Perumusan Masalah Analisis Wilayah Untuk Pengembangan Peternakan Sapi Potong Di Kabupaten Cianjur

8

2.3. Kesesuaian Hijauan Makanan Ternak

Sapi potong termasuk salah satu ternak ruminansia dan merupakan herbivora. Ternak herbivora memerlukan hijauan sebagai makanannya. Sapi potong memerlukan hijauan makanan ternak lebih dari 60 dari seluruh bahan makanan yang dikonsumsi, baik dalam bentuk segar maupun bahan kering. Oleh karena itu, penyediaan hijauan makanan ternak yang cukup dan mempunyai kualitas yang bermutu tinggi perlu mendapat perhatian utama. Dengan demikian lokasi untuk pengembangan peternakan ruminansia perlu pula didukung oleh ketersediaan pakan yang berkualitas. Iklim adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi mutu hijauan. Di daerah tropika basah yang wilayahnya banyak terjadi erosi, maka dapat mengakibatkan defisiensi mineral dalam tanaman. Selain itu drainase yang kurang baik juga sering meningkatkan proses ekstraksi mineral, terutama unsur mikro, misalnya Mn atau Co, yang menyebabkan tingginya konsentrasi unsur tersebut dalam jaringan tanaman. Diketahui pula bahwa bila pH meningkat maka jumlah Fe, Mn, Cu, Zn, dan Co yang digunakan oleh tanaman menurun, sebaliknya jumlah Mo dan Se meningkat. Selain itu, kadar mineral antar spesies tanaman sering berbeda cukup besar. Berdasarkan hasil penelitian dari 58 spesies rerumputan yang tumbuh di lahan yang sama menunjukkan kisaran konsentrasi mineral BK: abu sebesar 4,0 –12,2; Ca sebesar 0,07–0,55; dan P sebesar 0,05 –0,37. Pada umumnya daun-daun leguminosa lebih banyak mengandung mineral dibandingkan dengan rumput. Selain itu, dengan semakin menuanya tanaman, maka kadar mineral juga semakin menurun, yang dikarenakan oleh proses pengenceran alamiah ataupun karena pemindahan mineral ke sistem akar. Umumnya mineral-mineral yang bersifat demikian antara lain adalah P, K, Mg, Cl, Cu, Co, Fe, Se, Zn, dan Mo Parakkasi 1990. Kekurangan pakan hijauan di musim kemarau, merupakan masalah yang rutin setiap tahun bagi petani yang memelihara ternak ruminansia. Dalam ransum ternak ruminansia, rumput lebih banyak digunakan karena selain lebih murah juga lebih mudah diperoleh. Di samping itu, rumput mempunyai produksi yang lebih tinggi dan lebih tahan terhadap tekanan defoliasi pemotongan dan renggutan. Untuk meningkatkan produksi dan produktivitas ternak, ketersediaan dan kontinuitas hijauan makanan ternak sangat diperlukan. Untuk itu perlu diwujudkan adanya lahan yang digunakan sebagai kebun hijauan makanan ternak dan padang penggembalaan. Standar teknis perluasan areal padang penggembalaan menurut Ditjen PSP 2013 adalah sebagai berikut: a lahan untuk membangun padang penggembalaan adalah pada tanah yang relatif subur; b kemiringantopografi lahan padang penggembalaan maksimal 15; c kemiringantopografi lahan untuk perluasan areal kebun hijauan makanan ternak maksimum 40 d luas padang penggembalaan minimal 10 ha per hamparan; e rumput yang ditanam adalah jenis rumput injakan serta 20 sampai dengan 25 dari luas padang penggembalaan ditanami rumput potong. 9

2.4. Daya Dukung Lahan

Daya dukung menunjukkan besarnya kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan hewan, yang dinyatakan dalam jumlah ekor per satuan luas lahan. Jumlah hewan yang dapat didukung kehidupannya tergantung pada biomassa bahan organik tumbuhan yang tersedia untuk hewan. Daya dukung ditentukan oleh banyaknya bahan organik tumbuhan yang terbentuk dalam proses fotosintesis per satuan luas dan waktu, yang disebut produktivitas primer Soemarwoto 1983. Penentuan daya dukung lingkungan tertuang dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah, yang dilakukan dengan cara mengetahui kapasitas lingkungan alam dan sumber daya untuk mendukung kegiatan manusiapenduduk yang menggunakan ruang bagi kelangsungan hidupnya. Besarnya kapasitas daya dukung lingkungan di suatu tempat dipengaruhi oleh keadaan dan karakteristik sumber daya yang terdapat di hamparan ruang yang bersangkutan. Daya dukung lahan tersebut terkait dengan ketersediaan dan kebutuhan lahan yang dapat mencukupi kebutuhan produksi hayati bagi penduduk yang hidup di suatu wilayah. Daya dukung lahan ditentukan oleh banyak faktor. Faktor biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya saling mempengaruhi satu sama lain. Daya dukung tergantung pada persentasi lahan yang dapat digunakan untuk peruntukan tertentu yang berkelanjutan dan lestari. Persentase lahan ditentukan oleh kesesuaian lahan untuk peruntukan tertentu. Menurut Ardhani 2008, daya dukung wilayah terhadap ternak adalah kemampuan wilayah untuk menampung sejumlah populasi ternak secara optimal, yang sifatnya sangat spesifik antar agroekosistem. Dengan pengertian ini maka: a. Daya dukung wilayah terhadap peternakan tradisional adalah kemampuan wilayah untuk menghasilkan pakan terutama berupa hijauan yang dapat mencukupi bagi kebutuhan sejumlah populasi ternak baik dalam bentuk segar maupun kering tanpa melalui pengolahan dan tambahan khusus. Nilai daya dukung tersebut diperoleh dari total hijauan pakan tercerna yang tersedia bagi sejumlah populasi ternak di wilayah itu dengan mempertimbangkan nilai manfaat lain secara optimum. b. Daya dukung riil yaitu kemampuan lahan pada wilayah bersangkutan untuk menghasilkan hijauan pakan yang tersedia dan lazim digunakan dan terjangkau pemanfaatannya c. Daya dukung potensial yaitu kemampuan lahan untuk menghasilkan hijauan pakan berupa peluang-peluang pengembangan, budidaya, dan pengolahannya menyimpan pemangkasan.

2.5. Sistem Informasi Geografis

Sistem informasi geografis SIG menjadi salah satu perangkat yang banyak digunakan untuk analisis mengenai keruangan spasial. Sistem informasi geografis secara harfiah diartikan sebagai suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis, dan sumberdaya manusia yang 10 bekerja bersama secara efektif untuk menangkap, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisis dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis. Dengan demikian SIG merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang tidak dapat berdiri sendiri Puntodewo et al. 2003. Pemanfaatan SIG bertujuan untuk memecahkan berbagai persoalan yang dibutuhkan dalam pengelolaan data yang bereferensi geografis. SIG mampu mengintegrasikan rangkaian data yang bervariasi mulai data atribut seperti data lapangan, data spasial maupun data penginderaan jauh, sebagai salah satu sumber data yang sangat bermanfaat dalam SIG. Pemetaan bumi dengan menggunakan sistem informasi geografis dalam bidang pertanian digunakan untuk memberikan informasi penggunaan lahan, keragaman vegetasi, luas panen, perubahan luas areal pertanian, memprediksi volume biomassa dari suatu jenis vegetasi dalam satuan luas tertentu Ma’sum 1999. Menurut Suharta et al. 1996, pembangunan pertanian modern dicirikan antara lain oleh penggunaan teknologi tinggi, akrab lingkungan dan pemilihan komoditas yang berorientasi pasar. Untuk menunjang hal tersebut data dan informasi sumberdaya lahan dan lingkungannya sangat diperlukan dalam waktu cepat, mudah, dan akurat. Hal tersebut hanya dapat diwujudkan apabila data dan informasi tersebut tersimpan dalam suatu sistem basis data database system yang mampu bekerja dan menganalisis data secara cepat dan menampilkan hasilnya dalam berbagai format sesuai dengan yang diinginkan pengguna, baik dalam bentuk tabular atau dalam bentuk kartografik. Dalam hal ini SIG memiliki kemampuan dalam menangani data sumberdaya lahan tersebut menjadi lebih atraktif dan informatif, diantaranya dengan menghasilkan peta-peta digital. Aplikasi SIG digunakan oleh Saefurrohman 2005 dalam perancangan basis data pengunaan lahan dan informasi geografi untuk perencanaan penggunaan lahan dan wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Nugroho dan Prayogo 2008 menggunakan SIG untuk mengidentifikasi lahan kritis di DAS Agam Kuantan di Sumatera Barat guna keperluan konservasi lahan lebih lanjut. Dalam bidang perencanaan yang terkait dengan peternakan, Dharmesh et al. 1995 menggunakan SIG untuk mendelineasi lahan optimal penggembalaan ternak dalam strategi pengelolaan produksi ternak demi tercapainya efisiensi konsumsi pakan ternak di lahan penggembalaan. Sedangkan Luoto et al. 2003 memetakan pengaruh berkurangnya keragaman spesies akibat semakin menyempitnya area penggembalaan ternak sapi potong. Adinata et al. 2009 yang membuat peta sebaran populasi sapi untuk memprediksi kebutuhan hijauan makanan ternak di Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mencegah terjadinya over capacity. Hal yang sama pula dilakukan oleh Sulaeman et al. 2012 yang memetakan potensi ketersediaan hijauan di Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau untuk memprediksi kapasitas tampung yang mampu didukung oleh wilayah bagi peternakan sapi potong.