VI. ANALISIS KEBIJAKAN
6.1 Analisis Kebijakan Ekonomi Sumberdaya Perikanan
Analisis bioekonomi sumberdaya perikanan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis bioekonomi pada jenis ikan tertentu. Jenis ikan yang
dianalisis adalah ikan-ikan yang masuk ke dalam kategori ikan pelagis kecil dan ikan demersal. Dipilihnya kedua jenis ini disebabkan telah terjadinya penurunan
hasil tangkapan yang signifikan sebagai akibat terjadinya kerusakan sumberdaya pesisir dan laut. Penyebab utama kerusakan ini adalah maraknya kegiatan
penambangan timah di lokasi sekitar perairan laut di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sejak tahun 2000.
Jenis ikan pelagis kecil yang dianalisis dalam penelitian ini berjumlah 7 jenis ikan. Dipilihnya jenis tersebut disebabkan ketujuh jenis ikan pelagis kecil
inilah yang menjadi tangkapan yang paling banyak ditangkap oleh nelayan di perairan Bangka Belitung. Jumlah produksi jenis ikan palagis kecil dapat dilihat
pada Tabel 21. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa secara agregat jumlah tangkapan ikan pelagis kecil mengalami penurunan dari tahun 2001 hingga 2007.
Penurunan yang paling besar terjadi sejak tahun 2004 dimana penurunannya dari 54.245,69 ton hanya menjadi 18.648,62 ton saja. Ini berarti jumlah penurunannya
mencapai hingga 74 persen.
Tabel 21. Jumlah Tangkapan Ikan Pelagis Kecil ton
Ikan 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Selar 13.866,20
14.558,30 15.511,51 4.297,88 6.690,47 5.654,09 5.989,05
Kuwe 2.354,80 2.514,08 2.634,00 958,70 3.476,33 1.423,35 2.228,55
Tetengkek 6.554,90 6.798,83 7.331,84 2.074,60 1.865,92 2.323,99 1.483,91 Tembang 9.202,50 9.825,63
10.294,32 2.267,30 8.608,53 7.134,85 6.674,85 Peperek 2.667,40
2.764,89 3.024,58 825,00 575,00 589,10 1.093,40
Kurisi 7.049,00 7.625,16 7.885,41 6.939,44 7.006,59 6.603,95 7.795,59
Kembung 6.761,70 7.219,65 7.564,03 1.285,70 5.012,53 4.919,39 5.293,50 Jumlah
48.456,50 51.306,54 54.245,69 18.648,62 33.235,37 28.648,72 30.558,81
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bangka Belitung 2008
Penurunan hasil tangkapan ini tidak hanya terjadi dalam jumlah totalnya saja, namun juga terjadi pada semua jenis ikan pelagis kecil. Pada Gambar 14
terlihat bahwa ke tujuh jenis ikan pelagis kecil mengalami penurunan produksinya. Hampir semuanya mengalami penurunan sejak tahun 2004. Jenis
ikan yang paling drastis penurunannya adalah ikan selar. Jenis ikan ini semakin sulit ditangkap oleh nelayan karena banyak habitatnya telah rusak akibat
maraknya penambangan timah di perairan dekat pantai.
Gambar 14. Jumlah Produksi Ikan Pelagis Kecil Per Spesies
Jenis ikan demersal yang dianalisis dalam penelitian ini berjumlah 5 jenis ikan. Ikan-ikan inilah yang menjadi tangkapan yang paling banyak ditangkap oleh
nelayan di perairan Bangka Belitung. Sama halnya dengan ikan pelagis kecil, jumlah hasil tangkapan ikan demersal mulai mengalami penurunan sejak tahun
2004 yaitu sebesar 31 persen. Jumlah produksi jenis ikan demersal dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22. Jumlah Tangkapan Ikan Demersal ton
Ikan 2001 2002 2003 2004 2005
2006 2007 Bawal
putih 650,00 696,07 731,50 956,20 675,00
575,90 588,40 Kakap Putih
1.477,40 1.877,45
1.954,78 1.470,59
239,39 399,10
495,16 Ikan
merah 2.647,20 2.926,47 2.995,21 3.955,29 2.064,20
2.892,63 2.957,36 Kerapu karang
3.892,60 4.037,47
4.354,48 2.162,56
995,10 2.011,54
2.078,33 Jumlah
11.653,10 12.921,48
13.510,12 8.863,45
7.009,09 9.253,99
9.145,96
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bangka Belitung 2008 Berdasarkan hasil tangkapan nelayan sejak 2001 hingga 2007 tersebut,
maka dapat dilihat bahwa hampir setiap jenis ikan mengalami penurunan hasil tangkapan setiap tahunnya. Penurunan tersebut tidak hanya terjadi pada per
spesies, akan tetapi juga terjadi pada jumlah total dari keseluruhan. Jika dilihat per spesies, berdasarkan Gambar 15 maka jumlah hasil tangkapan yang paling
mengalami penurunan secara drastis adalah jenis ikan kerapu karang dan kakap putih. Oleh karena itu, hal tersebut dapat mengindikasikan telah terjadinya
degradasi terhadap sumberdaya ikan di perairan Bangka Belitung. Degradasi ini terjadi akibat penambangan timah yang banyak dilakukan dengan TI apung di
perairan karang di sekitar wilayah Babel.
Gambar 15. Jumlah Produksi Ikan Demersal Per Spesies
Penurunan produksi hasil tangkapan ikan, ternyata berbanding terbalik dengan upaya penangkapan effort yang dilakukan oleh nelayan. Berdasarkan
Tabel 23 menunjukkan terjadinya penambahan effort untuk menangkap ikan, walaupun hasil yang didapatkan tidak berbanding lurus. Pada ikan pelagis kecil,
dengan rata-rata jumlah produksi 40.287,49 ton memerlukan effort sebanyak 1.750.237,14 trip. Sedangkan pada ikan demersal jumlah rata-rata produksi ikan
adalah 11.032,90 ton dengan jumlah effort sebesar 367.205,86 trip.
Tabel 23. Jumlah Produksi dan Effort pada Ikan Pelagis Kecil dan Ikan Demersal Tahun
Ikan Pelagis Kecil Ikan Demersal
Produksi ton Effort Trip
Produksi ton Effort trip
2001 48.456,50 1.209.937,00 11.653,10
298.676,00 2002 51.306,54
1.698.763,00 12.921,48 286.970,00
2003 54.245,69 1.798.754,00 13.510,12
243.242,00 2004 18.648,62
1.574.524,00 8.863,45 137.623,00
2005 33.235,37 1.987.544,00 7.009,09
387.625,00 2006 28.648,72
1.873.258,00 9.253,99 672.097,00
2007 30.558,84 2.108.880,00 9.145,96
544.208,00 Rata-
rata 40.287,49
1.750.237,14 11.032,90
367.205,86 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bangka Belitung 2008
Pada awalnya, perbandingan antara jumlah produksi hasil tangkap ikan pelagis kecil dengan jumlah effort yang dikeluarkan berbanding lurus. Artinya
setiap penambahan jumlah usaha penangkapannya, maka hasil yang diperoleh akan semakin meningkat. Sejak tahun 2003 hingga 2007, perbandingan antara
hasil tangkapan ikan pelagis kecil dengan effort-nya berbanding terbaik. Peningkatan usaha penangkapan yang dilakukan tidak menjadikan hasilnya juga
mengalami peningkatan. Perbandingan antara jumlah produksi hasil tangkapan dengan effort pada ikan pelagis kecil dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Perbandingan Jumlah Produksi dan Effort pada Ikan Pelagis Kecil
Pada ikan demersal, perbandingan antara jumlah produksi hasil tangkap ikan pelagis kecil dengan jumlah effort yang dikeluarkan telah berbanding terbalik
sejak tahun 2001. Sejak tahun 2001 hingga 2003, jumlah effort yang menurun malah membuat hasil tangkapan meningkat. Ini berarti kapasitas penangkapan
pada alat tangkap semakin meningkat. Pada tahun 2004 hingga 2005, penambahan jumlah usaha penangkapan malah menjadikan jumlah hasil tangkapan semakin
menurun. Peningkatan produksi hanya terjadi dengan proporsi yang kecil ketika penambahan effort dilakukan dengan begitu besar sejak tahun 2006. Ini berarti
telah terjadi penurunan daya dukung lingkungan perairan yang disebabkan banyak terumbu karang yang rusak akibat beroperasinya TI apung di peraitan karang
sejak tahun 2003. Perbandingan antara jumlah produksi hasil tangkapan dengan effort pada ikan demersal dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Perbandingan Jumlah Produksi dan Effort pada Ikan Demersal
a. Estimasi Parameter Biologi
Parameter biologi diestimasi dengan menggunakan model estimator Gordon-Schaefer 1957. Adapun parameter yang diestimasi meliputi: tingkat
pertumbuhan instrinsik r, daya dukung lingkungan perairan K dan koefisien daya tangkap q. Hasil estimasi ketiga parameter biologi ini akan sangat berguna
dalam menentukan tingkat produksi lestari seperti maximum sustainable yield MSY dan maximum economic yield MEY.
Berdasarkan perhitungan seperti pada Lampiran 13 dan Lampiran 14, maka diperoleh parameter biologi untuk jenis ikan pelagis kecil dan ikan demersal
dalam Tabel 24. Berdasarkan tabel diperoleh hasil bahwa pada ikan pelagis kecil tingkat pertumbuhan instrinsiknya r adalah 0,0631 dan koefisien daya tangkap
q sebesar 2,24x10
-08
serta daya dukung lingkungan perairan K adalah 2.978.068,859 ton. Tingkat pertumbuhan instrinsik pada ikan demersal adalah
0.0641 dan koefisien daya tangkap q sebesar 7,85x10
-08
serta daya dukung lingkungan perairan K adalah 1.003.287 ton.
Tabel 24. Parameter Biologi. Parameter Pelagis
Kecil Demersal r 0,063110516
0,064132 q 2,23736E-08
7.,85E-08 K ton
2.978.068,859 1.003.287
Sumber: Lampiran 13 dan Lampiran 14
b. Estimasi Parameter Ekonomi
a. Harga dan Struktur Biaya
Data yang berkenaan dengan struktur biaya dan harga dalam penelitian ini merupakan data cross section dan series yang diperoleh melalui wawancara
dilapangan dan data sekunder dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Data harga nominal merupakan nilai rataan dari
segenap spesies berdasarkan kelompok sumberdayanya masing-masing. Penelitian ini mengelompokkan jenis ikan ke dalam dua jenis yaitu ikan pelagis kecil dan
ikan demersal. Harga yang digunakan pada ikan pelagis kecil adalah harga riil. Harga riil
adalah harga yang diperoleh dengan mengalikan dengan Indeks Harga Konsumen IHK. Pada penelitian ini digunakan IHK dengan tahun dasar 2002. Pada analisis
bioekonomi ini, harga riil ikan pelagis kecil adalah Rp 7,35 juta per ton. Harga ikan pelagis kecil dapat dilihat pada Tabel 25.
Tabel 25. Harga Ikan Pelagis Kecil Tahun Hargakg
Harga Jutaton IHK
Indeks 2002
Harga riil jt rpton
2001 12.476,00
12,47 283,83
91,56 11,42
2002 12.198,00 12,19
309,98 100,00
12,20 2003
12.733,00 12,73 110,45
35,63 4,54
2004 10.378,00 10,37
120,39 38,83
4,03 2005
12.570,00 12,57 141,39
45,61 5,73
2006 13.083,00 13,08
150,47 48,54
6,35 2007
14.383,00 14,38 154,44
49,82 7,17
Rata- rata
12.545,86 12,55
181,56 63,96 7,35
Sumber: Hasil analisis
Begitu juga halnya dengan harga pada ikan demersal. Harga yang digunakan adalah harga yang berlaku pata tahun tersebut dikalikan dengan IHK
untuk mendapatkan harga riil. Pada analisis bioekonomi ini, harga riil ikan demersal adalah Rp 19,43 juta per ton Harga ikan demersal dapat dilihat pada
Tabel 26.
Tabel 26. Harga Ikan Demersal Tahun Hargakg
Harga Jutaton IHK Indeks
2002 Harga riil jt
rpton 2001
24.500,00 24,50
283,83 91,56
22,43 2002
30.000,00 30,00
309,98 100,00
30,00 2003
38.200,00 38,20
110,45 35,63
13,61 2004
36.900,00 36,90
120,39 38,84
14,33 2005
36.789,00 36,79
141,39 45,61
16,78 2006
40.782,00 40,78
150,47 48,54
19,80 2007
38.297,00 38,29
154,44 49,82
19,08 Rata-
rata 35.066,86
35,07 181,56
63,98 19,43
Sumber: Hasil analisis
Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, yaitu nelayan jaring yang merupakan alat tangkap ikan pelagis kecil, maka diperoleh data terhadap biaya
yang dikeluarkan. Biaya total yang dikeluarkan setiap sekali melaut adalah Rp 84.000.-. Jika dikalikan dengan inflasi maka biaya riil yang dikeluarkan adalah
sebesar Rp 221.760,-. Biaya operasional alat tangkap jaring untuk setiap kali melakukan penangkapan ikan dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 27. Biaya Ikan Pelagis kecil Komponen Biaya
Per trip Es Rp
3.500 BBM Rp
25.000 Oli Rp
1.500 Pangan Rp
54.000 Jumlah Rp
84.000 Total Rp
84.000 Biaya Riil Rp
221.760 Biaya riil E Rp jutaribu hari
0,2218 Sumber: Data primer Hasil survei bulan Maret-April 2009
Pada ikan demersal biaya yang diperoleh dalam setiap kali penangkapan adalah Rp 206.500,- per trip. Jika dikalikan dengan inflasi maka biaya riil yang
dikeluarkan adalah sebesar Rp 545.160,-. Jumlah biaya dan komponen biaya yang dikeluarkan dapat dilihat pada Tabel 28. Rata-rata biaya riil tersebut diperoleh
berdasarka pada Tabel 29.
Tabel 28. Biaya Ikan Demersal Komponen Biaya
Per trip Es Rp
1.500 BBM Rp
75.000 Oli Rp
5.000 Pangan Rp
125.000 Jumlah Rp
206.500 Total Rp
206.500 Biaya Riil Rp
545.160 Biaya riil E Rp jutaribu hari
0,5452 Sumber: Data primer Hasil survei bulan Maret-April 2009
Tabel 29. Biaya Riil pada Penangkapan Ikan Pelagis Kecil dan Ikan Demersal Tahun
Biaya Riil Rp juta per trip Ikan Pelagis
Ikan Demersal 2001 0,2863
0,70380 2002 0,2218
0,54516 2003 0,1153
0,28353 2004 0,2167
0,53273 2005 0,4202
1,03290 2006 0,1546
0,38013 2007 0,0636
0,15627 Rata-Rata 0,2218
0,54516 Sumber: Hasil analisis
b. Estimasi Discount Rate
Discount rate merupakan suatu rate untuk mengukur manfaat masa kini dibandingkan manfaat yang akan datang dari ekploitasi sumberdaya alam. Tingkat
pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya menggambarkan persepsi masyarakat terhadap sumberdaya
alam itu sendiri. Karenanya discount rate seperti ini disebut juga sebagai social discount rate. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, biasanya tingkat
social discount rate tinggi karena menganggap nilai masa depan dari sumberdaya alam dan lingkungan lebih rendah dari saat ini.
Pengukuran tingkat
social discount rate sebenarnya relatif sulit karena adanya dinamika perkembangan sosial. Dinamika ini mengakibatkan persepsi
masyarakat terhadap sumberdaya alam bisa berbeda dari waktu ke waktu tergantung dari situasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Namun demikian,
kendala ini dapat di atasi melalui pendekatan tingkat suku bunga perbankan, yaitu keseimbangan antara suku bunga simpanan dan pinjaman. Di dalam penelitian ini,
tingkat discount rate yang digunakan adalah perhitungan discount rate Fauzi 2004 sebesar 8 dan market discount rate 15. Market discount rate yang
digunakan dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan nilai tengah discount rate yang umum digunakan untuk sumberdaya alam. Teknik ini merupakan teknik
penentuan tingkat discount rate yang sama digunakan oleh Fauzi 1998 dan Resosudarma 1995 serta Anna 2003.
c. Estimasi Produk Lestari
Produksi lestari dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu produksi lestari maksimum MSY dan produksi lestari secara ekonomi yang maksimum
MEY. Pada analisis estimasi MSY, variabel yang digunakan berupa parameter biologis saja, sedangkan pada analisis MEY, variabel yang digunakan bukan
hanya berupa parameter biologi saja, melainkan juga harus menggunakan beberapa parameter ekonomi. Parameter biologi yang digunakan dalam MSY
diantaranya parameter r, q, dan K, sedangkan parameter yang digunakan untuk menghitung MEY diantaranya ditambahkan peremeter ekonomi seperti c cost per
unit effort, harga riil real price, dan annual continues discount rate δ.
Pemanfaatan sumberdaya perikanan di Babel masih berada di bawah titik optimalnya. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 30 yang menunjukkan bahwa masih
terdapat selisih antara pemanfaatan aktual dan lestarinya. Pada ikan pelagis kecil, rata-rata jumlah produksi aktualnya adalah 40.287,49 ton yang masih dibawah
potensi lestarinya yaitu 42.477,18 ton. Pada ikan demersal produksi aktual juga masih di bawah potensi lestarinya yaitu produksi aktual 11.032,90 ton dan
lestarinya mencapai 13.113,70 ton. Tabel 30. Perbandingan Produksi Aktual dan Lestari
Tahun Produksi Ikan Pelagis Kecil ton
Produksi Ikan Demersal ton Aktual Lestari Aktual Lestari
2001 50.458,60
46.037,84 12.303,10
14.922,37 2002
53.651,98 45.022,37
13.617,55 14.661,26
2003 56.733,75
43.423,91 14.241,62
13.452,26 2004
20.348,62 46.350,41
9.819,66 9.011,93
2005 35.472,15
39.118,09 7.684,10
16.043,62 2006
31.488,95 41.925,79
9.829,89 9.392,17
2007 33.858,40
35.461,87 9.734,36
14.312,31 Rata
40.287,49 42.477,18
11.032,90 13.113,70
Sumber: Hasil Analisis, 2009 Berdasarkan Gambar 18 dapat diperhatikan bahwa produksi ikan pelagis
kecil sempat mengalami overeksploitasi dimana jumlah produksi aktual berada diatas produksi lestarinya. Hal tersebut terjadi sejak tahun 2001 hingga 2003.
Akan tetapi, mulai dari tahun 2004 hingga 2007 produksi aktual pada ikan pelagis
kecil berada dibawah produksi lestarinya. Gap yang paling besar terjadi pada tahun 2004, kemudian mengecil pada tahun-tahun selanjutnya.
Gambar18. Perbandingan Produksi Aktual dan Produksi Lestari Ikan Pelagis Kecil
Pada jenis ikan demersal, secara umum nilai produksi aktualnya berada dibawah produksi lestarinya. Ini menandakan bahwa jenis ikan ini masih memiliki
potensi yang cukup besar untuk ditingkatkan produksinya. Pada Gambar 19 terlihat bahwa sejak tahun 2001 hingga 2007, kurva produksi lestari berada diatas
kurva produksi aktualnya.
Gambar 19. Perbandingan Produksi Aktual dan Produksi Lestari Ikan Demersal
Jumlah upaya tangkap pada ikan pelagis kecil sudah berada diatas jumlah effort yang seharusnya dilakukan. Pada Gambar 20 terlihat bahwa jumlah effort
aktual telah melewati jumlah effort pada kondisi open access dan MEY. Pada tahun 2001 hingga 2002, jumlah effort aktual masih berada dibawah effort open
acces, setelah tahun 2003 hingga 2006 jumlah effort-nya telah melebihi batas effort kondisi open access. Jumlah effort MEY selalu berada dibawah effort
aktualnya yang mengindikasikan telah upaya penangkapan ikan pelagis kecil tidak efesien secara ekonomi.
Gambar 20. Perbandingan Effort Aktual, MEY dan OA pada Ikan Pelagis Kecil
Pada ikan demersal, jumlah effort aktualnya masih berada dibawah jumlah effort yang pada kondisi open access. Kondisi ini terjadi sejak tahun 2001 hingga
2005. Jumlah effort aktual melewati batas jumlah effort open access mulai terjadi pada tahun 2005 hingga 2006 dan kembali menurun pada tahun selanjutnya.
Hampir sama dengan ikan pelagis kecil, pada ikan demersal jumlah effort MEY selalu berada dibawah effort aktualnya yang mengindikasikan telah upaya
penangkapan ikan pelagis kecil tidak efesien secara ekonomi. Grafik perbandingan effort ikan demersal ini disajikan pada Gambar 21.
Gambar 21. Perbandingan Effort Aktual, MEY dan OA pada Ikan Demersal
Berdasarkan perhitungan pada Lampiran 15, maka diperoleh nilai bioekonomi terhadap ikan pelagis kecil di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Estimasi dilakukan pada beberapa rejim pengelolaan yaitu kondisi MSY Maximum Sustainable Yield, kondisi pemilik tunggal Sole Owner Maximum
Economic Yield, dan kondisi akses terbuka open access. Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada Tabel 31.
Tabel 31. Hasil Analisis Bioekonomi Ikan Pelagis Kecil
Parameter MSY MEY
Open Access Aktual
X ton 1.489.034,43
2.163.438,44 1.348.808,02
- Hton
46.986,87 37.348,41
46.570,16 40.287,49
Etrip 1.410.377,94
771.598,53 1.543.197,06
1.750.237,14 RenteRp juta
32.516,10 103.343,96
-
92.081,20 Sumber: Lampiran 15
Pada kondisi MSY, jumlah stok ikan pelagis kecil yang ada adalah sebanyak 1.489.034,43 ton dengan hasil tangkapan sebesar 46.986,87 ton dan
jumlah upaya tangkap sebanyak 1.410.377,94 trip sehingga jumlah rente yang didapatkan adalah Rp 32.516,10 juta. Pengelolaan sole owner menghasilkan
standing stock sebanyak 2.163.438,44 ton dengan hasil tangkapan sebesar 37.348,41 ton dan jumlah upaya tangkap sebanyak 771.598,53 trip sehingga
jumlah rente yang didapatkan adalah Rp 103.343,96 juta. Pada kondisi open access, stok ikan pelagis kecil yang ada adalah sebanyak 1.348.808,02 ton dengan
hasil tangkapan sebesar 46.570,16 ton dan jumlah upaya tangkap sebanyak 1.543.197,06 trip.
Nilai rente sumberdaya ikan pelagis kecil pada kondisi open access adalah nol. Ini berarti jika sumberdaya ikan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
dibiarkan terbuka untuk setiap orang, maka persaingan usaha pada kondisi ini menjadi tidak terkendali sehingga mengakibatkan nilai keuntungannya menjadi
nol. Pada rejim pengelolaan sole owner atau MEY, nilai rente yang diperoleh adalah nilai yang tertinggi jika dibandingkan dengan kondisi MSY. Selain itu,
pada MEY jumlah stok ikan diperairan menghasilkan jumlah yang paling banyak.
Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis kecil secara statik di perairan Kepulauan Bangka Belitung dikelola dengan rejim pengelolaan sole
owner. Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan secara MEY pada ikan pelagis
kecil, maka ada beberapa skenario kebijakan yang harus dilakukan antara lain: 1.
Pengaturan Property Right dari Pemerintah Daerah Pada
rejim sole owner, pengaturan property right sangat diperhatikan.
Pemerintah Daerah baik pemerintah provinsi, kabupaten dan kota harus bekerjasama dalam hal pengaturan property right ini. Berdasarkan Undang-
Undang No 32 tahun 2004 maka pemerintah provinsi berhak mengelola wilayah laut sejauh 12 mil dan 4 mil dari garis pantai dikelola oleh kabupaten dan kota.
Oleh karena itu, pemerintah Bangka Belitung harus kembali mengatur pembagian mengenai wilayah pengelolaan, sehingga kedepannya akan memudahkan dalam
hal pemberian ijin penangkapan ikan dan pengelolaan sumberdaya pada masing- masing wilayah.
2. Pengurangan upaya penangkapan Effort
Berdasarkan perhitungan MEY, jumlah effort yang diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil adalah berjumlah 771.598,53 trip.
Target jumlah ini menyebabkan diharuskannya pengurangan upaya tangkap yang dilakukan. Jika pada kondisi aktual jumlah effort adalah 1.750.237,14 trip, maka
jumlah yang harus dikurangi sebesar 978.638,61 trip. Hal ini menunjukkan secara ekonomi, usaha penangkapan ikan pelagis kecil di perairan Babel sudah tidak
efesien lagi. Penyebab utama adalah selain stok ikan yang sedikit dan sulit ditangkap, lokasi penangkapan juga sudah harus dilakukan penangkapan dengan
jarak yang relatif jauh dari tempat tinggal nelayan. 3.
Peningkatan kegiatan pengawasan untuk mencegah illegal fishing. Salah satu penyebab penurunan jumlah tangkapan nelayan adalah
maraknya kegiatan pencurian ikan illegal fishing yang dilakukan oleh nelayan luar. Nelayan luar yang banyak menangkap ikan di perairan Babel berasal dari
wilayah Kepulauan Seribu dan Pekalongan. Selain itu, nelayan asing dari Thailand, Vietnam dan Filipina juga seringkali melakukan penangkapan di sekitar
Babel. Oleh karena itu, pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung harus
meningkatkan kegiatan pengawasan di perairannya dengan menambah jumlah armada kapal pengawas dan personil pengawas.
Pengelolaan sumberdaya perikanan secara dinamik dengan menggunakan discount rate 8 dan 15 disajikan pada Tabel 32. Analisis secara dinamik ini
bertujuan untuk mengetahui pengelolaan yang tepat agar sumberdaya ikan pelagis kecil dapat dikelola secara berkelanjutan. Dengan mengetahui jumlah ikan yang
boleh ditangkap dan jumlah effort yang bisa dilakukan maka sumberdaya ikan pelagis kecil di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dapat dimanfaatkan secara
optimal dan lestari.
Tabel 32. Pengelolaan Optimum pada Ikan Pelagis Kecil Parameter
Optimum 8 Optimum 15
Aktual X ton
1.739.499,86 1.602.731,31
- Hton
45.657,44 46.712,92
40.287,49 Etrip
1.173.143,05 1.302.686,97
1.750.237,14 Rente Rp juta
75.356,09 54.384,57
92.081,20 Rente Overtime Rp
Juta 1.478.520,59 792.127,99
- Sumber: Lampiran 15
Pengelolaan secara optimal dengan memasukkan nilai discount rate 8 dan 15 menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan pengelolaan
sebelumnya. Nilai rente pada discount rate 8 adalah Rp 75.356,10 juta dan rente pada discount rate 15 adalah Rp 54.384,57. Pada pengelolaan ini, secara
overtime menunjukkan hasil yang jauh lebih besar yaitu Rp 1.478.520,59 juta pada discount rate 8 dan Rp 792.127,99 juta pada discount rate 15. Pada
tabel juga terlihat semakin rendah nilai discount rate, maka jumlah input produksi semakin sedikit sehingga secara alami jumlah pertumbuhan alami sumberdaya
ikan pelagis kecil semakin meningkat dan lestari. Berdasarkan Tabel 32 maka dapat disimpulkan bahwa pengelolaan yang
optimal dan lestari pada ikan pelagis kecil harus dilakukan sesuai dengan hasil yang telah diperoleh. Ini berarti pemerintah daerah khususnya Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung harus menetapkan beberapa kebijakan pengelolaan. Kebijakan yang harus dibuat adalah menetapkan jumlah
ikan pelagis kecil yang boleh ditangkap pertahunnya berjumlah 45.657,44 ton. Jika dibandingkan dengan produksi aktualnya maka masih terdapat selisih
sehingga jumlah produksi masih bisa ditingkatkan sebesar 5.369,95 ton. Kebijakan lainnya adalah jumlah effort penangkapan ikan pelagis kecil harus
dikurangi sebesar 577.094,09 trip karena effort aktualnya telah melebihi effort optimal.
Berdasarkan perhitungan pada Lampiran 16, maka diperoleh nilai bioekonomi terhadap ikan demersal di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada Tabel 33.
Tabel 33. Hasil Analisis Bioekonomi Ikan Demersal
Parameter MSY MEY
Open Access Aktual
X ton 501.643,41
680.352,39 357.417,95
- Hton
16.085,82 14.044,34
14.756,17 11.032,90
Etrip 408.551,06
263.005,96 526.011,92
367.205,86 RenteRp juta
89.874,38 129.547,06
- 14.219,27
Sumber: Lampiran 16
Pada kondisi MSY, jumlah stok ikan demersal adalah sebanyak 501.643,41 ton dengan hasil tangkapan sebesar 16.085,82 ton dan jumlah upaya
tangkap sebanyak 408.551,06 trip sehingga jumlah rente yang didapatkan adalah Rp. 89.874,38 juta. Pengelolaan sole owner menghasilkan standing stock
sebanyak 680.352,39 ton dengan hasil tangkapan sebesar 14.044,34 ton dan jumlah upaya tangkap sebanyak 263.005,96 trip sehingga jumlah rente yang
didapatkan adalah Rp 129.547,06 juta. Pada kondisi open access, stok ikan adalah sebanyak 357.417,95 ton dengan hasil tangkapan sebesar 14.756,17 ton
dan jumlah upaya tangkap sebanyak 526.011,92 trip. Berdasarkan besaran nilai rente yang diperoleh, pada rejim pengelolaan
sole owner atau MEY, nilai rente yang diperoleh adalah nilai yang tertinggi jika dibandingkan dengan kondisi lainnya. Selain itu, pada MEY jumlah stok ikan
diperairan menghasilkan jumlah yang paling banyak. Oleh karena itu, pengelolaan
sumberdaya perikanan demersal secara statik di perairan Kepulauan Bangka Belitung dikelola dengan rejim pengelolaan MEY atau sole owner.
Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan secara MEY pada ikan pelagis kecil, maka ada beberapa skenario kebijakan yang harus dilakukan antara lain:
1. Pengaturan Property Right dari Pemerintah Daerah
Sama dengan pengelolaan pada ikan pelagis kecil, pada rejim sole owner, pengaturan property right merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu,
pemerintah Bangka Belitung harus kembali mengatur pembagian mengenai wilayah pengelolaan sehingga kedepannya akan memudahkan dalam hal
pemberian ijin penangkapan ikan dan pengelolaan sumberdaya pada masing- masing wilayah. Selain itu pemerintah harus menjaga agar jumlah ijin yang
diberikan tidak melebihi batas yang wilayah penangkapan yang telah ditetapkan. 2.
Pengurangan upaya penangkapan Effort Berdasarkan perhitungan MEY, jumlah effort yang diperlukan dalam
pengelolaan sumberdaya ikan demersal adalah berjumlah 263.005,96 trip. Target jumlah ini menyebabkan diharuskannya pengurangan upaya tangkap yang
dilakukan. Jika pada kondisi aktual jumlah effort adalah 367,205.86 trip, maka jumlah yang harus dikurangi sebesar 104.199,9 trip. Penyebab utama pengurangan
trip ini adalah kerena biaya yang harus dikeluarkan relatif besar untuk mendatangi fishing ground. Sebab karang yang menjadi habitat ikan demersal sudah jauh
berkurang dan kondisinya sudah banyak yang rusak akibat penambangan timah di peisisr dan laut.
3. Peningkatan kegiatan pengawasan untuk mencegah illegal fishing.
Harga ikan demersal yang relatif mahal menyebabkan banyak nelayan luar Bangka Belitung menangkap ikan di perairan karang yang banyak tersebar di
wilayah ini. Hal ada ikan menyebabkan penurunan jumlah tangkapan nelayan adalah maraknya kegiatan pencurian ikan illegal fishing yang dilakukan oleh
nelayan luar daerah maupun nelayan asing. Oleh karena itu, pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung harus meningkatkan kegiatan pengawasan di
perairannya dengan menambah jumlah armada kapal pengawas dan personil pengawas.
4. Penghentian kegiatan pertambangan timah di areal terumbu karang
Terumbu karang yang menjadi habitat ikan-ikan karang sudah jauh berkurang jumlahnya. Penyebab utamanya adalah kebiatan penambangan karang
sebagai fondasi jalan dan rumah di pemukiman wilayah pesisir pantai. Kerusakan diperparah dengan meningkatnya jumlah penambangan timah dengan TI apung di
sungai, pantai dan laut. Lokasi penambangan yang berada di areal terumbu karang sudah pasti merusak karang di laut, selain itu aktivitas penambangan di sungai dan
laut juga menyebabkan tingginya kekeruhan air laut yang pada akhirnya mematikan bagi terumbu karang yang letaknya tidak berada di daerah
penambangan. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
harus mengeluarkan peraturan dan memberi sanksi yang tegas pada perusahaan dan mayarakat yang melakukan penambangan timah di wilayah terumbu karang.
Agar peraturan ini dapat berjalan maka pemerintah harus benar-benar mengadakan pengawasan secara terus menerus dan memberikan denda yang
sangat besar pada para pelaku penambangan ini. Pengelolaan sumberdaya ikan demersal secara dinamik dengan
menggunakan discount rate 8 dan 15 disajikan pada Tabel 34. Analisis secara dinamik ini bertujuan untuk mengetahui pengelolaan yang tepat agar sumberdaya
ikan demersal dapat dikelola secara berkelanjutan. Dengan mengetahui jumlah ikan yang boleh ditangkap dan jumlah effort yang bisa dilakukan maka
sumberdaya ikan demersal di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari.
Tabel 34. Pengelolaan Optimum pada Ikan Demersal Parameter
Optimum 8 Optimum 15
Aktual X ton
501.008,25 446.424,47
- Hton
16.085,80 15.890,91 11.032,90
Etrip 409.068,35
453.522,76 367.205,86 RenteRp juta
89.591,87 61.569,91 14.219,27
Rente Overtime Rp Juta 3.138.120,07
1.742.894,06 -
Sumber: Lampiran 16
Pengelolaan secara optimal dengan nilai discount rate 8 dan 15 menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan pengelolaan MSY. Nilai rente
pada discount rate 8 adalah Rp. 89.591,87 juta dan rente pada discount rate 15 adalah Rp. 61.569,91 juta. Pengelolaan ini, secara overtime menunjukkan
hasil yang jauh lebih besar yaitu Rp 3.138.120,07 juta pada discount rate 8 dan Rp. 1.742.894,06 juta pada discount rate 15. Pada tabel juga terlihat semakin
rendah nilai discount rate, maka jumlah input produksi semakin sedikit sehingga secara alami jumlah pertumbuhan alami sumberdaya ikan demersal semakin
meningkat dan lestari. Berdasarkan Tabel 34 maka dapat disimpulkan bahwa pengelolaan yang
optimal dan lestari pada ikan demersal harus dilakukan sesuai dengan hasil yang telah diperoleh dengan discount rate 8. Ini berarti pemerintah daerah khususnya
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung harus menetapkan beberapa kebijakan pengelolaan. Kebijakan yang harus dibuat adalah
menetapkan jumlah ikan demersal yang boleh ditangkap per tahunnya berjumlah 16.085,80 ton. Jika dibandingkan dengan produksi aktualnya maka masih terdapat
selisih sehingga jumlah produksi masih bisa ditingkatkan sebesar 5.052,90 ton. Kebijakan lainnya menetapkan jumlah effort yang diperbolehkan sebesar
409.068,35 trip. Ini berarti jumlah effort penangkapan ikan demersal masih bisa ditambah sebesar 41.862,49 trip.
Interaksi antar sektor dalam bidang kelautan ternyata cukup erat. Interaksi ini terjadi baik secara positif maupun negatif. Interaksi yang terjadi antar
sumberdaya perikanan dengan pertambangan, khususnya timah adalah bersifat negatif. Sebagaimana seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terjadinya
penurunan produksi penangkapan ikan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung disebabkan oleh maraknya penambangan timah. Aktivitas penambangan timah di
wilayah pesisir dan laut telah menyebabkan kerusakan habitat ikan baik untuk mencari makan maupun sebagai tempat berkembang biak. Oleh karena itu, untuk
mengetahui besarnya dampak penambangan timah terhadap produksi ikan, maka dilakukan analisis degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan.
Pada analisis degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan pelagis kecil, hal pertama yang harus dilakukan adalah melakukan analisis keterkaitan antara
produksi penambangan timah dengan produksi hasil tangkapan ikan. Hal ini dapat dilihat seperti yang ditampilkan pada Tabel 35.
Tabel 35. Jumlah Produksi Timah dan Produksi Ikan Pelagis Kecil
Tahun
Tambang Ton
Produksi ikan h ton
Harga Ikan Rp
jutaton Biaya effort
Rp jutatrip
Effort Et
Trip Income
Rp juta
2001 45.053,31 50.458,60
11,42 1,00
1.209.937,00 576.415
2002 61.431,10 53.651,98
12,20 0,77
1.698.763,00 654.447
2003 60.096,34 56.733,75
4,54 0,40
1.798.754,00 257.397
2004 54.182,08 20.348,62
4,03 0.,76
1.574.524,00 82.017
2005 58.453,70 35.472,15
5,73 1,47
1.987.544,00 203.380
2006 118.555,26 31.488,95
6,35 0,54
1.873.258,00 199.978
2007 86.304,52 33.858,40
7,17 0,22
2.108.880,00 242.629
Sumber: Hasil analisis
Langkah selanjutnya adalah mencari koefisien keterkaitan antar hubungan produksi timah dengan produksi ikan. Berdasarkan hasil regresi pada Lampiran
17, maka diperoleh hasil seperti pada Tabel 36. Tabel 36. Hasil Simulasi untuk Efek dari Penambangan Timah pada Open Access
Equilibrium Ikan Pelagis Kecil selama tahun 2001-2007
Tahun Harga Ikan
Rp Jutaton p
Biaya effort Rp jutatrip
c Perubahan
keseimbangan produksi dha
metric ton Perubahan
keseimbangan harga pdh Rp
Juta 2001
11,42 1,00 14,27
163,02 2002
12,20 0,77 10,35
126,28 2003
4,54 0,40 14,48
65,68 2004
4,03 0.,76 30,62
123,40 2005
5,73 1,47 41,73
239,26 2006
6,35 0,54 13,86
88,05 2007
7,17 0,22 5,05
36,20 Rata-rata
11,42 1,00 18,62
120,27 Sumber: Lampiran 17
Berdasarkan Tabel 36, maka selama tahun 2001 sampai dengan tahun 2007 dapat diketahui bahwa telah terjadi peningkatan jumlah produksi timah tiap
tahunnya yang mengakibatkan terjadinya penurunan keseimbangan produksi dH pada ikan pelagis kecil sebesar 18.620 ton. Hal tersebut setara dengan perubahan
keseimbangan harga pdH sebesar Rp 120.270.000,- per tahun. Penurunan yang paling besar terjadi pada tahun 2004 hingga 2005. Pada
tahun-tahun tersebut di beberapa wilayah Bangka Belitung jumlah produksi ikan menjadi nol. Hal ini disebabkan selain kondisi lingkungan perairan yang rusak
akibat limbah penambangan timah, juga disebabkan beralihnya seluruh nelayan di lokasi tertentu menjadi pekerja penambang timah. Perbandingan produksi ikan
pelagis kecil akibat penambangan timah dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 22.
Gambar 22. Perbandingan Produksi Ikan Pelagis Kecil Akibat Pertambangan
Pada analisis degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan demersal, hubungan antara produksi penambangan timah dengan jumlah hasil tangkapan
ikan dapat dilihat pada Tabel 37.
Tabel 37. Jumlah Produksi Timah dan Produksi Ikan Demersal
Tahun Tambang
Produksi ikan h
ton Harga Ikan
Rp jutaton Biaya
effort Rp jutatrip
Effort Et
Trip Income
Rp juta
2001 45.053,31 11.653,10 22,43
2,46 298.676,00
275.998 2002 61.431,10 12.921,48
30,00 1,90
286.970,00 408.527
2003 60.096,34 13.510,12 13,61
0,99 243.242,00
193.845 2004 54.182,08 8.863,45
14,33 1,86
137.623,00 140.728
2005 58.453,70 7.009,09 16,78
3,60 387.625,00
128.942 2006 118.555,26 9.253,99
19,80 1,33
672.097,00 194.596
2007 86.304,52 9.145,96 19,08
0,55 544.208,00
185.737
Sumber: Hasil analisis Hasil analisis regresi yang dilakukan pada Lampiran 18, menghasilkan
nilai koefisien keterkaitan antar produksi timah dengan jumlah produksi ikan demersal hasil yang diperoleh berdasarkan koefisien tersebut. Koefisien analisis
regresi tersebut dimasukkan ke dalam persamaan perhitungan produksi ikan. Pengaruhnya adalah terjadinya perubahan dalam nilai koefisien K.
Berdasarkan Tabel 38, maka selama tahun 2001 sampai dengan tahun 2007 dapat diketahui bahwa dengan semakin meningkatnya produksi
penambangan timah tiap tahunnya maka mengakibatkan penurunan keseimbangan produksi dH ikan demersal sebesar 4.620 ton. Hal tersebut setara dengan
perubahan keseimbangan harga pdH sebesar Rp 85.500.000,- per tahun. Tabel 38. Hasil Simulasi untuk Efek dari Penambangan Timah pada Open Access
Equilibrium Ikan Demersal selama tahun 2001-2007
Tahun Harga Ikan
Rp jutaton p
Biaya effort Rp jutatrip
c Perubahan
keseimbangan produksi dha
metric ton Perubahan
keseimbangan harga pdh Rp
juta 2001
22,43 2,46
5,17 115,90
2002 30,00
1,90 2,99
89,77 2003
13,61 0,99
3,43 46,69
2004 14,33
1,86 6,12
87,73 2005
16,78 3,60
10,14 170,09
2006 19,80
1,33 3,16
62,60 2007
19,08 0,55
1,35 25,73
Rata-rata 19,43
1,81 4,62
85,50 Sumber: Lampiran 18
Pada ikan demersal penurunan yang paling besar terjadi pada tahun 2005. dengan jumlah produksi ikan menjadi nol. Hal ini disebabkan selain kondisi
lingkungan perairan yang rusak akibat limbah penambangan timah, juga disebabkan beralihnya seluruh nelayan di lokasi tertentu menjadi pekerja
penambang timah. Perbandingan produksi ikan pelagis kecil akibat penambangan timah dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 23.
Gambar 23. Perbandingan Produksi Ikan Demersal Akibat Pertambangan
6.2 Analisis Laju DegradasiDepresiasi Sumberdaya Perikanan Status degradasi dan depresiasi sumberdaya perikanan masih relatif aman
karena masih berada dikisaran nilai 0,5. Pada ikan pelagis kecil, rata-rata laju degradasinya adalah 0,2821 dan laju depresiasinya adalah 0,3143. Dan pada ikan
demersal rata-rata laju degradasi adalah 0,2655 dengan laju depresiasi sebesar 0,3419. Nilai laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya perikanan ini dapat
dilihat secara lebih jelas pada Tabel 39.
Tabel 39 . Hasil Analisis Koefisien Laju Degradasi dan Depresiasi Tahun
Ikan Pelagis Kecil Ikan Demersal
Laju Degradasi Laju Depresiasi Laju Degradasi Laju Depresiasi
2001 0,2505 0,2241
0,2464 0,3573
2002 0,2330 0,1665
0,1980 0,2912
2003 0,2131 0,1838
0,2388 0,2558
2004 0,3920 0,7171
0,3666 0,2469
2005 0,2877 0,2435
0,2348 0,6502
2006 0,3206 0,3840
0,3026 0,2423
2007 0,2779 0,2812
0,2712 0,3495
Rata-rata 0,2821 0,3143
0,2655 0,3419 Sumber: Hasil Analisis, 2009
Secara umum, kedua jenis ikan tersebut tidak mengalami degradasi sumberdaya. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 24 yang menunjukkan bahwa
sejak tahun 2001 hingga 2007, sumberdaya ikan pelagis kecil dan ikan demersal masih dibawah ambang batas degradasi. Hal ini bisa terjadi karena potensi
sumberdaya perikanan yang masih cukup melimpah di perairan Bangka Belitung. Akan tetapi, angka ini tidak menggambarkan kondisi sumberdaya yang
sebenarnya karena ada dampak eksternal lain yang bisa menjadikan laju degradasi bertambah parah yaitu dampak pencemaran akibat pertambangan dan maraknya
illegal fishing yang dilakukan oleh nelayan luar daerah dan nelayan asing.
Gambar 24. Trajektori Laju Degradasi Ikan Pelagis Kecil dan Demersal
Nilai laju degradasi yang masih belum melewati threshold ini menunjukkan secara umum pemanfaatan sumberdaya perikanan di Provinsi
Bangka Belitung masih besar. Berdasarkan analisis optimum pada ikan pelagis kecil dan ikan demersal masih dimungkinkannya penambahan produksi
perikanan. Hal ini disebabkan jumlah hasil tangkapan aktualnya masih berada dibawah jumlah tangkapan optimalnya.
Begitu pula halnya dengan laju depresiasi ikan pelagis kecil dan ikan demersal. Akan tetapi, pada tahun 2004, ikan pelagis kecil mengalami depresiasi
yang cukup besar yaitu sebesar 0,7171. Ini berarti pada tahun tersebut, ikan pelagis kecil mengalami depresiasi karena melebihi ambang batasnya yaitu 0,5.
Pada ikan demersal, depresiasi juga terjadi yaitu pada tahun 2005 dengan nilai 0,6502. Laju depresiasi kedua jenis ikan tersebut dapat dilihat secara jelas pada
Gambar 25.
Gambar 25. Trajektori Laju Depresiasi Ikan Pelagis Kecil dan Demersal
6.3 Analisis Input-Output