138
4.4.2.5 Ideologi dominan yang diperangi
Terorisme di Indonesia telah bertumbuh mengkhawatirkan dan mendapat perhatian besar dari warga dunia ketika destinasi wisata yang populer di Bali
diledakkan. Merenggut ratusan nyawa pelancong asing yang tengah menikmati kehidupan malam.
Gemerlap pariwisata Bali berubah suram seketika. Tingkat okupansi hotel menurun, jumlah wisatawan yang datang ke Bali menurun, ekonomi Bali
lumpuh. Keadaan pada saat itu tentunya menimbulkan trauma bagi masyarakat Bali dan mereka tidak mau lagi merasakan keterpurukan.
Ajeg Bali muncul bak angin segar bagi masyarakat Bali saat itu. Ada sebuah konsep, yang kemungkinan akan menahan hal yang sama terjadi di Bali,
hal yang menyatukan masyarakat Bali. Dalam artikel-artikel beritanya Bali Post kerap kali menggunakan mistifikasi, membangunkan ingatan masyarakat Bali
akan keterpurukan yang akan terjadi jika tidak mengajegkan Bali. Ketakutan- ketakutan ini dibangun Bali Post tentu saja akan mempengaruhi kondisi psikologis
mereka dan mengamini bahwa Ajeg Bali adalah jawaban. “Bali kini ada di ambang kehancuran. Hancur karena salah mengelola
potensi lokal. Tiga pilar ekonomi Bali tak dikembangkan secara seimbang,” Bali Post, 2003
“Dalam Bali yang ajeg, tambah Kembar Karepun, rakyat Bali tidak boleh jatuh miskin, menjadi peminta-minta, orang terpinggirkan, dan orang
yang sekedar pelengkap penderita di pulaunya sendiri, Bali Post, 2003
“Pariwisata Bali telah kehilangan ikon karena jurang telah ‘ditembok’ rumah makan. Akibatnya keindahan Kintamani tak bisa secara leluasa
dinikmati wisatawan,” Bali Post, 2010
Bom Bali tampaknya juga tak hanya membuat masyarakat semakin peka akan keterpurukan ekonomi yang mungkin terjadi tetapi juga menjadi sangat
antipati kepada para pendatang. Meski the outsider atau orang luar bisa diartikan masyarakat lokal Indonesia dari luar pulau Bali dan orang asing dari negara luar
Indonesia, Bali Post lebih menitik beratkan orang luar atau pendatang sebagai warga lokal Indonesia luar pulau Bali. Ini terlihat dari deskripsi-deskripsi
pendatang atau migran di Bali Post yang cenderung mengarah kepada masyarakat
commit to user
139
lokal Indonesia di luar Bali. Ini tidak bisa dilepaskan pada fakta bahwa aktor di belakang meledaknya bom di Kuta adalah warga muslim dari pulau Jawa.
Penduduk luar Bali yang dulunya sangat diterima di Bali seolah-olah menikam dari belakang dengan membom lumbung penghasilan mereka atau mengambil alih
sektor-sektor informal di Bali. “Penduduk tetap Renon sebanyak 200 KK sedangkan penduduk
pendatang mencapai 3.200 KK. Tentu ini menimbulkan kekhawatiran yang luar biasa baik menyangkut masalah sampah, lingkungan, dan
masalah meraih pekerjaan. Ia menyatakan ketimpangan soal upah buruh juga sudah dirasakan. Bila menggunakan tenaga lokal, untuk tenaga
tukang harus merogoh kocek Rp 70.000 sehari namun untuk tukang dari luar cukup dengan Rp 50.000 saja. Bukan itu saja pekerja di sawah juga
banyak diambil alih oleh tenaga luar,” Bali Post, 2011
Penduduk pendatang ditangkap oleh Bali Post tidak hanya berpotensi menggeser orang Bali dari hak-haknya sebagai ‘pemilik’ dari pulau dewata tetapi
juga meningkatkan angka krimininalitas yang tentu saja akan menjadi sentimen negatif perekonomian Bali, yang sekali lagi, bertumpu pada pariwisata. Oleh
sebab itu, Bali Post berkali-kali menghimbau masyarakat Bali untuk memproteksi tanah, manusia, dan budaya Bali dari pihak pendatang. Pemberdayaan dan
penguatan satuan keamanan lokal pecalang di tiap-tiap Banjar juga menjadi agenda penting Ajeg Bali. Selain itu, sidak KTP bagi warga pendatang menjadi
upaya untuk memfiltrasi pendatang yang utamanya hanya datang ke Bali untuk mengadu nasib tanpa membawa modal atau keahlian tertentu.
“Langkah penertiban penduduk yang tampak gencar dilakukan oleh beberapa kabupaten seperti Jembrana memang patut didukung.
………….Walau hasil yang dilakukan Jembrana belum maksimal tetapi rintisan itu memicu kesadaran bahwa upaya menyelamatkan Bali dari
serbuan pendatang memang harus dilakukan,” Bali Post, 2003
Tetapi rupa-rupanya ideologi anti terorisme bukanlah ideologi tunggal atau satu-satunya ideologi yang coba di perangi oleh Ajeg Bali. Ada usaha dari
Ajeg Bali untuk melindungi Hindu Bali dari gempuran ideologi agama lain yang masuk ke Bali bersamaan dengan masuknya pendatang. Tujuan utamanya adalah
tentu saja melanggengkan pariwisata sebagai sektor ekonomi utama Bali karena atraksi utama pariwisata Bali adalah budaya Hindu Bali di berbagai aspek mulai
commit to user
140
dari pertanian subak, sosial upacara keagamaan, dan sederet bentuk kesenian tari-tarian, drama gong, dan lain sebagainya dan yang akan bermuara pada
kedaulatan ekonomi Bali. “Budaya harus dipertahankan karena budaya yang kita jual, yang kita
harapkan mendatangkan wisatawan, karena prioritas utama Bali adalah pariwisata dan mengangkat ekonomi masyarakat secara umum,” Alit
Purnatha, 2014
Selain mempertahankan budaya Hindu Bali dan tanah Bali, Ajeg Bali juga memiliki misi untuk tak hanya melestarikan tetapi juga menguatkan manusia
Bali dari segi pendidikan, kesehatan, dan politik. Untuk yang terakhir, misi Ajeg Bali yang jelas terlihat adalah agar banyak orang Bali yang berhasil masuk dalam
politik nasional atau berhasil menduduki jabatan strategis misalnya dalam parlemen. Sehingga keputusan atau undang-undang yang dibuat dapat
menguntungkan Bali, termasuk yang dapat menguntungkan Bali menurut Bali Post adalah status otonomi khusus untuk Bali, yakni bagi hasil yang rata antara
pusat dan Bali Bali Post, 2006. Dalam Ajeg Bali, Bali dilihat sebagai sapi perah dimana penghasilannya jauh terlalu besar untuk pusat. Ada kekecewaan yang
tersirat akan pemerintah pusat dan keinginan untuk mengelola sendiri hasil pendapatan untuk Bali.
4.5 Pola Pesan Ajeg Bali 2002-2012