Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Penelitian yang Relevan

pelaksanaan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial, sehingga dapat menghasilkan masukan-masukan baru dalam pendidikan sejarah yang bertujuan untuk menumbuhkan pola pikir dan kesadaran kritis peserta didik.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah 1. Bagaimana pemahaman guru-guru sejarah terhadap critical pedagogy sebagai pendekatan dalam pembelajaran sejarah kontroversial? 2. Bagaimana implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial? 3. Apa kendala yang ditemui guru dalam implementasi critical pedagogy pada pembelajaran sejarah kontroversial? 4. Bagaimana pandangan dan apresiasi peserta didik terhadap implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial?

C. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah di atas, tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut, 1. Mengetahui pemahaman guru-guru sejarah terhadap critical pedagogy sebagai pendekatan dalam pembelajaran sejarah kontroversial. 2. Mendeskripsikan implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial. 3. Mendeskripsikan kendala yang ditemui guru dalam implementasi critical pedagogy pada pembelajaran sejarah kontroversial. 4. Mengetahui pandangan dan apresiasi peserta didik terhadap implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini memberikan satu kajian ilmiah tentang pembelajaran sejarah kontroversial ditinjau dari perspektif critical pedagogy. Kajian tentang pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy di Indonesia masih sangat jarang, sehingga penelitian ini dapat digunakan sebagai perbandingan dan acuan dalam penelitian selanjutnya tentang penerapan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan masukan bagi guru tentang pendekatan dalam pembelajaran sejarah kontroversial dengan penerapan critical pedagogy. b. Bagi pihak sekolah dan pemerintah dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan kebijakan dalam pembelajaran sejarah, terutama sejarah yang bersifat kontroversial. BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Teori

1. Critical Pedagogy

a. Konsep-Konsep Dasar Critical Pedagogy

Critical pedagogy merupakan pendekatan dalam pendidikan yang menempatkan peserta didik untuk mampu menghadapi dominasi. Critical pedagogy dalam diskursus pendidikan disebut juga “aliran kiri” karena orientasi politiknya berlawanan dengan ideologi konservatif dan liberal Agus Nuryatno, 2008: 1. Jika dalam pandangan konservatif pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal untuk perubahan moderat dan cenderung bersifat mekanis, maka paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada Mansour Fakih, 2001: xvi. Paulo Freire yang dikutip Monchinski 2008: 2 menjelaskan bahwa “… make oppression and its causes objects of reflection by the opressed with the hope that from that reflection will come liberation ”. Pandangan Paulo Freire melihat bahwa critical pedagogy pada dasarnya adalah sebuah refleksi terhadap ketertidasan dan berbagai alasan yang menyebabkannya, sehingga dengan refleksi itu diharapkan akan menuju pada kebebasan. 12 Ira Shor http:en.wikipedia.orgwikiCritical_pedagogy, 25 Mei 2009, seorang tokoh dalam pendidikan kritis, mendefinisikan critical pedagogy sebagai … habits of thought, reading, writing, and speaking … to understand the deep meaning, root causes, social context, ideology, and personal consequences of any action, event, object, process, organization, experience, text, subject matter, policy, mass media, or discourse . Critical pedagogy merupakan kebiasaan berpikir, membaca, menulis, dan mengungkapkan sesuatu untuk memahami makna yang terdalam, memahami akar permasalahan berdasarkan konteks sosial, ideologi, dan pemahaman personal atas segala macam kegiatan, peristiwa, objek, proses, organisasi, pengalaman, teks, pokok bahasan, kebijakan, media massa, maupun wacana. Henry Giroux yang dikutip Monchinski 2008: 2 menyatakan bahwa critical pedagogy sama dengan political pedagogy, artinya adalah critical pedagogy menyatakan bahwa proses pendidikan pada dasarnya bersifat politik, yang bertujuan untuk mewujudkan sebuah keterhubungan, kesepahaman, dan keterpautan secara kritis dengan berbagai isu-isu sosial dan bagaimana memaknainya. Dengan demikian, peserta didik tidak hanya melakukan sebuah sikap yang kritis tetapi juga cukup tanggap untuk “bertarung” dengan kondisi politik dan ekonomi sehingga mampu mewujudkan sebuah demokratisasi. Critical pedagogy merupakan pandangan yang bersifat transdisiplin dan banyak dipengaruhi oleh beberapa pemikiran seperti Marxisme, teori kritis Mazhab Frankfurt, feminisme, pascakolonialisme, pascastrukturalisme, media studies, cultural studies, anti-racis studies, dan pascamodernisme. Critical pedagogy dipengaruhi pula oleh pemikiran Antonio Gramsci tentang pengetahuan dan hegemoni, serta Paulo Freire tentang pendidikan kaum tertindas Listyana, Lavandez, Nelson, 2004: 9; Agus Nuryatno, 2008: 4. Sebagai pendekatan dalam pendidikan, critical pedagogy telah mulai muncul pada tahun 1960-an dan berkembang secara luas di Amerika Serikat sekitar 30 tahun yang lalu sebagai pendekatan pembelajaran yang menyediakan inovasi pembelajaran untuk pemberdayaan peserta didik. Pendekatan ini mulai dikenalkan oleh Paulo Freire dan beberapa teoretisi pendidikan lain yang berpengaruh terhadap pembelajaran dan aktivitas di akar rumput, dan banyak mengawali transformasi pendidikan yang bertujuan untuk menghubungkan antara teori dan praktik sebagai upaya pemberdayaan masyarakat Ochoa Lassalle, 2008: 2. Di dalam pemikirannya, critical pedagogy merupakan pengembangan dari pemikiran-pemikiran Paulo Freire. H.A.R. Tilaar 2002: 236 menjelaskan bahwa secara singkat filsafat pendidikan Paulo Freire menekankan pada tiga hal, yaitu 1 masalah penindasan, 2 ketergantungan pada bekas penjajah atau sumber-sumber pengetahuan eksternal dalam pengambilan keputusan politik, ekonomi, dan juga pendidikan, 3 orang-orang yang tersisih atau termarginalisasi yang membentuk “budaya bisu”. Oleh karena itu, konsep-konsep yang dikembangkan dan tujuan yang hendak dicapai dalam critical pedagogy pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pemikiran Freire tersebut. Peter Mc Laren dalam Agus Nuryatno 2008: 1-2 menyatakan walau pemikiran ini tidak merepresentasikan satu gagasan yang tunggal dan homogen, terdapat satu tujuan yang sama dalam critical pedagogy. Tujuan tersebut adalah memberdayakan kaum tertindas dan mentransformasi ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat melalui media pendidikan. Transformasi tersebut dilakukan dengan melakukan pemahaman terlebih dahulu terhadap konteks sosiopolitik dan melakukan demokratisasi dalam konteks yang lebih luas Fischman Mc Laren, 2005: 425. Dengan demikian, tidak ada lagi ketimpangan, karena cita-cita yang diinginkan adalah adanya kesetaraan dan keadilan. Critical pedagogy memberikan titik kajian pada hubungan antara pendidikan dan politik, relasi antara kehidupan sosial-politik dan praksis pendidikan, antara reproduksi atas struktur hierarkis yang saling berkaitan, antara kekuasaan dan keistimewaan dalam ranah yang terjadi dalam kehidupan sosial keseharian dan dalam ruang kelas, serta institusi-institusi pendidikan Fischman Mc Laren, 2005: 425. Pemikiran ini dilandasi sebuah anggapan bahwa pendidikan tidaklah berada pada ruang hampa yang menyebabkan pendidikan tidak dapat dipahami dalam bingkai analisis ekonomi dan keadaan politik yang lebih luas Listyana, Lavandez, Nelson, 2004: 3. Atas dasar pandangannya yang bersifat menyeluruh, maka tidak ada satu gagasan yang berifat tunggal dan homogen dalam critical pedagogy . Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pelaksanaan critical pedagogy berbasis pada keadilan dan kesetaraan. Oleh karena itu, pendidikan tidak hanya berkutat pada masalah sekolah, kurikulum, dan kebijakan pendidikan, tetapi juga tentang keadilan sosial dan kesetaraan Agus Nuryatno, 2008: 3. Ditinjau dari aspek kajiannya, critical pedagogy merupakan bagian dari ideologi kritis dalam pendidikan. Pada ideologi kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap the dominant ideology ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Mansour Fakih 2001: xvii menjelaskan bahwa tugas utama pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil. Pendekatan kritis berorientasi pada terwujudnya kesadaran kritis dari peserta didik agar mampu mengidentifikasi ketidakadilan dalam sistem dan struktur yang ada, kemampuan manganalisis bagaimana struktur dan sistem itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya dalam kehidupan bermasyarakat. Hal penting yang dibangun dalam critical pedagogy adalah kesadaran kritis peserta didik agar mereka mampu mendemistifikasi kepentingan ideologis yang menyelimuti realitas Agus Nuryatno, 2008: 2. Kesadaran kritis menurut Marthen Manggeng 2005: 43 ditandai dengan “kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab akibat”. Seseorang dengan kesadaran kritis diharapkan mampu menyingkap fenomena-fenomena tesembunyi yang melampaui asumsi- asumsi yang hanya berdasarkan common sense Agus Nuryatno, 2008: 2- 3. Paulo Freire dalam Au, 2007: 3 menyatakan bahwa kesadaran itu penting terhadap manusia karena manusia “are not only in the world, but with the world and have the capacity to adapt… to reality plus the critical capacity to make choices and transform that reality ”. Artinya adalah bahwa manusia tidak hanya di dunia, tetapi di dalam dunia dan memiliki kapasitas untuk menyesuaikan diri terhadap realitas dan memiliki kemampuan kritis untuk membuat pilihan dan mengubah realitas. Untuk mencapai kesadaran dibutuhkan adanya proses yang disebut penyadaran atau conscientization. Penyadaran diartikan sebagai belajar memahami kontradiksi sosial, politik, dan ekonomi, serta mengambil tindakan untuk melawan unsur-unsur yang menindas dari realitas tersebut Freire, 2008: 1. Senada dengan itu, Pepi Leistyana 2004: 17 menjelaskan bahwa penyadaran adalah “ability to analize, problematize pose questions, and affect the sociopolitical, economic, and cultural realities that shape our lives” , yaitu kemampuan untuk menguraikan, mempermasalahkan menyikapi pertanyaan-pertanyaan, dan memberikan suatu sentuhan perasaan terhadap keadaan sosiopolitik, ekonomi, dan realitas kebudayaan yang melingkupi hidup kita. Proses penyadaran ini menurut Paulo Freire 2008: 2-3 memungkinkan seseorang untuk memasuki proses sejarah sebagai subjek-subjek yang bertanggung jawab, dan mengantarkan mereka masuk ke dalam pencapaian afirmasi diri sendiri sehingga menghindarkan fanatisme. Agus Nuryatno 2008: 9 menjelaskan bahwa proses penyadaran menjadikan seseorang memiliki critical awareness , sehingga mampu melihat secara kritis kontradiksi- kontradiksi sosial yang ada di sekelilingnya dan mengubahnya. Dalam critical pedagogy, satu kata kunci yang melingkupi keseluruhan landasan, pelaksanaan, dan upaya pencapaian tujuannya adalah adanya “kritik”. Kritik dalam konteks critical pedagogy berarti “usaha-usaha untuk mengemansipasi diri dari penindasan dan alienasi yang dihasilkan oleh hubungan-hubungan kekuasaan di dalam masyarakat, sehingga mampu menyingkap kenyataan sejarah sekaligus hendak membebaskan masyarakat Agus Nuryatno, 2008: 28”.

b. Critical Pedagogy dalam Konteks Indonesia

Critical pedagogy merupakan sebuah padangan yang lahir dan berkembang di luar negeri, maka untuk penerapannya di Indonesia perlu ada penyesuaian-penyesuaian terhadap konteks Indonesia. Penyesuaian terhadap konteks Indonesia dibutuhkan karena pada dasarnya critical pedagogy tidak dapat lepas dari konteks di mana ia diterapkan. Ini karena critical pedagogy mencoba melakukan pemaknaan terhadap berbagai isu sosial yang terjadi di masyarakat Monchinski, 2008: 2. Penyesuaian terhadap konteks lokalitas tertentu di mana critical pedagogy tersebut diterapkan sesuai dengan padangan dari Giroux yang dikutip Tilaar 2002: 249-253 bahwa ada beberapa prinsip yang mendasar dalam critical pedagogy, yakni 1 Pendidikan bukan hanya terbatas kepada menghasilkan ilmu pengetahuan, melainkan juga melahirkan subjek politik, yakni masyarakat yang mempunyai dan mampu memanfaatkan hak-hak politiknya; 2 Etika merupakan masalah sentral di dalam masyarakat demokratis karena masyarakat tanpa etika tidak mungkin melahirkan suatu masyarakat demoktastis secara substansial; 3 Perlu lahir mekanisme pertukaran ide secara terbuka melalui proses yang komunikatif dan dialogis; 4 Kebudayaan bukanlah suatu yang telah ditetapkan melainkan suatu diskursus mengenai kekuasaan dan ketidakadilan; 5 Mengedepankan isu mengenai ke-bhineka-an dalam masyarakat yang menekankan pada pentingnya toleransi dengan win-win solution ; 6 Kebenaran yang berlaku di dalam suatu masyarakat mempunyai akar di dalam sejarah dan merupakan konstruksi sosial; 7 Mengembangkan sikap kritis yang ditindaklanjuti dengan mengungkapkan adanya kemungkinan-kemungkinan yang tersedia; 8 Guru berperan bukan hanya sebagai sarana produksi dari ideologi dan praktik sosial yang ada, melainkan juga membantu membuka cakrawala melalui pemikiran- pemikiran kritis terhadap kehidupan ideologi dan sosial yang hidup di masyarakat. Dari prinsip-prinsip di atas, tampak bahwa konteks di mana critical pedagogy diterapkan banyak memberikan pengaruh terhadap praksisnya dalam pendidikan dan pembelajaran. Etika menjadi satu faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran. Berkait dengan hal itu Antonio Gramsci yang dikutip Tilaar 2002: 254 menyatakan bahwa “… etika merupakan jiwa dari pedagogik yang membebaskan. Tanpa etika, pedagogik akan menjadi tumpul dan tidak peka terhadap ketimpangan-ketimpangan yang ada di masyarakat.” Dalam konteks Indonesia aspek yang diperhatikan dalam penerapan critical pedagogy adalah bahwa dalam masyarakat berkembang konsep pemikiran yang diidealkan, yakni nilai-nilai Pancasila. Tilaar 2002: 199 menyebutkan ada beberapa nilai yang disandang oleh manusia Indonesia berdasarkan Pancasila yakni 1 Manusia yang memiliki landasan moral dan etika; 2 Mengapresiasi hak asasi manusia, toleransi dan kerjasama global untuk kemakmuran dan perdamaian; 3 Saling menghargai perbedaan, menjunjung persatuan, menghormati simbol- simbol negara persatuan, serta bangga sebagai orang Indonesia; 4 menjunjung nilai-nilai demokrasi, populis, serta penerapan teknologi untuk kemakmuran rakyat, serta; 5 memiliki rasa solidaritas sosial sebagai bangsa dan gotong royong menanggulangi permasalahan nasional. Oleh karena itu, penerapan critical pedagogy tidak boleh lepas dari kerangka pemikiran bahwa manusia yang dididik adalah manusia Indonesia yang telah berada pada satu konteks pemikiran sosiokultural yang membingkai kehidupan dan keseharian masyarakat menuju manusia Indonesia baru. H.A.R. Tilaar 2002: 79 menyebutkan ada beberapa aspek yang menjadi ciri dari manusia Indonesia baru. Konsep manusia Indonesia baru ini merupakan sebuah gambaran ideal tentang konsep manusia yang diharapkan dalam kondisi sosial yang senantiasa mengalami perubahan melalui pendidikan dan pembelajaran. Dengan demikian, jika critical pedagogy diterapkan di Indonesia maka diharapkan tidak terlepas dari konteks manusia Indonesia baru tersebut, yakni 1 Lahirnya masyarakat demoktaris dan terbuka serta toleran; 2 Manusia dan masyarakat yang cerdas; 3 Partisipasi masyarakat dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial; 4 Revitalisasi budaya lokal; 5 Lahirnya nasionalisme yang “genuine” dalam perkembangan kapital sosial; 6 Ekonomi berdasarkan ilmu pengetahuan dan sumber lokal; 7 Lahirnya masyarakat telematika; 8 Pelestarian dan pemanfaatan sumber daya alam daerah; 9 Sumber daya manusia berkualitas dan mampu bersaing dalam dunia regional dan global; 10 Anggota masyarakt global yang berbudaya. Tilaar, 2002: 79 Selain itu, penerapan critical pedagogy pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan nasional seperti tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, yakni manusia yang “beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

c. Critical Pedagogy dan Praksis Pembelajaran Sejarah

Di dalam pendidikan sejarah, critical pedagogy memiliki fungsi untuk mengubah ketidaksetaraan hubungan yang muncul akibat kekuasaan di dalam kelas maupun dalam masyarakat. Dengan demikian, critical pedagogy mencoba melakukan pendekatan yang lebih lentur untuk mendekonstruksi struktur hierarkis yang melemahkan demokratisasi dalam kelas, melakukan redefinisi atas pengetahuan, memahami bagaimana pengetahuan itu dibuat, serta mengubah ketidakadilan Ochoa Lassale, 2008: 1. Pada pendidikan sejarah, secara lebih operasional Kuntowijoyo 1995: 2 menyatakan bahwa pendidikan sejarah yang diberikan secara kritis pada dasarnya menyangkut tiga hal, yakni aspek 1 mengapa sesuatu terjadi, 2 apa yang sebenarnya terjadi, serta 3 ke mana arah kejadian-kejadian itu. Dari pemikiran tersebut, Tsabit Azinar Ahmad dkk. 2008: 12 menyatakan bahwa kandungan yang harus terdapat dalam critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah meliputi aspek 1 kausalitas, 2 kronologis, 3 komprehensif, serta 4 kesinambungan. Aspek kausalitas menggambarkan kondisi masyarakat dalam berbagai aspek yang turut melatarbelakangi terjadinya suatu peristiwa. Aspek kronologis adalah urutan terjadinya suatu peristiwa. Aspek komprehensif yang dimaksud adalah bahwa dalam pembelajaran sejarah kontroversial, berbagai pendapat yang menyatakan tentang peristiwa tersebut harus disampaikan, sehingga pemikiran peserta didik terbuka terhadap suatu peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial. Aspek keempat adalah aspek kesinambungan atau keberlanjutan dan keterkaitan peristiwa tersebut dengan peristiwa lainnya. Hal ini disebabkan peristiwa sejarah memiliki keterkaitan dengan berbagai peristiwa yang terjadi sebelum dan setelahnya. Critical pedagogy di dalam praksisnya menekankan pembelajaran sebagai proses bagaimana memahami, mengkritik, memproduksi, dan menggunakan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memahami realitas dan mengubahnya. Metode yang dipakai adalah kodifikasi dan dekodifikasi. Kodifikasi merupakan proses merepresentasikan fakta yang diambil dari kehidupan peserta didik dan kemudian mempermasalahkannya problematizing dan dekodifikasi adalah proses pembacaan atas fakta- fakta melalui dua metode, yakni deskriptif dan analitis Agus Nuryatno, 2008: 6. Metode deskriptif mencoba untuk memahami surface sctucture, sedangkan analitis digunakan untuk memahami deep structure, sebagai upaya memahami relasi antarkategori dalam membentuk realitas Agus Nuryatno, 2008: 6. Proses yang ditekankan dalam critical pedagogy adalah self reflection dan self actualization Listyana, Lavandez, Nelson, 2004: 10. Tahap refleksi mempertanyakan “mengapa sesuatu itu bisa terjadi” sementara tahap aktualisasi yang merupakan proses kontekstualisasi menekankan pada pertanyaan “bagaimana keterkaitan dengan kehidupan di sekitar saya?”, “bagaimana harus menyikapi permasalahan tersebut?”. Oleh karena penekanannya pada aspek pengembangan peserta didik, pembelajaran berada pada pertanyaan how to think bukan what to think . Aspek what to think lebih menekankan pada aspek materi. Sementara itu, how to think lebih menekankan pada proses atau metodologi pada aktivitas pembelajaran daripada aspek materi. Dengan demikian, proses berpikir, berdebat, berargumentasi, mengapresiasi pendapat, menjadi lebih penting daripada materi pelajaran itu sendiri. Hal ini disebabkan dalam proses tersebut akan terjadi kritisisme, sharing ideas, saling menghargai dan assesment terhadap pengetahuan Agus Nuryatno, 2008: 8. Guru dalam critical pedagogy tidak dianggap sebagai pusat segalanya. Ia bukan satu-satunya sumber pemilih otoritas kebenaran dan pengetahuan dan penguasa tunggal atas kelas. Guru dan murid sama-sama learner , subjek yang belajar bersama. Isi atau materi pelajaran dalam critical pedagogy tidak semata-mata hak prerogatif guru, kepala sekolah, atau para ahli tanpa melibatkan peserta didik. Pendekatan bottom up lebih dipilih dalam mengkonstruksi isi pembelajaran. Hal ini bertujuan agar pendidikan lebih bermakna dan agar peserta didik paham dengan realitas hidup yang sebenarnya Agus Nuryatno, 2008: 7. Posisi guru dalam critical pedagogy harus mampu mengarahkan peserta didik untuk memahami keterkaitan antara teori dan praktik atau antara refleksi dan aksi. Konsep ini dalam critical pedagogy dikenal dengan istilah “praxis” Listyana, Lavandez, Nelson, 2004: 7. Program yang dirancang oleh guru harus mampu mengembangkan critical languages untuk menjelaskan dunia yang melingkupi kehidupan keseharian masyarakat, tentang mengapa dan bagaimana sesuatu hal terjadi dalam kehidupan masyarakat. Di dalam pelaksanaannya, ada pertanyaan yang harus dipahami oleh guru, seperti “apa kacamata ideologis yang digunakan untuk melihat realitas sosial yang terjadi?”, “bagaimana cara kita merasakan aspek sosial, politik, ekonomi, dan institusional yang melingkupi kehidupan kita?”, bagaimana kita dapat mengenali dan melihat hubungan dan penyalahgunaan power dan berapa besar tingkat signifikansinya dalam dunia pendidikan dan dalam kehidupan masyarakat?” Listyana, Lavandez, Nelson, 2004: 8. Sejarah dalam perspektif critical pedagogy tidak bersifat unidimensional Carr, 2008: 86. Guru dan peserta didik harus memahami bahwa sejarah adalah multidimensional, sehingga dibutuhkan padangan yang multiperspektif bahwa sejarah adalah dilingkupi, didefinisikan, ditampilkan, dan dihubungkan dengan konteks pada saat ini. Artinya terdapat aspek kesinambungan dalam sejarah dan adanya sifat sejarah yang multiinterpretasi. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pembelajarannya, guru harus memiliki perhatian terhadap konstruksi dan interpretasi yang beragam dari sejarah Carr, 2008: 86. Penerapan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah dilakukan dengan mengutamakan proses dialogis dan bersifat kontekstual. Konsep pedagogis yang digunakan terutama mengacu pada konsep yang dikembangakan oleh Paulo Freire. Paulo Freire 2008: 51 mengecam adanya konsep pendidikan “gaya bank” yang menganggap peserta didik sebagai tempat penyimpanan pengetahuan belaka. Pendidikan “gaya bank” merupakan proses belajar mengajar ketika guru tidak memberikan pengertian kepada peserta didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada peserta didik untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Peserta didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya mereka itu sendiri yang “disimpan” sebab miskinnya daya cipta. Oleh karena itu, pendidikan “gaya bank” menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia Marthen Manggeng, 2005: 42. Model pendidikan “gaya bank” kemudian melahirkan kebudayaan bisu sebagai dampak dari berhentinya proses berpikir kritis akibat pendidikan yang satu arah dan tidak dialogis. Hal ini bertentangan pula dengan konsep masyarakat ideal model J. Habermas yang menghendaki terwujudnya masyarakat yang rasional. Proses pendidikan yang dilakukan dalam pembelajaran sejarah dengan pendekatan critical pedagogy mengacu pada kosep pendidikan “hadap masalah” seperti yang diterapkan oleh Paulo Freire 2008: 64. Pendidikan yang membebaskan dengan konsep “hadap masalah” bukan berisi pengalihan-pengalihan informasi transfers of knowledge, melainkan berisi laku-laku pemahaman acts of cognition. Konsep berpikir tersebut sesuai dengan konsep pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi peserta didik. Oleh karena itu, pendidikan sejarah senantiasa diajarkan dengan model kontekstual. Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap- masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada naradidik supaya ada kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi, dan politik Marthen Manggeng, 2005: 42. Utomo Dananjaya 2005: 57 menjelaskan bahwa pendidikan “gaya bank” adalah metode pendidikan yang tidak dialektis atau searah. Paulo Freire 2008: 63 menawarkan metode pendidikan dengan mengembangkan kesadaran ke arah keterbukaan, yaitu proses pendidikan terdiri atas guru yang murid, dan murid yang guru serta realitas dunia. Pendidikan yang benar adalah pendidikan yang harus menjadi kekuatan penyadaran dengan pembebasan, yaitu pendidikan “hadap masalah”. Pendidikan “hadap masalah” adalah proses kodifikasi dan dokumentasi, diskusi kultural, dan aksi kultural. Dengan pendekatan semacam itu, guru dan murid dibawa kepada dedikasi yang sesungguhnya, yaitu kemampuan untuk mengerti secara kritis mengenai dirinya sendiri dan dunianya Utomo Dananjaya, 2005: 58.

d. Implementasi Critical Pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah

Implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah dapat ditinjau dari beberapa aspek. Aspek tersebut dilihat dari unsur-unsur dalam pembelajaran meliputi 1 tujuan, 2 subjek belajar, 3 materi pelajaran, 4 strategi pembelajaran, 5 media pembelajaran, 6 evaluasi, dan 7 penunjang Ahmad Sugandi dkk., 2004: 28-30. Ditinjau dari aspek tujuan, implementasi dilakukan dengan menyusun tujuan pembelajaran yang sesuai dengan critical pedagogy, yakni dengan menerapkan aspek kesetaraan dan keadilan. Tujuan-tujuan yang disusun dalam pembelajaran sejarah sedapat mungkin mengakomodasi aspek-aspek keadilan dan kesetaraan. Artinya tujuan pembelajaran sejarah dengan pendekatan critical pedagogy diarahkan pada terbentuknya kesadaran kritis peserta didik dan demokratisasi. Oleh karena itu, prinsip keterbukaan, keterkaitan dengan realitas yang terjadi di lingkungan sekitar, dan berbagai permasalahan masyarakat menjadi hal yang diangkat dalam tujuan pembelajaran sejarah. Aspek selanjutnya dalam implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah dilihat dari aspek subjek belajar, yakni guru dan peserta didik. Dalam perspektif critical pedagogy posisi antara guru dan peserta didik sama-sama sebagai learner, artinya tidak ada dominasi peran antara guru dan peserta didik. Dalam membangun komunikasi di antara keduanya, harus terjadi proses yang dialogis, sehingga terjadi proses yang saling mengisi. Guru tidak lagi berperan sebagai satu-satunya sumber dalam pembelajaran. Ditinjau dari aspek materi, terutama pada pembelajaran sejarah kontroversal, S.K. Kochhar 2008: 454-455 memberikan beberapa batasan pemilihan, yakni 1 topik yang diangkat berada dalam batas kompetensi kelompok, artinya disesuaikan dengan kemampuan guru dan peserta didik, 2 topik yang diminati dan penting bagi kelas, 3 isu yang tidak terlalu “panas” pada saat ini, karena ada kekhawatiran munculnya pretensi, dan justifikasi, 4 isu yang pembahasannya tidak memakan banyak waktu, serta 5 isu dengan materi yang memadai. Strategi yang diterapkan dalam pembelajaran sejarah dengan pendekatan critical pedagogy pada dasarnya bersifat fleksibel. Namun demikian, ada dua hal yang diperhatikan, yakni model pembelajaran harus bersifat dialogis dan kontekstual Freire, 2008: 51. Pada pelaksanaan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah, konstruktivisme dapat dijadikan salah satu landasan dalam pelaksanaan pembelajaran. Agar pembelajaran menjadi bermakna, pembelajaran harus berpusat pada peserta didik student centered artinya adalah guru memberikan peluang dari siswa untuk berapresiasi, bisa dalam bentuk kegiatan diskusi, debat, tugas mandiri, dan sebagainya. Kemudian, penggunaan variasi model dan media juga menjadi hal yang diperhatikan dalam pembelajaran agar peserta didik mudah dalam melakukan visualisasi, interpretasi, dan generalisasi Tsabit Azinar Ahmad dkk., 2008: 25. Implementasi critical pedagogy dalam aspek evaluasi pada prinsipnya menekankan bahwa evaluasi tidak hanya diberikan pada akhir pembelajaran, tetapi juga pada saat pembelajaran evaluasi proses, berupa menilai keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran seperti keaktifan dalam bertanya, menanggapi pertanyaan, menanggapi pernyataan, mengerjakan tugas, serta keaktifan dalam diskusi Tsabit Azinar Ahmad dkk., 2008: 29. Penyusunan alat evaluasi tidak hanya sebatas soal ujian, tetapi juga bisa berupa penugasan-penugasan yang bertujuan untuk mengembangkan kreasi dari peserta didik melalui pendekatan inquiry, seperti siswa ditugaskan untuk mencari berita tentang peristiwa Gerakan 30 September kemudian siswa ditugaskan untuk mengulas isi dan memberikan pendapatnya tentang berita tersebut. Artinya peserta didik diberikan peluang untuk melakukan suatu proses penemuan terhadap berbagai data dan fakta tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965. Penugasan diberikan bisa dalam bentuk karya tulis sederhana tentang berbagai pendapat tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965 Tsabit Azinar Ahmad, 2008: 29. Aspek penunjang dalam pembelajaran meliputi fasilitas-fasilitas pembelajaran. Implementasi critical pedagogy pada aspek penunjang dapat dilakukan dengan adanya pemanfaatan fasilitas-fasilitas secara maskimal oleh guru. Selain itu, guru juga harus mampu memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai salah satu sumber belajar.

2. Sejarah Kontroversial

Sejarah didefinisikan sebagai rekonstruksi masa lalu Kuntowijoyo, 1995: 17. Sejarah yang dimaksud dalam penelitian ini mencakup pengertian sejarah sebagai kisah, yakni catatan dari kejadian yang dilakukan oleh manusia pada masa lampau. Sementara itu, yang dimaksud dengan kontroversial adalah “perbedaan pendapat; pertentangan karena berbeda pendapat atau penilaian” Badudu dan Sutan Muhammad Zein, 2001: 715. Dengan demikian, sejarah kontroversial dapat diartikan sebagai sejarah yang dalam penulisannya terdapat beberapa pendapat yang berbeda, yang pada akhirnya memunculkan beberapa versi bahkan pertentangan antarversi. Pada sejarah kontroversial, antara pendapat satu dengan pedapat lain masing- masing memiliki landasan yang menurut penulisnya adalah kuat. Sebuah isu dapat menjadi kontroversial karena memberi dampak politik, sosial, maupun personal serta membangkitkan perasaan karena berkaitan dengan hal yang mempertanyakan kepercayaan dan nilai yang dianut Global Citizenship Guides, 2006: 2. Permasalahan tresebut dapat menjadi lebih rumit apabila sulit untuk dijelaskan dan disebabkan adanya perbedaan yang kuat dalam cara pandang terhadap perbedaan karena masalah pengalaman, minat, dan nilai- nilai tertentu. Wellington yang dikutip Cavet 2007: 2 menyatakan bahwa “a controversial issue must: involve value judgements, so that the issues cannot be settled by facts, evidence or experiment alone; be considered important by an appreciable number of people” masalah kontroversial harus: melibatkan penilaian, sehingga masalah tidak dapat diselesaikan oleh fakta, bukti atau percobaan sendiri; dianggap penting oleh jumlah orang yang cukup banyak. Cavet 2007: 2 mengutip The report Teaching controversial issues: A European perspective from the Childrens Identity Citizenship in Europe programme menyatakan bahwa “a controversial issue is one in which: there are competing values and interests; there is political sensitivity; emotions become strongly aroused; the subjectarea is complex; the subjectarea is of topical interest” . masalah kontroversial adalah satu di mana: ada bersaing nilai-nilai dan kepentingan, ada sensitivitas politik; emosi menjadi sangat terangsang; subjekarea adalah kompleks; subjekkawasan adalah kepentingan topikal Sifat kontroversial hampir selalu ada dalam sejarah. Hal ini karena sejarah senantiasa berproses dan bukan sebagai suatu hal yang sudah selesai, sehingga ada kecenderungan munculnya fakta-fakta dan interpretasi- interpretasi baru terhadap suatu peristiwa sejarah Kochhar, 2008: 453. Dengan demikian, terdapat beberapa pendapat yang berbeda tentang suatu peristiwa sejarah, yang pada akhirnya memunculkan beberapa versi. Sejarah kontroversial senantiasa muncul akibat perbedaan pandangan tentang suatu peristiwa di kalangan sejarawan atau masyarakat yang dilandasi perbedaan perolehan sumber sampai dengan masalah interpretasi yang berbeda. Ada beberapa sejarah kontroversial yang disampaikan dalam kelas. Jika ditinjau dari pengaruhnya terhadap masyarakat pada masa sekarang, ada dua jenis sejarah kontroversial. Kategori pertama sejarah kontroversial adalah kontroversi terhadap sejarah yang terjadinya pada kurun waktu yang lama dari sekarang atau disebut juga sejarah nonkontemporer. Kategori kedua adalah sejarah kontroversial yang terjadinya pada masa kontemporer Tsabit Azinar Ahmad, 2008: 119. Sejarah kontroversial kategori pertama menjadi bersifat kontroversial karena adanya perbedaan pendapat, teori, atau pendekatan yang dilakukan sejarawan dalam melakukan penulisan sejarah. Secara umum, adanya perbedaan pandangan itu menurut tipologi Asvi Warman Adam 2007 b: 4 hanya disebabkan adanya ketidaktepatan dan ketidaklengkapan fakta dan interpretasi yang dilakukan, dan biasanya ketidaktepatan itu muncul setelah ada beberpa sejarawan yang mengungkapkan ketidaktepatan itu menurut versi sejarawan itu. Artinya sifat kontroversial ini sangat tergantung dari sejarawan. Hal ini karena pada kategori ini tidak terdapat sumber primer berupa pelaku atau saksi sejarah, sehingga sejarawan memainkan peranan penuh dalam menuliskan suatu peristiwa sejarah. Beberapa sejarah kontroversial untuk kategori pertama antara lain perbedaan pendapat tentang masuknya pengaruh Hindu Budha di Nusantara, perdebatan antara Poerbatjaraka dan F.D.K. Bosch tentang dinasti yang terdapat di kerajaan Mataram lama, pendapat tentang masuknya Islam di Nusantara, sampai pada mitos tentang penjajahan nusantara selama 350 tahun. Kategori pertama ini tidak terlalu menyebabkan adanya perdebatan dalam masyarakat. Sejarah kontroversial kategori kedua adalah sejarah yang biasanya dimasukkan ke dalam kategori sejarah kontemporer. Sejarah kontemporer merupakan satu istilah untuk menyebutkan satu pembabakan dalam sejarah yang rentang waktu terjadinya tidak terlalu lama dengan masa sekarang, atau masa ketika sejarah itu menjadi satu kajian dalam ilmu sejarah Nugroho Notosusanto, 1978. Batasan kontemporer ini belum jelas, akan tetapi bila ditinjau dari saat ini peristiwa sejarah kontemporer adalah mulai tahun 1940- an. Sejarah kontemporer cenderung bersifat kontroversial karena kadar subjektivitas yang terkandung dalam sejarah kontemporer lebih besar daripada masa-masa sebelumnya. Hal ini karena pelaku atau saksi sejarahnya masih ada dan masih memiliki satu implikasi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat pada masa ini Tsabit Azinar Ahmad, 2007: 3. Hal lain yang menyebabkan kontroversial adalah bahwa peristiwa sejarah kotemporer masih belum selesai sepenuhnya, tetapi senantiasa berproses. Lebih lanjut lagi dinyatakan bahwa masih banyak terjadi perbedaan pandangan para pelaku sejarah berkaitan dengan satu peristiwa sejarah, dan ada pula perbedaan pandangan antara temuan berupa fakta-fakta baru dengan pemahaman masyarakat yang berkembang selama ini. Merujuk tipologi Asvi Warman Adam 2007 b: 4, sejarah kontroversial yang termasuk ke dalam sejarah kontemporer disebabkan oleh tiga faktor sekaligus, yakni adanya ketidaktepatan, ketidaklengkapan, dan ketidakjelasan dari fakta dan interpretasi yang dilakukan dalam penyusunan suatu tulisan sejarah. Ditinjau dari aspek pengaruhnya terhadap masyarakat, sejarah kontroversial kategori kedua memberikan dampak yang lebih dirasakan oleh masyarakat. Hal ini karena peristiwa yang terjadi pada kurun sejarah kontemporer secara teoretis menjadi kajian yang lebih membuka peluang bagi masyarakat luas untuk mengulas dan memperoleh sumber-sumber berkaitan dengan masa tersebut secara lebih mudah. Ketersediaan sumber primer berupa pelaku atau saksi sejarah juga masih ada. Selain itu memori kolektif masyarakat tentang satu peristwa tersebut juga masih sangat kuat. Permasalahan lainnya adalah adanya kemungkinan terbentuknya satu konstruk pemikiran yang kuat dalam masyarakat tentang satu pemahaman sejarah, walaupun belum tentu pemahaman yang selama ini diyakini adalah benar adanya Tsabit Azinar Ahmad, 2007: 5. Adanya hal ini telah menyebabkan adanya satu hal yang memacu terjadinya pertentangan terhadap satu peristiwa sejarah ketika pada satu saat ditemukan fakta baru yang bertolak belakang dari pemahaman masyarakat selama ini diyakini. Selain permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan metodologis, satu hal yang menyebabkan sejarah kontemporer itu cenderung bersifat kontroversial adalah adanya unsur kepentingan lain yang bermain di dalam sejarah. Kepentingan itu bisa datang dari pihak-pihak yang terlibat dalam satu peristiwa sejarah atau dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkan satu peristiwa sejarah untuk tujuan-tujuan tertentu Tsabit Azinar Ahmad, 2007: 6. Kepentingan yang datang dari pihak pelaku sejarah ataupun keturunannya karena pelaku sejarah merasa dirugikan dengan adanya penulisan sejarah dari pihak tertentu. Beberapa peristiwa sejarah yang dapat diklasifikasikan masih bersifat kontroversial antara lain Gerakan 30 September, peristiwa seputar Surat Perintah Sebelas Maret Supersemar, Serangan Umum 1 Maret 1949, lahirnya Pancasila, lahirnya Orde Baru, dan Integrasi Timor-Timur. Berkaitan dengan sejarah yang bersifat kontroversial, Bambang Purwanto 2001a: 112 menjelaskan bahwa ... in fact many controversies in Indonesia history during the last fifty years. Four of them , Serangan Umum Satu Maret 1 March Attack of 1949, Gerakan 30 September 30 September Movement of 1965, Surat Perintah Sebelas Maret 11 March Instruction of 1966, and social- political role of Indonesian armed forces… Dari tulisan Purwanto 2005, yang menarik adalah tentang kontroversi keempat, yakni social-political role of Indonesia armed forces peran sosial- politik kepemimpinan Angkatan Darat di Indonesia. Kontroversi tersebut terletak pada tindakan militer pada saat revolusi dan penumpasan pergerakan lokal, konflik ideologi internal pada tahun 1950-an, keterlibatan pemimpin tentara dalam kegiatan ekonomi dan politik pada masa demokrasi terpimpin, serta kepemimpinan militer yang dominan pada pemerintahan Orde Baru Purwanto, 2001:116. Beberapa peristiwa sejarah kontemporer yang termasuk dalam sejarah kontroversial yang dapat dijadikan materi pembelajaran di kelas sejarah antara lain kontroversi tentang penetapan tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, peristiwa Madiun 1948, peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, peristiwa 17 Oktober 1952, Gerakan 30 September, perdebatan seputar Surat Perintah Sebelas Maret Supersemar, peristiwa Malari 1974, permasalahan Timor-Timur, sampai dengan peristiwa seputar reformasi dan jatuhnya Soeharto pada 1998. Akan tetapi, yang paling banyak diperdebatkan di masyarakat adalah Gerakan 30 September, Supersemar, dan Serangan Umum 1 Maret 1949 Asvi Warman Adam, 2007 b: 14. Tabel 1 Beberapa Aspek Perbedaan dalam Sejarah Kontroversial Nonkontemporer dan Kontemporer Aspek Perbedaan Kategorisasi Sejarah Kontroversial Sejarah Kontroversial Nonkontemporer Sejarah Kontroversial Kontemporer Aspek temporal Rentang waktu terjadinya lama dari masa sekarang pada saat dilakukan kajian Terjadi pada kurun waktu yang tidak terlalu lama dari sekarang Ketersediaan sumber primer Sumber primer hanya berupa peninggalan atau bukti berupa benda Masih terdapat pelaku dan saksi sejarah Alasan kontroversial o adanya perbedaan pendapat, teori, atau pendekatan yang dilakukan sejarawan dalam melakukan penulisan sejarah o subjektivitas yang lebih besar o ada perbedaan padangan dari pelaku sejarah o adanya unsur kepentingan lain di dalam sejarah Penyebab o ketidaktepatan dan ketidaklengkapan fakta dan interpretasi yang dilakukan o adanya ketidaktepatan, ketidaklengkapan, dan ketidakjelasan dari fakta dan interpretasi yang dilakukan Sifat Sejarawan memegang peranan penting Terbuka bagi masyarakat untuk mencari data Akses masyarakat untuk pencarian data Masyarakat sulit untuk mengaksesmencari data fakta tentang peristiwa sejarah Masyarakat mudah mengakses informasi tentang peristiwa sejarah kontemporer Pengaruh di masyarakat tidak terlalu menyebabkan adanya perdebatan dalam masyarakat memberikan dampak yang lebih dirasakan oleh masyarakat Contoh perbedaan pendapat tentang masuknya pengaruh Hindu Budha di Nusantara, pendapat tentang masuknya Islam di Nusantara peristiwa Madiun 1948, peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, Gerakan 30 September, perdebatan seputar Surat Perintah Sebelas Maret Supersemar Sumber: Tsabit Azinar Ahmad 2008: 119 Kategorisasi sejarah kontroversial seperti yang dijelaskan di atas, tidaklah bersifat tertutup. Artinya ada kecenderungan munculnya peristiwa- peristiwa sejarah nonkontemporer yang memiliki sifat seperti sejarah kontemporer, seperti adanya peristiwa yang terjadi jauh dari masa sekarang yang memberi pengaruh terhadap masyarakat pada masa kini. Sejarah kontroversial nonkontemporer juga masih dapat memunculkan perdebatan dalam masyarakat ketika ada versi sejarah yang bertentangan dengan pemahaman sejarah masyarakat selama ini. Hal ini disebabkan proses sejarah telah menjadi konsensus di kalangan masyarakat. Contoh kasus seperti ini adalah tentang peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh raja Mataram yang membunuh tokoh agama pada abad XVII. Selain kategorisasi yang dilakukan oleh Tsabit Azinar Ahmad 2008, ada kategorisasi sejarah kontroversial dari S. K. Kochhar 2008: 453 yang menjelaskan bahwa ada dua jenis isu kontroversial dalam sejarah, yakni 1 kontroversial mengenai fakta-fakta, dan 2 kontroversial mengenai signifikansi, relevansi, dan interpretasi sekumpulan fakta. Isu kontroversial jenis pertama, yakni kontroversi mengenai fakta-fakta terjadi karena kurangnya data atau tidak masuk akalnya suatu penemuan. Di dalam isu kontroversial jenis ini pertanyaan berkaitan dengan “apa”, “siapa”, “kapan”, dan “di mana”. Di dalam sejarah Indonesia, permasalahan kontroversial yang termasuk dalam kategori ini misalnya tentang siapa yang pertama kali membawa pengaruh India ke Nusantara, kapan Islam pertama masuk di Nusantara. Jenis isu kontroversial interpretasi karena pendekatan yang dilakukan oleh sejarawan tidak ilmiah, bias, dan dipengaruhi prasangka. Kontroversi yang disebabkan oleh interpretasi berada pada pertanyaan tentang “mengapa” dan “bagaimana” peristiwa tersebut terjadi. Terkadang peristiwa atau fenomena dipelajari secara tertutup, sehingga interpretasi sejarawan terhadap suatu peristiwa bisa salah dan mengakibatkan kontroversi Kochhar, 2008: 453-454. Permasalahan kontroversi karena perbedaan interpretasi sejarawan terjadi seperti ketika sejarawan-sejarawan mengeluarkan versi yang berbeda tentang peristiwa Gerakan 30 September. Ada sebagian sejarawan yang menyatakan bahwa permasalahan tersebut terjadi karena konflik internal di tubuh Angkatan Darat, ada pula yang menyatakan bahwa Suharto yang menjadi dalang. Sementara itu muncul pula teori tentang keterlibatan Sukarno atau CIA sebagai faktor yang utama. Kemudian yang tidak kalah penting adalah tentang berkembangnya “versi resmi” bahwa yang menjadi penggerak adalah Parai Komunis Indonesia.

3. Pembelajaran Sejarah Kontroversial

a. Komponen Pembelajaran Sejarah

Pembelajaran adalah seperangkat peristiwa events yang mempengaruhi si belajar sedemikian rupa sehingga si belajar memperoleh kemudahan Haryanto, 2003: 2-3. Kata pembelajaran sengaja dipakai sebagai padan dari kata instruction yang berasal dari bahasa Inggris. Kata instruction memiliki pengertian yang lebih luas daripada pengajaran. Jika pengajaran ada dalam konteks guru-murid di kelas ruang formal, maka pembelajaran mencakup pula kegiatan belajar mengajar yang tidak dihadiri guru secara fisik. Oleh karena dalam instruction yang ditekankan proses belajar, maka usaha-usaha yang terencana dalam memanipulasi sumber-sumber belajar agar terjadi proses belajar dalam diri peserta didik disebut pembelajaran. Pembelajaran juga dapat berarti proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Kosasih Djahiri A. dalam Isjoni, 2007: 78 menyatakan bahwa pembelajaran merupakan proses keterlibatan totalitas diri peserta didik dan kehidupannya atau lingkungannya secara terarah, terkendali ke arah penyempurnaan, pembudayaan, pemberdayaan totalitas diri dan kehidupannya melalui proses learning to know, learning to belief, learning to do dan to be serta learning to life together. Menurut Darsono 2000: 26, pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk membantu peserta didik agar memperoleh pengalaman dan dengan pengalaman itu tingkah laku peserta didik bertambah baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Tingkah laku tersebut meliputi pengetahuan, keterampilan dan nilai atau norma yang berfungsi sebagai pengendali sikap dan perilaku peserta didik. Atas dasar pemikiran di atas, pemerintah RI telah merumuskan pengertian dari pembelajaran yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tetang Sistem Pendidikan Nasional, yakni pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dengan demikian, pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang memberikan kegiatan interaksi yang aktif dari peserta didik dan guru atau pendidik. Berkaitan dengan sejarah, I Gde Widja 1989: 23 menyatakan bahwa pembelajaran sejarah adalah perpaduan antara aktivitas belajar dan mengajar yang di dalamnya mempelajari tentang peristiwa masa lampau yang erat kaitannya dengan masa kini. Selanjutnya Isjoni 2007:13 menyatakan bahwa, Pembelajaran sejarah memiliki peran fundamental dalam kaitannya dengan guna atau tujuan dari belajar sejarah, melalui pembelajaran sejarah dapat juga dilakukan penilaian moral saat ini sebagai ukuran menilai masa lampau. Sebagai sebuah sistem, pembelajaran merupakan suatu rangkaian yang merupakan suatu kesatuan. Pembelajaran sebagai sistem merupakan interaksi fungsional antarsubsistem Ahmad Sugandi dkk., 2004: 20. Pada hakikatnya pembelajaran sebagai sistem merupakan suatu kesatuan berbagai unsurelemen yang memiliki hubungan fungsional dan berinteraksi secara dinamis untuk mencapai tujuanfungsi sistem tersebut. Di dalam proses pembelajaran terdapat komponen-komponen yang menyusun suatu pembelajaran yaitu 1 tujuan, 2 subjek belajar, 3 materi pelajaran, 4 strategi pembelajaran, 5 media pembelajaran, 6 evaluasi, dan 7 penunjang Ahmad Sugandi dkk., 2004: 28-30. Tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran adalah membantu peserta didik agar memperoleh berbagai pengalaman dan dengan pengalaman itu, tingkah laku peserta didik bertambah. Tujuan pembelajaran ini mengacu para ranah afektif, kognitif, dan psikomotorik. Sementara itu subjek belajar mencakup pribadi yang ada dalam proses pembelajaran, yakni peserta didik dan guru. Materi merupakan halinformasi yang diberikan dalam proses pembelajaran. Materi ini telah disesuaikan dengan kurikulum. Strategi pembelajaran merupakan pola umum dalam mewujudkan proses pembelajaran yang diyakini efektivitasnya untuk mencapai tujuan pembelajaran. Media pembelajaran merupakan alat yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk membantu menyampaikan informasi atau pesan pembelajaran. Evaluasi merupakan kegiatan pengendalian, penjaminan dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur jenjang dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan. Komponen penunjang dalam pembelajaran antara lain fasilitas-fasilitas yang berfungsi untuk melancarkan dan mempermudah proses pembelajaran. Sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran guru perlu mengembangkan perencanaan pembelajaran. Dalam kegiatan pembelajaran, pembuatan perencanaan atau desain pembelajaran berfungsi untuk memudahkan serta memberikan efektivitas dalam pembelajaran agar tujuan yang hendak dicapai bisa dengan mudah terlaksana. Desain pembelajaran atau desain instruksional merupakan keseluruhan proses analisis kebutuhan dan tujuan belajar serta pengembangan teknik mengajar dan materi pengajarannya untuk memenuhi kebutuhan tersebut Ahmad Sugandi dkk., 2004: 46. Dalam kegiatan pembelajaran agar terwujud efektivitas pembelajaran dan agar tujuan bisa dengan mudah terwujud harus ada perencanaan pembelajaran dalam bentuk desain pembelajaran. Desain pembelajaran ini bermanfaat bagi guru karena dapat memberikan gambaran awal tentang rencana pengajaran dalam kelas. Di dalam prosesnya, desain pembelajaran ini melakukan pendekatan secara sistematis dalam perencanaan dan pengembangan sarana serta alat untuk mencapai kebutuhan dan tujuan pembelajaran. Tujuan penyusunan atau pendesainan desain pembelajaran ini adalah pada dasarnya untuk mempermudah dalam pelaksanaan proses pembelajaran karena terjadi pembelajaran yang terencana dan efektif, sehingga tujuan dari pembelajaran yaitu peserta didik yang cerdas ranah kognitif, kreatif ranah psikomotorik dan memahami norma afektif bisa terwujud. Penyusunan desain pembelajaran pada awalnya harus memperhatikan komponen-komponen dalam pembelajaran meliputi 1 tujuan, 2 subjek belajar, 3 materi pelajaran, 4 strategi pembelajaran, 5 media pembelajaran, 6 evaluasi, serta 7 sarana penunjang seperti fasilitas belajar, buku sumber, pemanfaatan ligkungan dan sebagainya Ahmad Sugandi dkk., 2004: 28-30. Desain atau perencanaan pembelajaran dikembangkan oleh para pengembang yaitu guru di sekolah, pengarang, pendidik dan psikolog serta para profesional dalam bidang pendidikan. Tugas para pengembang dan pendesain model pembelajaran adalah menentukan hasil belajar prestasi peserta didik yang dapat diamati dan diukur, mengidentifikasi peserta didik yang akan belajar, menulis dan menyelenggarakan kegiatan pembelajaran bagi peserta didik, menentukan media, menentukan situasi dan kondisi pengenalan kelas, menentukan kriteria seberapa prestasi peserta didik telah dianggap cukup, memilih metode yang tepat, menentukan model tesevaluasi, mengadakan perbaikan remidi untuk yang tertinggal Haryanto, 2003: 53. Di dalam pembelajaran dikenal adanya beberapa model pengembangan sistem dan desain instruksional. Model pengembangan sistem dan desain instruksional adalah seperangkat prosedur yang berurutan untuk melaksanakan pengembangan sistem dan desain instruksional. Dalam pelaksanaannya ada beberapa macam model desain pembelajaran yaitu model PPSI, model Gerlach dan Ely, model Bela H. Banathy, model Jerold E. Kemp serta model IDI Ahmad Sugandi dkk., 2004: 48. Pada kurikulum tingkat satuan pendidikan, perencanaan pembelajaran meliputi pengembangan silabus dan rencana pembelajaran. Beberapa aspek yang terkadung dalam silabus meliputi pengembangan kompetensi dasar dalam materi dan indikator-indikator, pengembangan model pembelajaran, penyusunan alat evaluasi, penentuan media, dan sumber belajar. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 20 yang berbunyi, Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar. PP No. 19 tahun 2005 Dalam penelitian ini komponen-komponen dalam perencanaan atau desain pembelajaran sejarah akan dijadikan acuan untuk melakukan analisis terhadap pelaksanaan pembelajaran.

b. Tujuan Pembelajaran Sejarah Kontroversial

Pembelajaran sejarah yang tertuang dalam mata pelajaran sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Hal ini karena pengetahuan masa lampau tersebut mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap, watak, dan kepribadian peserta didik Permendiknas No. 22 tahun 2006. Tujuan dari pelaksanaan pendidikan sejarah dalam kurikulum 2006 seperti tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut, 1 membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan, 2 melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan metodologi keilmuan, 3 menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau, 4 menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang, 5 menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun internasional. Secara lebih spesifik, pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial dengan memberikan argumentasi yang kuat dan logis tentang pendapat-pendapat yang berbeda itu memiliki beberapa tujuan. Abu Su’ud 1993: 20-21 menyatakan bahwa pengembangan pola isu kontroversial dalam kelas sejarah bertujuan untuk mencapai 1 peningkatan daya penalaran, 2 peningkatan daya kritik sosial, 3 peningkatan kepekaan sosial, 4 peningkatan toleransi dalam perbedaan pendapat, 5 peningkatan keberanian pengungkapan pendapat secara demokratis, serta 6 peningkatan kemampuan menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Wiriaatmadja yang dikutip didin Sarpdin 2009:3, menyatakan bahwa keuntungan menggunakan model pembelajarn isu kontroversial adalah: 1 Mengajarkan kepada peserta didik keterampilan akademis untuk membuat hipotesis, mengumpulkan evidensi, menganalisis data, dan menyajikan hasil inkuiri; 2 Melatih peserta didik untuk menganalisis, mensisntesis, dan menilai suatu peristiwa secara ilmiah; dan 3 Melatih siswa untuk menghadapi kehidupan sosial yang kompleks dengan keterampilan berkomunikasi, menanamkan rasa empati, mempengaruhi orang lain, toleran, bekerja sama, dan lain-lain. Selain pendapat dari pakar dalam negeri ada pula beberapa pendapat dari luar negeri. Barton dan Mc Cully 2007: 13 menyarakan bahwa ada beberapa keuntungan apabila menggunakan pendekatan isu kontroversial dalam pembelajaran. Keuntungan tersebut dapat memberikan bekal bagi peserta didik di masa depan, yakni 1 berani berpendapat dalam berbagai aktivitas, 2 mendukung nilai-nilai demokrasi, 3 dapat mengambil bagian dalam diskusi politik, 4 dapat mengikuti perkembangan politik di media, 5 memiliki ketertarikan terhadap proses politik, dan 6 memiliki kepercayaan diri dengan kemampuannya untuk mempengaruhi kebijakan publik. Pendapat Barton dan Mc Cully 2007 terkait dengan masalah politik karena menurutnya permasalahan kontroversi erat dengan masalah perdebatan dalam ranah kebijakan dan politik. Di dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan seperti tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tentang Standar Isi Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, mata pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas meliputi aspek-aspek sebagai berikut, 1 prinsip dasar ilmu sejarah, 2 peradaban awal masyarakat dunia dan Indonesia, 3 perkembangan negara-negara tradisional di Indonesia, 4 Indonesia pada masa penjajahan, 5 pergerakan kebangsaan, 6 proklamasi dan perkembangan negara kebangsaan Indonesia. Dari berbagai aspek tersebut, terdapat beberapa peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial yang dapat diajarkan dalam kelas, sehingga kontroversi melekat dalam pembelajaran sejarah. Di dalam pelaksanaannya, tidak semua peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial dapat disajikan dalam materi ajar untuk pembelajaran sejarah di Sekolah Menengah Atas. Hal ini karena adanya skala prioritas untuk mengajarkan sejarah yang memiliki potensi dalam mengembangkan aspek-aspek yang dimiliki oleh peserta didik, khususnya aspek menyangkut cinta tanah air, nasionalisme, dan sebagainya. Selain itu, peristiwa-peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial belum dapat diajarkan secara keseluruhan karena pada jenjang Sekolah Menengah Atas, peserta didik belum dianggap perlu untuk mempelajari secara mendetail tentang berbagai peristiwa sejarah. Hal ini karena materi-materi yang diajarkan di Sekolah Menengah Atas, pada dasarnya sudah disusun garis besar penyampaiannya dalam standar kompetensi dan kompentensi dasar. Peristiwa-peristiwa sejarah yang dijadikan materi ajar dalam pembelajaran sejarah yang bersifat kontroversial hanya peristiwa-peristiwa yang dianggap signifikan dan mendukung dalam proses pemahaman peserta didik terhadap suatu rangkaian peristiwa dan konsep tentang masa lalu. Berkaitan dengan pemilihan topik S.K. Kochhar 2008: 454-455 memberikan beberapa batasan pemilihan, yakni 1 topik yang diangkat berada dalam batas kompetensi kelompok, artinya disesuaikan dengan kemampuan guru dan peserta didik, 2 topik yang diminati dan penting bagi kelas, 3 isu yang tidak terlalu “panas” pada saat ini, karena ada kekhawatiran munculnya pretensi, dan justifikasi, 4 isu yang pembahasannya tidak memakan banyak waktu, serta 5 isu dengan materi yang memadai. Peristiwa-peristiwa yang diajarkan yang termasuk dalam sejarah kontroversial antara lain tentang teori-teori masuknya Hindu-Budha dan masuknya Islam, atau peristiwa-peristiwa sejarah kontemporer yang bersifat kontroversial seperti Serangan Umum 1 Maret 1949, peristiwa seputar Gerakan 30 September, Supersemar, serta peristiwa seputar reformasi.

c. Tahapan Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah Kontroversial

Pembelajaan sejarah kontroversial membutuhkan satu kehati-hatian dalam pelaksanaannya. Hal ini karena kecerobohan dalam memberikan interpretasi dan justifikasi mengakibatkan terjadinya kekeliruan dalam pemaknaan terhadap peristiwa kontroversial yang tersebut. Oleh karena itu, diperlukan adanya prinsip-prinsip dalam pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial, seperti tidak boleh memberikan kutipan tanpa fakta, berbicara dengan sopan, dan sebagainya. Berkaitan dengan pelaksanaan pembelajarannya, S.K. Kochhar 2008: 456-458 memberikan beberapa tahapan dalam pembelajaran sejarah kontroversial, yakni 1 sesi perkenalan, 2 menyampaikan permasalahan, 3 diskusi dan aktivitas kelompok, 4 penarikan simpulan. Sesi perkenalan merupakan tahapan awal yang sangat bermanfaat untuk memberikan pemahaman mendasar bagi peserta didik tentang suatu peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial. Pada sesi awal peserta didik diberi kesempatan secara luas untuk mengemukakan pendapatnya sebelum dilakukan pembahasan. Menurut S.K. Kochhar 2008: 456 cara ini sangat bermanfaat bagi guru untuk mengenali pemikiran peserta didik dan bagaimana sebaiknya pembelajaran dilanjutkan. Pada tahap ini guru perlu memberi stimulus-stimulus awal untuk membangkitkan motivasi belajar selanjutnya. Sesi berikutnya adalah penyampaian permasalahan. Pada sesi ini guru harus membantu peserta didik dalam menentukan permasalahannya dan membatasinya, membantu peserta didik dalam memperoleh data atau sumber, serta mengarahkan peserta didik untuk mengeksplorasi data dan membandingkan semua data yang tersedia. Hal ini bertujuan untuk membantu para peserta didik dalam mengembangkan sikap ilmiah dan pandangan mereka agar bersikap lebih objektif Kochhar, 2008: 457. Setelah sesi penyampaian permasalahan, aktivitas pembelajaran dilanjutkan dengan diskusi dan akivitas kelompok. Cara ini digunakan untuk lebih membantu pemahaman peserta didik terhadap peristiwa sejarah kontroversial. Kegiatan diskusi dapat dilanjutkan dengan presentasi masing-masing kelompok tentang hal yang telah didiskusikan dalam kelas. Langkah keempat dalam pengajaran sejarah kontroversial adalah menarik simpulan. Bagian ini adalah tahap terakhir dari proses. Guru dalam hal ini dapat memberikan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk membantu peserta didik menganalisis data yang telah terkumpul, menyaringnya, dan kemudian menarik simpulan mereka sendiri Kochhar, 2008: 458. Selain pernyataa di atas, ada pula penapat dari Didin Saripudin 2009: 4 tentang pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial. Isu Kontroversial yang dipilih dapat diambil dari suatu sumber yang resmi dan beredar secara umum. Tetapi guru dapat pula mengembangkan suatu bahan yang memuat isu kontroversial berdasarkan apa yang sudah ada di masyarakat. Langkah pertama, guru menyajikan materi yang mengandung isu kontroversial. Penyajian ini dapat dilakukan melalui penjelasan guru, atau siswa membaca dan mendengar isu kontroversial yang telah disiapkan guru. Langkah kedua, guru mengundang berbagai pendapat disertai argumentasi dari siswa mengenai isu tersebut. Pendapat-pendapat yang berbeda diidentifikasi sebagai isu kontroversial. Langkah ketiga, isu kontroversial yang sudah dapat diidentifikasi dijadikan bahan diskusi. Setiap orang dapat menjadi pembela atau penyerang suatu pendapat. Diskusi yang dilakukan ini untuk melihat kekuatan dan kelemahan pendapat masing-masing. Kegiatan kelas tidak perlu diarahkan untuk mendapatkan kesepakatan-kesepakatan. Dalam menarik kesimpulan guru dan siswa melihat kelemahan dan keunggulan masing-masing pendapat.

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian tentang sejarah kontroversial dan critical pedagogy sampai saat ini masih belum banyak dilakukan di Indonesia. Hal ini karena iklim kebebasan dalam melakukan kajian dengan pandangan yang bersifat radikal seperti critical pedagogy baru terjadi setelah reformasi. Begitu pula kajian tentang sejarah kontroversial. Beberapa kajian tentang sejarah kontroversial adalah seperti yang dilakukan oleh Abu Su’ud 2008a, Tsabit Azinar Ahmad 2008, dan Inayatul Laili 2008. Selain itu ada pula penelitian yang dilakukan di luar negeri oleh The Historical Association 2008 tentang pengajaran sejarah yang emotif dan kontrovesial. Satu kajian yang mengulas tentang critial pedagogy dalam pembelajaran sejarah diambil dari penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat oleh Jesse Hingson 2008. Penelitian tentang sejarah kontroversial yang dilakukan oleh Abu Su’ud dengan judul “Penggunaan Isu Kontroversial dalam Kelas Sejarah di Era Reformasi” dilakukan pada tahun 2008. Penelitian ini dilakukan terhadap guru- guru di Sekolah Menengah Atas negeri di Kota Semarang, sejumlah 16 sekolah dan dua universitas, yakni Universitas Negeri Semarang dan Universitas Diponegoro. Penelitian ini bertujuan untuk 1 mengetahui bagaimana kepedulian para pengajar sejarah terhadap isu kontroversial, 2 mengetahui kecenderungan para pengajar sejarah dalam penggunaan isu kontroversial di kelas sejarah, dan 3 risiko penggunaan isu kontroversial dalam kelas sejarah. Hasil penelitian menjelaskan bahwa sebagian besar pengajar sejarah telah menaruh perhatian dan mengikuti isu-isu kontroversial. Mengenai kecenderungan menggunakan isu kontroversial dalam kelas dilakukan karena topiknya aktual, menarik, relevan, dan karena sudah terbiasa. Tentang manfaat penggunaan isu kontroversial dalam kelas dikemukakan karena pembelajaran menjadi lebih kontekstual, berpotensi meningkatkan partisipasi peserta didik, pembahasan berpotensi lebih menarik, tidak jenuh, berpotensi mengembangkan semangat toleransi dan saling pengertian, dan berpotensi mengembangkan dialog. Mengenai kelemahannya dikatakan bahwa karena bahan ajar tidak selesai dibahas, membutuhkan pengajar yang gemar mengikuti dialog terbuka, tidak semua warga kelas tertarik, serta memerlukan kesabaran dan kearifan pengajar. Oleh karena itu, dalam penelitian tersebut disarankan diperlukan proses penyadaran akan fungsi media massa bagi pengajar sejarah untuk kepentingan pengembangan proses pembelajaran, peningkatan semangat keterbukaan bagi pelajar, perlu diterapkan pembelajaran dengan penggunaan isu kontroversial untuk menyiapkan peserta didik menjadi warga negara yang baik dan meningkatkan wawasan demokrasi dan toleransi. Penelitian kedua dilakukan oleh Tsabit Azinar Ahmad pada tahun 2008. Penelitian ini berjudul “Pembelajaran Sejarah Kontroversial di Sekolah Menengah Atas Studi Kasus di SMA Negeri 1 Banjarnegara”. Tujuan dari penelitian ini adalah, 1 menjelaskan pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial di SMA N 1 Banjarnegara, 2 mengidentifikasi kendala-kendala yang ditemui oleh guru sejarah dalam mengajarkan sejarah yang bersifat kontroversial di SMA N 1 Banjarnegara, 3 menganalisis upaya yang dilakukan guru sejarah untuk mengatasi kendala-kendala dalam pengajaran sejarah yang bersifat kontroversial, serta 4 merumuskan alternatif pembelajaran yang dilaksanakan untuk mengajarkan materi sejarah yang bersifat kontroversial. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengambil penelitian di SMA Negeri 1 Banjarnegara. Analisis yang dilakukan menggunakan model analisis model interaktif. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pembelajaran untuk peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial telah diterapkan di Sekolah Menengah Atas. Ada tiga hal yang mendorong pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial, yakni dari aspek sekolah, kemandirian guru, dan kemampuan peserta didik yang baik. Ada dua jenis sejarah kontroversial yang diajarkan di SMA, yakni sejarah kontroversial nonkontemporer dan sejarah kontroversial kontemporer. Salah satu materi yang kontroversial yang telah diajarkan adalah materi yang membahas peristiwa Gerakan 30 September dan Supersemar. Materi tersebut diajarkan pada program IPS di kelas XII semester I dan di program IPA di kelas XI semester II. Ada beberapa kendala yang ditemui guru sejarah dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Kendala-kendala tersebut dapat dipilah menjadi tiga, yakni kendala dalam aspek perencanaan pembelajaran, kendala dalam pelaksanaan pembelajaran, dan kendala dalam aspek atau komponen pendukung lainya. Kendala-kendala yang ditemui dalam kelas sejarah secara umum dapat disebabkan oleh dua faktor, yakni 1 faktor intern dan 2 faktor ekstern. Faktor intern adalah faktor yang berasal dari dalam ilmu sejarah, yakni adanya perubahan dalam corak historiografi Indonesia posreformasi. Faktor kedua adalah faktor ekstern yakni faktor-faktor luar yang berasal dari luar sejarah yang memengaruhi sejarah dan pendidikan sejarah. Upaya untuk mengatasi kendala-kendala dalam aspek perencanaan adalah guru mencoba untuk mengembangkan silabus yang telah disusun oleh pusat kurikulum dalam perencanaan, upaya pencarian sumber-sumber baru, pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar, mencoba untuk tidak terpengaruh terhadap kebijakan pemerintah yang menimbulkan banyak kebingungan, selain itu guru juga mengembangkan pembelajaran dengan memanfaatkan lingkungan sekitar dengan memaksimalkan potensi yang telah dimiliki dan pembelajaran berbasis ICT untuk memudahkan pencarian sumber dan peningkatan motivasi. Salah satu alternatif yang dilakukan guru untuk mewujudkan kesadaran kritis peserta didik tentang suatu peristiwa sejarah adalah dengan melakukan perubahan dalam pendekatan dari pendekatan konvensional menjadi pendekatan kritis. Pendekatan kritis dalam pembelajaran sejarah adalah suatu pendekatan yang bersifat menyeluruh dalam mengulas suatu peristiwa sejarah. Pendekatan ini menekankan pada empat aspek, yakni kausalitas, kronologi, komprehensif, dan kontinuitas. Pembelajaran sejarah yang bersifat kontroversial harus dilakukan dengan menggunakan prinsip keseimbangan, di mana versi-versi yang muncul harus ditampilkan beserta argumentasinya, tanpa ada pretensi dan subjektivitas. Melalui pendekatan ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran kritis peserta didik. Kemudian untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan adanya upaya dari semua komponen penopang pendidikan sejarah, yakni pemerintah, LPTKPerguruan Tinggi, organisasi profesikeilmuan, praktisi pendidikan,media massa, dan masyarakat melalui strategi top down dan bottom up. Oleh karena itu, perlu adanya upaya yang dilakukan oleh semua pihak secara serempak menuju transformasi pendidikan sejarah menuju pendidikan sejarah yang memberikan satu pendewasaan masyarakat yang dilandasi kejujuran, bebas dari kepentingan pribadi, dan semangat membangun kesadaran kritis masyarakat, tentang informasi kesejarahan terbaru kepada masyarakat dan praktisi pendidikan. Selain itu ada pula skripsi yang disusun oleh Inayatul Laili pada tahun 2008 dari Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang dengan judul “Penggunaan Strategi Pembelajaran Isu-isu Kontroversial dalam Sejarah untuk Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Peserta didik Studi Deskriptif Analitik pada SMAN 1 Kalianget”. Berdasarkan hasil observasi dan diskusi dengan guru sejarah SMA Negeri 1 Kalianget Kabupaten Sumenep, teridentifikasi beberapa masalah diantaranya peserta didik kurang mampu mengemukakan pendapat secara sistematis baik lisan maupun tulisan. Peserta didik juga tidak terbiasa untuk berbeda pendapat, berdebat, dan mengambil keputusan yang terbaik. Selain itu, dari beberapa sekolah menengah atas yang ada di Kabupaten Sumenep, SMA Negeri 1 Kalianget merupakan sekolah yang tak jarang tertimpa kasus, misalnya yang terjadi awal tahun 2008 yaitu tawuran antarpeserta didik yang dimotori oleh peserta didik kelas X-1. Akar penyebab masalah di atas bermuara pada kurangnya kecakapan peserta didik dalam menanggapi perbedaan yang ada di sekitar mereka. Jika dikaitkan dengan pembelajaran di kelas, sepertinya makna dan tujuan pembelajaran PIPS kurang menyentuh aspek keterampilan berpikir kritis mereka. Oleh sebab itu mereka masih saja menanggapi perbedaan secara emosional, tanpa mengkritisi bagaimana seharusnya mereka menanggapi perbedaan yang ada. Salah satu solusi dari permasalahan tersebut adalah dengan mengorganisasikan pembelajaran yang lebih bermakna dan menyentuh kemampuan berpikir kritis peserta didik, yaitu, membelajarkan materi-materi yang mengandung isu-isu kontroversial. Mengapa isu-isu kontroversial merupakan salah satu materi yang perlu diangkat dalam pembelajaran sejarah? Pertimbangannya; pertama, dalam pembelajaran mengandung banyak materi yang masih bersifat kontroversi. Kedua, pembelajaran isu-isu kontroversial dapat digunakan guru untuk mengembangkan dan melatih kemampuan berpikir peserta didik, sebab dengan isu yang diangkat peserta didik mungkin memiliki perbedaan pemahaman dan pandangan. Ketiga, perbedaan pandangan diantara peserta didik akan memberikan wawasan dan menanamkan kesadaran akan perbedaan dalam kehidupannya, sehingga peserta didik akhirnya akan memiliki sikap demokratis dalam setiap aspek kehidupannya. Hal tersebut sesuai dengan realita kehidupan yang majemuk. Dengan demikian, iklim kelas harus diciptakan menjadi kelas yang demokratis oleh guru. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1 mengetahui penggunaan desain model pembelajaran isu-isu kontroversial dalam sejarah, 2 mengetahui dampak penggunaan model pembelajaran isu-isu kontroversial terhadap kemampuan berpikir kritis peserta didik, 3 mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam pembelajaran isu-isu kontroversial. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan metode penelitian kualitatif, dengan desain dan metode penelitian menggunakan pola penelitian tindakan kelas yang mengembangkan model pembelajaran isu-isu kontroversial. Langkah- langkah penelitian tindakan kelas ini meliputi: tahap penjajaganpersiapan, diagnostik, perencanaan tindakan kelas untuk memecahkan masalah, dan teurapeutik. Penelitian tindakan kelas ini dilakukan dalam 5 siklus dengan prosedur penelitian pada tiap siklusnya, antara lain: 1 perencanaan, 2 pelaksanaan tindakan kelas, 3 observasi, 4 dan refleksi dalam setiap siklus. Penelitian dilaksanakan di SMAN 1 Kalianget Kabupaten Sumenep. Subjek penelitian adalah peserta didik kelas X-1 dan guru mata pelajaran sejarah. Materi yang dikembangkan mengacu pada kurikulum 2004 kelas X semester genap dengan pokok bahasan “Peradaban Manusia Purba dan Peradaban Kuno di Asia Afrika”. Beberapa hasil temuan dalam penelitian ini yang dapat diungkapkan antara lain; pertama, peserta didik lebih termotivasi untuk belajar mengkaji dan menganalisis isu-isu yang dikembangkan sehingga terjadi proses inquiry. Kedua, peserta didik memiliki keberanian untuk berpendapat sesuai dengan pemahaman dan pandangannya terhadap isu atau permasalahan. Ketiga, peserta didik memperoleh pemahaman tentang perbedaan pendapat dan sikap demokratis. Keempat, peserta didik mampu mengembangkan kemampuan berpikirnya tanpa pemaksaan dari guru ataupun peserta didik lainnya. Kelima, melalui diskusi kelompok dan tugas kelompok peserta didik memiliki pemahaman tentang pentingnya kerjasama dalam kelompok. Temuan terhadap aktivitas guru antara lain: pertama, guru memahami pentingnya materi-materi isu-isu kontroversial itu diangkat dalam pembelajaran untuk melatih kemampuan berpikir kritis peserta didiknya. Kedua, guru mampu memahami iklim kelas yang demokratis. Ketiga, guru menyadari bahwa peserta didik bukan sebagai objek belajar, melainkan sebagai subjek belajar. Sementara itu, kendala yang masih dirasakan oleh guru adalah sumber dan media pembelajaran serta alokasi waktu KBM untuk mata pelajaran sejarah yang masih sangat terbatas. Hal tersebut sangat berpengaruh pada pencapaian kegiatan pembelajaran sesuai dengan yang diharapkan. Kendala-kendala tersebut juga dijadikan sebagai bahan rekomendasi. Di Inggris sebuah organisasi profesi kesejarahan bernama The Historical Association 2008 pada tahun 2006-2007 mengadakan penelitian tentang pengajaran isu sensitif dan kontroversial. Penelitian dilakukan tehadap peserta didik dengan rentang usia 3-19 tahun. Proyek penelitan yang dibiayai oleh Departement for Education and Skill ini dinamakan proyek TEACH Teaching Emotive and Controversial History . Penelitian ini memiliki premis bahwa guru sering menghindari isu kontroversial dalam pembelajaran sejarah. Penalitian ini menyepakati bahwa aspek emosi, sensitivitas, dan kontroversi dapat dipengaruhi oleh aspek waktu, geografi, dan perhatian dari masyarakat terhadap perkembangan isu yang sensitif dan kontroversial. Sebuah isu dapat menjadi emotif dan kontroversial karena keberlanjutannya memiliki pengaruh terhadap kondisi umum yang terjadi pada saat ini dan kondisi personal masyarakat. Pada penelitian HA, dirumuskan sebuah konsep yang penting tekait dengan pengajaran isu kontroversial bahwa The study of history can be emotive and controversial where there is actual or perceived unfairness to people by another individual or group in the past. This may also be the case where there are disparities between what is taught in school history, familycommunity histories and other histories. Such issues and disparities create a strong resonance with students in particular educational settings . The Historical Association, 2008: 3 Studi sejarah dapat menjadi emotif dan kontroversial di mana terdapat permasalahan ketidakadilan yang dipandang oleh seseorang terhadap individu atau kelompok yang lain pada masa lampau. Ini juga dapat menjadi kasus di mana muncul perbedaan apa diajarkan di kelas, sejarah keluargakomunitas dan komunitas lainnya. Masalah dan perbedaan itu membuat pengaruh yang kuat terhadap peserta didik, khususnya dalam ranah pendidikan. Pada penelitian HA tersebut disebutkan bahwa ada beberapa peluang yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran sejarah kontroversial dan hambatan yang ditemui. Beberapa kesempatan yang tersedia dalam pembelajaran sejarah kontroversial adalah adanya kesempatan yang lebih besar pada siswa di bawah 14 tahun karena rasa keingintahuan mereka. Selain itu peluang terbaik ada apabila guru mengenali alasan di balik Kurikulum Nasional dengan keseimbangan pengetahuan, keterampilan dan pemahaman, dan melibatkan siswa secara aktif dalam proses sejarah daripada sebagai penerima pasif. Menurut penelitian ini, kunci kesuksesan adalah perencanaan sistematis, khususnya dengan menekankan pendekatan inkuiri di mana para siswa harus bekerja secara independen dan di mana mereka punya waktu untuk mempertimbangkan dan mengatasi masalah secara mendalam. Pengajaran sejarah kontroversial tidak mungkin berhasil apabila perhatian sangat sedikit terhadap isu tersebut. Pembelajaran akan berjalan dengan baik jika tujuan pembelajaran pembelajaran memberkan akomodasi terhadap ide- ide yang terkait dengan kesamaan dan perbedaan, perubahan dan kontinuitas, sebab dan akibat, serta interpretasi dan penggunaan bukti. Keterlibatan emosional adalah suatu fitur dari pengajaran efektif dari masalah kontroversial. Para siswa harus mau peduli tentang isu-isu, sehingga untuk membangkitkan rasa ingin tahu dan kesediaan mereka untuk terlibat penuh perlu dirancang pertanyaan-pertanyaan yang mungkin memerlukan berpikir keras dan pemecahan masalah. Keterlibatan pribadi menjadi mungkin bila siswa itu sendiri didorong melalui pengajaran sejarah dengan menekankan rasa identitas pribadi mereka sendiri dan tempat mereka di dunia. Pengajaran sejarah emotif dan kontroversial yang paling baik dilakukan ketika siswa mempertimbangkan kesetiaan mereka sendiri, beberapa kepentingan mereka dan identitas, dan mengakui kenyataan bahwa setiap orang baik orang dalam atau luar untuk sesuatu dan bahwa nilai-nilai mereka dapat saling bertentangan dan bisa berubah. Selain itu pembelajaran kontroversal mungkin jika tedapat sumber yang menarik dan merangsang. Namun demikian, ada beberapa kendala terkait dengan pelaksanaan pengajaran sejarah emotif dan kontroersial, yakni tekanan waktu dan status subyek; guru cenderung untuk bermain aman dengan pilihan materi dan metode pengajaran. Adanya kekhawatiran guru terhadap risiko yang diambil jika mengajarkan sejarah kontroversial. Kendala lain adalah akses terbatas bgi gur trehadap sumber yang berkualitas dan minimnya pelatihan-pelatihan bagi guru, yang menyebabkan lemahnya guru dalam melakukan perencanaan. Kurangnya pengetahuan guru terhadap materi, terutama untuk mendapatkan sumber-sumber primer. Guru cenderung memberikan materi secara dangkal dalam pembelajaran dengan berbagai alasan. Adanya anggapan bahwa isu-isu tertentu tidak sesuai untuk kelompok usia tertentu, tidak memiliki kematangan untuk memahami sebuah peristiwa, tidak adanya materi dalam struktur kurikulum. Cara guru menangani masalah emosional dan kontroversial dapat memiliki dampak negatif terhadap siswa sehingga mereka merasa terasing dan terputus; yang dapat mengakibatkan orang-orang di masa lalu dilihat sebagai bodoh dan inferior. Penelitian tersebut memberikan saran 1 agar perlu ada perhatian lebih pada pengajaran aspek emotif dan kontroversial dalam pendidikan guru awal dan berkelanjutan melalui pengembangan profesional; 2 Memastikan bahwa pengajaran masalah emosi dan kontroversial adalah masalah seluruh sekolah; 3 Tema perencanaan dan pendekatan untuk menjamin koherensi; 4 Memberikan guru dorongan dan bimbingan, lebih cenderung untuk memberikan dorongan daripada menghukum guru; 5 Meningkatkan akses informasi dan kualitas sumber daya yang tersedia untuk memungkinkan sekolah dalam menggunakan metode yang berrvariasi 6 merumuskan cara berkomunikasi yang lebih baik untuk mewujudkan komunikasi yang efektif dalam pembelajaran; serta 7 meningkatkan penelitian yang berkaitan dengan pengajaran sejarah emotif dan kontroversial. Penelitian tentang critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah adalah seperti penelitian yang dilakukan oleh Jesse Hingson pada tahun 2008 dengan judul “Open Veins, Public Transcripts: The National Security Archive as a Tool for Critical pedagogy in the College Classroom ”. Penelitian ini dilakukan sejak tahun 2004. Ia menerapkan pembelajaran menggunakan dokumen-dokumen yang berasal dari National Security Archive NSA untuk mengajarkan kepada para peserta didik tentang Sejarah Amerika Latin Modern di Georgia College and State University, di negara bagian Georgia, Amerika Serikat. NSA merupakan lembaga nonpemerintah terbesar yang memiliki koleksi arsip secara online tentang dokumen-dokumen pemerintahan Amerika dan negara-negara yang ada di dunia. Dalam pelaksanaannya, pembelajaran sejarah dengan menggunakan dokumen NSA melalui beberapa tahap, yakni tahap perkenalan, kontekstualisasi, analisis, dan pemilihan terhadap ribuan data untuk diklasifikasi. Di dalamnya termasuk memo interagensi, komunikasi kedutaan besar, serta dokumen-dokumen rahasia yang telah dipublikasikan. Penggunaan dokumen NSA sebagai upaya untuk mengajarkan tentang intervensi dan imperialisme yang dilakukan oleh Amerika Serikat meliputi berbagai upaya dalam hal penekanan-penindasan, strategi militer, penyalahgunaan hak azasi, dan berbagai pelatihan di Amerika Latin dari awal Perang Dingin hingga hari ini. Dalam penelitian ini Jesse Hingson 2008 memberikan satu keterangan dari tugas yang akan dipergunakan. Penggunaan arsip sebagai tugas untuk peserta didik bertujuan untuk menajamkan analisis terhadap dokumen penelitian, serta membagi peserta didik dalam beberapa topik yang berbeda untuk dieksplorasi. Kemudian setelah peserta didik mengerjakan tugasnya, adalah mempresentasikan hasil analisis dokumen. Hal ini ternyata memberikan pemahaman baru bagi peserta didik serta lebih meningkatkan keseriusan peserta didik dalam melakukan kajian. Dengan demikian, pembelajaran dengan menggunakan arsip dapat dijadikan metode ampuh bagi pembelajaran sejarah yang berperspektif critical pedagogy. Dari kelima penelitian di atas, titik tekan penelitian ini terletak pada aspek bagaimana guru di Indonesa menerapkan prinsip-prinsip dalam critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial di Sekolah Menengah Atas. Perbedaan fokus penelitian ini dengan tiga penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Abu Su’ud 2008, Tsabit Azinar Ahmad 2008, dan Inayatul Laili 2008 adalah ditinjau dari perspektif dan pisau analisis yang digunakan. Penelitian ini melakukan analisis dengan pendekatan critical pedagogy. Kemudian perbedaan penelitian ini dengan penelitian Jesse Hingson 2008 adalah ditinjau dari jenis penelitian yang digunakan. Penelitian yang dilakukan Jesse Hingson 2008 lebih menekankan pada penelitian tindakan, sementara penelitian ini masih bersifat penelitian dasar untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman guru terhadap critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial dan bagaimana penerapannya dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Hal inilah yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya.

C. Kerangka Pikir

Kerangka pikir dalam penelitian ini bertujuan sebagai arahan dalam pelaksanaan penelitian, terutama untuk memahami alur pemikiran, sehingga analisis yang dilakukan lebih sistematis dan sesuai dengan tujuan penelitian. Kerangka pikir juga bertujuan untuk memberikan keterpaduan dan keterkaitan antara variabel-variabel yang diteliti, sehingga menghasilkan satu pemahaman yang utuh dan bersinambung. Namun, kerangka pikir ini tetap bersifat lentur dan terbuka, sesuai dengan konteks yang terjadi di lapangan. Secara sederhana, kerangka pikir dalam penelitian ini digambarkan dalam skema sebagai berikut, Gambar 1. Kerangka pikir penelitian tentang implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial Dari kerangka pikir di atas dapat dijelaskan bahwa dalam pembelajaran sejarah kontroversial, guru dapat menerapkan critical pedagogy sebagai landasan dalam pelaksanaan pendidikan. Critical pedagogy merupakan satu pendekatan pendidikan yang bertujuan untuk mewujudkan kesadaran kritis peserta didik terhadap peristiwa pada masa lampau melalui proses pemaknaan secara komprehensif. Penerapan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial dapat dilihat dari aspek perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran atau kegiatan pembelajaran dalam kelas. Namun demikian, implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial tentu terdapat bebagai kendala yang mempengaruhi pencapaian tujuan. Selain itu, implementasi critical