FlakRespons Negatif Tentang Ajeg Bali

135 Pusat kekuasaan terletak di tangan pemerintah. Oleh karenanya acap kali teks-teks berita Ajeg Bali menggunakan jajaran pemerintah daerah sebagai sumber berita. Ini membuat Ajeg Bali cepat diterima publik karena kehadiran narasumber yang kredibel. Di lain pihak ini juga merupakan keuntungan untuk jajaran pemerintah karena mereka mendapat kesempatan untuk terekspos secara positif melalui Ajeg Bali. Sebaliknya pemerintah pusat Jakarta lebih banyak digambarkan sebagai tokoh antagonis yang merusak Bali. Namun jarang terjadi komentar-komentar mereka hadir pada berita-berita Ajeg Bali di Bali Post. Teks- teks berita Ajeg Bali di Bali Post tidak bisa lagi disebut sebagai berita karena mereka sama sekali tidak cover both sides. Selain jajaran pemerintah, Ajeg Bali juga kerap dihubungkan dengan puri tempat tinggal kaum Brahmana dan Ksatriya. Entah itu terkait dengan masalah politik berita tentang kisruh antara Cok Ratmadi – Dewa Beratha yang berakhir pada rekonsiliasi yang bertempat di Puri Satria dan keagamaan berita dengan partisipan berita Ida Pedanda Made Gunung-pendeta Hindu yang populer dengan mimbar agamanya. Meskipun sistem kasta semakin longgar di Bali dengan diperbolehkannya perkawinan antar kasta misalnya, tetapi sistem kasta masih hidup di Bali. Bagi masyarakat Bali yang konvensional, penghormatan lebih kepada kaum Brahmana dan Ksatriya adalah wajib. Disamping itu aturan-aturan umum upacara misalnya menempatkan kedua kasta ini ditempat yang tinggi. Kaum Brahmana dan Ksatriya kedudukannya tidak hanya tinggi secara sosial tetapi juga politik dan ekonomi.

4.4.2.4 FlakRespons Negatif Tentang Ajeg Bali

Pesan propaganda Ajeg Bali yang akhirnya muncul dalam Bali Post tidak bisa dilepaskan dari pro kontra yang ada. Ada banyak pihak yang mendukung dan turut menggunakan Ajeg Bali untuk popularitas lembagaindividu. Tetapi tidak sedikit juga kalangan yang mengkritisi Ajeg Bali. Bukan hanya curiga pada tujuan dari propaganda ini tetapi juga cara penyampaian ide ini yang cenderung bersifat populis. Pernahkah Bali Post memunculkan opini kontra di hariannya? Tidak tercatat ada berita kontra tentang Ajeg Bali yang muncul dalam kurun waktu 2003-2010. commit to user 136 Sesungguhnya ada banyak respons negatif dari luar Bali Post, terutama dari para akademisi dan beberapa tokoh masyarakat Bali. Selama ini kritik tentang Ajeg Bali cukup banyak terpublikasikan lewat buku, artikelopini, dan lembar- lembar karya ilmiah. Tidak tercatat ada aksi demo misalnya atau bentuk penolakan fisik lainnya tentang Ajeg Bali. Tampak pada permukaanya, bahwa tujuan Ajeg Bali murni hal yang sangat positif yakni pelestarian budaya, tanah, dan manusia Bali demi Bali yang lebih makmur. Dan jalan yang ditempuh Bali Post untuk mempropagandakan Ajeg Bali sangat manusiawi, tanpa kekerasan fisik, atau penggunaan kekuatan, tak seperti misalnya fasis atau Nazi pada jamannya dulu. Namun tampaknya beberapa akademisi tidak memiliki pendapat serupa. Nyoman Wijaya, seorang sejarawan asal Bali dalam disertasinya mengkritik Ajeg Bali sebagai sebuah konsep yang narsis; mencintai miliknya dengan sangat amat, populer tetapi ketidakjelasan agenda untuk memproteksi Bali membuatnya antara ada dan tiada. Sedangkan Degung Santikarma, antropolog Bali lebih melihat bahwa konsep Ajeg Bali juga terkait dengan gender. Bali seolah-olah adalah gadis cantik yang wajib dilindungi oleh siapapun. Karena kecantikannya mendatangkan banyak dollar yang hanya menguntungkan segelinitir pihak dan bukan masyarakat Bali secara keseluruhan. Program-program Ajeg Bali yang dipublikasikan di banyak media di bawah payung KMB dan koperasi Krama Bali misalnya juga ditengarai hanya sebagai alat bagi Satria Naradha untuk mengisi pundi-pundinya atau hanya hasrat untuk mendorong keluar para pendatang. Kritik yang paling keras datang karena menilai sidak para pendatang yang diadakan di banjar dan pelabuhan Gilimanuk dinilai sebagai tindakan yang berbau SARA dan berpotensi merusak hubungan dengan NKRI. Meskipun tidak terekam berita di Bali Post yang mengakomodasi kritikan-kritikan ini, tetapi terlihat dari berita yang diterbitkan, Bali Post sangat berhati-hati utamanya untuk kritikan terakhir. Bali Post berupaya untuk memformulasikan berita yang tidak menyinggung SARA. Dan terlihat jelas bahwa Bali Post tidak serius untuk keluar dari NKRI meskipun pernah melontarkan kemungkinan tersebut. Sebagai buktinya Bali Post pernah merilis beberapa artikel secara beruntut di tahun 2005 yang berjudul “Ajegkan Bali dan commit to user 137 Nusantara” dan “Dari Ajeg Bali Harmonikan Indonesia”. Meskipun isi berita sebenarnya tidak terlalu terkait dengan bagaimana Ajeg Bali dapat mengharmonisasikan Indonesia, tetapi lebih kepada upacara yang dilakukan agar Bali dan Indonesia aman, tetapi judul berita-berita tersebut menampakkan bahwa Bali Post tidak ingin Ajeg Bali dipandang sebagai konsep atau gerakan yang menginginkan Bali berpisah dari Indonesia. “Tepat pukul 06.00 saat matahari masih memerah di ufuk timur, semua sarana upacara diterjunkan ke kawah Gunung Agung sebagai persembahan kepada batara Siwa. Tujuannya agar Bali tetap Ajeg dan nusantara tetap bersatu,” Bali Post, 2005 Berita-berita ini adalah pembuktian dari Bali Post bahwa mereka bukan menginginkan hubungan dengan NKRI terganggu atau berusaha menodai hubungan itu dengan memarginalkan suku lain. Namun tak jarang juga Bali Post merilis berita yang bertolak belakang; memarginalkan pendatang. Entah sengaja atau bisa jadi diksi-diksi untuk menyebut pendatang misalnya luput dari gatekeeper atau editor sebelum naik cetak. Meski tak banyak hadir dalam berita-berita di Bali Post, usaha memarginalkan kaum migran dengan sebutan ‘semut’, ‘semut rangrang’ atau ‘lebah’ adalah bukti bahwa Bali Post masih melihat pendatang sebagai sebuah ancaman untuk Bali. Bali Post hampir tidak terpengaruh oleh kritikan pedas terkait Ajeg Bali sebab Bali Post yakin bahwa apa yang mereka lakukan demi kepentingan Bali. Dan tinimbang menanggapi atau mengklarifikasi langsung kritikan dari beberapa pihak, Bali Post lebih suka terus menerus menggemakan Ajeg Bali melalui berbagai media. Terbukti hingga saat ini Bali Post masih aktif dalam propaganda Ajeg Bali di media di bawah payung KMB. “Sah-sah saja kalau orang kontra dengan kami. Kami punya komitmen untuk menjaga Bali. Kami memilih untuk tidak mencak-mencak dan tetap menyuarakan Ajeg Bali. Tapi kita harus melihat alasan mereka kontra. Bisa saja mereka kontra karena kepentingan pribadi mereka,” Alit Purnatha, Redaktur Bali Post. commit to user 138

4.4.2.5 Ideologi dominan yang diperangi