitian Dalam hal faktor pendukung, kendala-kendala yang ditemui dalam aspek organisasi profesi dan keilmuan, perguruan tinggi, media massa, serta kebijakan pemerintah adalah ketidakoptimalan peran dari komponen-komponen pendukung serta belum optimalnya pemanfaatan media massa sebagai sumber belajar. Dari penjelasan tentang berbagai hal tentang pembelajaran mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan peran komponen penunjang, ternyata ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya kendala dalam pembelajaran. Kendala- kendala yang ditemui dalam kelas sejarah secara umum dapat disebabkan oleh dua faktor, yakni 1 faktor intern dan 2 faktor ekstern. Faktor intern yang memunculkan permasalahan dalam pembelajaran sejarah kontroversial adalah faktor yang berasal dari dalam ilmu sejarah, yakni adanya perubahan dalam corak historiografi Indonesia pascareformasi. Faktor kedua adalah faktor ekstern yakni faktor-faktor luar yang berasal dari luar sejarah yang memengaruhi sejarah dan pendidikan sejarah. Antara faktor intern dan ekstern tersebut tidak berdiri sendiri independent, tetapi menjadi satu rangkaian yang memunculkan hubungan kausalitas dan hubungan kebergantungan interdependent, di mana faktor intern sangat mempengaruhi faktor ekstern. Faktor intern yang menyebabkan permasalahan dalam pendidikan sejarah adalah terjadinya perubahan corak historiografi Indonesia yang memunculkan pendapat-pendapat yang beraneka ragam tentang satu peristiwa sejarah, seperti berkembangnya beberapa versi dari Gerakan 30 September tahun 1965. Akan tetapi, ketika di satu sisi terjadi perubahan corak historiografi Indonesia setelah jatuhnya Soeharto, hal ini tidak diimbangi dengan kesiapan untuk menerima perubahan tersebut. Hal ini karena pengaruh tradisi historiografi Indonesia dalam memahami, merekonstruksi, dan memaknai masa lalu masih sangat kuat, sehingga bagi masyarakat awam, hal ini justru memberikan kebingungan. Berkaitan dengan perubahan corak historiografi Indonesia, adanya perbedaan versi dalam penulisan sejarah ini diakibatkan banyak hal, yakni subjektivitas, pemahaman masyarakat yang keliru, dan faktor kepentingan. Faktor subjektivitas bisa berasal dari pelaku sejarah atau sejarawan. Selain itu ada pula kemungkinan terbentuknya satu konstruk pemikiran yang kuat dalam masyarakat tentang satu pemahaman sejarah, walaupun belum tentu pemahaman yang selama ini diyakini adalah benar adanya. Hal ini karena masyarakat terpengaruh oleh wacana tertetu selama terus-menerus, seperti ketika pada pemerintahan Orde Baru masyarakat selalu diberikan wacana bahwa dalam G 30 S, PKI-lah yang menjadi dalang. Teori-teori yang berkembang tentang peristiwa 1965 juga tidak diberitakan secara seimbang pada masa itu. Padahal permasalahan tentang pelaku G 30 S sampai sekarang masih simpang siur, dan ada beberapa teori lain selain PKI sebagai dalang yang muncul. Namun demikian, aspek yang paling berpengaruh dalam faktor intern dari penyebab munculnya permasalahan dalam pembelajaran sejarah adalah adanya kepentingan-kepentingan yang ada di dalam sejarah. Kepentingan itu bisa datang dari pihak-pihak yang terlibat dalam satu peristiwa sejarah ataupun dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkan satu peristiwa sejarah untuk tujuan-tujuan tertentu. Kepentingan yang datang dari pihak pelaku sejarah ataupun keturunannya karena pelaku sejarah merasa dirugikan dengan adanya penulisan sejarah dari pihak tertentu. Faktor ekstern yang menyebabkan munculnya permasalahan dalam pembelajaran sejarah yang kontroversial masih berada di seputar 1 lemahnya desain pembelajaran sejarah, 2 kebijakan tentang pendidikan sejarah yang kurang mendukung pelaksanaan pendidikan sejarah secara ideal, 3 minimnya informasi kesejarahan yang up to date bagi praktisi pendidikan, 4 tidak optimalnya peran komponen penunjang, serta 5 faktor kepentingan terhadap pendidikan sejarah. Faktor kepentingan yang dimaksud adalah adanya campur tangan yang terlalu banyak dari pemerintah terhadap pendidikan sejarah, seperti ketika dikeluarkannya Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 019AJA032007 pada tanggal 5 Maret 2007 yang melarang buku-buku pelajaran sejarah yang tidak membahas pemberontakan PKI tahun 1948 dan 1965. Walaupun pada dasarnya pendidikan sejarah merupakan alat dari pemerintah untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air dan nasionalisme, akan tetapi ketika pemerintah terlalu banyak campur tangan, hal ini dapat menimbulkan satu anggapan bahwa pendidikan sejarah justru menjadi satu alat legitimasi. Berikut adalah gambar tentang identifikasi terhadap sebab munculnya kendala dalam pembelajaran sejarah kontroversial Gambar 6. Identifikasi Penyebab Permasalahan Pembelajaran Sejarah Kontroversial sumber: diolah dari hasil penelitian Kendala-kendala pembelajaran sejarah akhirnya bermuara pada belum optimalnya encapaian tujuan pendidikan sejarah. Hal ini menjadi sesuatu yang harus segera diantisipasi karena pembelajaran sejarah kontroversial memiliki posisi yang penting. Ditinjau dari perspektif peserta didik, pembelajaran sejarah kontroversial mampu memunculkan rasa keingintahuan peserta didik. Dengan demikian pada dasarnya adapotensi yang dimiliki oleh pembelajaran sejarah kontroversial untuk memunculkan kreativitas peserta didik, terutama dalam memecahkan masalah. Dari hasil penelitian ditemukan hasil bahwa peserta didik cenderung tertarik dan ingin tahu peristiwa-peristiwa sejarah kontroversial. Pembelajaran sejarah kontroversial dapat menarik peserta didika karena ada kecenderungan secara psikologis peserta didik telah mampu secara psikologis untuk memahami aspek kontroversi. Selain itu, pembelajaran sejarah kontroversial memiliki peluang yang besar dalam meningkatkan partisipasi peserta didik dalam pembelajaran. Lamont 2005: x menyatakan bahwa pembelajaran sejarah kontroversial dapat berfungsi untuk mengomunikasikan pada peserta didik agar mereka dapat berpikiran trebuka terhadap perdebatan dalam sejarah, di mana segala pendapat dapat berubah sewaktu-waktu challengeable dan simpulan penutup belum bersifat final. Pembelajaran sejarah kontroversial juga memiliki potensi untuk menjadikan pelajaran sejarah lebih bermakna karena adanya upaya untuk menghadirkan konteks dan realitas sosial masyarakat di dalam kelas Lamont, 2005: x. Selanjutnya Bambang Purwanto 2006: 269 menguatkan bahwa pembelajaran sejarah memiliki fungsi untuk menjelaskan perubahan dan keberlanjutan dalam konteks waktu. Terkait dengan apresiasi peserta didik, pembelajaran sejarah kontroversial memang memiliki potensi untuk membantu peserta didik mengembangkan beberapa kemampuan, seperti kemampuan dalam memecahkan masalah, berpikir kritis dan kemampuan analisis. Selain itu dengan penerapan pembelajaran sejarah kontroversial melalui implementasi critical pedagogy dapat membantu peserta didik belajar untuk dapat mengemukakan pendapat secara logis, menghargai pendapat orang lain, membangun pemahaman tentang keberagaman, dan berpartisipasi aktif dalam berargumen dan berdebat, serta yang tidak kalah penting adalah dapat menjadi sarana resolusi konflik Global Citizenship Guides, 2006: 3. Secara lebih spesifik, kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pemanfaatan pembelajaran sejarah kontroversial adalah kemampuan dalam mengolah informasi, memberikan argumen secara logis, memecahkan masalah, bepikir kreatif, serta kemampuan dalam melakukan evaluasi. Kendala-kendala dalam pembelajaran sejarah kontroversial melalui perspektif critical pedagogy menjadi permasalahan yang menandakan adanya ketakterikatan antara perkembangan dan dinamika yang ada di kalangan masyarakat dengan praksis pembelajaran. Hal ini menyebabkan pembelajaran sejarah kontroversial saat ini memiliki kecenderungan ke arah out of context. Padahal banyak hal yang dapat dimanfaatkan melalui pembelajaran sejarah kontroversial. Dalam kasus ini, ada tiga hal yang tidak saling menguatkan, yakni hubungan antara pembelajaran masyarakat, dan historiografi. Dari penjelasan- penjelasan di atas tampak jelas bahwa pembelajaran sejarah tidak memberikan akomodasi terhadap perkembangan historiografi yang sangat beragam pascareformasi. Idealnya, pembelajaran sejarah mengakomodasi adanya perkembangan keilmuan sejarah agar pendidikan sejarah tidak tertinggal jauh. Pada pendidikan sejarah, ideologi yang telah dirumuskan pada tahun 1957 dalam seminar sejarah nasional I masih tetap dilestarikan dengan meninggalkan kaidah-kaidah dan kenyataan bahwa saat ini terdapat ragam historiografi dengan sudut padang yang kaya dan bervariasi. Keberagaman historiografi masih belum masuk dalam ruang-ruang kelas disebabkan keterbatasan akses untuk memperoleh tulisan sejarah mutakhir dan masalah kebijakan yang besifat membatasi kreasi. Di dalam pendidikan sejarah, ilmu pengetahuan yang banyak berkembang di masyarakat secara luas telah mengalami proses domestifikasi atau penjinakan ketika masuk dalam ranah pendidikan. Adanya beragam sejarah kontroversial baik dari sifat maupun peristiwanya menyebabkan bermacam peristiwa tersebut tidak diakomodasi karena alasan kurangnya kapabilitas, ketidaksesuaian dengan karakteristik peserta didik, keterbatasan alokasi waktu, dan kebijakan yang tidak mendukung secara penuh pelaksanaannya. Akibatnya, terjadi ketakterkaitan antara satu unsur dengan unsur lainnya, seperti ketakterkaitan antara perkembangan di masyarakat dengan kondisi di dalam kelas. Ketidaksesuaian antara pembelajaran sejarah dengan beragamnya historiografi pascareformasi menandakan bahwa pembelajaran jauh dari realitas yang terjadi di masyarakat. Ini berarti pembelajaran sejarah tidak bersifat kontekstual, padahal salah satu inti dari proses pembelajaran dengan pendekatan critical pedagogy adalah kontekstualisasi pembelajaran. Ketidakterkaitan antara ketiga aspek dalam pembelajaran kontroversial terakit pula dengan masalah keterkaitan antara kebijakan, media massa, dan jiwa zaman zeitgeist. Hal ini disebabkan karena pembelajaran dipengaruhi oleh kebijakan, sementara itu di masyarakat dipengaruhi oleh media massa, dan historiografi dipengaruhi oleh jiwa zaman. Pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy yang ideal adalah pembelajaran yang mengakomodasi dan memberi keterkaitan antara pembelajaran-masyarakat-historiografi. Melalui pemanfaatan pembelajaran sejarah kontroversial dapat bermanfaat sebagai penghubung antara sekolah dan masyarakat, sekaligus menjadi motivasi peserta didik untuk meningkatkan kemampuan menuju transformasi sosial Cavet, 2007 dalam http:www.inrp.frvstLettreVSTenglish27-may-2007_en.php?onglet=integrale. Pembelajaran harus mampu mengakomodasi keberagaman historiografi dan perkembangan masyarakat. Hubungan tersebut dapat digambarkan dalam gambar di bawah Gambar 7. Keterkaitan antara Pembelajaran, Historiografi, dan Masyarakat dalam Pendidikan Sejarah dalam Perspektif Critical Pedagogy sumber: diolah dari hasil penelitian Pembelajaran sejarah yang tidak memperhatikan aspek keterkaitan dari beberapa komponen di atas dikhawatirkan akan menjadikan pembelajaran tidak mampu menjawab berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya penguatan untuk mewujudkan pembelajaran sejarah kontroversial, sehingga dapat mewujudkan kesadaran, pola pikir, dan sikap kritis peserta didik melalui implementasi critical pedagogy. Penguatan terhadap pembelajaran sejarah kontroversial dapat dilakukan apabila prasyarat utama dari guru, yakni adanya kemauan dan komitmen dalam mendidik melalui pengajaran sejarah kontroversial sudah dimiliki oleh guru. Penguatan pertama adalah dengan mencari relevansi antara pembelajaran sejarah kontroversial dan critical pedagogy dalam struktur kurikulum. Pada saat ini pada dasarnya ada peluang yang besar bagi guru-guru untuk dapat mengembangkan pembelajaran secara mandiri. Hal ini disebabkan pada saat ini kuriulum yang diterapkan hanya membahas sampai tingkat KD saja. Sehingga guru dapat melakukan pengembangan materi sesuai dengan KD dan alokasi waktu yang tersedia. Dengan demikian, pada dasarnya KTSP merupakan sebuah kurikulum yang fleksibel. Fleksibilitas kurikulum sebenarnya menjadi peluang yang besar dalam pelakanaan pembelajaran sejarah kontroversial dengan pendekatan critical pedagogy karena menurut Barton dan Mc Cully 2007 ini menjadi pendukung utama suksesnya pelaksanaan pembelajaran sejarah kotroversial. Penguatan berikutnya adalah adanya relevansi pembelajaran sejarah kontroversial dengan tahapan psikologis peserta didik. Abu Su’ud menyatakan bahwa pembelajaran sejarah kontroversial relevan dalam pembelajaran sejarah di SMA, karena pembelajaran sejarah di SMA telah memiliki tujuan genesis, yakni memberikan dasar-dasar keilmuan sejarah Wawancara 2 Februari 2010. Pembelajaran sejarah kontroversial memberikan peluang untuk dapat memahami dasar-dasar keilmuan sejarah. Hal ini disebabkan peserta didik pada usia SMA telah memiliki kemampuan untuk berpikir secara kritis dan memiliki kemampuan untuk memecahkan permasalahan. Piaget dalam Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2008: 123-124 menyatakan bahwa anak telah sampai pada tahap formal operational . Pada tahap ini anak telah mampu berpikir hipotesis-deduktif, mengembangkan kemungkinan-kemungkinan, mengembangkan proposisi, menarik generalisasi, berpikir dengan cara yang lebih abstrak, logis, dan idealistik Selanjutnya perlu ada penguatan dalam hal fungsi dan peran pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy. Pembelajaran sejarah kontroversial dapat menjadi sarana yang efektif untuk melihat realitas yang terjadi di masyarakat, melihat pola hubungan antara pendidikan dan kuasa, dapat menjadi model dalam pengembangan kesadaran, pola pikir, dan sikap kritis peserta didik. Critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah adalah suatu pendekatan yang bersifat menyeluruh dalam mengulas suatu peristiwa sejarah. Dengan adanya pendekatan tersebut, diharapkan siswa akan mampu memahami suatu peristiwa sejarah secara menyeluruh serta mampu berpikir secara kritis tentang peristiwa sejarah kontroversial. Dalam konteks Indonesia, penerapan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial merupakan sebuah upaya yang menunjang demokratisasi dalam masyarakat yang plural. Dengan demikian, pembelajaran sejarah kontroversial pada dasarnya menjadi salah satu sarana penting untuk mewujudkan pemahaman tentang realitas keberagaman dalam masyarakat. Peran pembelajaran sejarah kontroversial dengan demikian tidak lepas dari proses pendidikan multikultural. Terkait dengan permasalahan relevansi, ada pertanyan yang muncul “apakah critical pedagogy masih relevan dalam masyarakat ketika dalam kondisi mereka yang telah mapan?”. Permasalahan tersebut dapat terjawab dengan memberikan pemahaman bahwa ada dua pandangan yang mungkin muncul tentang tujuan pendidikan dan implementasi critical pedagogy dalam praksis. Pandangan pertama melihat bahwa tujuan adalah sebuah hal yang bersifat ideal. Artinya ketercapaian tujuan tersebut tidak akan pernah ada secara mutlak, karena tujuan dapat senantiasa berubah sesuai dengan konteks dan kebutuhan. Boleh jadi tujuan itu kemudian berkembang menjadi tujuan yang baru ketika tujuan yang lama telah tercapai, sehingga hakikat ketercapaian tujuan adalah sesuatu yang bersifat kontekstual. Tidak akan pernah tercapai sebuah tujuan karena tujuan pendidikan adalah harapan yang senantiasa akan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Tercapainya tujuan tertentu dalam suatu hal hanyalah sebagai sarana pencapaian tujuan lainnya. Jadi, critical pedagogy akan senantiasa relevan ketika dijadikan sebagai landasan dalam upaya pencapaian suatu tujuan. Pandangan pertama ini melihat bahwa tujuan menjadi faktor yang bersifat nisbi atau relatif, tetapi tetap tidak memandang bahwa tujuan adalah harapan palsu, karena critical pedagogy merupakan pandangan yang bersifat optimis, sehingga melihat adanya kemungkinan-kemungkinan harapan. Pandangan yang kedua melihat bahwa critical pedagogy juga akan senantiasa relevan walaupun pada kondisi yang tidak ada lagi suasana ketertindasan. Hal ini karena critical pedagogy mengalami pergeseran fungsi “ untuk” menjadi fungsi “tetap”. Artinya critical pedagogy menjadi sebuah alat untuk mempertahankan suasana kritis, antiketertindasan, kepastian terjaminnya hak-hak menanusiaan dan sebagainya. Dengan demikian, critical pedagogy memiliki sifat yang lentur dan terbuka. Hal ini karena kelemahan masyarakat adalah ketika suatu tujuan telah tercapai, maka tidak ada lagi sarana yang menjaga agar tujuan tersebut tetap terjaga. Pada masyarakat kita saat ini mudah untuk terjangkit sindrom “lupa” dan sindrom “lena”, sehingga ada kemungkinan lunturnya kembali kesadaran yang telah didapatkan oleh masyarakat. Hal ini didukung pula oleh teori psikologi yang menganggap perlu adanya reinforcement dalam pendidikan. Critical pedagogy dalam masyarakat yang telah mapan akan senantiasa berperan dan relevan karena memiliki fungsi sebagai reinforcement. Permasalahan lain adalah brehubungan dengan kekhawatiran munculnya kecenderungan baru bahwa pembelajaran tersebut akan memunculkan kebenaran yang bersifat tunggal, pembelajaran sejarah kontroversial sama sekali tidak mencoba untuk memunculkan satu versi yang dianggap memiliki kebenaran mutlak. Munculnya permasalahan itu hanyalah disebabkan oleh faktor yang memandang bahwa sejarah adalah sesuatu yang bersifat seperti ilmu eksak, yakni hanya ada satu kebenaran yang bersifat tunggal. Walaupun berasal dari satu fakta yang sama, interpretasi dari penulis sejarah berbeda-beda. Inilah yang menyababkan munculnya kontroversi sejarah. Akan tetapi, tujuan pembelajaan sejarah kontroversial tidaklah mengusung satu gagasan yang mutlak, tetapi mencoba untuk menampilkan interpretasi-interpretasi lain yang muncul untuk memaknai sebuah fakta sejarah. Hal ini dilandasi semangat keterbukaan bahwa siapa saja boleh untuk melakukan interpretasi yang berbeda sepanjang interpretasinya didukung oleh fakta-fakta. Sikap pembelajar, baik guru maupun peserta didik adalah menampilkan secara menyeluruh interpretasi-interpretasi yang ada, kemudian melakukan tahap identifikasi tentang bebagai versi yang muncul. Pembelajaran seperti ini akan melatih peserta didik menjadi insan yang memiliki pola pikir kritis, sekaligus terbuka dan menghargai terhadap pendapat- pendapat yang muncul tentang satu peristiwa sejarah. Penguatan keempat terkait dengan reposisi peran guru dalam pembelajaran. Pada critical pedagogy, guru dan peserta didik sama-sama bertindak sebagai learner. Hal ini berarti dalam pembelajaran penekanan para proses dialogis menjadi ynag utama. Terkait dengan hal ini Asvi Warman Adam 2009: 10 menyatakan bahwa guru sejarah adalah penyampai kebenaran, sehingga ada tugas mulai yang disandang bagi guru sejarah sebagai agen untuk mencerdaskan bangsa. Terkait dengan hal tersebut guru seyogyanya jangan lagi menjadi agen indoktrinasi politis atas kebenaran tunggal atas masa lalu denagn menyingkirkan nilai sosial kultural dan kemanusiaan Bambang Purwanto, 2009: 4. Berkaitan dengan pelaksanaan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial, praktisi pendidikan atau guru memiliki peran penting dalam pelakasnaan proses pendidikan sejarah. Hal ini disebabkan praktisi pendidikan atau guru sejarah adalah pihak yang berhubungan langsung dengan masyarakatpeserta didik. Pada pembelajaran sejarah kontroversial, guru berperan dalam memberikan informasi kepada peserta didik tentang sejarah yang kontroversial. Peran guru menjadi sangat penting dalam proses pendidikan sejarah karena dalam kurikulum 2006, guru memiliki wewenang yang luas untuk mengembangkan materi ajarnya. Ditinjau dari aspek perencanaan, guru dalam membuat silabus senantiasa berpegangan bahwa ada beberapa aspek yang menjadi ciri khas dalam pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial dengan pendekaran kritis. Aspek yang harus diperharikan adalah aspek latar belakang dari tejadinya suatu peristiwa, aspek kronologis dari jalannya peristiwa tersebut, aspek komprehensif dalam melakukan pemahasan tentang teori-teoeri yang ada, serta aspek kesinambungan yang mengulas tentang bagaimana pengaruh dari peristiwa tersebut serta peristiwa-peristiwa lain yang memiliki keterkaitan dengan peristiwa sejarah tersebut. Pada hal perencanaan, langkah awal yang dilakukan dalam penerapan critical pedagogy pada pembelajaran sejarah adalah perumusan tujuan pembelajaran dalam rangka pengembangan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Tujuan pembelajaran berorientasi pada analisis kebutuhan dari peserta didik. Dalam konteks critical pedagogy, peserta didik diharapkan mampu untuk memahami suatu peristiwa sejarah secara menyeluruh serta mampu mengidentifikasi ketidakadilan yang terjadi. Namun sebelum memulai menyusun perencanaan dan melakukan pemelajaran guru harus memiliki modal berupa keberanian untuk mengajarkan materi yang bersifat kontroversial yang ditunjang dengan penguasaan materi dan pemanfaatan variasi metode pembelajaran. Untuk menunjang pencapaian tujuan pembelajaran, diperlukan analisis terhadap kebutuhan yang digunakan dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Analisis kebutuhan tersebut mencakup persiapan-persiapan dalam pelaksanaan pembelajaran, meliputi 1 analisis ketersediaan dan kebutuhan media, 2 analisis kemampuan guru, 3 analisis kemampuan peserta didik, 4 analisis lingkungan. Pada aspek materi, untuk mengatasi kendala spek alokasi waktu dan upaya pemahaman secara menyeluruh, guru hendaknya memperhatikan aspek kesinambungan materi. Hal ini disebabkan kelemahan dalam guru masih terletak pada belum mampunya mengaitkan satu materi dengan materi lainnya. Padahal satu materi dengan materi lainnya memiliki keterkaitan. Seperti ketika mengajarkan materi Supersemar, materi tersebut memiliki keterkaitan dengan materi sebelum dan sesudahnya. Guru harus mampu mengaitkan materi yang tengah diajarkannya, dengan materi yang sebelumnya. Penguatan dalam aspek metode pembelajaran juga menjadi hal yang bermanfaat dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Pada pelaksanaan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial, konstruktivisme dapat dijadikan salah satu landasan dalam pelaksanaan pembelajaran. Agar pembelajaran menjadi bemakna, maka pembelajaran harus berpusat pada peserta didik student centered artinya adalah guru memberikan peluang dari siswa untuk berapresiasi, bisa dalam bentuk kegiatan diskusi, debat, tugas mandiri, dan sebagainya. Kemudian, penggunaan variasi model dan media juga menjadi hal yang diperhatikan dalam pembelajaran agar peserta didik mudah dalam melakukan visualisasi, interpretasi, dan generalisasi. Dengan demikian, kesan bahwa kesan bahwa pelajaran Sejarah adalah membosankan bisa teratasi. Pada aspek strategi pembelajaran, konsep belajar konstruktivisme dapat diterapkan. Konsep belajar konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong Baharudin dan Esa Nur Wahyuni, 2007:116. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Siswa harus mengonstruksikan pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Dengan menggunakan pendekatan konstuktivistik, pembelajaran dilakukan bersama-sama oleh guru dengan peserta didik dengan produk kegiatan adalah membangun persepsi dan cara pandang siswa mengenai materi yang dipelajari, mengembangkan masalah baru, dan membangun konsep-konsep baru dengan menggunakan evaluasi yang dilakukan pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung. Dalam pembelajaran akan terjadi suatu proses dialog antara guru dan peserta didik dengan mengembangkan pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa dalam pembelajaran Boyi Anggara, 2007. Strategi belajar konstruktivisme yang digunakan dalam pembelajaran sejarah kontroversial menggunakan strategi yang diungkapkan Slavin seperti dikutip Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2007 127-129 yakni 1 top down processing , di mana pembelajaran dimulai dari permasalahan yang kompleks untuk dipecahkan, kemudian menghasilkan keterampilan yang dibutuhkan, 2 cooperative learning , yang menekankan pada lingkungan sosial belajar dan menjadikan kelompok belajar sebagai tempat untuk mendapatkan pengetahuan, mengeksplorasi pengetahuan, dan menantang pengetahuan yang dimiliki oleh individu Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2007:128, 3 generative learning, yang menekankan pada kemampuan untuk generalisasi dari apa yang diajarkan dengan skemata, baik melalui pembuatan pertanyaan, kesimpulan, atau analogi- analogi terhadap apa yang sedang dipelajari. Berkaitan dengan pelaksanaan pembelajarannya, guru memberikan berbagai teori yang berkembang secara berimbang, tanpa ada subjektivitas dan pretensi. Hal yang patut diperhatikan adalah kearifan guru dalam mengajarkan sejarah kontroversial. Dengan demikian, proses indoktrinasi tidak terjadi dalam pendidikan sejarah. Dalam pembelajarannya, guru tidak hanya berfungsi sebagai sumber informasi, tetapi juga sebagai mediator dan motivator bagi peserta didik agar peserta didik secara aktif melakukan proses pembelajaran secara mandiri. Akan tetapi dari sekian hal yang telah dijelaskan, satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa menjadi guru sejarah merupakan suatu panggilan nurani yang senantiasa bertujuan agar peserta didik memperoleh satu kesadaran kritis. Pada pembelajaran sejarah kontroversial guru menekankan pada aspek bahwa di peserta didik diharapkan mampu untuk melihat sesuatu secara berimbang atau dari sudut pandang yang berlawanan, sehingga aspek keseimbangan dan aspek melihat dari sisi yang berlawanan menjadi sebuah titik tekan agar peserta didik tidak hanya berpendapat dari satu sisi sudut pandang saja Global Citizenship Guides, 2006: 6. Prasyarat yang harus dimiliki oleh guru adalah bahwa di dalam pribadi guru harus ada komitmen yang kuat untuk mengajarkan sejarah kontroversial denga tanpa memasukkan pandangan pribadinya. Selain itu sikap objektif dan akademis menjadi mutlak agar dalam pembelajaran tidak ada upaya untuk memberikan justifikasi terlebih dahulu. Ada kalanya guru bertindak provokatif dan bersikap oposisional dengan alasan umum yang ada. Selain itu guru juga harus memberikan segala kemungkinan sudut pandang dalam pembelajaran. Pada pelaksaannya, guru selayaknya pada posisi yang setara dengan peserta didik untuk bersama-sama memecahkan sebuah masalah. Kemudian pada tahap akhir guru boleh memberikan pandangan berdasarkan sudut pandangnya untuk kemudian ditanggapi oleh peserta didik. Berkaitan dengan permasalahan kontekstualisasi, kebanyakan guru masih mengalami kesulitan. Oleh karena itu perlu adanya upaya dalam memudahkan guru melakukan pembelajaran secara kontekstual. Pada tahap kontekstualisasi terdapat pertanyaan yang harus di jawab yakni “bagaimana keterkaitan permasalahan sejarah dengan kehidupan di sekitar saya?”, “bagaimana harus menyikapi permasalahan tersebut?”, “adakah yang dapat saya ambil dari media tersebut untuk memahami permasalahan pada masa kini?”. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam tahap kontekstualisasi mencoba untuk mengaitkan pesan- pesan universal yang terkandung dalam sebuah peristiwa dengan realitas yang terjadi. Pada aspek kontekstualisasi, peneliti membedakan ada dua jenis kontekstualisasi, yakni 1 temporal sinkronis dan 2 spasial diakronis. Kontekstualisasi temporal sinkronis adalah upaya untuk mengaitkan sebuah peristiwa sejarah dengan peristiwa pada masa sekarang dalam berbagai aspek. Contohnya adalah ketika membahas tentang permasalahan dinamika politik pada masa Demokrasi Terpimpin dapat dikaitkan dengan keadaan masyarakat pada saat ini di berbagai aspek, sehingga pembelajaran menjadi lebih dekat dengan peserta didik karena diambilkan contoh dari peristiwa-peristiwa aktual. Kemudian pada kontekstualisasi spasial diakronis, guru mencoba mengaitkan sebuah peristiwa sejarah dengan konteks lokalitas tertentu dalam urutan waktu. Contoh kontekstualisasi spasial diakronis adalah dengan mengaitkan antara peristiwa sejarah nasional dengan sejarah lokal di lingkungan peserta didik. Upaya pengaitan antara peristiwa nasional dengan peristiwa lokal juga memberi kemudahan bagi peserta didik dalam melihat sebuah peristiwa dengan contoh-contoh yang ada di sekitarnya. Pemanfaatan media sangat membantu peaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial, tetapi sering dijumpai minimnya media yang tersedia. Dalam hal pemanfaatan media yang minimal, strategi yang dapat diterapkan adalah guru harus memanfaatkan lingkungan sekitar dalam pembelajaran. Pada aspek ini guru berupaya memanfaatkan secara maksimal fasilitas-fasilitas yang telah tersedia. Untuk mengetahui keberhasilan pembelajaran, diperlukan adanya upaya untuk mengetahui tingkat keberhasilan dalam proses pembelajaran melalui evaluasi. Alat evaluasi yang diusun ini bertujuan untuk mengendalikan, menjamin, dan menetapkan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan. Dalam pelaksanaannya, evaluasi tidak hanya diberikan pada akhir pembelajaran, tetapi juga pada saat pembelajaran evaluasi proses, berupa menilai keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran seperti keaktifan dalam bertanya, menanggapi pertanyaan, menanggapi pernyataan, mengerjakan tugas, keaktifan dalam diskusi, dan sebagainya. Penyusunan alat evaluasi tidak hanya sebatas soal ujian, tetapi juga bisa berupa penugasan-penugasan yang bertujuan untuk mengembangkan kreasi dari peserta didik melalui pendekatan inquiry, seperti siswa ditugaskan untuk mencari berita tentang peristiwa Gerakan 30 September kemudian siswa ditugaskan untuk mengulas isi dan memberikan pendapatnya tentang berita tersebut. Artinya peserta didik diberikan peluang untuk melakukan suatu proses penemuan terhadap berbagai data dan fakta tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965. Penugasan diberikan bisa dalam bentuk karya tulis sederhana tentang berbagai pendapat tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965. Penekanan pembelajaran dengan critical pedagogy yang membedakan dengan pembelajaran konvensional terutama terletak pada materi yang disampaikan, pembelajaran, dan sistem evaluasi. Di dalam critical pedagogy materi baru yang diajarkan adalah materi teori-teori tentang peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965. Selain itu, pembelajaran dilakukan dengan melibatkan siswa secara aktif untuk berpendapat. Kemudian dalam evaluasi, guru memberikan penilaian tidak hanya dengan pemberian soal, tetapi juga dengan pemberian tugas mandiri. Dengan demikian melalui critical pedagogy, diharapkan kesadaran sejarah peserta didik akan terwujud, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran adanya “dosa sejarah” berupa vonis bersalah terhadap suatu kelompok masyarakat dan “dendam sejarah” berupa kebencian terhadap dari suatu kelompok masyarakat kepada kelompok lain akibat suatu peristiwa sejarah. Secara sederhana, penguatan-penguatan terhadap upaya pemecahan masalah sejarah kontroversial dapat digambarkan dalam skema di bawah Gambar 8. Upaya Pemecahan Permasalahan Pembelajaran Sejarah Kontroversial dalam Perspektif Critical Pedagogy sumber: diolah dari hasil penelitian Secara sederhana dari gambar di atas tampak bahwa upaya pemecahan permasalahan pembelajaran sejarah kontroversial dapat dilakukan apabila ada komitmen yang kuat dari guru untuk melakukan transformasi pendidikan. Kemudian apabila sudah ada komitmen yang kuat tersebut maka perlu adanya penguatan dalam beberapa aspek. Penguatan relevansi sejarah kontroversial dan critical pedagogy dalam kurikulum bertujuan agar pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial memiliki landasan yuridis dan legitimasi kurikulum. Penguatan terhadap relevansi sejarah kontroversial terhadap perkembangan psikologis peserta didik bertujuan agar pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial telah sesuai dengan karakteristik peserta didik, sehingga upaya untuk mencapai kesadaran, pola pikir, dan sikap kritis dapat terwujud. Penguatan berikutnya adalah penguatan terhadap fungsi dan peran pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy bertujuan menunjukkan urgensi pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial dan manfaat pelaksanaannya bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. Penguatan keempat terkait dengan reposisi peran guru dalam pembelajaran sejarah kontroversial yang bertujuan agar guru memiliki pemahaman bahwa ada tugas penting dalam mengemukakan kebenaran bagi peserta didik. penguatan kelima terkait dengan masalah metode, media, dan sumber belajar yang bertujuan agar pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy dapat berjalan dengan baik. Untuk mendukung terwujudnya pembelajran yang optimal dan pencapaian tujuan pembelajaran secara efektif diperlukan adanya upaya lain selain dari guru. Hal ini disebabkan upaya untuk menyelesaikan permasalahan dalam pendidikan sejarah tidak hanya oleh satu faktor saja, tetapi juga oleh berbagai faktor. Dalam rangka mewujudkan pembelajaran yang optimal perlu peran serta secara aktif dari komponen-komponen penopang dalam pendidikan sejarah, yakni 1 pemerintah sebagai penentu kebijakan, 2 Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan LPTKPerguruan tinggi sebagai pusat informasi pendidikan dan kesejarahan, 3 organisasi profesi sebagai sarana bertukar pikiran, bertukar informasi, pengembangan profesi dalam hal ini adalah MGMP [Musyawarah Guru Mata Pelajaran] untuk guru, serta MSI [Masyarakat Sejarawan Indonesia] atau organisasi profesi kesejarahan lainnya, 4 praktisi pendidikan atau guru sebagai pelaksana proses pendidikan, 5 media massa sebagai media informasi, sekaligus memiliki fungsi kritik bagi pemerintah, serta 6 masyarakat, yang memiliki fungsi kontrol terhadap kebijakan pemerintah, menjadi subjek dan objek pengembangan dan transformasi pendidikan sejarah. Oleh karena itu, untuk mewujudkan pendidikan sejarah yang mewujudkan kesadaran sejarah peserta didik harus ada peran optimal dari segenap komponen yang ada. Upaya yang dilakukan oleh keenam komponen di atas harus berjalan secara serempak dan sinambung, di mana terjadi upaya sadar dari semua komponen, baik oleh pemerintah melalui strategi top down, ataupun strategi bottom up oleh komponen lain nonpemerintah. Strategi top down yang dilakukan pemerintah dengan cara mengeluarkan kebijakan yang mendukung pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial, seperti tidak melakukan intervensi yang terlalu jauh dalam pendidikan sejarah. Selain itu pemerintah harus mengeluarkan satu bahan ajar standar yang digunakan oleh guru dalam mengajarkan sejarah kontroversial. Hal ini disebabkan selama ini belum ada bahan ajar standar yang dijadikan pegangan oleh guru dalam mengajarkan materi sejarah kontroversial. Pemerintah perlu melakukan kategorisasi materi-materi sejarah yang dianggap kontroversial, kemudian melakukan suatu ulasan yang menyeluruh tentang peristiwa tersebut. Strategi top down yang juga dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menjaring aspirasi dari masyarakat serta komponen lainnya secara aktif. Dalam pendidikan sejarah, intervensi pemerintah hendaknya tidak terlalu dalam dan memberikan peluang bagi peserta didik untuk berpikir secara kritis. Dalam materi tentang G 30 S misalnya, kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada dasarnya justru menutup kesepatan bagi siswa untuk berpikir secara kritis. Hal ini disebabkan sejarah yang diajarkan di sekolah adalah sejarah versi pemerintah, di mana di sana ditetapkan bahwa PKI menjadi tersangka utama. Hal ini tentu saja belawanan dengan kaidah keilmuan yang dalam perkembangannya muncul beberapa versi tentang siapa yang ada di belakang peristiwa kelam tahun 1965 tersebut. Alasan yang dikemukakan oleh pemerintah tentang dituliskannya PKI di belakang G 30 S menjadi G 30 SPKI pada kurikulum 2006 ini, dilandasi adanya upaya dari pemerintah untuk menjaga stabilitas. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah bahwa dalam pengajarannya, peserta didik tidak diberikan teori lain selain teori bahwa yang menjadi dalang adalah PKI. Hal ini mengakibatkan pendidikan sejarah berkaitan dengan peristiwa tahun 1965 ---dan mungkin beberapa peristiwa sejarah yang kontroversial lainnya--- menjadi tidak berimbang. Strategi bottom up yang dilakukan oleh komponen nonpemerintah adalah dari pihak LPTKPerguruan tinggi dengan melakukan upaya pemberian informasi tentang pendidikan dan kesejarahan mutakhir kepada semua pihak, baik secara langsung ataupun melalui media massa. Hal ini disebabkan LPTK memiliki peran dalam membangun dan mengembangkan kemampuan guru untuk memungsikan dirinya selaku agen penginternalisasi pesan-pesan kesejarahan universal kepada peserta didik. Pihak organisasi profesi juga memiliki peran sebagai pengembang profesi, sarana pertukaran informasi dan gagasan. Taufik Abdullah 1997 meyatakan bahwa ada beberapa peran MSI atau organisasi keilmuan lainnya yakni 1 organisasi keilmuan dan profesi mengembangkan kepada kita suasana alternatif yang relatif terbebas dari ikatan struktural dan ikatan formal masing-masing 2 forum kesejawatan dan forum teman sejawat. Dalam forum dialog inilah anggota- anggota yang ada di dalamnya berkesempatan mengajukan hasil penelitian baru dan memberikan ide-ide tentang ilmu dan pengetahuan kita, 3 organisasi keilmuan meurpakan saluran komunikasi tentang berbagai peristiwa keilmuan, baik yang terjadi di dalam maupun di luar bidang kelmuan itu sendir, 4 menjadi forum sebagai penjaga the standard excelence dari penerjaan keilmuan, 5 menjaga intelectual integrity, 6 ‘mempersiapkan sejarawan memberikan sumbangannya kepada masyarakat” Tafik Abdullah, 1997. Melalui organisasi profesi dapat dilakukan pengembangan desain pembelajaran sejarah, memberikan masukan kepada pemerintah, serta menyebarluaskan informasi kepada masyarakat melalui media massa. Selain organisasi profesi kesejarahan ada pula organisasi profesi guru. Berkaitan dengan ini, Tilaar 2002 menyatakan bahwa “kewibawaan profesional guru bukan hanya di dalam hal urusan organisasi pekerja, tetapi juga menjadi kekuatan moral untuk meningkatkan tugas pelayanan, melaksanakan dan mengontrol pelaksanan kode etik, dan meningkatan peran profesional guru dalam dewan pendidikan sekolah”. Komponen nonpemerintah lain yang memiliki peran dalam mewujudkan transformasi pendidikan sejarah menuju pendidikan sejarah yang mewujudkan kesadaran kritis peserta didik adalah media massa. Media massa merupakan satu sarana yang digunakan oleh semua komponen untuk menyebarluaskan informasi agar diterima khalayak. Media massa menjadi jembatan dari semua komponen, baik berupa aspirasi dari masyarakat kepada pemerintah, sarana komunikasi antarmasyarakat atau antarkomponen, serta sosialisasi kebijakan dari pemerintah kepada masyarakat. Komponen lain dari keenam komponen yang memiliki peran penting adalah masyarakat. Hal ini disebabkan masyarakat inilah yang menjadi sasaran dalam proses transformasi pendidikan sejarah. Masyarakat juga menjadi objek yang melakukan transformasi, di mana masyarakat menjadi bagian dari komponen yang lain, baik itu LPTK, praktisi, organisasi profesi ataupun pihak media massa. Masyarakat memiliki peran strategis bagi terwujudnya transformasi pendidikan sejarah. Hal ini disebabkan tanpa adanya dukungan dari masyarakat yang memiliki fungsi kontrol terhadap pemerintah, upaya mewujudkan transformasi tersebut tidak akan berhasil. Oleh karena itu, tugas yang utama dan pertama yang dilakukan oleh semua komponen terhadap masyarakat agar terwujud transformasi pendidikan sejarah adalah dengan menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat tentang realitas yang terjadi. Komponen yang terakhir yang melaksanakan strategi bottom up dalam rangka transformasi pendidikan sejarah menuju pendidikan sejarah yang mewujudkan kesadaran sejarah peserta didik adalah praktisi pendidikan atau guru. Praktisi pendidikan merupakan ujung tombak dalam pelakasnaan proses pendidikan sejarah. Hal ini disebabkan praktisi pendidikan atau guru sejarah adalah pihak yang berhubungan langsung dengan masyarakatpeserta didik. Dikaitkan dengan upaya pengajaran sejarah yang bersifat kontroversial dalam kelas sejarah, peran guru menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan gurulah yang memberikan informasi kepada peserta didik tentang sejarah yang kontroversial. Peran guru menjadi sangat penting dalam proses pendidikan sejarah disebabkan dalam kurikulum 2006, guru memiliki wewenang yang luas untuk mengembangkan materi ajarnya. Oleh karena itu, hal yang dilakukan adalah dengan melakukan perbaikan desain pembelajaran, mulai dari merumuskan tujuan pembelajaran, menyusun alat evaluasi, menentukan kegiatan belajar mengajar, mengembangkan program kegiatan belajar mengajar, dan melaksanakan program belajar mengajar. Upaya dari aspek guru dalam pembelajaran sejarah akan diulas dalam pembahasan selanjutnya. Berikut adalah pola hubungan yang sinergis dari keenam komponen penopang pendidikan sejarah. Gambar 9. Pola hubungan Sinergis Enam Komponen Penopang Pendidikan Sejarah sumber: diolah dari hasil penelitian Upaya yang dilakukan dari dua arah ini top down and bottom up akan mempercepat terwujudnya transformasi pendidikan sejarah. Namun demikian, ORGANISASI PROFESIKEILMUAN LPTKPERGURUAN TINGGI PRAKTISI PENDIDIKAN MEDIA MASSA MASYARAKAT PEMERINTAH prasayarat utama yang harus dipenuhi adalah setiap komponen harus terhindar dari segala bentuk kepentingan pribadi. Antarkomponen penopang memiliki keterkaitan, kerja sama, dan hubungan yang timbal balik. Apabila hubungan timbal balik dari tiap komponen itu tidak terjadi maka proses pendidikan sejarah tidak akan berjalan seperti yang diharapkan. Semua komponen harus menjalankan tugasnya sesuai dengan tujuan dan fungsinya. Hal ini bertujuan agar proses transformasi pendidikan sejarah menuju ke arah yang ideal bisa secara mudah diwujudkan. BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. Simpulan

Sejarah kontroversial lekat dalam pembelajaran sejarah, tetapi mengingat beberapa keistimewaan di dalamnya diperlukan upaya khusus sebagai pendekatan dalam pembelajaran. Salah satu di antara pendekatan yang sesuai adalah critical pedagogy yang menekankan pada aspek kesadaran kritis. Dalam praksis pendidikan di Indonesia, critical pedagogy hanya dipahami oleh kalangan terbatas dan belum diperkenalkan dengan luas dalam pembelajaran secara formal dan teknis. Hal ini berpengaruh pula pada implementasinya dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Pemahaman guru terhadap critical pedagogy hanya pada aspek-aspek universal. Artinya pemahaman lebih banyak ke arah konseptual dan substansial saja. Pemahaman guru dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni faktor internal dari dalam guru, berupa adanya kemauan dan kemampuan. Faktor eketernal berupa permasalahan historiografi sejarah kontroversial, terutama ideologi penguasa yang mempengaruhi corak ideologi pendidikan dan karakteristik guru, serta permasalahan kebijakan terkait dengan pembelajaran yang mendukung secara penuh penggunaan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Pemahaman guru terhadap implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial ternyata tidak memberikan pengaruh yang 272 signifikan terhadap pelaksanaan pembelajarannya. Pelaksanaan critical pedagogy masih berjalan setengah hati karena konsep yang dipegang oleh guru masih berada dalam tahap refleksi. Sementara itu masih ada beberapa kelemahan dalam tahap aktualisasi. Hal ini tampak dengan adanya kecenderungan guru untuk menghindari isu kontroversial dalam pelaksanaan pembelajaran. Ada beberapa apek yang masih lemah dalam pelaksanaannya, seperti lemahnya aspek komprehensivitas dalam penyampaian materi, belum optimalnya metode dekodifikasi, dan tahapan pembelajaran masih berada pada tahap refleksi. Pada pembelajaran critical pedagogy tampak kecenderungan yang kuat adanya ketakterkaitan antara pembelajaran, masyarakat, dan perkembangan historiografi. Hal ini membawa konsekuensi adanya ketakterkaitan pula dalam hal kebijakan, keterbukaan media massa, dan jiwa zaman zeitgeist, sehingga menyebabkan pembelajaran menjadi out of context, yang dapat memunculkan kekhawatiran bahwa pendidikan sejarah tidak mampu mengembangkan kemampuan peserta didik untuk menjawab berbagai persoalan yang ada di masyarakat. Implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial yang belum optimal disebabkan adanya kendala-kendala dalam pembelajarannya. Kendala itu tampak dari beberapa aspek mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan faktor penunjang. Kendala-kendala yang ditemui dalam kelas sejarah secara umum dapat disebabkan oleh dua faktor, yakni 1 faktor intern dan 2 faktor ekstern. Faktor intern yakni adanya perubahan dalam corak historiografi Indonesia pascareformasi. Faktor ekstern berasal dari luar sejarah yang memengaruhi sejarah dan pendidikan sejarah. Antara faktor intern dan ekstern tersebut tidak