54
menunaikan ibadat agamanya,“ Bali Post, Perlu Grand Disain Pembangunan Manusia Hindu, 2003.
4.2.2 Seni Budaya
Seni dan budaya Bali baik yang tangible dan intangible dinilai unik dan dapat membedakan antara masyarakat Bali dengan kelompok masyarakat lainnya.
Bagaimana Ajeg Bali melihat seni dan budaya Bali dan bagaimana strategi melestarikan seni dan budaya Bali?
4.2.2.1 Ideasional – Representasi Pada Anak Kalimat
Acap kali Bali post menggunakan kata-kata seperti ‘jati diri’, ‘kearifan lokal’ ‘acuan peradaban’, untuk menunjukkan betapa pentingnya seni dan budaya
Bali untuk dilestarikan sebab ialah jati diri dan identitas diri masyarakat Bali. Dari berbagai artikel berita bentuk seni dan budaya yang paling menonjol adalah
bahasa Bali dan tari-tarian. Seperti yang terlihat dari beberapa judul dan kutipan berita berikut. Bali Post, dalam kaitannya dengan Ajeg Bali, melihat budaya
sebagai sebuah benda fisik yang harus dilestarikan tinimbang produk masyarakat yang dapat berevolusi terus menerus sesuai dengan kebutuhan jaman.
“Ajegkan Bali Lewat Siaran Bahasa Bali,” Bali Post, 2008 “Ikut Ajegkan Bali, Ciptakan Tari “Ardha Nara Swari,” Bali Post, 2008
“Sementara kalau berbicara tentang budaya, I Wayan Geriya menyatakan, mau tak mau harus membicarakan tentang seni dan
estetika,” Bali Post, Menuju Kepercayaan Diri Kultural, 2003
Terlihat pula bagaimana penuturan Bali Post terhadap faktor-faktor yang mempercepat lunturnya seni dan budaya Bali adalah ‘modernisasi’, ‘globalisasi’,
dan ‘komersialisasi’. Ketiga hal tersebut membuat seni dan budaya kini bukan hanya sebagai jati diri saja tetapi juga mata pencaharian masyarakat Bali yang
akhirnya cenderung membuat seni dan budaya Bali ‘sangat dangkal dan kering pemaknaan’. Dalam artikel beritanya, anehnya Bali Post tidak menyebut
pariwisata Bali sebagai salah satu hal yang membuat budaya dan kesenian Bali
commit to user
55
‘dangkal dan kering pemaknaan’ Bukankah justru pariwisata yang mendorong komersialisasi budaya hingga membuat inti-inti seni dan budaya menjadi kabur?
Di berita lainnya, justru Bali Post ingin menegaskan bahwa budaya Bali perlu dilestarikan sebab, ialah ‘aset pariwisata’ yang selama ini menjadi pokok
perekonomian Bali. Selain ketiga hal di atas, Bali Post juga menyebut pendatang sebagai
ancaman dalam pelestarian seni dan budaya Bali. Dengan menggunakan metafora semut, Bali Post menegaskan bahwa pendatang adalah kelompok yang mengambil
hal yang seharusnya bukan miliknya secara diam-diam seperti halnya semut. Meskipun pada awalnya Bali Post memilih menggunakan metafora yang lebih
halus dalam bahasa Bali krama warga tamiu tamu namun di kalimat kedua penegasan atas citra pendatang dari kacamata Bali Post terlihat dengan
mengasosiasikan pendatang sebagai semut. “Kedatangan para krama tamiu pendatang ke Bali, tak terlepas dari
manisnya ‘gula’ pariwisata yang asset utamanya adalah budaya. Bali yang menjanjikan itu membuat ‘semut-semut’ berdatangan,” Bali Post,
Budaya Lestari, Bali Ajeg, 2004
4.2.2.2 Ideasional – Representasi Dalam Kombinasi Anak Kalimat