Pembahasan tesis tsabit azinar ahmad sejarah pps uns 2010
Kesadaran sejarah memperlihatkan kebebasan manusia dari keniscayaan sejarah yang tidak dapat dihindari dan dari tekanan-tekanan kondisi, serta menunjukkan
kebebasan manusia untuk menentukan sikapnya dan hubungannya dengan situasi tertentu Soedjatmoko, 1995: 369. Dalam kenyataan dan pelaksanaannya, terjadi
hal yang bertentangan yakni guru masih cenderung untuk menghindari isu kontroversial walaupun secara pemahaman mereka telah mengetahui arti penting
critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial.
Dalam penelitian yang dilakukan, ternyata guru-guru yang diwawancarai sebagian telah cukup terbuka dan memahami bagaimana implementasi critical
pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Akan tetapi, keterbukaan
tersebut masih belum menjadi jaminan ketika dalam praktik pelaksanaannya guru ternyata belum memiliki keberanian untuk mengungkapkan peristiwa sejarah
kontroversial dengan inisiatif mereka secara mandiri. Pemahaman guru yang mendukung implementasi critical pedagogy walaupun masih belum secara
menyeluruh terhadap pembelajaran sejarah kontroversial telah menunjukkan bahwa guru telah memasuki tingkat refleksi. Karena masih rendahnya kemauan
dan kemampuan disertai adanya konteks yang belum mendukung secara penuh menyebabkan aspek aksi atau aktualisasi masih belum tampak dalam
pembelajaran. Pembelajaran sejarah kontroversial yang dilakukan oleh guru masih sebatas pada jalur yang ditetapkan. Kalaupun ada perbedaan, tidak terlalu
melenceng jauh dari aturan yang telah ditetapkan. Kecenderungan dari guru untuk mempertahankan status quo,
mengutamakan konformitas, dan menghindari isu kontroversial merupakan faktor
internal dari guru yang berpengaruh terhadap pemahaman mereka terhadap implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Faktor
internal dari guru menyebabkan keengganan guru dalam mengeksplorasi sumber- sumber baru untuk menunjang pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial.
Faktor internal dari guru ini senada dengan pendapat dari Bambang Purwanto 2005: 11 tentang faktor internal dalam diri sejarawan terkait dengan
permasalahan historiografi nasional. Ia menyatakan bahwa “bukan orang lain faktor luar yang seharusnya dipersalahkan terlebih dahulu, tapi mugnkin diri kita
sendiri sebenarnya yang mengandung banyak kelemahan” Bambang Purwanto, 2005: 11. Dengan demikian, sikap dan pendirian guru secara pribadi berpengaruh
terhadap pemahaman mereka terhadap implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial.
Faktor internal dalam diri guru merupakan sebuah prasyarat yang menjadi landasan dalam pemahaman terhadap tujuan pelaksanaan pendidikan, termasuk
dalam pendidikan sejarah dan pembelajaran sejarah kontroversial. Pembenahan terhadap kondisi internal guru menjadi prasyarat utama dalam mewujudkan
pemahaman terhadap konsep critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Faktor kemauan guru untuk senantiasa menambah informasi
merupakan bagian dari faktor internal yang berpengaruh terhadap pemahamannya. Faktor internal yang membentuk pemahaman guru terhadap implementasi
critical pedagogy disebabkan oleh adanya faktor-faktor psikologis, seperti
intelegensi, motivasi, minat, sikap, dan bakat. Sementara itu faktor lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap pemahaman guru. Dalam perkembangannya,
faktor lingkungan inilah yang memerikan pengaruh besar terhadap pemahaman guru sejarah. Faktor lingkungan yang berpengaruh ini termasuk dalam faktor
ekstenal. Selain faktor internal dari guru ada pula faktor eksternal yang berpengaruh
kuat terhadap guru. Faktor eksternal tersebut telah membetuk pemahaman sebagian besar guru tentang sejarah kontroversial. Faktor eksternal tersebut adalah
sebuah konteks di mana praksis pendidikan dijalankan. Konteks tersebut terkait dengan beberapa aspek. Pertama, aspek ideologi pemerintah dalam pendidikan.
Kedua, aspek permasalahan dalam sejarah kontroversial. Ketiga adalah konvergensi aspek pertama dan kedua berhubungan dengan politik pemerintah,
yakni masalah kebijakan dalam pendidikan sejarah, terutama pembelajaran sejarah kontroversial. Aspek-aspek di atas, termasuk dalam faktor eksternal yang sangat
mempengaruhi pemahaman guru terhadap implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial.
Tradisi pendidikan yang dipraktikkan di Indonesia terutama sebelum reformasi memberikan pengaruh yang kuat bagi cara pandang guru terhadap
critical pedagogy . Hal ini disebabkan selama ini pendidikan yang dipraktikkan di
Indonesia cenderung berada dalam tekanan pemerintah, terutama pada masa pemerintahan Soeharto. Praktik pendidikan pada masa Soeharto sampai saat ini
ternyata tidak mengalami perubahan yang berarti. Merujuk pada pemikiran Aronowitz dan Giroux 2003, saat ini di Indonesia kecenderungan yang tampak
adalah ideologi konservatif dan ideologi liberal dalam pendidikan. Bahkan dalam
konteks Indonesia pascareformasi Edi Subkhan 2009: 1 menyebut bahwa ideologi tersebut telah berkembang ke arah neokonservatif dan neoliberal.
Mansour Fakih 2001: xiii-xvi menjelaskan bahwa kaum konservatf melihat pentingnya harmoni dalam masyarakat dan menghindarkan konflik dan
kontradiksi dalam bingkai dominasi budaya dan represi politik dalam masyarakat. Sementara itu, paradigma liberal yang bersifat positivistik mencoba menempatkan
pendidikan sebagai sesuatu apolitis yang justru menjauhkan pendidikan dari realitas yang dipengaruhi oleh faktor-faktor politis dan lekat dengan masyarakat.
Pendidikan dengan paradigma liberal lebih melihat adanya perubahan moderat dan cenderung bersifat mekanis Mansour Fakih, 2001: xvi. Sebenarnya, tidaklah
salah ketika kebijakan pendidikan ke arah ke dua ideologi tersebut, tetapi yang menjadi masalah adalah bahwa penerapan ideologi tersebut tidak dalam kapasitas
yang berimbang dengan ideologi yang lain, yakni ideologi kritis. Selama ini, perkembangan ke arah ideologi kritis atau neomarxis masih belum mendapatkan
apresiasi dalam praksis pendidikan. Ideologi pendidikan yang berkembang selama ini sejak pemerntahan
Soeharto tampak pada ideologi yang dipegang pada pemerintahan Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru dijalankan oleh tiga kekuatan elite yakni elite militer,
elite birokrasi, dan para teknokrat Arif Rohman, 2009: 176. Fenomena tersebut dilihat oleh Dwight Y. King yang dikutip Arif Rohman 2009: 177-179 sebagai
pemerintahan denga karakteristik bureaucratic authoritarian dengan ciri 1 kewenangan tertinggi di tangan militer, 2 adanya mentalitas teknokratik yang
merata, 3 adanya proses untuk menciptakan massa mengambang, menciptkan
konsensus dan konformitas, 4 upaya untuk mencapai tujuan melalui represi. Dengan demikian, tampak bahwa peran negara sangat dominan dalam sendi-sendi
kehidupan masyarakat yang diwujudkan dengan adanya pembatasan-pembatasan dalam masyarakat dalam kerangka ideologis yang danut oleh negara. Kemunculan
pemikiran-pemikiran alternatif di beberapa aspek vital, seperti masalah politik, sosial, ekonomi, dan pendidikan dalam kondisi seperti itu dapat dipastikan tidak
mampu untuk berkembang. Pendapat Dwight Y. King dikuatkan oleh Rabasa dan Haseman 2002: 36
yang menyatakan bahwa In the early years of the New Order, the army played a much more overt
role in politics than had previously been the case … Military officers held the key positions in the cabinet and in the higher levels of the bureaucracy
and were allocated 20 percent of the seats in the legislature.
Pada awal Orde Baru, militer memainkan lebih banyak peran dalam aspek politik dibandingkan dengan masa sebelumnya. Dalam perkembangannya militer
memegang posisi penting dalam kabinet, elite birokrasi dan memiliki alokasi 20 yang duduk sebagai anggota legislatif.
Lekatnya militer dalam pemerintahan Orde Baru disebabkan adanya konsep Dwi Fungsi yang ada di dalam militer Indonesia. Militer tidak hanya
berperan dalam masalah ketahanan negara, tetapi juga dalam masalah sosial dan politik masyarakat Cribb dan Kahin, 2004: 122-124. Selain itu, militer menjadi
penopang utama kekuasaan Orde Baru, seperti mulai 1980 ada program ABRI Masuk Desa, serta adanya pengaruh yang kuat dari militer dari tingkat provinsi
Kodam [Komando Daerah Militer] sampai tingkat desa Babinsa [Bintara Pembina Desa].
Selanjutnya, Orde Baru menekankan sendi penopang pada para teknokrat. Teknokrat terdiri atas para cendekiawan yang bekerja untuk pemerintah dan
menekankan pentingnya pembangunan, khususnya dalam bidang ekonomi. Pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat sekumpulan teknokrat populer yang
disebut “Mafia Berkeley”. Mereka adalah para sarjana lulusan Universitas California di Berkeley, seperti Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim,
Mohamad Sadli, dan Barli Halim yang sangat terpengaruh oleh International Monetary Fund
Cribb dan Kahin, 2004: 37. Kuatnya pengaruh teknokrat sebagai penopang Orde Baru telah membentuk karakteristik pemerintahan Soeharto ke
arah developmentalisme. Hal yang dilakukan oleh Orde Baru identik dengan pemikiran Althusser
yang dikutip Edi Subkhan 2009: 3 bahwa dalam negara terdapat Repressive State Apparatus
RSA yang terdiri atas pemerintah, birokras, militer, pengadilan, dan penjara. Kemudian ada pula Ideological State Apparatus ISA yang terdiri
atas agama, pendidikan, keluarga, hukum, politik, dan perdagangan. Keduanya berpengaruh terhadap corak ideologi dalam pendidikan dan bertujuan untuk
mengekalkan kapitalisme. RSA dan ISA dalam konteks pendidikan sangat berpengaruh terhadap kecenderungan ideologi pendidikan yang menjadi landasan
dalam implementasi critical pedagogy pada pembelajaran sejarah kontroversial. Ketika RSA dan ISA tidak memberikan peluang terhadap perkembangan
pembelajaran sejarah kontroversial, maka permasalahan tersebut sangat berpengaruh terhadap model dan metode pembelajaran sejarah yang dilakukan.
Dua kekuatan besar yang berkembang dalam Orde Baru turut berpengaruh terhadap aspek pendidikan nasional di Indonesia. Kecenderungan paradigma
pendidikan yang muncul pada pemerintahan Soeharto terpengaruh oleh kapitalisme yang berkembang pada saat itu. Ini karena developmentalisme yang
ditekankan oleh Soeharto membutuhkan manusia-manusia siap pakai untuk dipekerjakan. Dengan demikian, kurikulum yang disusun adalah untuk memenuhi
kebutuhan akan tenaga kerja. Permasalahan tersebut menurut Giroux yang dikutip Agus Nuryatno 2008: 57 memunculkan budaya positivisme. Budaya positivisme
memunculkan adanya rasionalitas teknokratik yang memiliki ciri uniformitas dan kontormitas, serta memunculkan adanya one dimentional man and society,
manusia dan masyarakat satu dimensi Agus Nuryatno, 2008: 57-58. Budaya positivisme menjadi satu faktor yang juga bepengaruh kuat dalam pemilihan
model dan metode pembelajaran yang diterapan oleh guru. Secara praksis, positivisme juga berpengaruh terhadap kencederungan kebijakan yang tercermin
dalam muatan kurikulum dan tujaun pendidikan. Permasalahan yang sampai saat ini berkembang adalah walaupun secara
legal formal pemerintahan Soeharto telah digantikan melalui proses reformasi, ada kecenderungan bahwa rasionalitas teknokratik yang dipupuk pada masa lalu
masih memiliki pengaruh dan tampak jelas dalam praktik kehidupan pada saat ini, termasuk dalam pendidikan sejarah di sekolah. Dengan demikian, pendidikan
diarahkan pada nilai-nilai budaya yang ada baik penekanan pada suatu nilai
tertentu ataupun secara keseluruhan, ataupun menjadikan pendidikan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan Tilaar, 2009: 56.
Realitas di atas merupakan sebuah fenomena yang menunjukkan adanya hubungan yang erat antara pendidikan dan kekuasaan. Kaitan antara pendidikan
dan kekuasaan tersebut pada akhirnya akan membawa pada masalah ideologi. Dari kasus Orde Baru, Tilaar 2009: 131 menyatakan bahwa ideologi telah
dijadikan sumber indoktrinasi yang telah mematikan kreativitas peserta didik dan berubah menjadi alat penekan dari penguasa dalam mengendalikan sistem dan isi
pendidikan nasional. Dengan demikian, telah terjadi sebuah hegemoni dalam proses pendidikan. Hal ini tampak dengan adanya kebijakan seperti pelarangan
buku-buku aliran kiri serta pembentukan sejarah resmi dari pemerintah yang tidak mengakomodasi sejarah alternatif.
Hegemoni menjadi bagian yang tidak lepas dari sebuah sistem pendidikan. Croce yang dikutip Tilaar 2009: 136 menyebut hegemoni sebagai sistem
kekuasaan yang didasarkan pada konsensus yang dilaksanakan oleh negara. Sementara itu Antonio Gramsci yang dikutip Agus Nuryatno 2009: 33
menyatakan bahwa hegemoni adalah kondisi sosial ketika segala aspek termasuk ralitas sosial didominasi dengan dukungan kelas tunggal single class atau
kelompok dominan. Pada penulisan dan pendidikan sejarah, proses hegemoni tampak dari
adanya accepted history atau sejarah resmi dari pemerintah yang menjadi materi ajar untuk ditransmisikan dalam pembelajaran, terutama di sekolah-sekolah.
Dengan demikian, sekolah berfungsi sebagai institusi perekat hegemoni dalam
masyarakat dan tidak lepas dari kepentingan kelompok sosial yang berkuasa. Hal ini bertujuan agar penguasa mendapatkan legitimasi melalui serangkaian proses
dalam pendidikan. Oleh karena itu, hubungan antara faktor-faktor tersebut menurut Michel Foucault yang dikutip Tilaar 2009: 140 dapat disimpulkan
bahwa kekuasaan menciptakan pengetahuan dan pengetahuan serta kekuasaan saling mempengaruhi secara langsung satu dengan yang lain.
Kekuasaan sangat memberikan pengaruh terhadap perkembangan dunia pendidikan. Oleh karena itu, sudah menjadi hal yang jamak ketika kekuasaan
menyusup dalam aktivitas pendidikan, baik secara objektif dan terang terangan, ataupun secara subkejtif dan tidak disadari. Dalam hal ini dikenal adanya muatan-
muatan kepentingan dalam praksis pendidikan yang disebut dengan hidden curriculum
. Michael W. Apple 2004: 78-79 menjelaskan bahwa hidden curriculum
merupakan nilai dan norma yang memiliki sifat implisit, tetapi diajarkan dalam kelas. Sebagai seuatu yang implisit, keberadaannya tidak tampak dalam aturan
formal dan tujuan pembelajaran. Di dalam hidden curriculum tampak jelas bahwa betapa suatu kelompok dalam masyarakat berkeinginan memasukkan nilai-nilai
atau ideologinya melalui proses pendidikan, walau hal itu bertentangan dengan hak azasi manusia, sehingga menjadikan pendidikan tidak demokratis, tidak
memberdayakan, dan bahkan memperdayakan Apple, 2004. Contoh yang terjadi adalah adanya doktrin bahwa segala sesuatu yang benar adalah menurut versi
pemerintah, sehingga penanaman nilai dilakukan berdasarkan ideologi yang dipegang oleh pemerintah.
Giroux yang dikutip Agus Nuryatno 2008: 59 menyatakan bahwa hidden curriculum
di sekolah merujuk pada norma-norma, nilai-nilai, dan sikap bawah sadar yang sering kali ditransmisikan secara halus lewat relasi-relasi sosial di
sekolah dan kelas. Hidden curriculum menekankan pada aturan konformitas, pasivitas, dan ketertundukan. Dengan demikian, hidden curriculum menjadi
sebuah media sosialisasi yang kuat untuk memproduksi tipe-tipe individu yang menerima hubungan sosial dan struktur kekuasaan di mana mereka bekerja
Giroux dalam Agus Nuryatno, 2008: 59. Pada masa Soeharto, perkembangan hidden currciculum lebih cenderung untuk mengarah pada arah mitos tentang
keunggulan Soeharto, sehingga lebih banyak menguntungkan pihak-pihak tertentu Slamet Sutrisno, 2006: 51-60.
Adanya praksis pendidikan yang dilaksanakan berdasarkan kekuasaan menurut Tilaar 2009: 146 memunculkan empat masalah, yakni 1 domestifikasi
dan stupidifikasi pendidikan, 2 indoktronasi, 3 demokrasi dalam pendidikan, dan 4 integrasi sosial. Proses domestifikasi atau penjinakan memiliki dampak
adanya upaya untuk membunuh kreativitas dan menjadikan peserta didik sebagai objek yang hanya menerima secara pasif transmisi nilai-nilai kebudayaan yang
ada. Proses ini menurut Tilaar 2009: 146 sebagai bentuk imperialisme pendidikan dan kekuasaan, sehingga menimbulkan stupidifikasi pembodohan.
Indoktrinasi dalam pendidikan merupakan hal yang saling terkait. Apple 2004: 25-40 menyatakan bahwa kurikulum yang berlaku sebenarnya merupakan
sarana indoktrinasi dari suatu sistem kekuasaan. Indoktrinasi merupakan proses pengekalan struktur kekuasaan yang tampak secara teknis dalam kurikulum
nasional. Nilai-nilai yang dijadikan aspek yang ingin ditanamkan biasanya adalah aspek konformitas, ketundukan, antikonflik, dan sikap-sikap yang mendukung
pada upaya harmonisasi. Secara kasat mata sebenarnya indoktrinasi untuk mengarahkan pada keselarasan dan harmoni tampak tidak bermasalah. Akan
tetapi, ketika keselarasan dan harmoni yang dibangun atas dasar mengokohkan sebuah pemikiran tunggal akan mengarah pada sikap otoritarianisme yang
antikritik. Inilah yang kemudian menjadi masalah ketika terjadi indoktrinasi dalam pendidikan.
Permasalahan yang muncul apabila pendidikan dilaksanakan berdasarkan kekuasaan adalah permasalahan demokrasi dalam pendidikan. Demokrasi
pendidikan akan muncul apabila kekuasaan bersifat transformatif, tetapi akan mengalami kegagalan apabila kekuasaan bersifat transmisif. Apabila kekuasaan
dalam pendidikan yang terbentuk adalah kekuasaan transformatif, maka orientasi yang berkembang adalah orientasi yang advokatif. Dengan demikian ia
mendorong tumbuhnya pendekatan multikulturalisme dalam pendidikan. Akan tetapi jika kekuasaan lebih cenderung bersifat transmitif maka yang
terjadi adalah proses transmisi antara pemegang kekuasaan terhadap subjek yang terkena kekuasaan, sehingga orientasinya bersifat legitimatif Tilaar, 2009: 144-
145. Di dalam praktiknya, kekuasaan yang bersifat transmitif dengan orientasi legitimatif inilah yang lebih banyak berkembang, sehingga makin menguatkan
proses domestifikasi dan stupidifikasi dalam pendidikan. Dengan demikian, proses demokrasi tidak berkembang dalam pendidikan.
Permasalahan keempat terkait hubungan antara kekuasaan dan pendidikan adalah masalah integrasi sosial. Abu Suud 2008b: 23 menjelaskan bahwa
integrasi sosial merupakan proses yang datang dari dalam immanent pada setiap masyarakat, agar tetap survive, agar tidak terjadi centang perentang dalam tatanan
masyarakat, atau agar tidak terjadi desintegrasi. Kosep ini menekankan adanya keseimbangan equilibrium. Ini berarti masih dibenarkan adanya
keanekaragaman, meski dalam suatu harmoni serasi, selaras, dan seimbang. Dengan demikian, dimungkinkan munculnya pembaharuan-pembaharuan. Akan
tetapi, kecenderungan yang tampak adalah bahwa yang dilakukan adalah sebuah sistem pendidikan yang uniform dan otoriter, sehingga mematikan kemampuan
untuk mengembangkan budaya lokal Tilaar, 2009: 154. Dampak yang dirasakan dengan adanya fenomena seperti dijelaskan di
atas pada tingkatan praksis adalah ada kecenderungan masih berkembangnya rasionalitas teknokratik. Pada rasionalitas ini, terjadi proses untuk pendangkalan
penalaran kritis reflektif yang dibutuhkan manusia untuk mewujudkan transformasi sosial. Akibatnya, guru masih tetap untuk mempertahankan status
quo dalam pembelajaran, sehingga mereka lebih memilih untuk menghindari isu
kontroversial di dalam praksis pembelajaran. Pendidikan dengan model seperti ini akan menghilangkan peran utama pendidikan sebagai sarana empowering
pemberdayaan yakni sebuah proses yang membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan, serta melakukan penyadaran akan kemampuan dan identitas
seseorang atau kelompok Tilaar, 2009: 125. Dari gambaran tersebut dapat dilihat
bahwa pada masa Soeharto pemerintah menekankan pada konservatisme pendidikan dengan menekankan pada aspek ideologisasi.
Pada kondisi seperti itu, ada dua kemungkinan terhadap perkembangan critical pedagogy
. Kemungkinan pertama adalah ketika kerangka pikir pendidikan tidak mengarah pada upaya untuk memberdayakan dan justru digunakan sebagai
ajang indoktrinasi, political will tidak mendukung perkembangan critical pedagogy
. Ini disebabkan telah adanya standar baku yang menjadi pegangan dan acuan dalam pendidikan. Pendidikan lebih bersifat sentralistik dan terpusat,
sehingga memudahkan untuk memproduksi sistem pendidikan yang mendukung sebuah sistem yang tengah berkuasa. Tilaar 2009: 125 menjelaskan bahwa
pendidikan dapat bebentuk sesuatu yang mengikat kebebasan seseorang jika pendidikan dijadikan alat oleh sistem penguasa yang ada untuk mengungkung
kebebasan individu. Akibatnya critical pedagogy hanya akan menjadi gerakan bawah tanah yang hanya dikenal pada kalangan terbatas, sehingga tidak populis.
Kemungkinan kedua adalah bahwa pada kondisi pendidikan penuh nuansa represif, critical pedagogy memiliki ruang untuk dapat memfungsikan perannya
secara maksimal sebagai sarana untuk memberdayakan masyarakat. Kondisi masyarakat yang penuh ketimpangan dalam berbagai sistem kehidupan
merupakan materi yang menjadi kajian utama critical pedagogy. Dengan demikian, ia memiliki potensi yang besar untuk berkembang karena ada sebuah
sistem yang nyata untuk dianalisis dan ditransformasikan. Namun demikian, dalam konteks Indonesia kemungkinan kedua baru menemukan titik balik pada
saat reformasi dan sampai saat ini masih belum berkembang secara luas.
Pada saat ini ternyata masih terus berkembang ideologi pendidikan yang dipegang pada masa Orde Baru, tetapi dengan konsep yang berbeda.
Konservatisme menurut Edi Subkhan 2009: 1 telah berkembang ke arah neokonservatisme dalam pendidikan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya dua basis
konservatisme, yakni konservatisme berbasis agama dan konservatisme berbasis negara. Pada konservatisme berbasis agama, saat ini muncul dan berkembang
pendidikan agama dalam bingkai yang dinamakan “garis keras” atau “ekstrem kanan”. Sementara itu, konservatisme berbasis negara ditandai dengan adanya
kecenderungan yang mengarah pada status quo. Namun demikian, status quo yang ditekankan pada ideologi neokonservatisme dalam pendidikan bukan hanya
pada status quo pada aspek kekuasaan politik negara, melainkan juga pada aspek pasar bebas yang telah demikian menghegemoni Edi Subkhan, 2009: 5.
Pada sisi yang lain, kondisi politik yang dari dulu berkembang dan masih belum mengalami perubahan secara fundamental inilah yang memunculkan
kecenderungan guru untuk menghindari isu kontroversial dan mempertahankan status quo
-nya. Hal ini memiliki dampak terhadap keengganan guru untuk mengeksplorasi sumber-sumber terbaru untuk menambah wawasannya. Namun
demikian, ada pula sebagian guru yang tidak terbawa oleh arus besar budaya positivisme. Guru-guru yang memiliki kemauan untuk menggali sumber-sumber
selain sumber standar dan mencari referensi-referensi tambahan menjadi guru- guru yang memiliki pemahaman yang baik terhadap tujuan pembelajaran. Guru-
guru dengan semangat untuk menambah informasi dan terbuka inilah kemudian menjadi guru yang terbuka terhadap konsep-konsep dalam critical pedagogy.
Aspek kedua yang berpengaruh terhadap pemahaman guru terhadap implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial
berhubungan dengan permasalahan sejarah kontroversial itu sendiri. Permasalahan sejarah kontroversial ditinjau dari aspek keilmuan merupakan permasalahan yang
sampai saat ini senantiasa berkembang dan menjadi hal yang jamak dalam pergulatan keilmuan, terutama dalam proses tersusunnya historiografi. Menurut
E.H. Carr 1987 sejarah merupakan proses berkesinambngan dari interaksi antara sejarawan dan fakta-fakta yang dimilikinya, suatu dialog yang tidak berkesudahan
antara masa sekarang dengan masa lampau, sehingga tidak ada tulisan yang bersifat benar-benar final. Dengan demikian, kemungkinan munculnya fakta dan
interpretasi baru senantiasa berkembang. Permasalahan kontroversi tidak pernah lepas dari penulisan sejarah, karena
dalam penulisan sejarah kemunculan kontroversi disebabkan adanya perbedaan pendekatan yang dilakukan oleh sejarawan dalam merekonstruksi data dan fakta
sejarah. Dengan demikian, penelusuran terhadap munculnya kontroversi dalam penulisan sejarah tidak lepas dari permasalahan subjektivitas dalam historiografi.
Permasalahan subjektivitas dalam historiografi diulas dalam sebuah buku karangan Poespoprodjo 1987 berjudul Subjektivitas dalam Historiografi, Suatu
Analisis Kritis Validitas Metode Subjektivo-Objektif dalam Ilmu Sejarah . Sejarah
dalam pengertian histoire recité kisah tentang peristiwa merupakan hasil historiografi yang dipandang serba subjektif karena sudah dipakai interpretasi dan
seleksi sejarah yang melibatkan pendirian pribadi sejarawan, tidak seperti histoire réalité
kejadian sebenarnya sebagai peristiwa yang bersifat objektif
Poespoprodjo, 1987: 1-2; Soedjatmoko, 1995: 360. Terkait hal tersebut, E.H. Carr dalam Poespoprodjo: 1985: 2 menyatakan bahwa “fakta sejarah tidak dapat
murni objektif karena menjadi fakta sejarah hanya karena arti yang diberikan oleh sejarawan”. Kemudian, Bambang Purwanto 2008: xxii menyatakan bahwa
dalam historiografi nasional terdapat pesan normatif dan pesan ideologis sebagai hasil dari subjektivitas personal dan generasi, maupun subjektivitas rezim.
Permasalahan subjektivitas pada dasarnya wajar dalam sejarah, jika subjektivitas masih ditempatkan pada kerangka pemikiran bahwa fokus ilmu
sejarah adalah apa yang sesungguhnya terjadi wie es eigenlich gewesen dan didukung oleh sumber-sumber primer yang memiliki eksistensi di luar pemikiran
manusia Poespoprodjo, 1987: 18-19. Permasalahan subjektivitas yang terkandung dalam historiografi menjadi pemicu munculnya kontroversi sejarah
adalah ketika subjektivitas tersebut berubah menjadi subjektivisme. Subektivisme merupakan kewenangan subjek dalam mengadakan seleksi, interpretasi, dan
menyusun periodisasi, dan sebagainya, yang terjadi karena tidak bertumpu pada dasar yang dapat dipertanggungjawabkan. Permasalahan-permasalahan di atas
merupakan alasan metodologis yang menyebabkan munculnya sejarah kontroversial.
Permasalahan tentang subjektivitas makin memberikan kerumitan apabila terdapat kepentingan pada tataran sumber. Permasalahan terjadi terutama dalam
sejarah kontemporer. Ini karena pelaku atau saksi sejarahnya masih ada dan masih memiliki satu implikasi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat pada masa ini.
Kepentingan itu bisa datang dari pihak-pihak yang terlibat dalam satu peristiwa
sejarah ataupun dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkan satu peristiwa sejarah untuk tujuan-tujuan tertentu. Kepentingan yang datang dari pihak pelaku sejarah
ataupun keturunannya karena pelaku sejarah merasa dirugikan dengan adanya penulisan sejarah dari pihak tertentu. Selain itu hal yang menyebabkan
kontroversial adalah bahwa peristiwa sejarah, terutama sejarah kotemporer masih belum selesai sepenuhnya, tetapi senantiasa berproses. Sampai saat ini masih
banyak terjadi perbedaan pandangan para pelaku sejarah berkaitan dengan satu peristiwa sejarah, dan ada pula perbedaan pandangan antara temuan berupa fakta-
fakta baru dengan pemahaman masyarakat yang berkembang selama ini. Selain ditinjau dari aspek filosofis dan metodologis, ada faktor lain yang
menyebabkan munculnya sejarah kontroversial. Permasalahan tersebut dapat dilihat dari aspek kepentingan yang lekat dalam setiap penulisan sejarah. Sejarah
senantiasa digunakan sebagai sarana untuk melegitimasi kepentingan, baik oleh kalangan mayoritas dan minoritas Bambang Purwanto, 2005: 14. Dengan
demikian, ada kecenderungan masing-masing kelompok untuk menulis sejarah yang disesuaikan dengan tujuan dan kepentingan masing-masing. Kecenderungan
yang tampak di Indonesia adalah bahwa masing-masing kelompok berupaya untuk mengunggulkan dan membenarkan tindakan-tindakannya melalui sejarah.
Tidak jarang pembelaan-pembelaan baik individu atau institusional terjadi, seperti pembelaan yang dilakukan di kalangan Angkatan Udara dengan penulisan buku
“Menyingkap Kabut Halim”, selain itu ada pula pembelaan dari keluarga dari D.N. Aidit tentang kiprah Aidit di dalam PKI. Pembelaan-pembelaan yang
merujuk pada pertentangan pendapat muncul pula pada kasus reformasi, seperti
terjadinya pertentangan pendapat antara Habibie-Prabowo-Wiranto. Masing- masing saling membenarkan dirinya dalam perang wacana antara ketiganya yang
sempat merebak pada tahun 2007. Apabila kecenderungan untuk berbeda pendapat dalam historiografi
dianggap wajar, pertanyaannya adalah mengapa hanya sejarah versi pemerintah yang berkembang? Permasalahan tersebut terjawab dengan alasan bahwa
pemerintahlah yang memiliki akses untuk melakukan distribusi secara formal dan masif terhadap masyarakat. Dengan demikian, akses masyarakat terhadap sejarah-
sejarah alternatif yang ditulis dengan perspektif berbeda sangat terbatas. Sementara itu para sejarawan terjebak dalam menara gading keilmuannya.
Dengan demikian, kepentingan pemerintahlah yang akan dimenangkan dalam perang wacana pada konteks seperti itu.
Aspek kepentingan yang beperan dalam menciptakan sejarah kontroversial tampak dalam perkembangan historiografi Indonesia. Tradisi historiografi
merupakan suatu hal yang masih baru, sehingga sampai saat ini belum berada pada tempat yang mapan, dan masih mencari formatnya untuk terus berkembang
Mc Gregor, 2008: 72. Sejak adanya Seminar Sejarah Nasional I pada tahun 1957, penulisan sejarah Indonesia mengalami perubahan orientasi menuju arah
Indonesiasentris. Akan tetapi seminar tersebut juga membawa kontroversi, antara pandangan dari Moh. Yamin dengan Soedjatmoko Nordholt, 2004: 4. Yamin
melihat bahwa penelitian keilmuan seyogyanya mengarahkan pada penafsiran tentang nasionalisme dan digunakan untuk menguatkan kesadaran nasional.
Namun, Soedjatmoko berbeda pandangan dan lebih banyak melakukan kritik
terhadap “utopia masa lalu” beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dia lebih mendukung adanya tanggung jawab individu dan menyatakan bahwa
nasionalisme bukan termasuk dalam sebuah penelitian ilmiah. Namun demikian pemkiran Soedjatmoko tersebut tidak sesuai dengan konteks Indonesia pada tahun
1950-an ketika masyarakat tengah mencari identitas jati dirinya Nordholt, 2004: 5.
Pertentangan kepentingan yang ada dalam penulisan sejarah seperti dijelaskan oleh Mohammad Ali 1995: 3 yang menyatakan bahwa ada dilema
terhadap sejarah. Permasalahan tersebut yang pertama adalah demi kepentingan nasional, terdapat permasalan politls untuk menentukan dan mengembangkan
kepribadian bangsa. Selain itu juga terdapat permasalahan ilmiah yang muncul dari tuntutan-tuntutan studi sejarah, yang mungkin bertentangan dengan
kepentingan politis. Namun demikian, dalam perkembangannya kecenderungan historiografi yang muncul dan disepakati adalah tentang bagaimana
menumbuhkan rasa cinta dan semangat nasionalisme melalui penulisan sejarah dalam perspektif Indonesia.
Perkembangan historiografi dengan demikian masih belum mapan, sehingga senantiasa mencari format idealnya. Harapan untuk menumbuhkan
kesadaran kolektif melalui historiografi justru berlawanan dengan kenendak politik pada masa demokrasi terpimpin, di mana sejarah Indonesia menjadi alat
ideologis untuk memobilisasi massa Nordholt, 2004: 4. Pada perkembangannya, historiografi Indonesiasentris ternyata cenderung menjauh dari sejarah objektif
karena berkembangnya prinsip dekolonisasi historiografis yang bersifat
ultranasionalis dan lebih mementingkan retorika. Mc Gregor 2008: 73 menyatakan bahwa pada masa demokrasi terpimpin sejarah digunakan untuk
memajukan keseragaman ideologi dan persamaan misi tetang masa lalu masional yang digunakan untuk pembinaan bangsa. Hal itu terutama tercermin di dalam
karya generasi-generasi sejarawan awal pascakolonial seperti M. Yamin, Sukanto, dan Sanusi Pane Bambang Purwanto, 2001b: 32.
Kritik yang muncul dalam tradisi historiografi Indonesiasentris adalah bahwa historiografi itu dalam kenyataannya lebih mementingkan ideologisasi
terhadap masa lalu daripada merekonstruksi kebenaran sejarah. Akibatnya, keberadaan validitas normatif dalam kebenaran naratif tidak didukung oleh
validitas empirik Bambag Purwanto, 2001b: 33. Faktor inilah yang dalam perkembangannya memunculkan kontroversi ketika tradisi keilmuan dan
metodologi sejarah telah berkembang. Kemudian dalam perkembangannya muncul anggapan bahwa
Indonesiasentrisme yang menjadi dasar penulisan sejarah nasional ternyata tidak relevan bagi praktik penulisan sejarah nasional. Sejarah struktural atau penulisan
sejarah dengan pendekatan multidimensional menjadi ciri penting perkembangan historiografi Indonesia selanjutnya Bambang Purwanto, 2001b: 35. Pendekatan
ini secara akdemis menguntungkan karena meningkatkan kualitas penulisan sejarah. Akan tetapi perkembangan sejarah dalam perspektif ini mendapatkan
kritik karena hanya berada di menara gading. Sejarah menjadi bersikap netral terhadap penguasa, bahkan jauh dari posisi sebagai kritik sosial Asci Warman
Adam, 2007: 9. Permasalahan yang muncul ketika sejarawan sibuk dengan
permasalahan internalnya, hal yang terjadi adalah upaya pembentukan sejarah yang dilakukan oleh penguasa. Di satu sisi ketika pnulisan sejarah mulai diambil
alih oleh penguasa, sejarawan cenderung untuk memilih sikap berhati-hati dalam melakukan penelitian.
Pada masa itu pemerintahan di bawah Soeharto melakukan upaya mengendalikan dan mengkoordinasi alur-alur kebenaran tertentu Nordholt, Ratna
Saprati, dan Bambang Purwanto, 2009: 3. Pada era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto 1966-1998 diperkenalkan sebuah pendekatan pembangunan otoriter
yang bertujuan mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat serempak dengan stabilitas politik. Negara dilihat sebagai satu-satunya pelaksana yang sah dari
proses terkendali yang akan membawa Indonesia pada sebuah era baru ke arah kemajuan dan kemakmuran. Secara ekstrem Nordholt 2004: 5 menyatakan
bahwa mimpi dari Orde Baru adalah mencapai “akhir sejarah” dengan mendirikan sebuah orde yang bercirikan bebas dari kejadian-kejadian yang
mengganggu. Pendekatan sentralistis ini diiringi dengan historiografi yang juga sentralistis dan eskatologis Nordholt, 2004: 5.
Ciri historiografi nasional yang dibentuk selama Orde Baru adalah sentralitas negara yang di-ejawantah-kan oleh militer. Sejarah nasional menurut
Nordholt 2008: xviii disamakan dengan sejarah militer dan produksi sejarah dikenalikan oleh negara dan militer. Contohnya adalah menurut pandangan
sejarah ini, sepanjang tahun 1950-an militerlah yang menyelamatkan bangsa dari disintegrasi dengan mengabaikan fakta bahwa militer memainkan peran penting
dalam pemberontakan di daerah-daerah. Akibatnya muncul historiografi yang
seragam sebagai produk dari interpretasi tunggal atas masa lalu, sehingga menuju pada arah mempertahankan dominasi penguasa dan cenderung merugikan rakyat
dan bangsa secara umum Bambang Purwanto, 2008: xx. Asvi Warman Adam 1999: 567-576 menjelaskan bahwa fenomena
tersebut merupakan pengendalian sejarah. Pengendalian sejarah tersebut dilakukan melalui dua cara, yakni dengan penambahan unsur tertentu dalam
sejarah dan menciptakan kebisuan sejarah le silence de l’histoire. Kebisuan sejarah menyangkut beberapa hal, yakni aspek legitimasi, kondisi masyarakat, dan
hal-hal yang memalukan di masa lampau Ferro dalam Asvi Warman Adam, 1999: 568-569. Pada masa Soeharto, pengendalian sejarah tampak dengan upaya
untuk mereduksi peran Sukarno dan membesar-besarkan peran Soeharto. Hal ini tampak dari adanya penulisan buku ajar yang mengangkat peran Soeharto dalam
berbagai peristiwa, seperti Serangan Umum 1 Maret dan Gerakan 30 September. Selain itu ada pula pembuatan film-film seperti Serangan Fajar yang
menonjolkan peran Soeharto. Pengendalian sejarah yang dilakuan oleh Orde Bau dijalankan melalui
instansi militer. Mc Gregor 2009: 303 menjelaskan bahwa sejak Orde Baru militer memperkuat pengendaliannya atas sejarah resmi. Pada saat itu, sejarah
menjadi alat legitimasi bagi penguasa sekaligus alat represi terhadap kelompok yang berseberangan Asvi Warman Adam, 2007: 9. Sejarah digunakan sebagai
sebuah sarana untuk legitimasi atas dalih persatuan Wood, 2005: 209. Lebih lanjut lagi Wood 2005: 9 menyatakan bahwa ada beberapa peristiwa yang
dimanfaatkan Orde Baru dalam menjaga integritas dan harmoni, seperti
menangkat keunggulan Majapahit, Kesultanan Islam, kejayaan masa revolusi, serta peristiwa Gerakan 30 September yang secara terus menerus
dikomunikasikan melalui media, seperti monumen-monumen, buku teks, film, televisi, surat kabar, novel, dan berbagai karya sastra.
Salah satu peristiwa yang mendapat perhatian cukup banyak pada saat ini adalah tentang historiografi peristiwa Gerakan 30 September 1965. Historiografi
tentang peristiwa tersebut sangat beragam bahkan mengarah kepada kecarutmarutan. Bambang Purwanto 2006: 230 menjelaskan bahwa carut marut
tersebut terjadi salah satunya karena politik historiografi. Politik historiografi tersebut kemudian ditransmisikan dalam praksis pendidikan melalui pembelajaran
sejarah di kelas-kelas lewat materi-materi yang telah memiliki muatan hidden curriculum
. Dari pelbagai penjelasan tentang faktor yang menyebabkan munculnya
sejarah kontroversial dapat disimpulkan bahwa sejarah kontroversial muncul karena dua hal, yakni sejarah kontroversial karena permasalahan metodologis dan
sejarah kontroversial karena permasalahan politis. Permasalahan metodologis menyangkut ketidakmampuan secara historiografis dan metodologis untuk
melakukan konstruksi dan rekonstruksi atas masa lalu dengan muatan subjektivitas yang rendah yang tercipta karena keterbatasan wawasan, penguasaan
ilmu, dan keterampulan para sejarawan yang membangun tradisi historiografi, para penulis buku ajar sejarah, dan para guru sejarah. Kemudian, permasalahan
kontroversial politis menyangkut tiga hal, yaitu peristiwa politis itu sendiri, akibat politis yang ditimbulkan oleh peristiwa sejarah, dan kepentingan politis yang
mengikuti interpretasi dan penjelasan dalam menyusn kurikulum dan menghadirkan peristiwa sejarah sebagai materi ajar. Bambang Purwano 2009: 2
menambahkan bahwa secara teoretis, sejarah dan pembelajarannya menjadi kontroversial ketika penulisan sejarah, penyusunan kurikulum sejarah, dan proses
pembelajaran sejarah menjadi bagian yang integral dari politik kekuasaan sebuah rezim. Kontroversi biasanya diproduksi dan direproduksi dari sebuah subjektivitas
esktrem politik kekinian negara atau rezim yang mendikte tradisi keilmuan sejarah, penyusunan kurikulum, materi ajar, dan proses pembelajarannya
Bambang Purwano, 2009: 2. Aspek metodologis dan politis yang menyebabkan munculnya sejarah
kontroversial menjadi penyebab adanya permasalahan dalam pembelajaran sejarah. Permasalahan tersebut tampak dari adanya lemahnya penguasaan guru
terhadap materi-materi sejarha kontroversial. Selain itu faktor politis yang melahirkan kebijakan dalam pembelajaran sejarah menyebabkan adanya
keengganan di kalangan guru untuk melakukan upaya mendekonstruksi pemahamannya tentang sejarah kontroversial, terutama dalam perspektif critical
pedagogy .
Dengan demikian, sejarah kontroversial dapat dipahami ulang sebagai pertentangan antara pengetahuan sejarah historical knowledge yang
dimilikidibentuk dengan fakta-fakta sejarah baruberbeda yang tidak sevisi dengan pengetahuan sejarah yang dimiliki masyarakat. Oleh karena sejarah
kontroversial erat kaitannya dengan masalah pertentangan, peneliti memberikan titik tekan kepada beberapa pertentangan yang muncul. Pertentangan tersebut
menyangkut 1 pertentangan antara sesuatu yang tampak dan yang tersembunyi, 2 pertentangan antara sesuatu yang empiris dan normatif, 3 pertentangan antara
fakta dan mitos atau sesuatu yang direkayasa, 4 pertentangan antara sejarah resmiaccepted historygrand naration dengan sejarah alternatif, dan 5
pertentangan antara yang berjasa dan yang berdosa. Pertentangan pertama dan keempat terkait dengan masalah peristiwa, sedangkan pertentangan terakhir terkait
dengan posisi dan peran tokoh sejarah dalam peristiwa. Pertentangan pertama adalah pertentangan antara sejarah yang tampak dan
sejarah yang tersembunyi. Pertentangan ini disebabkan oleh adanya pengungkapan beberapa fakta sejarah yang baru dalam penulisan sejarah.
Pertentangan antara faktor tampak dan tersembunyi terjadi ketika di satu sisi masyarakat belum memiliki pemahaman terhadap sebuah peristiwa yang pada
awalnya tidak diketahuinya. Kecenderungan kontroversial yang muncul adalah ketika dalam masyarakat terjadi cultural shock dengan adanya sesuatu yang baru.
masyarakat menjadi tahu apa yang semula tidak diketahuinya. Pertentangan dalam aspek ini dapat bersifat metodologis ketika sebuah peristiwa sejarah memang
berangkat dari sumber-sumber yang baru. Akan tetapi, pertentangan ini dapat pula bersifat politis jika fakta yang baru diketahui oleh masyarakat adalah fakta yang
keberadaannya sengaja untuk tidak diberitahukan untuk alasan-alasan tertentu. Dengan demikian, proses untuk menyembunyikan sebuah peristiwa telah
termasuk dalam menciptakan kebisuan sejarah. Permasalahan dalam kategori ini adalah bahwa adanya keterbatasan di kalangan masyarakat luas untuk
mendapatkan informasi tentang sebuah peristiwa sejarah. Akibatnya, sejarah
hanya diketahui oleh kalangan terbatas, sehingga peran sejarah sebagai sarana untuk membangkitkan kesadaran menjadi terkendala.
Salah satu contoh peristiwa yang termasuk dalam kategori pertentangan ini adalah tentang pertentangan tentang penemuan fakta-fakta baru terkait dengan
manusia purba di daerah flores yang disebut homo fleresiensis. Permasalahan kontroversial yang juga termasuk dalam kategori ini adalah tentang mitos
penjajahan 350 tahun. Pemahaman tentang mitos penjajahan 350 tahun masih terbatas pada mereka yang mempelajari sejarah, sementara pemahaman di
kalangan masyarakat masih terbatas. Kemudian kasus yang belum lama ini marak adalah tentang munculnya pengakuan orang di daerah Semarang bernama
Andaryoko Wisnuprabu yang mengaku sebagai Supriyadi, seorang tokoh pemberontakan peta. Andaryoko mengaku sebagai Supriyadi dan hadir pada
peristiwa-peristiwa besar, seperti sidang BPUPKI tanggal 29 Mei-1 Juni 1945, menjadi pengibar bendera bersama Latif Hendraningrat pada saat proklamasi 17
Agustus 1945, dan yang tidak kalah menghebohkan adalah ia juga hadir di Istana Bogor saat tiga jenderal, yakni Basuki Rachmat, M. Yusuf, dan Amir Machmud
mendatangi Sukarno untuk keperluan pembuatan Surat Perintah Sebelas Maret Baskara T. Wardaya, 2008: 76-122. Munculnya Andaryoko yang mengaku
sebagai Supriyadi secara tiba-tiba memunculkan kontroversi dalam masyarakat tentang kebenaran pengakuannya tersebut.
Contoh yang menandakan sesuatu yang belum ditampakkan adalah tentang historiografi etnis Tionghoa. Selama lebih dari empat dekade lalu, penulisan
sejarah tentang etnis Tionghoa dalam konteks sejarah nasional mengalami
kendala. Secara politis permasalahan langkanya tulisan sejarah tentang Tionghoa karena adanya upaya yang represif terhadap etnis Tionghoa oleh penguasa.
Setelah reformasi muncul tulisan-tulisan tentang peran etnis Tionghoa dalam sejarah Indonesia yang bermuara pada munculnya kontroversi, seperti ketika
muncul tulisan Slamatmulyana yang sempat ditarik pada tahun 1960-an tentang peran Tionghoa sebagai penyebar agama Islam. Fakta sejarah tentang peran etnis
Tionghoa selama ini telah disembunyikan, sehingga ketika fakta tersebut muncul ke permukaan banyak melahirkan pertentangan.
Pertentangan kedua menyangkut pertentangan antara sesuatu yang empiris dan yang normatif. Sesuatu yang normatif biasanya merupakan peristiwa yang
ditujuan untuk pendidikan nilai yang bekerja melalui sistem kepercayaan. Sesuatu yang normatif ini bisa berupa nilai budaya dan nilai keagamaan. Pesan-pesan
moral atau ajaran tertentu menjadi titik tekan dari peristiwa yang bersifat normatif. Permasalahan normativisme menjadi permasalahan ketika disatu sisi
dipertentangkan dengan sesuatu yang berangkat dari empirisme. Ada kecenderungan pertentangan ketika sebuah peristiwa semata-mata hanya
digunakan untuk memberikan penanaman nilai bagi masyarakat tanpa memeprhatikan fakor empirisme dari peristiwa tersebut. Ketika normativisme
terkait dengan nilai budaya tertentu, ada kecenderungan muncul kontroversi ketika dalam masyarakat ternyata penulisan sejarah dengan kaidah ilmiah masih
merupakan sesuatu yang ahistoris, sehingga apabila muncul penulisan sejarah yang bertentangan dengan nilai yang diyakini oleh masyarakat maka kontroversi
dalam sejarah tidak dapat dielakkan. Contoh dari kasus ini adalah ketika muncul
gugatan terhadap mitos-mitos yang selama ini dipercayai oleh masyarakat, seperti upaya untuk mempertanykan kembali apakah benar kemampuan atau kesaktian
yang dimiliki oleh para pemimpin kerajaan tradisional, apakah benar Jaka Tingkir menaiki perahu yang ditarik oleh buaya.
Pertentangan antara hal yang normatif dengan yang empiris terjadi pula ketika ada upaya untuk membandingkan antara nilai-nilai yang ada dalam agama
dengan kenyataan empiris. Contohnya adalah ketika muncul pertanyaan tentang apakah benar Adam sebagai manusia pertama, bagaimana Adam dilihat dari
perspektif sejarah dan teori evolusi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak akan terjawab secara tuntas karena memperbadingkan antara sesuatu yang normatif,
yang keberadaannya diperkuat melalui kepercayaan, dengan sesuatu yang empiris, di mana keberadaannya diperoleh melalui penelusuran peninggalan-peninggalan
masa lampau. Upaya mempertentangkan antara sesuatu yang normatif dan yang empiris merupakan permasalahan dalam filsafat ilmu, karena mempertentangkan
antara kebenaran agama dan kebenaran ilmiah. Oleh karena itu, ketika terjadi pertentangan maka kontroversi sejarahlah yang akan muncul.
Pertentangan ketiga adalah pertentangan antara realitas dan mitos. Mitos yang dimaksud dalam tulisan ini adalah tentang segala sesuatu yang
keberadaannya sengaja untuk diciptakan dan tanpa adanya dukungan yang kuat dari sumber-sumber primer. Dalam tulisannya, Bambang Purwanto 2001a
memberikan gambaran tentang permasalahan mitos dan realitas yang terjadi dalam sejarah Indonesia. Permasalahan ini kemudian mengerucut pada
permasalahan kontroversi sejarah, sehingga memunculkan sejarah kontroversial.
Sejarah yang lebih menempatkan landasan pada aspek ideologi menjadi sarana untuk menciptakan mitos-mitos Bambang Purwanto, 2001a: 116. Mitos yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah mitos yang bersifat politis dan sengaja untuk diciptakan sebagai sarana legitimasi, dan berbeda dengan mitos yang
dipercayai oleh masyarakat melalui sarana folklore. Akibatnya historiografi terjebak pada penciptaan mitos baru atau reinterpretasi atas mitos lama yang
menguatkan mitos tersebut. Dibandingkan dengan aspek normatif dan empiris, aspek mitos dan realitas lebih cenderung politis daripada metodologis. Contoh
mitos yang menjadi satu hal yang sengaja untuk diciptakan adalah seperti penulisan sejarah pada masa Orde Baru lebih menekankan peran sentral Soeharto
dalam revolusi dan pengendalian keamanan, sehingga muncullah mitos bahwa “Soeharto sebagai pahlawan”. Selain itu dalam perkembangannya banyak
pendapat yang mengunggulkan Soeharto dalam aspek ekonomi, sehingga terciptalah mitos “Bapak Pembangunan”.
Pertentangan keempat terkait dengan permasalahan antara kemunculan sejarah resmi dengan sejarah alternatif. Pertentangan antara keduanya menjadi
permasalahan yang menyebabakan munculnya sejarah kontroversial karena ketika sejarah yang dipahami oleh masyarakat adalah sejarah yang termasuk dalam
sejarah resmi mendapatkan tentangan dari sejarah dengan versi yang lain, maka muncul pertanyaan besar di kalangan masyarakat tentang “apa yang sebenarnya
terjadi” serta “mana yang benar dari sejarah itu”. Permasalahan ini sangat mungkin muncul karena dalam sekian waktu masyarakat hanya disodori oleh
versi-versi resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berkuasa. Kemudian
karena sejarah resmi dikeluarkan oleh pihak yang berkuasa, maka mereka melakukan upaya secara masif untuk melakukan sosialisasi dan indoktrinasi
melalui sejarah versi resmi tersebut. Hal ini mengakibatkan pembentukan pengetahuan sejarah sesuai dengan harapan penguasa dan adanya pembatasan
terhadap munculnya sejarah dalam versi yang berbeda. Sejarah dalam arti alternatif ini dapat berasal dari penulisan sejarah dengan perspektif yang berbeda
melalui penelusuran data dari sumber-sumber yang berbeda pula. Contoh dari sejarah alternatif yang banyak bekembang pada setelah reformasi adalah
munculnya tulisan-tulisan dari perspektif korban. Contoh sejarah resmi yang berkembang di Indonesia adalah tentang
peristiwa Gerakan 30 September 1965. Pemerintah mengeluarkan versi resmi dari perstiwa tersebut dalam sebuah buku putih yang terbit pada tahun 1994.
Sementara itu di satu sisi muncul upaya untuk membatasi peredaran historiografi alternatif. Contohnya adalah ketika terjadi pelarangan buku-buku yang memiliki
kaitan dengan ideologi “kiri”, seperti tulisan Pramoedya Ananta Toer. Tulisan- tulisan alternatif yang telah berkembang dengan pesatnya pada dasarnya menjadi
hal yang justru menyemarakkan penulisan sejarah di Indonesia dan memberi dampak positif sebagai sarana untuk menumbuhkan kesadaran multikultural pada
masyarakat Indonesia yang plural. Ditinjau dari aspek konteks, adanya pertentangan-pertentangan dalam
sejarah kontroversial disebabkan kondisi pada masa peralihan dari rezim otoriter menuju demokrasi yang ditunjang dengan adanya kemberdekaan pers. Pada
kondisi seperti itu muncul kritik terhadap monopoli kebenaran sejarah yang dimiliki penguasa Asvi Warman Adam, 2009: 1.
Pertentangan kelima tentang persamsalahan posisi dan peran tokoh dalam sebuah peristiwa. Pertentangan tersebut adalah pertentangan antara yang berjasa
dan yang berdosa. tidak jarang dalam diri satu tokoh ada beberapa pandangan sekaligus, dianggap sebagai pahlawan atau penjahat. Tokoh-tokoh sejarah sangat
sering memunculkan kontroversi. Dalam historiografi tradisional peran tokoh menjadi penggerak utama dalam jalannya sejarah, sehingga keberadaannya
menjadi kunci sifat kontroversial dalam sebuah peristiwa. Mulai dari zaman klasik posisi tokoh sejarah sering berada di dua sisi, seperti kontroversi tentang Ken
Arok atau Ken Angrok. Di satu sisi ia disebut sebagai penjahat karena menggulingkan kekuasaan yang sah, tetapi di sisi lain dianggap sebagai pahlawan
yang mendirikan kerajaan Singhasari. Pada masa kerajaan Islam di Jawa, ada beberapa tokoh yang kontroversial.
Dalam kisah suksesi Demak, ada tokoh bernama Arya Penangsang. Keberadaan Arya Penangsang dianggap oleh masyarakat Demak dan Jepara sebagai penjahat
karena melakukan pembunuhan terhadap Hadlirin dan saudaranya. Akan tetapi di kawasan Rembang ia dianggap sebagai tokoh yang berjasa.
Pada sejarah kontemporer, posisi tokoh sejarah tidak luput dari permasalahan kontroversi, salah satunya tentang peran Soeharto dalam sejarah
Indonesia. Pada masa pemerintahannya, penulisan sejarah diarahkan untuk menampilkan Soeharto sebagai tokoh sentral dalam sejarah Indonesia.
Dalam konteks pembelajaran, tidak semua peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial dapat disajikan dalam materi ajar untuk pembelajaran sejarah di
SMA. Hal ini karena adanya skala prioritas untuk mengajarkan sejarah yang memiliki potensi dalam mengembangkan aspek-aspek yang dimiliki oleh peserta
didik, khususnya aspek menyangkut cinta tanah air, nasionalisme, dan sebagainya. Selain itu, peristiwa-peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial belum dapat
diajarkan secara keseluruhan karena pada jenjang SMA, peserta didik belum dianggap perlu untuk mempelajari secara mendetail tentang berbagai peristiwa
sejarah. Hal ini karena materi-materi yang diajarkan di SMA, pada dasarnya sudah disusun garis besar penyampaiannya dalam standar kompetensi dan kompetensi
dasar. Peristiwa-peristiwa sejarah yang dijadikan materi ajar dalam pembelajaran sejarah yang bersifat kontroversial hanya peristiwa-peristiwa yang dianggap
signifikan dan mendukung dalam proses pemahaman peserta didik terhadap suatu rangkaian peristiwa dan konsep tentang masa lalu.
Dari penjelasan tentang permasalahan sejarah kontroversial di atas, dapat disimpulkan bahwa sejarah kontroversial yang menjadi permasalahan dalam
pemahaman guru terhadap impelementasi critical pedagogy pada pembelajaran sejarah kontroversial adalah disebabkan oleh permasalahan metodologis dan
politis. Pada aspek metodologis muncul karena adanya subjektivisme dalam penulisan sejarah melalui kesewenangan dalam pengambilan data, reduksi data,
sampai pada penulisan sejarah. Kemudian ada pula kontroversi yang bersifat politis karena adanya politik historiografi. Antara aspek metodologis dan politis
saling interdependen, bahkan kecenderungan kuat yang tampak adalah bahwa
faktor politis mempengaruhi faktor metodologis. Kemudian dalam sejarah kontroversial muncul beberapa pertentangan, yakni 1 pertentangan antara yang
tersembunyi dengan yang tampak, 2 pertentangan antara aspek normatif dan empiris, 3 pertentangan antara mitos dan realitas, 4 pertentangan antara sejarah
resmi dan alternatif, dan 5 pertentangan antara yang berdosa dan yang berjasa. Peliknya permasalahan dalam sejarah kontroversial yang menyebabkan
pemahaman guru terhadap sejarah kontroversial lemah apabila guru-guru tidak membekali diri dengan sumber-sumber yang dapat diandalkan. Secara sederhana
penjelasan tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah
Gambar 3. Kemunculan Sejarah Kontroversial dan Macam Pertentangan yang Terjadi di Dalamnya sumber: diolah dari hasil penelitian
Ada permasalahan lain dari luar faktor ideologi penguasa dan historiografi sejarah kontroversial terhadap pemahaman guru. Satu faktor yang berpengaruh
terhadap pemahaman guru pada implementasi critical pedagogy pada pembelajaran sejarah kontroversial adalah aspek kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Kebijakan pemerintah pada saat ini tertuang dalam standar isi seperti
tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Permendiknas No. 22 tahun 2006. Dalam KTSP sebenarnya pembelajaran sejarah memiliki peluang
untuk dikembangkan sesuai dengan kebutuhan tingkat satuan pendidikan tertentu, baik pada tingkat kabupatenkota maupun pada level sekolah.
Kebijakan dalam hal kurikulum yang lebih terbuka daripada sebelumnya sebenarnya memberikan peluang bagi guru untuk mengembangkan pembelajaran
sesuai dengan kemajuan zaman. Akan tetapi, pada tingkat praksis, kurikulum hanya menjadi dokumen yang menumpuk di atas meja, sehingga pemahman guru
hanya sebatas memahami tanpa adanya upaya untuk melakukan perubahan. Perubahan kurikulum sejarah yang seiring dengan proses reformasi
ternyata tidak mendapatkan dukungan sepenuhnya oleh pemerintah. Secara teoretis, kurikulum baru telah memberikan titik terang tentang pelaksanaan
sejarah kontroversial, karena pemerintah hanya menyusun sampai tingkat kompetensi dasar KD. Akan tetapi, ada kebijakan-kebijakan yang kurang
mendukung pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial, seperti adanya Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 019AJA032007 pada tanggal 5 Maret 2007
yang melarang buku-buku pelajaran sejarah yang tidak membahas pemberontakan PKI tahun 1948 dan 1965. Akibatnya, terjadi penarikan buku ajar besar-besaran
disertai dengan pemusnaham buku tersebut secara massal. Selain itu, pemerintah juga belum mengeluarkan kebijakan yang secara khusus memberikan pemahaman
terhadap sejarah-sejarah kontroversial. Hal ini berakibat adanya sikap guru yang mengabaikan sejarah kontroversial karena secara legal keberadaan materi
kontroversial tidak difasilitasi secara penuh oleh pemerintah.
Permasalahan kebijakan yang kurang mendukung pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial sangat berbeda ketika dibandingkan dengan
pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial di luar negeri, seperti di Inggris dan di Amerika Serikat. Di Inggris terdapat asosiasi yang terdiri atas para
pemerhati sejarah, guru sejarah, dan sejarawan yang tergabung dalam The Historical Association
. Organisasi tersebut dengan didukung oleh kementerian pendidikan di Inggris tengah menaruh perhatian terhadap pembelajaran sejarah
kontroversial The Historical Association, 2008. Menurut panduan yang diterbitkan oleh Oxfam, sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan
di Inggris, dalam Global Citizenship Guides 2006 yang berjudul Teaching Controversial Issues
alasan utama mengapa pengajaran isu kontroversial dilakukan adalah karena di dalam struktur kurikulumnya tesedia alokasi untuk
membahas peristiwa dan isu kontroversial. Hal yang serupa terjadi di Amerika Serikat bahwa untuk mengajarkan isu-isu kontroversial, NCSS National Council
of Social Studies membat panduan bagi guru-guru. Di dalam dokumen tersebut
terdapat penjelasan tentang relevansi pembelajaran isu kontroversial serta panduan tentang bagaimana mengajarkan isu kontroversial Faulconer dan
Freeman, 2005: 324. Permasalahan yang terdapat dalam kebijakan terkait dengan pembelajaran
sejarah kontroversial adalah adanya keberlanjutan tradisi yang dipegang pada masa Orde Baru dalam dunia pendidikan dengan tetap berkembangnya ideologi
pendidikan konservatif dan liberal yang telah berubah menjadi ideologi pendidikan neokonservatif dan neoliberal. Secara praksis guru-guru yang
mengajar adalah produk dari pendidikan masa Orde Baru yang telah terbiasa dengan konsep yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru. Apalagi jika guru-
guru tersebut telah berpengalaman lebih dari 20 tahun, ada kecenderungan yang kuat pengaruh pendidikan dan ideologi Orde Baru yang mengutamakan
konformitas dengan menekankan pada ideologisasi dalam pembelajarannya. Permasalahan kebijakan menjadi salah satu hal yang menjadi alasan guru
untuk mengajarkan atau tidak peristiwa sejarah kontroversial. Kebijakan tersebut tekait dengan permasalahan pemilihan materi ajar, pembagian alokasi waktu,
ketersediaan sumber dan media belajar, serta dukungan pemerintah dalam menyediakan referensi dan pendampingan terhadap guru untuk memahami
permasalahan pembelajaran sejarah mutakhir. Permasalahan kebijakan berpengaruh pula terhadap pemahaman guru
terhadap critical pedagogy. Critical pedagogy pada saat ini belum berkembang salah satunya adalah karena belum adanya upaya untuk mengenalkan konsep
tersebut secara formal dan teknis bagi guru-guru. Tanpa menafikkan faktor internal berupa keengganan guru untuk mengetahui perkembangan mutakhir,
ternyata guru lebih sepakat apabila segala sesuatu yang dijadikan ladasan pelaksanaan pembelajaran telah memiliki aturan yang jelas. Guru-guru masih
belum terbiasa untuk melakukan sesuatu secara mandiri, termasuk dalam pengembangan pembelajaran sejarah, terutama pembelajaran sejarah
kontroversial. Permasalahan tentang kebijakan yang dikeluarkan tidak lepas dari konsep
kuasa dalam pendidikan seperti dijelaskan di atas. Dari konsep hegemoni
ditemukan benang merah bahwa pendidikan dapat dijadikan sebagai sarana indoktrinasi penguasa dalam menciptakan konformitas. Di satu sisi pendidikan
digunakan pula sebgai sebuah sarana legitimasi. Secara teknis upaya dalam pemanfaatan pendidikan untuk kepentingan penguasa adalah melalui perumusan
kebijakan dalam pendidikan, termasuk dalam pendidikan sejarah pada jalur formal. Kecenderungan yang politis dalam pendidikan sejarah seperti
diungkapkan oleh Bambang Purwanto pada seminar nasional di Pascasarjana UNS tanggal 29 Mei 2009. Pada kesempatan itu ia menyatakan bahwa proses
penyusunan SK dan KD untuk sejarah sangat politis, karena di satu sisi selain faktor keilmuan ada pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam perumusan
kompetensi dasar untuk sejarah. Dalam hal pendidikan sejarah, Bambang Purwanto 2006: 268-269
menyatakan bahwa Pada dasarnya pendidikan sejarah di sekolah tidak lepas dari pengaruh
nilai yang paling dominan, termasuk politik. Pendidikan sejarah selalu menjadi ladang yang diperebutkan oleh kepentingan politik untuk
menunjukkan kekuasaannya.
Sampai saat ini permasalahan kebijakan pelajaran sejarah menurut Bambang Purwanto 2005: 5 belum ada perubahan penting dalam kurikulum,
materi yang diajarkan, dan metode pada pedidikan sejarah. Hal ini myenyebabkan permasalahan yang menjadi hambatan untuk mengimplementasikan critical
pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial.
Tiga aspek yang telah dijelaskan di atas merupakan faktor yang termasuk dalam faktor eksternal yang mempengaruhi pemahaman guru terhadap
implementasi critical pedagogy. Secara sederhana ketiga aspek yang telah dijelaskan di atas dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut
Gambar 4. Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Pemahaman Guru dalam Implementasi Critical Pedagogy pada Pembelajaran Sejarah
Kontroversial sumber: diolah dari hasil penelitian
Pada aspek pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial guru-guru ternyata belum maksimal dalam implementasi critical pedagogy. Tidak ada
perbedaan yang mendasar dalam pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy pada setiap sekolah dengan karakteristik yang
berbeda. Tidak ada jaminan bahwa SMA negeri yang memiliki status tertentu menjadi lebih baik dalam pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversialnya.
Aspek yang membedakan hanya pada aspek penunjang secara fisik, seperti ketersediaan referensi, media pembelajaran, dan fasilitas lain. Hal ini disebabkan
pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial lebih disebabkan oleh karakteristik masing-masing guru dalam mengajar dan menyampaikan materi.
Kecenderungan yang brebeda pada tiap karakteristik sekolah hanya pada ada atau tidaknya inisiatif dalam mengajarkan sejarah kontroversial. Di SMA negeri yang
berada di perkotaan ada kecenderungan guru untuk secara pribadi mengajarkan sejarah kontroversial, walaupun itu hanya bersifat kasuistik. Artinya, hal itu
disebabkan oleh karakter guru yang dikenal memiliki sikap kritis. Akan tetapi ada pula guru yang masih pasif dalam menanggapi permasalahan kontroversi, yakni
guru menjelaskan aspek kontroversial apabila muncul pertanyaan dari peserta didik.
Pada pembelajaran sejarah kontroversial ada kecenderungan guru-guru untuk menghindari isu kontroversial dalam pembelajaran. Hal tersebut merupakan
kecenderungan umum yang terjadi, walaupun ada sebagian kecil guru yang berani untuk menyatakan pendapat dan memiliki inisiatif dalam mengajarkan sejarah
kontroversial. Kecenderungan guru untuk menghindari isu kontroversial dalam pembelajaran menjadi hal yang kontradiktif dengan pemahaman yang mereka
miliki. Dalam aspek pemahaman, guru telah menyadari bahwa pendidikan sejarah, terutama pembelajaran sejarah kontroversial memiliki kontribusi dalam
mengembangkan kesadaran, pola pikir, dan sikap kritis peserta didik. Akan tetapi implementasi di dalam pembelajarannya sering kali tidak seperti yang
diungkapkan. Pada perspektif critical pedagogy, guru masih berada pada tahapan refleksi dan belum pada tahap aksiaktualisasi.
Pada tahap refleksi ada beberapa pertanyaan yang sebenarnya telah mampu untuk dijawab oleh guru, yakni “apa yang penting dari pembelajaran
sejarah kontroversial melalui perpsketif critical pedagogy?”, “mengapa pesan tersebut dianggap penting?”, “apa manfaat yang bida diambil?”, “apa dampak jika
saya tidak melaksanakannya tersebut?”. Pada tahap refleksi guru telah memahami
dan mampu melihat konteks mengapa pembelajaran sejarah kontroversial ada dan mengapa penting untuk disampaikan. Namun demikian, guru masih belum
optimal dalam tahap aksiaktualisasi, yakni ketika kesadaran yang dimiliki oleh guru di-ejawantah-kan dalam ranah laku. Dengan demikian, guru masih lemah
dalam hal praksis. Untuk menganalisis lebih lanjut pelaksanaan pembelajaran sejarah yang
bersifat kontroversial, penelitian ini akan memilah deskripsi tentang pembelajaran sejarah menjadi dua, yakni 1 pada saat perencanaan pembelajaran, 2 dan pada
saat pelaksanaan. Perencanaan pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 20 meliputi silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar. Dalam hal ini,
guru telah menyusun perencanaan pembelajaran dalam bentuk penyusunan rencana minggu efektif, program tahunan, program semester, silabus, rencana
pelaksanaan pembelajaran yang di dalamnya meliputi tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar.
Pada penyusunan silabus, guru mendasarkan pada penyusunan silabus yang telah disusun pada kurikulum tahun 2004, hanya saja dengan melakukan
perubahan dan penyesuaian dengan kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Dalam pelaksanaannya ada sekolah yang menyusun secara
mandiri tetapi ada pula sekolah yang menyusun silabus bersama MGMP.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran RPP yang disusun oleh guru menggunakan model penyusunan rencana pelakasnaan tiap satu kompetensi dasar.
Artinya adalah perencanaan disusun untuk satu kompetensi dasar dan di dalamnya diuraikan beberapa pertemuan, sesuai dengan indikator yang disusun. Akan tetapi
dalam penyusunan RPP masih terdapat kelemahan, yakni kalimat yang digunakan masih belum bersifat operasional dan menggunakan kalimat yang bersifat umum.
Idealnya pembuatan RPP adalah dengan menggnakan kalimat yang operasional, di mana pelaksanaan pembelajaran seusai dengan apa yang telah direncanakan.
Adanya hal ini menyebabkan kecederungan bahwa pelakasnaan pembelajaran hanya memiliki satu garis besar perencanaan untuk tiap pertemuan, bukan
perencanaan untuk tiap-tiap tahapan pada satu pertemuan. Namun demikian, walaupun guru masih memiliki kelemahan dalam bidang perencanaan,
pelaksanaan pembelajaran telah sesuai dengan apa yang direncanakan. Ditinjau dari aspek pelaksanaan pembelajaran terkait dengan tujuan, pada
dasarnya tujuan yang disusun oleh guru belum sepenuhnya sesuai dengan critical pedagogy
. Tujuan ideal dari pembelajaran yang bermuara pada bagaimana meningkatkan pemahaman peserta didik secara komprehensif terhadap suatu
peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial masih belum trakomodasi dan diapresiasi secara optimal. Kemudian, karena ada beberapa materi yang tidak
disampaiakan secara maksimal, tujuan-tujuan yang disusun belum terlaksana secara optimal.
Aspek berikutnya dalam pembelajaran adalah aspek subjek belajar. Dalam hal ini aspek guru dan peserta didik sangat berpengaruh dalam pelaksanaan
pembelajaran sejarah yang mengangkat materi ajar tentang sejarah yang bersifat kontroversial. Pemahama guru menjadi satu hal yang sangat berperan dalam
menentukan suksesnya pelaksanaan pembelajarah sejarah kontroversial. Ditinjau dari aspek peserta didik, SMA Negeri 1 dan 5 Semarang dapat dikatakan sebagai
sekolah yang unggulan, sehingga masukan in put dari aspek peserta didik tentu saja sangat mendukung dalam pelaksanaan pembelajaran materi sejarah yang
bersifat kontroversial. Rata-rata kemampuan peserta didik dalam menerima pelajaran adalah baik. Hal ini disebabkan pada dasarnya peserta didik memang
telah memiliki bekal yang cukup untuk diajak guru dalam berdiskusi dan berinterkasi dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Kemampuan peserta didik
yang baik ini mejnadi bekal yang sangat bermanfaat untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dengan demikian, peran guru mengalami menjadi tidak sebagai
satu-satunya informasi dan hanya membangun komunikasi satu atah, tetapi guru menjadi berperan sebagai sarana yang mengantarkan pesrta didik untuk mencapai
kompetensi secara mandiri. Adanya kemampuan peserta didik yang baik, maka komunikasi dua arah antara guru dan peserta didik dimungkinkan untuk terjadi
secara efektif. Dengan demikian, pada pembelajaran sejarah kontroversial, faktor peserta didik menjadi hal yang mendorong dan mempermudah terwujdunya tujuan
pembelajaran. Akan tetapi dalam beberapa kasus ditemukan adanya pandangan dari kalangan peserta didik yang kurang antusias terhadap pembelajaran, bahkan
cenderung mengacuhkan pelajaran sejarah. Metode pembelajaran yang digunakan dalam mengajarkan materi yang
bersifat kontroversial adalah adanya kecenderungan guru untuk menerapkan
perpaduan metode. Ada kesamaan tahapan yang dilakukan, yakni pada pertemuan awal guru bercerita tentang latar belakang terjadinya peristiwa sejarah. Setelah itu
tedapat ulasan tentang aspek kronologis. Kemudian peserta didik juga disarankan untuk belajar secara mandiri untuk memperdalam kajian.
Pada pelaksanaan pembelajarannya, ada beberapa hal yang masih lemah dalam implementasi critical pedagogy pada pembelajaran sejarah kontroversial.
Ditinjau dari aspek 4K dalam pembelajaran sejarah, guru cenderung lemah terutama dalam aspek komprehensivitas. Pada aspek ini disajikan keberagaman
versi dan perspektif dalam melihat sebuah peristiwa sejarah. Pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 keberagaman versi tersebut memunculkan untuk
disampaikan dalam kelas. Selain aspek komprehensivitas dalam menyajikan versi-versi dari sebuah
peristiwa sejarah kontroversial, permasalahan lain adalah ditinjau dari metode yang digunakan dalam critical pedagogy. Pada critical pedagogy terdapat dua
metode yakni kodifikasi dan dekodifikasi Agus Nuryatno, 2008: 6. Kodifikasi mengacu pada proses merepresentasikan fakta yang diambil dari kehidupan
peserta didik kemudian mempermasalahkannya. Sementara itu dekodifikasi mencakup metode deskriptif untuk memahami surface structure dan metode
analitis untuk memahami deep structure. Pada aspek kodifikasi, guru lemah dalam memberikan inisiatif pembelajaran sejarah kontroversial. Pada aspek dekodifikasi,
pelaksanaan pembelajaran masih belum tuntas pada metode analitis. Belum ada upaya yang dilakukan secara menyeluruh tentang versi-versi yang ada dalam
pembelajaran sejarah peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965.
Ditinjau dari tahapan yang dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran kritis, ternyata ada tahapan yang masih belum tuntas dalam pengimplementasian
critical pedagogy . Tahapan tersebut adalah: 1 Naming, tahapan
mempertanyakan sesuatu permasalahan dengan pertanyaan “apa masalahnya”; 2 Reflecting
, tahapan dengan mengajukan pertanyaan “mengapa peristiwa tersebut terjadi” yang bertujuan agar peserta didik dibiasakan untuk berpikir kritis dan
reflektif; 3 Acting, tahapan berupa proses pencarian alternatif untuk memecahkan masalah Taylor dalam Agus Nuryatno, 2008: 10. Tahapan yang
masih lemah di kalangan pelaksanaan oleh guru adalah tahapan acting. Lemahnya guru dalam tahapan acting terjadi pada pemahaman dan pelaksanaan
pembelajaran sejarah kontroversial. Ditinjau dari proses pelaksanaan critical pedagogy berupa pembelajaran
dialogis dan kontekstual, guru-guru telah mengimplementasikan dengan baik. Proses dialogis dalam mengulas permasalahan tercermin dari kegiatan
pembelajaran yang tidak hanya berpusat pada guru. Dalam hal ini peserta didik diberikan keleluasaan untuk memecahkan masalah dengan menggali informasi
secara mandiri. Dalam pembelajaran ada upaya untuk mengakomodasi gagasan peserta didik melalui diskusi, walaupun intensitasnya belum terlalu sering. Pada
aspek kontekstual, pembelajaran sejarah telah dilakukan yakni dengan mengaitkan antara materi dengan kondisi kekinian. Akan tetapi di kalangan guru terdapat
kesulitan dalam menerapkan aspek pembelajaran kontekstual terkait dengan peristiwa sejarah kontroversial.
Ditinjau dari aspek sumber belajar, sumber-sumber yang dimanfaatkan guru dalam pembelajaran sejarah pada dasarnya sudah cukup beragam, karena
guru tidak hanya menggunakan buku teks, tetapi juga menggunakan beberapa referensi sebagai pelengkap. Akan tetapi ada beberapa kelemahan dalam aspek
pemanfaatan sumber. Pada buku teks yang disusun oleh I Wayan Badrika 2008 pada materi tentang peristiwa Gerakan 30 September ditinjau dari kaca mata
critical pedagogy pada dasarnya telah memenuhi setiap aspek yang terkandung,
yakni ada kandungan latar belakang, penjelasan kronologis terjadinya suatu peristiwa, beberapa pendapat yang menyatakan peristiwa tersebut, serta
bagaimana dampak atau pengaruh dari peristiwa sejarah tersebut bagi peristiwa- peristiwa sedudahnya. Akan tetapi, dalam buku tersebut, kelemahannya adalah
masih lemah dalam aspek komprehesif. Di sini penulis buku belum memaparkan secara menyeluruh teori-teori terjadinya peristiwa tahun 1965 tersebut. Hanya ada
beberapa teori saja yang dituliskan dalam buku tersebut. Selain menggunakan buku teks, guru juga memanfaatkan modul dan
lembar kerja peserta didik LKS yang mamdahkan peserta didik dalam memahami suatu materi karena di dalam modul tersebut terdapat rangkuman
materi sekaligus soal latihan dan penugasan yang dapat dikerjakan oleh peserta didik. Setelah ditinjau dari perspektif pendekatan kritis, modul dan LKS sudah
cukup layak untuk dijadikan buku pendamping dan latihan untu peserta didik. LKS yang digunakan oleh guru yang disusun oleh MGMP ternyata belum
menunjang pelaksanaan sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy.
Hal ini tampak dari adanya indikator yang dirumuskan untuk materi tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965, yakni: 1 Mengidentifikasi
strategi politik PKI masa demokrasi liberal dan terpimpin; 2 Mengidentifikasi aksi-aksi sepihak PKI sebelum G 30 SPKI 1965; 3 Menunjukkan kaitan antara
gerakan 30 September dengan dewan revolusi; 4 Menjelaskan gerakan 30 September PKI telah melakukan perebutan kekuasaan yang sah; 5
Mengientifikasi nama-nama dalang di balik gerakan 30 September PKI; 6 Menganalisa kebenaran isu adanya dokumen Gilchrist; 7 Menerangkan prosesi
pengangkatan jenazah korban kebiadaban PKI di Lubang Buaya; 8 Menyebutkan upaya-upaya penumpasan G 30 SPKI 1965; 9 Menjelaskan akibat
sosial politik G 30 SPKI 1965, 10 Mengidentifikasi adanya bahaya laten komunis. Dimanfaatkannya LKS dengan indikator yang bersifat politis seperti di
atas menjadi salah satu hal yang menyebabkan pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy tidak berjalan dengan baik karena tidak
dudukung oleh sarana belajar yang tidak mendukung critical pedagogy. Kaitannya dengan pemanfaatan sumber berupa buku, diakui bahwa guru
belum dapat menafaatkan sumber yang secara spesifik menyatakan suatu peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial, seperti tentang peristiwa Gerakan 30
September. Hal ini dapat dipahami karena sumber-sumber tersebut tidak dapat secara mudah diakses oleh guru-guru sejarah.
Sumber lain yang dimanfaatkan guru dalam pembelajaran sejarah adalah sumber dari internet. Internet sebagai sumber belajar memiliki keunggulan adanya
data-data yang cukup banyak dan memilii nilai keterbaruan yang tinggi. Hal ini
karena dengan pemafaatan internet sebagai sumber belajar, berbagai infromasi dari belahan dunia dapat diakses secara mudah dan cepat. Akan tetapi sebagai
sumber belajar, interet juga memiliki kelemahan. Walaupun memiliki nilai keterbaruan yang tinggi, internet memiliki nilai keakuratan accuracy dan
kepercayaan validity yang rendah. Tingat keakuratan dan kepercayaan data di internet lemah. Hal ini karena tidak semua tulisan yang ada di internet dapat
dimanfaatkan sebagai sumber. Hal ini disebabkan sifat dari internet yang terbuaka bagi siapa saja untuk memanfaatkannya. Oleh karena banyak orang yang dapat
mengakses, maka kadar kepercayaan data adalah lemah. Hal ini karena bisa saja orang menulis sejarah semaunya, padahal yang dituliskannya belum tentu benar.
Oleh karena itu, untuk memanfaatkan internet sebagai sebagai sumber belajar perlu diterapkan beberapa upaya untuk menyeleksi sumber yang akan
dimanfaatkan. Bekaitan dengan pemanfaatan internet terlebih dahulu patut dipertanyakan tentang sumber dari tulisan, apakah berasal dari sumber yang
terpercaya. Apakah tulisan tersebut memang didasarkan pada referensi-referensi tertentu. Selain itu guru harus memahami bahwa sumber di internet bukan sebagai
satu-satunya sumber dan sumber yang paling utama. Pada pelaksanaan pembelajaran sejarah yang bersifat kontroversial, guru
memanfaatkan beberapa media pembelajaran. Media dalam pembelajaran sejarah memegang peranan dan posisi yang penting. Hal ini karena media membantu
dalam menggambarkan dan memberikan informasi tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Peranan media yang lain adalah sebagai pengembang konsep
generalisasi serta membantu dalam memberikan pengalaman dari bahan yang
abstrak seperti buku teks menjadi bahan yang jelas dan nyata. Dengan demikian untuk mewujudkan efektivitas pembelajaran sejarah harus dilakukan optimalisasi
penggunaan media pembelajaran. Pada pendidikan tingkat dasar dan menengah, peran media sangat
diperlukan dalam pengajaran sejarah. Hal ini selain mempermudah guru dalam penyampaian materi, media berfungsi untuk mengembangkan kemampuan indera
anak didik. Di dalam pembelajaran sejarah, media berperan dalam mewujudkan tiga hal, yakni 1 visualisasi, 2 interpretasi, dan 3 generalisasi. Media
pembelajaran membantu menyampaikan pesan dari guru kepada peserta didik agar dalam diri peserta didik terbangun pemahaman yang menyeluruh tentang
peristiwa sejarah kontroversial. melalui media peserta didik mampu mengonkretkan konsep-konsep atau peristiwa yang masih berisfat abstrak. Inilah
fungsi media dalam aspek visualisasi. Selain itu media pembelajaran membantu peserta didik melakukan penafsiran terhadap peristiwa-peristiwa sejarah. Dengan
adanya kemampuan peserta didik untuk mengetahui dan menghayati peristiwa sejarah maka inilah fungsi media dalam mengembangkan kemampuan peserta
didik melakukan interpretasi. Media pembelajaran selain itu juga mampu memberikan kemudahan bagi peserta didik dalam menarik simpulan dan
menemukan konseo-konsep umum serta benang merah dari suatu peristiwa. Berbagai media yang dimanfaatkan guru dalam pembelajaran sejarah
kontroversial antara lain 1 media pandang yang yang tidak diproyeksikan seperti gambar diam, gambar kronologi, peta dan 2 media pandang yang
diproyeksikan, seperti media slide dengan aplikasi microsoft power point.
Gambar 5. Fungsi Media Pembelajaran dalam
Pembelajaran Sejarah Kontroversial sumber: diolah dari hasil penelitian
Pada pelaksanaan pembelajaran, pemanfaatan media oleh guru terdapat beberapa kelemahan dalam hal 1 persiapan, 2 ketersediaan, 3 keterjangkauan,
dan juga 4 pemanfaatan. Ditinjau dari aspek persiapan, pemanfaatan media yang komplet membutuhkan waktu yang lama. Selain itu ketersediaan media berupa
note book dan LCD ataupun OHP tidak dalam jumlah yang cukup, karena
pemakaiannya bergantian dengan pelajaran lain. Hal ini terjadi pada SMA yang terletak di kawasan pinggiran kota. Pemanfaatan media berupa film masih belum
dapat digunakan karena tidak dimilikinya film-film terkait dengan pembelajaran sejarah kontroversial. Dari aspek keterjangkauan, ada beberapa media yang belum
dapat dimanfaatkan secara optimal karena tidak tersedia dan keterbatasan dalam hal pemanfaatan. Pemanfaatan media-media pembelajaran alternative belum
dimanfaatkan pula oleh guru. Media-media yang masih belum dimanfaatkan antara lain
Fungsi media pada pembelajaran sejarah
Mewujudkan visualisasi
Membantu dalam interpretasi fakta
Mengembangkan konsep generalisasi
Tujuan pembelajaran sejarah kontroversial
Tabel 3. Beberapa Media dan Sumber Belajar Tentang Peristiwa Gerakan 30 September Tahun 1965
Jenis Contoh
Film Pemberontakan G 30 SPKI
produksi Perusahaan Film Negara dan Gie produksi Miles Production
NovelCerpen Para Priyayi I II
karya Umar Kayam, Sri Sumarah kumpulan novelet dan cerpen Umar kayam
Media Massa Surat kabar, majalah, internet
Buku Adam, Asvi Warman. 2007. Seabad Kontroversi Sejarah.
Yogyakarta: Ombak. Sekretariat Negara RI. 1994. G30SPKI: Latar Belakang, Aksi
dan Penumpasannya . Jakarta: Setneg RI.
Sulistyo Hermawan. 2001. Palu Arit Di Ladang Tebu. 2001. Jakarta: KPG
Syamdani ed. 2001. Kontroversi Sejarah di Indonesia. Jakarta: Gramedia
Sumber: Tsabit Azinar Ahmad 2008: 25 Pada aspek evaluasi, guru telah menerapkan variasi model penilaian yang
digunakan untuk mengetahui tingkat pencapaian belajar peserta didik dan kemajuan mereka dalam pembelajaran. Ada beberapa model penilaian yang
dilakukan guru dalam pembelajaran materi sejarah yang bersifat kontroversial. Penilaian yang digunakan guru dalam pembelajaran ini adalah 1 penilaian unjuk
kerja, 2 penilaian tertulis, 3 penilaian sikap, 4 penilaian proyek, serta 5 penilaian portofolio.
Penilaian unjuk kerja merupakan penilaian yang dilakukan dengan mengamati kegiatan peserta didik dalam melakukan sesuatu, dalam hal ini adalah
penilaian terhadap presentasi yang dilakukan oleh peserta didik pada saat kegiatan diskusi. Penilaian secara tertulis dilakukan dengan tes tertulis. Tes Tertulis
merupakan tes dimana soal dan jawaban yang diberikan kepada peserta didik dalam bentuk tulisan. Di SMA N Kota Semarang ada dua bentuk soal tes tertulis,
yaitu 1 memilih jawaban seperti pilihan ganda, dua pilihan benar-salah, ya-
tidak, serta 2 menyupali jawaban, yakni dalam bentuk isian atau melengkapi, jawaban singkat atau pendek, dan soal uraian. Tes tulis dilakukan tidak hanya
pada tiap akhir pemhasana suatu kompetensi dasar tetapi juga pada saat pembelajaran berlangsund seperti pemberian quiz.
Penilaian sikap digunakan sebagai upaya untuk menilai perilaku peserta didik pada saat pembelajaran berlangsung. Penelitian ini dilakukan denga
pengisian isian tentang perilaku peserta didik pada saat pembelajaran. Penilaian proyek merupakan kegiatan penilaian terhadap suatu tugas yang
harus diselesaikan dalam periodewaktu tertentu. Tugas tersebut berupa suatu investigasi sejak dari perencanaan, pengumpulan data, pengorganisasian,
pengolahan dan penyajian produk. Bentuk penilaian ini adalah penugasan dalam pembuatan artikel.
Penilaian portofolio merupakan penilaian berkelanjutan yang didasarkan pada kumpulan informasi yang menunjukkan perkembangan kemampuan peserta
didik dalam satu periode tertentu. Informasi tersebut dapat berupa karya peserta didik hasil pekerjaan dari proses pembelajaran yang dianggap terbaik oleh
peserta didiknya, lembar jawaban tes yang menunjukkan soal yang mampu dan tidak mampu dijawab bukan nilai, atau bentuk informasi lain yang terkait
dengan kompetensi tertentu dalam satu mata pelajaran. Penilaian portofolio pada dasarnya menilai karya-karya peserta didik secara individu pada satu periode
untuk suatu mata pelajaran. Akhir suatu priode hasil karya tersebut dikumpulkan dan dinilai oleh guru dan peserta didik. Berdasarkan informasi perkembangan
tersebut, guru dan peserta didik sendiri dapat menilai perkembangan kemampuan peserta didik dan terus melakukan perbaikan.
Sarana penunjang lain dalam pembelajaran sejarah di Kota Semarang cukup baik. Hal ini terlihat dari adanya akses internet yang sudah dapat dengan
mudah dijangkau, tersedianya fasilitas sekolah seperti ruang auido visual yang dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran sejarah, adanya referensi dan sumber-
sumber di perpustakaan yang dapat dimanfaatkan. Namun demikian, ada kelemahan dalam hal sarana penunjang ini, yakni belum ada suatu sarana yang
secara khusus dimanfaatkan untuk pembelajaran sejarah. Di SMA Kota Semarang masih belum terdapat ruang sejarah atau laboratorium sejarah. Ruangan ini
meruapakan ruangan yang ditata sedemikian rupa, yang di dalamnya terdapat berbagai media, seperti gambar, peta, sampai multimedia, sehingga memudahkan
peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran sejarah. Bahasan tentang implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran
sejarah kontroversial mengarah pada kendala-kendala pelaksanaan pembelajaran. sebelum mengulas tentang permasalahan kendala secara tekni ada permasalahan
yang muncul dalam konteks pembelajaran sejarah. Permasalahan itu adalah permasalahan tentang subjektivitas dalam historiografi ditambah dengan adanya
faktor eksternal berupa campur tangan dari pihak lain telah menyebabkan penulisan sejarah memiliki perbedaan sudut pandang, bahkan tidak jarang
bertentangan. Namun selama ketaksamaan visi dan pendekatan yang memunculkan perbedaan dan pertentangan sebuah tulisan sejarah didukung oleh
fakta-fakta pada dasarnya dari sudut pandang keilmuan hal tersebut masih wajar.
Namun demikian yang menjadi permasalahan adalah ketika ternyata pertentangan itu masuk dalam ranah pendidikan. Penulisan sejarah dalam ranah pendidikan
tidak lagi semata-mata ditujukan untuk ilmu pengetahuan, tetapi juga digunakan sebagai sarana untuk memberikan pemahaman-pemahaman tehadap sebuah
fenomena. Selain itu dalam ranah pendidikan ada pula tujuan-tujuan yang menjadi sekat pembatas dan jalur penuntun bagaimana penerapan penulisan sejarah untuk
mencapai sasaran tertentu. Oleh karena itu permasalahan kontroversi sejarah akan menjadi lebih rumit ketika telah masuk dalam ranah pendidikan.
Adanya permasalahan yang cukup rumit ini menjadi alasan munculnya kendala-kendala pembelajaran dalam aspek teknis pembelajaran. Dalam
pelaksanaannya, critical pedagogy belum dapat dilaksanakan secara optimal. Ada beberapa permasahan terkait masalah belum optimalnya implementasi critical
pedagogy di kalangan guru, yakni 1 masih belum dikenalnya konsep critical
pedagogy secara teknis dan formal di kalangan guru-guru baik karena keengganan
untuk mencari pengetahuan baru maupun karena minimnya akses untuk mendapatkan informasi, 2 perkembangan critical pedagogy kalah saing dengan
perkembangan pendekatan pembelajaran yang lain, 3 belum adanya pengembangan critical pedagogy dalam pendidikan calon guru, 4 minimnya
pelatihan dan pendampingan bagi guru untuk mengimplementasikan critical pedagogy
, 5 kebijakan pemerintah belum memberikan ruang terhadap perkembangan critical pedagogy.
Pada aspek perencanaan, apabila kendala-kendala tersebut dianalisis, ternyata kendala-kendala itu masih memiliki keterkaitan satu sama lain.
Tabel 4. Analisis Kendala-Kendala dalam Perencanaan Pembelajaran Sejarah yang Bersifat Kontroversial
No Kendala
Disebabkan oleh Menyebabkan
1 Minimnya
contoh-contoh rencana
pembelajaran • Sosialisasi yang
tidak merata dan kurang
• Komunikasi yang kurang antarguru
sejarah Lemahnya kemampuan
guru dalam hal perencanaan
pembelajaran
2 Sumber-sumber
masih terbatas • Minimnya akses
untuk memperoleh sumber
• Belum ada sumber yang secara “resmi”
disusun oleh pemerintah
Kesulitan guru dalam memahami peristiwa-
peristisa sejarah kontroversial
3 Akses untuk
mendapatkan informasi yang
sulit • Ketersediaan
sumber terbatas Sulitnya mendapatkan
sumber yang baik
4 Alokasi waktu
yang terbatas dalam
pembelajaran • Struktur kurikulum
yang tidak memungkinkan
dimasukannya materi tertentu
• Banyaknya materi lain yang juga harus
diberikan Sulit dalam melakukan
variasi model pembelajaran
5 Kebijakan
pemerintah yang membingungkan
• Faktor kepentingan • Desakan salah satu
golongan Munculnya masalah
dalam hal pelaksanaan pembelajaran sejarah
6 Ada materi yang
tidak memiliki alokasi waktu
khusus dalam pembelajaran
Materi menjadi bagian dari materi lain yang
lebih bersifat umum Kesulitan dalam
pelaksanaan pembelajaran
Sumber: Diolah dari hasil penelitian
Kemunculan kendala-kendala tersebut pada akhirnya akan menyebabkan lemahnya kemampuan guru dalam perenacnaan pembelajaran. Lemahnya aspek
perencanaan mengakibatkan pembelajaran yang dilakukan tidak terstruktur, sehingga pencapaian tujuan pembelajaran tidak dapat terwujud secara efektif.
Pada aspek pembelajaran kendala-kendala hampir ditemui pada setiap aspek dalam pembelajaran meliputi 1 tujuan, 2 subjek belajar, 3 materi, 4
metode pembelajaran, 5 media pembelajaran, 6 evaluasi, serta 7 aspek-aspek penunjang.
Kendala-kendala yang ditemui dalam aspek pembelajaran masih berpusat pada keterbatasan keterampilan guru dalam penerapan variasi pembelajaran,
minimnya antusias peserta didik, materi yang memunculkan serangkaian kesulitan dalam pemahamannya, masalah dalam media pembelajaran, penerapan sistem
evaluasi, serta keterbatasan fasilitas dan sumber. Kendala-kendala ini menyebabkan kegiatan pembelajaran tidak berjalan dengan optimal dan
berlangsung secara tidak efektif. Kendala-kendala dalam pembelajaran sejarah merupakan permasalahan
yang menyebabkan belum tercapaian pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy. Munculnya kendala-kendala ini
disebabkan oleh beberapa hal seperti yang digambarkan dalam uraian pada tabel di bawah ini
Tabel 5. Analisis Kendala-Kendala dalam Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah yang Bersifat Kontroversial
No Aspek
Permasalahan Utama Penyebab
1 Tujuan
Banyaknya materi menyebabkan
kekhawatiran tidak tercapainya tujuan
Banyaknya materi dan keterbatasan alokasi waktu
2 Subjek belajar
• Pengetahuan guru terbatas
• Peserta didik kurang antusias
• Akses yang sulit • Kebijakan yang
membingungkan. • Bagi aspek peserta
didik karena kurang adanya variasi
pembelajaran
3 Materi
Materi bersifat sensitif dan terdiri atas banyak
versi Perubahan corak
historiografi dan adanya faktor kepentingan
4 Metode
pembelajaran Minim pemanfaatan
variasi metode dan keterbatasan alokasi
waktu Keterbatasan waktu dan
pengetahuan atas variasi metode
5 Media
pembelajaran Kendala dalam
persiapan, ketersediaan, keterjangkauan, dan juga
pemanfaatan Minimnya jumlah media,
belum dioptimalkannya media yang tersedia
6 Evaluasi
Kesulitan dalam aspek penyusunan soal yang
“netral” Sifat materi yang sarat
akan nilai dan kepentingan
7 Penunjang
Keterbatasan fasilitas dan ketidakoptimalan
pemanfaatan fasilitas tersebut
Minimnya sumber belajar
Sumber: diolah dari hasil penelitian
Dalam hal faktor pendukung, kendala-kendala yang ditemui dalam aspek organisasi profesi dan keilmuan, perguruan tinggi, media massa, serta kebijakan
pemerintah adalah ketidakoptimalan peran dari komponen-komponen pendukung serta belum optimalnya pemanfaatan media massa sebagai sumber belajar.
Dari penjelasan tentang berbagai hal tentang pembelajaran mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan peran komponen penunjang, ternyata ada beberapa
faktor yang menyebabkan munculnya kendala dalam pembelajaran. Kendala- kendala yang ditemui dalam kelas sejarah secara umum dapat disebabkan oleh
dua faktor, yakni 1 faktor intern dan 2 faktor ekstern. Faktor intern yang memunculkan permasalahan dalam pembelajaran sejarah kontroversial adalah
faktor yang berasal dari dalam ilmu sejarah, yakni adanya perubahan dalam corak historiografi Indonesia pascareformasi.
Faktor kedua adalah faktor ekstern yakni faktor-faktor luar yang berasal dari luar sejarah yang memengaruhi sejarah dan pendidikan sejarah. Antara faktor
intern dan ekstern tersebut tidak berdiri sendiri independent, tetapi menjadi satu rangkaian yang memunculkan hubungan kausalitas dan hubungan kebergantungan
interdependent, di mana faktor intern sangat mempengaruhi faktor ekstern. Faktor intern yang menyebabkan permasalahan dalam pendidikan sejarah
adalah terjadinya perubahan corak historiografi Indonesia yang memunculkan pendapat-pendapat yang beraneka ragam tentang satu peristiwa sejarah, seperti
berkembangnya beberapa versi dari Gerakan 30 September tahun 1965. Akan tetapi, ketika di satu sisi terjadi perubahan corak historiografi Indonesia setelah
jatuhnya Soeharto, hal ini tidak diimbangi dengan kesiapan untuk menerima
perubahan tersebut. Hal ini karena pengaruh tradisi historiografi Indonesia dalam memahami, merekonstruksi, dan memaknai masa lalu masih sangat kuat, sehingga
bagi masyarakat awam, hal ini justru memberikan kebingungan. Berkaitan dengan perubahan corak historiografi Indonesia, adanya
perbedaan versi dalam penulisan sejarah ini diakibatkan banyak hal, yakni subjektivitas, pemahaman masyarakat yang keliru, dan faktor kepentingan. Faktor
subjektivitas bisa berasal dari pelaku sejarah atau sejarawan. Selain itu ada pula kemungkinan terbentuknya satu konstruk pemikiran yang kuat dalam masyarakat
tentang satu pemahaman sejarah, walaupun belum tentu pemahaman yang selama ini diyakini adalah benar adanya. Hal ini karena masyarakat terpengaruh oleh
wacana tertetu selama terus-menerus, seperti ketika pada pemerintahan Orde Baru masyarakat selalu diberikan wacana bahwa dalam G 30 S, PKI-lah yang menjadi
dalang. Teori-teori yang berkembang tentang peristiwa 1965 juga tidak diberitakan
secara seimbang pada masa itu. Padahal permasalahan tentang pelaku G 30 S sampai sekarang masih simpang siur, dan ada beberapa teori lain selain PKI
sebagai dalang yang muncul. Namun demikian, aspek yang paling berpengaruh dalam faktor intern dari penyebab munculnya permasalahan dalam pembelajaran
sejarah adalah adanya kepentingan-kepentingan yang ada di dalam sejarah. Kepentingan itu bisa datang dari pihak-pihak yang terlibat dalam satu
peristiwa sejarah ataupun dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkan satu peristiwa sejarah untuk tujuan-tujuan tertentu. Kepentingan yang datang dari
pihak pelaku sejarah ataupun keturunannya karena pelaku sejarah merasa dirugikan dengan adanya penulisan sejarah dari pihak tertentu.
Faktor ekstern yang menyebabkan munculnya permasalahan dalam pembelajaran sejarah yang kontroversial masih berada di seputar 1 lemahnya
desain pembelajaran sejarah, 2 kebijakan tentang pendidikan sejarah yang kurang mendukung pelaksanaan pendidikan sejarah secara ideal, 3 minimnya
informasi kesejarahan yang up to date bagi praktisi pendidikan, 4 tidak optimalnya peran komponen penunjang, serta 5 faktor kepentingan terhadap
pendidikan sejarah. Faktor kepentingan yang dimaksud adalah adanya campur tangan yang
terlalu banyak dari pemerintah terhadap pendidikan sejarah, seperti ketika dikeluarkannya Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 019AJA032007 pada
tanggal 5 Maret 2007 yang melarang buku-buku pelajaran sejarah yang tidak membahas pemberontakan PKI tahun 1948 dan 1965. Walaupun pada dasarnya
pendidikan sejarah merupakan alat dari pemerintah untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air dan nasionalisme, akan tetapi ketika pemerintah terlalu banyak
campur tangan, hal ini dapat menimbulkan satu anggapan bahwa pendidikan sejarah justru menjadi satu alat legitimasi. Berikut adalah gambar tentang
identifikasi terhadap sebab munculnya kendala dalam pembelajaran sejarah kontroversial
Gambar 6. Identifikasi Penyebab Permasalahan Pembelajaran Sejarah Kontroversial sumber: diolah dari hasil penelitian
Kendala-kendala pembelajaran sejarah akhirnya bermuara pada belum optimalnya encapaian tujuan pendidikan sejarah. Hal ini menjadi sesuatu yang
harus segera diantisipasi karena pembelajaran sejarah kontroversial memiliki posisi yang penting. Ditinjau dari perspektif peserta didik, pembelajaran sejarah
kontroversial mampu memunculkan rasa keingintahuan peserta didik. Dengan demikian pada dasarnya adapotensi yang dimiliki oleh pembelajaran sejarah
kontroversial untuk memunculkan kreativitas peserta didik, terutama dalam memecahkan masalah.
Dari hasil penelitian ditemukan hasil bahwa peserta didik cenderung tertarik dan ingin tahu peristiwa-peristiwa sejarah kontroversial. Pembelajaran
sejarah kontroversial dapat menarik peserta didika karena ada kecenderungan secara psikologis peserta didik telah mampu secara psikologis untuk memahami
aspek kontroversi. Selain itu, pembelajaran sejarah kontroversial memiliki peluang yang besar dalam meningkatkan partisipasi peserta didik dalam
pembelajaran. Lamont 2005: x menyatakan bahwa pembelajaran sejarah kontroversial
dapat berfungsi untuk mengomunikasikan pada peserta didik agar mereka dapat berpikiran trebuka terhadap perdebatan dalam sejarah, di mana segala pendapat
dapat berubah sewaktu-waktu challengeable dan simpulan penutup belum bersifat final. Pembelajaran sejarah kontroversial juga memiliki potensi untuk
menjadikan pelajaran sejarah lebih bermakna karena adanya upaya untuk menghadirkan konteks dan realitas sosial masyarakat di dalam kelas Lamont,
2005: x. Selanjutnya Bambang Purwanto 2006: 269 menguatkan bahwa pembelajaran sejarah memiliki fungsi untuk menjelaskan perubahan dan
keberlanjutan dalam konteks waktu. Terkait dengan apresiasi peserta didik, pembelajaran sejarah kontroversial
memang memiliki potensi untuk membantu peserta didik mengembangkan beberapa kemampuan, seperti kemampuan dalam memecahkan masalah, berpikir
kritis dan kemampuan analisis. Selain itu dengan penerapan pembelajaran sejarah kontroversial melalui implementasi critical pedagogy dapat membantu peserta
didik belajar untuk dapat mengemukakan pendapat secara logis, menghargai pendapat orang lain, membangun pemahaman tentang keberagaman, dan
berpartisipasi aktif dalam berargumen dan berdebat, serta yang tidak kalah penting
adalah dapat menjadi sarana resolusi konflik Global Citizenship Guides, 2006: 3. Secara lebih spesifik, kemampuan yang dapat dikembangkan melalui
pemanfaatan pembelajaran sejarah kontroversial adalah kemampuan dalam mengolah informasi, memberikan argumen secara logis, memecahkan masalah,
bepikir kreatif, serta kemampuan dalam melakukan evaluasi. Kendala-kendala dalam pembelajaran sejarah kontroversial melalui
perspektif critical pedagogy menjadi permasalahan yang menandakan adanya ketakterikatan antara perkembangan dan dinamika yang ada di kalangan
masyarakat dengan praksis pembelajaran. Hal ini menyebabkan pembelajaran sejarah kontroversial saat ini memiliki kecenderungan ke arah out of context.
Padahal banyak hal yang dapat dimanfaatkan melalui pembelajaran sejarah kontroversial. Dalam kasus ini, ada tiga hal yang tidak saling menguatkan, yakni
hubungan antara pembelajaran masyarakat, dan historiografi. Dari penjelasan- penjelasan di atas tampak jelas bahwa pembelajaran sejarah tidak memberikan
akomodasi terhadap perkembangan historiografi yang sangat beragam pascareformasi. Idealnya, pembelajaran sejarah mengakomodasi adanya
perkembangan keilmuan sejarah agar pendidikan sejarah tidak tertinggal jauh. Pada pendidikan sejarah, ideologi yang telah dirumuskan pada tahun 1957
dalam seminar sejarah nasional I masih tetap dilestarikan dengan meninggalkan kaidah-kaidah dan kenyataan bahwa saat ini terdapat ragam historiografi dengan
sudut padang yang kaya dan bervariasi. Keberagaman historiografi masih belum masuk dalam ruang-ruang kelas disebabkan keterbatasan akses untuk memperoleh
tulisan sejarah mutakhir dan masalah kebijakan yang besifat membatasi kreasi.
Di dalam pendidikan sejarah, ilmu pengetahuan yang banyak berkembang di masyarakat secara luas telah mengalami proses domestifikasi atau penjinakan
ketika masuk dalam ranah pendidikan. Adanya beragam sejarah kontroversial baik dari sifat maupun peristiwanya menyebabkan bermacam peristiwa tersebut tidak
diakomodasi karena alasan kurangnya kapabilitas, ketidaksesuaian dengan karakteristik peserta didik, keterbatasan alokasi waktu, dan kebijakan yang tidak
mendukung secara penuh pelaksanaannya. Akibatnya, terjadi ketakterkaitan antara satu unsur dengan unsur lainnya, seperti ketakterkaitan antara perkembangan di
masyarakat dengan kondisi di dalam kelas. Ketidaksesuaian antara pembelajaran sejarah dengan beragamnya
historiografi pascareformasi menandakan bahwa pembelajaran jauh dari realitas yang terjadi di masyarakat. Ini berarti pembelajaran sejarah tidak bersifat
kontekstual, padahal salah satu inti dari proses pembelajaran dengan pendekatan critical pedagogy
adalah kontekstualisasi pembelajaran. Ketidakterkaitan antara ketiga aspek dalam pembelajaran kontroversial
terakit pula dengan masalah keterkaitan antara kebijakan, media massa, dan jiwa zaman zeitgeist. Hal ini disebabkan karena pembelajaran dipengaruhi oleh
kebijakan, sementara itu di masyarakat dipengaruhi oleh media massa, dan historiografi dipengaruhi oleh jiwa zaman.
Pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy yang ideal adalah pembelajaran yang mengakomodasi dan memberi keterkaitan
antara pembelajaran-masyarakat-historiografi. Melalui pemanfaatan pembelajaran sejarah kontroversial dapat bermanfaat sebagai penghubung antara sekolah dan
masyarakat, sekaligus menjadi motivasi peserta didik untuk meningkatkan kemampuan menuju transformasi sosial Cavet, 2007 dalam
http:www.inrp.frvstLettreVSTenglish27-may-2007_en.php?onglet=integrale. Pembelajaran harus mampu mengakomodasi keberagaman historiografi dan
perkembangan masyarakat. Hubungan tersebut dapat digambarkan dalam gambar di bawah
Gambar 7. Keterkaitan antara Pembelajaran, Historiografi, dan Masyarakat dalam Pendidikan Sejarah dalam Perspektif Critical Pedagogy sumber:
diolah dari hasil penelitian
Pembelajaran sejarah yang tidak memperhatikan aspek keterkaitan dari beberapa komponen di atas dikhawatirkan akan menjadikan pembelajaran tidak
mampu menjawab berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya penguatan untuk mewujudkan pembelajaran sejarah
kontroversial, sehingga dapat mewujudkan kesadaran, pola pikir, dan sikap kritis peserta didik melalui implementasi critical pedagogy. Penguatan terhadap
pembelajaran sejarah kontroversial dapat dilakukan apabila prasyarat utama dari
guru, yakni adanya kemauan dan komitmen dalam mendidik melalui pengajaran sejarah kontroversial sudah dimiliki oleh guru.
Penguatan pertama adalah dengan mencari relevansi antara pembelajaran sejarah kontroversial dan critical pedagogy dalam struktur kurikulum. Pada saat
ini pada dasarnya ada peluang yang besar bagi guru-guru untuk dapat mengembangkan pembelajaran secara mandiri. Hal ini disebabkan pada saat ini
kuriulum yang diterapkan hanya membahas sampai tingkat KD saja. Sehingga guru dapat melakukan pengembangan materi sesuai dengan KD dan alokasi waktu
yang tersedia. Dengan demikian, pada dasarnya KTSP merupakan sebuah kurikulum yang fleksibel. Fleksibilitas kurikulum sebenarnya menjadi peluang
yang besar dalam pelakanaan pembelajaran sejarah kontroversial dengan pendekatan critical pedagogy karena menurut Barton dan Mc Cully 2007 ini
menjadi pendukung utama suksesnya pelaksanaan pembelajaran sejarah kotroversial.
Penguatan berikutnya adalah adanya relevansi pembelajaran sejarah kontroversial dengan tahapan psikologis peserta didik. Abu Su’ud menyatakan
bahwa pembelajaran sejarah kontroversial relevan dalam pembelajaran sejarah di SMA, karena pembelajaran sejarah di SMA telah memiliki tujuan genesis, yakni
memberikan dasar-dasar keilmuan sejarah Wawancara 2 Februari 2010. Pembelajaran sejarah kontroversial memberikan peluang untuk dapat memahami
dasar-dasar keilmuan sejarah. Hal ini disebabkan peserta didik pada usia SMA telah memiliki kemampuan untuk berpikir secara kritis dan memiliki kemampuan
untuk memecahkan permasalahan. Piaget dalam Baharuddin dan Esa Nur
Wahyuni, 2008: 123-124 menyatakan bahwa anak telah sampai pada tahap formal operational
. Pada tahap ini anak telah mampu berpikir hipotesis-deduktif, mengembangkan kemungkinan-kemungkinan, mengembangkan proposisi,
menarik generalisasi, berpikir dengan cara yang lebih abstrak, logis, dan idealistik Selanjutnya perlu ada penguatan dalam hal fungsi dan peran pembelajaran
sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy. Pembelajaran sejarah kontroversial dapat menjadi sarana yang efektif untuk melihat realitas yang terjadi
di masyarakat, melihat pola hubungan antara pendidikan dan kuasa, dapat menjadi model dalam pengembangan kesadaran, pola pikir, dan sikap kritis peserta didik.
Critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah adalah suatu pendekatan yang
bersifat menyeluruh dalam mengulas suatu peristiwa sejarah. Dengan adanya pendekatan tersebut, diharapkan siswa akan mampu memahami suatu peristiwa
sejarah secara menyeluruh serta mampu berpikir secara kritis tentang peristiwa sejarah kontroversial.
Dalam konteks Indonesia, penerapan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial merupakan sebuah upaya yang menunjang
demokratisasi dalam masyarakat yang plural. Dengan demikian, pembelajaran sejarah kontroversial pada dasarnya menjadi salah satu sarana penting untuk
mewujudkan pemahaman tentang realitas keberagaman dalam masyarakat. Peran pembelajaran sejarah kontroversial dengan demikian tidak lepas dari proses
pendidikan multikultural. Terkait dengan permasalahan relevansi, ada pertanyan yang muncul
“apakah critical pedagogy masih relevan dalam masyarakat ketika dalam kondisi
mereka yang telah mapan?”. Permasalahan tersebut dapat terjawab dengan memberikan pemahaman bahwa ada dua pandangan yang mungkin muncul
tentang tujuan pendidikan dan implementasi critical pedagogy dalam praksis. Pandangan pertama melihat bahwa tujuan adalah sebuah hal yang bersifat ideal.
Artinya ketercapaian tujuan tersebut tidak akan pernah ada secara mutlak, karena tujuan dapat senantiasa berubah sesuai dengan konteks dan kebutuhan. Boleh jadi
tujuan itu kemudian berkembang menjadi tujuan yang baru ketika tujuan yang lama telah tercapai, sehingga hakikat ketercapaian tujuan adalah sesuatu yang
bersifat kontekstual. Tidak akan pernah tercapai sebuah tujuan karena tujuan pendidikan adalah harapan yang senantiasa akan berkembang sesuai dengan
perkembangan masyarakat. Tercapainya tujuan tertentu dalam suatu hal hanyalah sebagai sarana pencapaian tujuan lainnya. Jadi, critical pedagogy akan senantiasa
relevan ketika dijadikan sebagai landasan dalam upaya pencapaian suatu tujuan. Pandangan pertama ini melihat bahwa tujuan menjadi faktor yang bersifat nisbi
atau relatif, tetapi tetap tidak memandang bahwa tujuan adalah harapan palsu, karena critical pedagogy merupakan pandangan yang bersifat optimis, sehingga
melihat adanya kemungkinan-kemungkinan harapan. Pandangan yang kedua melihat bahwa critical pedagogy juga akan
senantiasa relevan walaupun pada kondisi yang tidak ada lagi suasana ketertindasan. Hal ini karena critical pedagogy mengalami pergeseran fungsi “
untuk” menjadi fungsi “tetap”. Artinya critical pedagogy menjadi sebuah alat untuk mempertahankan suasana kritis, antiketertindasan, kepastian terjaminnya
hak-hak menanusiaan dan sebagainya. Dengan demikian, critical pedagogy
memiliki sifat yang lentur dan terbuka. Hal ini karena kelemahan masyarakat adalah ketika suatu tujuan telah tercapai, maka tidak ada lagi sarana yang menjaga
agar tujuan tersebut tetap terjaga. Pada masyarakat kita saat ini mudah untuk terjangkit sindrom “lupa” dan sindrom “lena”, sehingga ada kemungkinan
lunturnya kembali kesadaran yang telah didapatkan oleh masyarakat. Hal ini didukung pula oleh teori psikologi yang menganggap perlu adanya reinforcement
dalam pendidikan. Critical pedagogy dalam masyarakat yang telah mapan akan senantiasa berperan dan relevan karena memiliki fungsi sebagai reinforcement.
Permasalahan lain adalah brehubungan dengan kekhawatiran munculnya kecenderungan baru bahwa pembelajaran tersebut akan memunculkan kebenaran
yang bersifat tunggal, pembelajaran sejarah kontroversial sama sekali tidak mencoba untuk memunculkan satu versi yang dianggap memiliki kebenaran
mutlak. Munculnya permasalahan itu hanyalah disebabkan oleh faktor yang memandang bahwa sejarah adalah sesuatu yang bersifat seperti ilmu eksak, yakni
hanya ada satu kebenaran yang bersifat tunggal. Walaupun berasal dari satu fakta yang sama, interpretasi dari penulis sejarah berbeda-beda. Inilah yang
menyababkan munculnya kontroversi sejarah. Akan tetapi, tujuan pembelajaan sejarah kontroversial tidaklah mengusung satu gagasan yang mutlak, tetapi
mencoba untuk menampilkan interpretasi-interpretasi lain yang muncul untuk memaknai sebuah fakta sejarah. Hal ini dilandasi semangat keterbukaan bahwa
siapa saja boleh untuk melakukan interpretasi yang berbeda sepanjang interpretasinya didukung oleh fakta-fakta. Sikap pembelajar, baik guru maupun
peserta didik adalah menampilkan secara menyeluruh interpretasi-interpretasi
yang ada, kemudian melakukan tahap identifikasi tentang bebagai versi yang muncul. Pembelajaran seperti ini akan melatih peserta didik menjadi insan yang
memiliki pola pikir kritis, sekaligus terbuka dan menghargai terhadap pendapat- pendapat yang muncul tentang satu peristiwa sejarah.
Penguatan keempat terkait dengan reposisi peran guru dalam pembelajaran. Pada critical pedagogy, guru dan peserta didik sama-sama
bertindak sebagai learner. Hal ini berarti dalam pembelajaran penekanan para proses dialogis menjadi ynag utama. Terkait dengan hal ini Asvi Warman Adam
2009: 10 menyatakan bahwa guru sejarah adalah penyampai kebenaran, sehingga ada tugas mulai yang disandang bagi guru sejarah sebagai agen untuk
mencerdaskan bangsa. Terkait dengan hal tersebut guru seyogyanya jangan lagi menjadi agen indoktrinasi politis atas kebenaran tunggal atas masa lalu denagn
menyingkirkan nilai sosial kultural dan kemanusiaan Bambang Purwanto, 2009: 4.
Berkaitan dengan pelaksanaan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial, praktisi pendidikan atau guru memiliki peran penting dalam
pelakasnaan proses pendidikan sejarah. Hal ini disebabkan praktisi pendidikan atau guru sejarah adalah pihak yang berhubungan langsung dengan
masyarakatpeserta didik. Pada pembelajaran sejarah kontroversial, guru berperan dalam memberikan informasi kepada peserta didik tentang sejarah yang
kontroversial. Peran guru menjadi sangat penting dalam proses pendidikan sejarah karena dalam kurikulum 2006, guru memiliki wewenang yang luas untuk
mengembangkan materi ajarnya.
Ditinjau dari aspek perencanaan, guru dalam membuat silabus senantiasa berpegangan bahwa ada beberapa aspek yang menjadi ciri khas dalam
pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial dengan pendekaran kritis. Aspek yang harus diperharikan adalah aspek latar belakang dari tejadinya suatu
peristiwa, aspek kronologis dari jalannya peristiwa tersebut, aspek komprehensif dalam melakukan pemahasan tentang teori-teoeri yang ada, serta aspek
kesinambungan yang mengulas tentang bagaimana pengaruh dari peristiwa tersebut serta peristiwa-peristiwa lain yang memiliki keterkaitan dengan peristiwa
sejarah tersebut. Pada hal perencanaan, langkah awal yang dilakukan dalam penerapan
critical pedagogy pada pembelajaran sejarah adalah perumusan tujuan
pembelajaran dalam rangka pengembangan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Tujuan pembelajaran berorientasi pada analisis kebutuhan dari
peserta didik. Dalam konteks critical pedagogy, peserta didik diharapkan mampu untuk memahami suatu peristiwa sejarah secara menyeluruh serta mampu
mengidentifikasi ketidakadilan yang terjadi. Namun sebelum memulai menyusun perencanaan dan melakukan pemelajaran guru harus memiliki modal berupa
keberanian untuk mengajarkan materi yang bersifat kontroversial yang ditunjang dengan penguasaan materi dan pemanfaatan variasi metode pembelajaran.
Untuk menunjang pencapaian tujuan pembelajaran, diperlukan analisis terhadap kebutuhan yang digunakan dalam pembelajaran sejarah kontroversial.
Analisis kebutuhan tersebut mencakup persiapan-persiapan dalam pelaksanaan
pembelajaran, meliputi 1 analisis ketersediaan dan kebutuhan media, 2 analisis kemampuan guru, 3 analisis kemampuan peserta didik, 4 analisis lingkungan.
Pada aspek materi, untuk mengatasi kendala spek alokasi waktu dan upaya pemahaman secara menyeluruh, guru hendaknya memperhatikan aspek
kesinambungan materi. Hal ini disebabkan kelemahan dalam guru masih terletak pada belum mampunya mengaitkan satu materi dengan materi lainnya. Padahal
satu materi dengan materi lainnya memiliki keterkaitan. Seperti ketika mengajarkan materi Supersemar, materi tersebut memiliki keterkaitan dengan
materi sebelum dan sesudahnya. Guru harus mampu mengaitkan materi yang tengah diajarkannya, dengan materi yang sebelumnya.
Penguatan dalam aspek metode pembelajaran juga menjadi hal yang bermanfaat dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Pada pelaksanaan critical
pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial, konstruktivisme dapat
dijadikan salah satu landasan dalam pelaksanaan pembelajaran. Agar pembelajaran menjadi bemakna, maka pembelajaran harus berpusat pada peserta
didik student centered artinya adalah guru memberikan peluang dari siswa untuk berapresiasi, bisa dalam bentuk kegiatan diskusi, debat, tugas mandiri, dan
sebagainya. Kemudian, penggunaan variasi model dan media juga menjadi hal yang diperhatikan dalam pembelajaran agar peserta didik mudah dalam
melakukan visualisasi, interpretasi, dan generalisasi. Dengan demikian, kesan bahwa kesan bahwa pelajaran Sejarah adalah membosankan bisa teratasi.
Pada aspek strategi pembelajaran, konsep belajar konstruktivisme dapat diterapkan. Konsep belajar konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan
dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong Baharudin dan Esa Nur
Wahyuni, 2007:116. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Siswa harus mengonstruksikan
pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Dengan menggunakan pendekatan konstuktivistik, pembelajaran dilakukan
bersama-sama oleh guru dengan peserta didik dengan produk kegiatan adalah membangun persepsi dan cara pandang siswa mengenai materi yang dipelajari,
mengembangkan masalah baru, dan membangun konsep-konsep baru dengan menggunakan evaluasi yang dilakukan pada saat kegiatan pembelajaran
berlangsung. Dalam pembelajaran akan terjadi suatu proses dialog antara guru dan peserta didik dengan mengembangkan pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa
dalam pembelajaran Boyi Anggara, 2007. Strategi belajar konstruktivisme yang digunakan dalam pembelajaran
sejarah kontroversial menggunakan strategi yang diungkapkan Slavin seperti dikutip Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2007 127-129 yakni 1 top down
processing , di mana pembelajaran dimulai dari permasalahan yang kompleks
untuk dipecahkan, kemudian menghasilkan keterampilan yang dibutuhkan, 2 cooperative learning
, yang menekankan pada lingkungan sosial belajar dan menjadikan kelompok belajar sebagai tempat untuk mendapatkan pengetahuan,
mengeksplorasi pengetahuan, dan menantang pengetahuan yang dimiliki oleh individu Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2007:128, 3 generative learning,
yang menekankan pada kemampuan untuk generalisasi dari apa yang diajarkan
dengan skemata, baik melalui pembuatan pertanyaan, kesimpulan, atau analogi- analogi terhadap apa yang sedang dipelajari.
Berkaitan dengan pelaksanaan pembelajarannya, guru memberikan berbagai teori yang berkembang secara berimbang, tanpa ada subjektivitas dan
pretensi. Hal yang patut diperhatikan adalah kearifan guru dalam mengajarkan sejarah kontroversial. Dengan demikian, proses indoktrinasi tidak terjadi dalam
pendidikan sejarah. Dalam pembelajarannya, guru tidak hanya berfungsi sebagai sumber informasi, tetapi juga sebagai mediator dan motivator bagi peserta didik
agar peserta didik secara aktif melakukan proses pembelajaran secara mandiri. Akan tetapi dari sekian hal yang telah dijelaskan, satu hal yang harus diperhatikan
adalah bahwa menjadi guru sejarah merupakan suatu panggilan nurani yang senantiasa bertujuan agar peserta didik memperoleh satu kesadaran kritis. Pada
pembelajaran sejarah kontroversial guru menekankan pada aspek bahwa di peserta didik diharapkan mampu untuk melihat sesuatu secara berimbang atau dari sudut
pandang yang berlawanan, sehingga aspek keseimbangan dan aspek melihat dari sisi yang berlawanan menjadi sebuah titik tekan agar peserta didik tidak hanya
berpendapat dari satu sisi sudut pandang saja Global Citizenship Guides, 2006: 6.
Prasyarat yang harus dimiliki oleh guru adalah bahwa di dalam pribadi guru harus ada komitmen yang kuat untuk mengajarkan sejarah kontroversial
denga tanpa memasukkan pandangan pribadinya. Selain itu sikap objektif dan akademis menjadi mutlak agar dalam pembelajaran tidak ada upaya untuk
memberikan justifikasi terlebih dahulu. Ada kalanya guru bertindak provokatif
dan bersikap oposisional dengan alasan umum yang ada. Selain itu guru juga harus memberikan segala kemungkinan sudut pandang dalam pembelajaran. Pada
pelaksaannya, guru selayaknya pada posisi yang setara dengan peserta didik untuk bersama-sama memecahkan sebuah masalah. Kemudian pada tahap akhir guru
boleh memberikan pandangan berdasarkan sudut pandangnya untuk kemudian ditanggapi oleh peserta didik.
Berkaitan dengan permasalahan kontekstualisasi, kebanyakan guru masih mengalami kesulitan. Oleh karena itu perlu adanya upaya dalam memudahkan
guru melakukan pembelajaran secara kontekstual. Pada tahap kontekstualisasi terdapat pertanyaan yang harus di jawab yakni “bagaimana keterkaitan
permasalahan sejarah dengan kehidupan di sekitar saya?”, “bagaimana harus menyikapi permasalahan tersebut?”, “adakah yang dapat saya ambil dari media
tersebut untuk memahami permasalahan pada masa kini?”. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam tahap kontekstualisasi mencoba untuk mengaitkan pesan-
pesan universal yang terkandung dalam sebuah peristiwa dengan realitas yang terjadi.
Pada aspek kontekstualisasi, peneliti membedakan ada dua jenis kontekstualisasi, yakni 1 temporal sinkronis dan 2 spasial diakronis.
Kontekstualisasi temporal sinkronis adalah upaya untuk mengaitkan sebuah peristiwa sejarah dengan peristiwa pada masa sekarang dalam berbagai aspek.
Contohnya adalah ketika membahas tentang permasalahan dinamika politik pada masa Demokrasi Terpimpin dapat dikaitkan dengan keadaan masyarakat pada saat
ini di berbagai aspek, sehingga pembelajaran menjadi lebih dekat dengan peserta didik karena diambilkan contoh dari peristiwa-peristiwa aktual.
Kemudian pada kontekstualisasi spasial diakronis, guru mencoba mengaitkan sebuah peristiwa sejarah dengan konteks lokalitas tertentu dalam
urutan waktu. Contoh kontekstualisasi spasial diakronis adalah dengan mengaitkan antara peristiwa sejarah nasional dengan sejarah lokal di lingkungan
peserta didik. Upaya pengaitan antara peristiwa nasional dengan peristiwa lokal juga memberi kemudahan bagi peserta didik dalam melihat sebuah peristiwa
dengan contoh-contoh yang ada di sekitarnya. Pemanfaatan media sangat membantu peaksanaan pembelajaran sejarah
kontroversial, tetapi sering dijumpai minimnya media yang tersedia. Dalam hal pemanfaatan media yang minimal, strategi yang dapat diterapkan adalah guru
harus memanfaatkan lingkungan sekitar dalam pembelajaran. Pada aspek ini guru berupaya memanfaatkan secara maksimal fasilitas-fasilitas yang telah tersedia.
Untuk mengetahui keberhasilan pembelajaran, diperlukan adanya upaya untuk mengetahui tingkat keberhasilan dalam proses pembelajaran melalui
evaluasi. Alat evaluasi yang diusun ini bertujuan untuk mengendalikan, menjamin, dan menetapkan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen
pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan. Dalam pelaksanaannya,
evaluasi tidak hanya diberikan pada akhir pembelajaran, tetapi juga pada saat pembelajaran evaluasi proses, berupa menilai keaktifan siswa dalam mengikuti
pembelajaran seperti keaktifan dalam bertanya, menanggapi pertanyaan,
menanggapi pernyataan, mengerjakan tugas, keaktifan dalam diskusi, dan sebagainya.
Penyusunan alat evaluasi tidak hanya sebatas soal ujian, tetapi juga bisa berupa penugasan-penugasan yang bertujuan untuk mengembangkan kreasi dari
peserta didik melalui pendekatan inquiry, seperti siswa ditugaskan untuk mencari berita tentang peristiwa Gerakan 30 September kemudian siswa ditugaskan untuk
mengulas isi dan memberikan pendapatnya tentang berita tersebut. Artinya peserta didik diberikan peluang untuk melakukan suatu proses penemuan terhadap
berbagai data dan fakta tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965. Penugasan diberikan bisa dalam bentuk karya tulis sederhana tentang berbagai pendapat
tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965. Penekanan pembelajaran dengan critical pedagogy yang membedakan
dengan pembelajaran konvensional terutama terletak pada materi yang disampaikan, pembelajaran, dan sistem evaluasi. Di dalam critical pedagogy
materi baru yang diajarkan adalah materi teori-teori tentang peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965. Selain itu, pembelajaran dilakukan dengan melibatkan
siswa secara aktif untuk berpendapat. Kemudian dalam evaluasi, guru memberikan penilaian tidak hanya dengan pemberian soal, tetapi juga dengan
pemberian tugas mandiri. Dengan demikian melalui critical pedagogy, diharapkan kesadaran sejarah peserta didik akan terwujud, sehingga tidak ada lagi
kekhawatiran adanya “dosa sejarah” berupa vonis bersalah terhadap suatu kelompok masyarakat dan “dendam sejarah” berupa kebencian terhadap dari suatu
kelompok masyarakat kepada kelompok lain akibat suatu peristiwa sejarah.
Secara sederhana, penguatan-penguatan terhadap upaya pemecahan masalah sejarah kontroversial dapat digambarkan dalam skema di bawah
Gambar 8. Upaya Pemecahan Permasalahan Pembelajaran Sejarah Kontroversial dalam Perspektif Critical Pedagogy sumber: diolah dari hasil
penelitian
Secara sederhana dari gambar di atas tampak bahwa upaya pemecahan permasalahan pembelajaran sejarah kontroversial dapat dilakukan apabila ada
komitmen yang kuat dari guru untuk melakukan transformasi pendidikan. Kemudian apabila sudah ada komitmen yang kuat tersebut maka perlu adanya
penguatan dalam beberapa aspek. Penguatan relevansi sejarah kontroversial dan critical pedagogy
dalam kurikulum bertujuan agar pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial memiliki landasan yuridis dan legitimasi kurikulum.
Penguatan terhadap relevansi sejarah kontroversial terhadap perkembangan psikologis peserta didik bertujuan agar pelaksanaan pembelajaran sejarah
kontroversial telah sesuai dengan karakteristik peserta didik, sehingga upaya untuk mencapai kesadaran, pola pikir, dan sikap kritis dapat terwujud. Penguatan
berikutnya adalah penguatan terhadap fungsi dan peran pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy bertujuan menunjukkan urgensi
pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial dan manfaat pelaksanaannya bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. Penguatan keempat terkait dengan
reposisi peran guru dalam pembelajaran sejarah kontroversial yang bertujuan agar guru memiliki pemahaman bahwa ada tugas penting dalam mengemukakan
kebenaran bagi peserta didik. penguatan kelima terkait dengan masalah metode, media, dan sumber belajar yang bertujuan agar pembelajaran sejarah kontroversial
dalam perspektif critical pedagogy dapat berjalan dengan baik. Untuk mendukung terwujudnya pembelajran yang optimal dan pencapaian
tujuan pembelajaran secara efektif diperlukan adanya upaya lain selain dari guru. Hal ini disebabkan upaya untuk menyelesaikan permasalahan dalam pendidikan
sejarah tidak hanya oleh satu faktor saja, tetapi juga oleh berbagai faktor. Dalam rangka mewujudkan pembelajaran yang optimal perlu peran serta secara aktif dari
komponen-komponen penopang dalam pendidikan sejarah, yakni 1 pemerintah sebagai penentu kebijakan, 2 Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
LPTKPerguruan tinggi sebagai pusat informasi pendidikan dan kesejarahan, 3 organisasi profesi sebagai sarana bertukar pikiran, bertukar informasi,
pengembangan profesi dalam hal ini adalah MGMP [Musyawarah Guru Mata Pelajaran] untuk guru, serta MSI [Masyarakat Sejarawan Indonesia] atau
organisasi profesi kesejarahan lainnya, 4 praktisi pendidikan atau guru sebagai pelaksana proses pendidikan, 5 media massa sebagai media informasi, sekaligus
memiliki fungsi kritik bagi pemerintah, serta 6 masyarakat, yang memiliki
fungsi kontrol terhadap kebijakan pemerintah, menjadi subjek dan objek pengembangan dan transformasi pendidikan sejarah.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan pendidikan sejarah yang mewujudkan kesadaran sejarah peserta didik harus ada peran optimal dari segenap komponen
yang ada. Upaya yang dilakukan oleh keenam komponen di atas harus berjalan secara serempak dan sinambung, di mana terjadi upaya sadar dari semua
komponen, baik oleh pemerintah melalui strategi top down, ataupun strategi bottom up
oleh komponen lain nonpemerintah. Strategi top down yang dilakukan pemerintah dengan cara mengeluarkan kebijakan yang mendukung pelaksanaan
pembelajaran sejarah kontroversial, seperti tidak melakukan intervensi yang terlalu jauh dalam pendidikan sejarah. Selain itu pemerintah harus mengeluarkan
satu bahan ajar standar yang digunakan oleh guru dalam mengajarkan sejarah kontroversial. Hal ini disebabkan selama ini belum ada bahan ajar standar yang
dijadikan pegangan oleh guru dalam mengajarkan materi sejarah kontroversial. Pemerintah perlu melakukan kategorisasi materi-materi sejarah yang dianggap
kontroversial, kemudian melakukan suatu ulasan yang menyeluruh tentang peristiwa tersebut.
Strategi top down yang juga dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menjaring aspirasi dari masyarakat serta komponen lainnya secara aktif. Dalam
pendidikan sejarah, intervensi pemerintah hendaknya tidak terlalu dalam dan memberikan peluang bagi peserta didik untuk berpikir secara kritis. Dalam materi
tentang G 30 S misalnya, kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada dasarnya justru menutup kesepatan bagi siswa untuk berpikir secara kritis. Hal ini
disebabkan sejarah yang diajarkan di sekolah adalah sejarah versi pemerintah, di mana di sana ditetapkan bahwa PKI menjadi tersangka utama. Hal ini tentu saja
belawanan dengan kaidah keilmuan yang dalam perkembangannya muncul beberapa versi tentang siapa yang ada di belakang peristiwa kelam tahun 1965
tersebut. Alasan yang dikemukakan oleh pemerintah tentang dituliskannya PKI di belakang G 30 S menjadi G 30 SPKI pada kurikulum 2006 ini, dilandasi adanya
upaya dari pemerintah untuk menjaga stabilitas. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah bahwa dalam pengajarannya, peserta didik tidak diberikan
teori lain selain teori bahwa yang menjadi dalang adalah PKI. Hal ini mengakibatkan pendidikan sejarah berkaitan dengan peristiwa tahun 1965 ---dan
mungkin beberapa peristiwa sejarah yang kontroversial lainnya--- menjadi tidak berimbang.
Strategi bottom up yang dilakukan oleh komponen nonpemerintah adalah dari pihak LPTKPerguruan tinggi dengan melakukan upaya pemberian informasi
tentang pendidikan dan kesejarahan mutakhir kepada semua pihak, baik secara langsung ataupun melalui media massa. Hal ini disebabkan LPTK memiliki peran
dalam membangun dan mengembangkan kemampuan guru untuk memungsikan dirinya selaku agen penginternalisasi pesan-pesan kesejarahan universal kepada
peserta didik. Pihak organisasi profesi juga memiliki peran sebagai pengembang profesi,
sarana pertukaran informasi dan gagasan. Taufik Abdullah 1997 meyatakan bahwa ada beberapa peran MSI atau organisasi keilmuan lainnya yakni 1
organisasi keilmuan dan profesi mengembangkan kepada kita suasana alternatif
yang relatif terbebas dari ikatan struktural dan ikatan formal masing-masing 2 forum kesejawatan dan forum teman sejawat. Dalam forum dialog inilah anggota-
anggota yang ada di dalamnya berkesempatan mengajukan hasil penelitian baru dan memberikan ide-ide tentang ilmu dan pengetahuan kita, 3 organisasi
keilmuan meurpakan saluran komunikasi tentang berbagai peristiwa keilmuan, baik yang terjadi di dalam maupun di luar bidang kelmuan itu sendir, 4 menjadi
forum sebagai penjaga the standard excelence dari penerjaan keilmuan, 5 menjaga intelectual integrity, 6 ‘mempersiapkan sejarawan memberikan
sumbangannya kepada masyarakat” Tafik Abdullah, 1997. Melalui organisasi profesi dapat dilakukan pengembangan desain pembelajaran sejarah, memberikan
masukan kepada pemerintah, serta menyebarluaskan informasi kepada masyarakat melalui media massa.
Selain organisasi profesi kesejarahan ada pula organisasi profesi guru. Berkaitan dengan ini, Tilaar 2002 menyatakan bahwa “kewibawaan profesional
guru bukan hanya di dalam hal urusan organisasi pekerja, tetapi juga menjadi kekuatan moral untuk meningkatkan tugas pelayanan, melaksanakan dan
mengontrol pelaksanan kode etik, dan meningkatan peran profesional guru dalam dewan pendidikan sekolah”.
Komponen nonpemerintah lain yang memiliki peran dalam mewujudkan transformasi pendidikan sejarah menuju pendidikan sejarah yang mewujudkan
kesadaran kritis peserta didik adalah media massa. Media massa merupakan satu sarana yang digunakan oleh semua komponen untuk menyebarluaskan informasi
agar diterima khalayak. Media massa menjadi jembatan dari semua komponen,
baik berupa aspirasi dari masyarakat kepada pemerintah, sarana komunikasi antarmasyarakat atau antarkomponen, serta sosialisasi kebijakan dari pemerintah
kepada masyarakat. Komponen lain dari keenam komponen yang memiliki peran penting
adalah masyarakat. Hal ini disebabkan masyarakat inilah yang menjadi sasaran dalam proses transformasi pendidikan sejarah. Masyarakat juga menjadi objek
yang melakukan transformasi, di mana masyarakat menjadi bagian dari komponen yang lain, baik itu LPTK, praktisi, organisasi profesi ataupun pihak media massa.
Masyarakat memiliki peran strategis bagi terwujudnya transformasi pendidikan sejarah. Hal ini disebabkan tanpa adanya dukungan dari masyarakat yang
memiliki fungsi kontrol terhadap pemerintah, upaya mewujudkan transformasi tersebut tidak akan berhasil. Oleh karena itu, tugas yang utama dan pertama yang
dilakukan oleh semua komponen terhadap masyarakat agar terwujud transformasi pendidikan sejarah adalah dengan menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat
tentang realitas yang terjadi. Komponen yang terakhir yang melaksanakan strategi bottom up dalam
rangka transformasi pendidikan sejarah menuju pendidikan sejarah yang mewujudkan kesadaran sejarah peserta didik adalah praktisi pendidikan atau guru.
Praktisi pendidikan merupakan ujung tombak dalam pelakasnaan proses pendidikan sejarah. Hal ini disebabkan praktisi pendidikan atau guru sejarah
adalah pihak yang berhubungan langsung dengan masyarakatpeserta didik. Dikaitkan dengan upaya pengajaran sejarah yang bersifat kontroversial dalam
kelas sejarah, peran guru menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan gurulah yang
memberikan informasi kepada peserta didik tentang sejarah yang kontroversial. Peran guru menjadi sangat penting dalam proses pendidikan sejarah disebabkan
dalam kurikulum 2006, guru memiliki wewenang yang luas untuk mengembangkan materi ajarnya. Oleh karena itu, hal yang dilakukan adalah
dengan melakukan perbaikan desain pembelajaran, mulai dari merumuskan tujuan pembelajaran, menyusun alat evaluasi, menentukan kegiatan belajar mengajar,
mengembangkan program kegiatan belajar mengajar, dan melaksanakan program belajar mengajar. Upaya dari aspek guru dalam pembelajaran sejarah akan diulas
dalam pembahasan selanjutnya. Berikut adalah pola hubungan yang sinergis dari keenam komponen penopang pendidikan sejarah.
Gambar 9. Pola hubungan Sinergis Enam Komponen Penopang Pendidikan Sejarah sumber: diolah dari hasil penelitian
Upaya yang dilakukan dari dua arah ini top down and bottom up akan mempercepat terwujudnya transformasi pendidikan sejarah. Namun demikian,
ORGANISASI PROFESIKEILMUAN
LPTKPERGURUAN TINGGI
PRAKTISI PENDIDIKAN
MEDIA MASSA
MASYARAKAT PEMERINTAH
prasayarat utama yang harus dipenuhi adalah setiap komponen harus terhindar dari segala bentuk kepentingan pribadi. Antarkomponen penopang memiliki
keterkaitan, kerja sama, dan hubungan yang timbal balik. Apabila hubungan timbal balik dari tiap komponen itu tidak terjadi maka proses pendidikan sejarah
tidak akan berjalan seperti yang diharapkan. Semua komponen harus menjalankan tugasnya sesuai dengan tujuan dan fungsinya. Hal ini bertujuan agar proses
transformasi pendidikan sejarah menuju ke arah yang ideal bisa secara mudah diwujudkan.
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN