147
mempertahankan kelas-kelas sosial di Bali yang disebut kasta. Propaganda ini juga berupaya agar masyarakat Bali terhegemoni dengan status pendatang yang
digambarkan tidak setara dengan kaum pribumi. Upaya Ajeg Bali menyisakan banyak pertanyaan utamanya dari segi isi.
Sebab dari seluruh artikel berita yang ditemukan, konten yang kaya akan konsep Ajeg Bali lebih banyak terdapat pada artikel berita yang merupakan sari dari
pertemuan yang digagas Bali Post dalam rangka Ajeg Bali. Ini berarti berita yang berisi konten konsep adalah berita berita yang dibuat secara sengaja bukan yang
terjadi secara alami.
5.1.2 Situasi dan kondisi di balik propaganda Ajeg Bali
Jauh sebelum bom Bali 2002 Satria Naradha telah memiliki ide tentang pelestarian budaya Bali karena melihat budaya Bali yang semakin luntur.
Jabatanya di Bali Post tentu saja memuluskan rencananya. Ia yang kala bom Bali meledak menjabat sebagai pemimpin redaksi sekaligus suksesor pemilik Bali Post
segera mengumpulkan dewan redaksi untuk membahas ide yang ia miliki dan nama untuk idenya tersebut. Strategi pertama yang Bali Post putuskan adalah
penamaan ide; Ajeg Bali. Nama ini dipilih mereka memahami betul bahwa taget propaganda Ajeg Bali adalah masyarakat Bali Hindu yang umumnya mengetahui
bahasa Bali. Strategi lainnya adalah menggunakan media di bawah payung Kelompok
Media Bali Post termasuk harian Bali Post untuk menyebar luaskan ideologi Ajeg Bali. Untuk memuluskan penyebarluasan konsep Ajeg Bali, ia memastikan
wartawan yang baru bergabung juga memiliki visi yang sama dengannya. Di pelatihan jurnalistik untuk wartawan baru, ia memastikan wartawan-wartawan
tersebut telah kenal dengan konsep Ajeg Bali. Bahkan di awal-awal kemunculuannya dewan redaksi Bali Post menginstruksikan untuk mencetak
artikel tentang Ajeg Bali paling tidak seminggu sekali. Melibatkan wartawan untuk penulisan naskah berita tentu saja memerlukan proses transfer ide dari
Satria Naradha ke wartawan Bali Post yang berjalan dengan mulus sehingga pesan Ajeg Bali versi Satria Naradha sama dengan versi yang akhirnya tercetak dalam
Bali Post. Selain itu, Satria Naradha juga menerapkan praktik Tri Sandhya
commit to user
148
melantunkan mantra saat persembahyangan dan Tirta Yatra mengunjungi pura- pura sebagai bentuk implementasi Ajeg Bali dalam organisasinya.
Meskipun berkali kali Satria Naradha atau wakil Bali Post menegaskan bahwa Ajeg Bali menolak melestarikan budaya Bali yang tidak sesuai dengan
jaman namun toh penjelasan dan penjabarannya tak kunjung muncul di artikel berita Bali Post. Atau seringkali pihak Bali Post menolak dikatakannya Ajeg Bali
sebagai anti pendatang tapi toh pesan itu juga kerap kali muncul dalam berita Ajeg Bali dengan memarginalkan pendatang dan sederet langkah yang dibuat
seperti mengambil alih sektor informal yang tak mungkin dikuasai orang Bali pedagang bakso. Pesan yang tidak konsisten juga terjadi pada ideologi mengenai
pariwisata dimana di satu sisi Bali Post menuding pariwisata sebagai hal yang melunturkan budaya Bali tetapi di lain pihak Ajeg Bali ingin memajukan
pariwisata. Pariwisata masih dianggap sebagai sektor penting untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Bali. Mengapa pesan-pesan yang tidak konsisten bisa lolos
dari gatekeeper Bali Post begitu sering? Pesan-pesan ini tampaknya juga belum cukup kuat untuk menggerakkan
target propaganda untuk mengaplikasikan pelestarian budaya, kecuali bagian menyisihkan pendatang yang ditandai dengan seringnya penggunaan ‘Nak Jawa’
yang berkonotasi negatif untuk pendatang. Ini disebabkan Bali Post yang belum menyadari fungsinya sebagai media yang dapat menggerakkan masyarakat atau
target propaganda. Bali Post hanya menyadari perannya sebagai pemberi pemahaman dan menyerahkan semua aksi kepada pemegang kebijakan.
Instruksi untuk menerbitkan artikel Ajeg Bali secara reguler sesuai dengan konsep Ajeg Bali Satria Naradha, belum penuhnya kesadaran Bali Post
akan fungsi media, serta pendeknya waktu yang diberikan kepada wartawan tiap harinya menghasilkan berita-berita yang sudah dikondisikan. Wartawan
mengaitkan beberapa peristiwa dengan Ajeg Bali; kerap kali tidak cukup membahas pokok permasalahannya.
Namun hal di atas rupanya bukan penghambat untuk konsep ini menjadi amat populer di Bali semenjak 2003 sehingga memberikan manfaat secara
ekonomi dan politik bagi Bali Post. Untuk membuat Ajeg Bali cepat diterima oleh masyarakat Bali pada waktu itu adalah dengan mengajak serta tokoh-tokoh lokal
commit to user
149
Bali dan nasional untuk beramai-ramai memberikan masukan dan dorongan untuk Ajeg Bali melalui penandatanganan parasasti hingga seminar kecil yang secara
regular dilaksanakan bahkan hingga tahun 2010 untuk membuat Ajeg Bali tetap bergaung di masyarakat Bali. Tokoh-tokoh utama yang kerap muncul adalah
politisi PDI Perjuangan. Meskipun Naradha tidak berpolitik praktis dan tidak secara langsung menyatakan keberpihakannya pada salah satu partai politik,
dengan kemunculan politisi partai ini di berbagai berita termasuk Ajeg Bali menegaskan preferensi politik Satria Naradha. Sebenarnya dengan seringnya
tokoh-tokoh ini muncul di berita Ajeg Bali juga membuat Ajeg Bali cepat diterima oleh masyarakat Bali yang sebagian besar pemilih PDIP.
Dari aspek ekonomi meskipun kepopuleran Ajeg Bali tidak meningkatkan oplah secara signifikan tetapi cukup banyak berita berbintang
advertorial yang menggunakan embel-embel Ajeg Bali. Advertorial di Bali Post berkisar antara Rp 1.500.000 – Rp 2.000.000. Bahkan ada pula iklan calon
legislatif yang juga menggunakan Ajeg Bali untuk menjual visi misinya. Ini membuktikan kepopuleran Ajeg Bali di masyarakat Bali hingga beberapa
kelompok ingin menggunakan Ajeg Bali untuk mendongkrak kepopuleran institusi mereka. Agar pihak ini terus menggunakan media Bali Post untuk
advertorial khususnya Ajeg Bali, Bali Post juga memiliki kepentingan untuk menjaga kepopuleran Ajeg Bali di masyarakat. Oleh sebabnya pada rentang waktu
2002-2012 artikel berita yang sifatnya populis sering dipublikasikan. Ajeg Bali adalah generator ekonomi Bali Post selama lebih dari satu dekade terakhir.
Pengaruh pembentukan pesan rupanya tidak hanya datang dari proses pembuatan teks berita tetapi juga hal-hal diluar itu seperti peristiwa bom Bali,
faktor kepemilikan media Bali Post, iklan, sumber berita yang sering digunakan, cara Bali Post bereaksi terhadap respons negatif, dan idelogi yang ingin diperangi
Bali melalui Ajeg Bali. Dalam Ajeg Bali, Bali Post bukan hanya media tetapi ia juga
berpartisipasi aktif dalam menyebarkan ideologi ini. Oleh sebabnya sangat wajar jika Bali Post tidak melihat keuntungan dari menerbitkan pendapat yang kontra
terhadap Ajeg Bali. Tinimbang misalnya memberi ruang pada kelompok yang kontra atau membuat berita yang menanggapi opini-opini kontra di masyarakat,
commit to user
150
Bali Post menguatkan posisinya sebagai penjaga Bali dengan menerbitkan secara reguler berita tentang Ajeg Bali. Pendapat-pendapat yang kontra umumnya
dipublikasikan lewat buku atau artikel di salah satu koran nasional yang jarang dibaca masyarakat Bali pada umumnya. Itu mengapa suara-suara kontra ini hanya
samar-samar terdengar. Bahkan perlawanan dari media lain selain KMB nyaris tak ada.
Apa yang sebenarnya di lawan oleh Ajeg Bali? Mari kita mulai dari apa yang ingin dijaga dengan Ajeg Bali. Ajeg Bali menginginkan manusia Bali,
agama Hindu-Bali, tanah Bali, dan kebudayan-kebudayaan yang berkembang bersama manusianya tetap ada; tidak diledakkan, tidak punah. Untuk itu Ajeg Bali
memproteksi pulau Bali dari pengaruh orang luar dengan budaya yang berbeda. Tidak ada ideologi khusus yang hendak di lawan dengan Ajeg Bali. Ajeg Bali
adalah masalah pelestarian budaya, tanah, dan manusia Hindu Bali agar pariwisata dan ekonomi Bali berjalan baik-baik saja dan berharap tidak diledakkan kembali
oleh teroris. Sebab budaya, tanah, dan manusia Bali adalah aset pariwisata yang amat menjual.
Ajeg Bali menyajikan mistifikasi ketakutan akan terjadinya bom di Bali yang melumpuhkan pariwisata oleh pendatang yang umumnya dari pulau jawa.
Dan menyajikan mistifikasi kehancuran Bali rupanya membawa keuntungan secara ekonomi dan politik bagi Bali Post dan Satria Naradha. Mistifikasi-
mistifikasi ini sangat berperan untuk menggerakkan dukungan masyarakat dan mendapat popularitas yang tinggi. Namun pada kenyataanya, ide-ide Ajeg Bali
belum diimplementasikan secara maksimal. Ini salah satunya dipicu oleh ketidaksadaran perannya sebagai media yang bisa mendorong gerakan misalnya
untuk mendesak pemerintah membuat regulasi-regulasi yang mendukung Ajeg Bali.
Adanya pesan-pesan yang tidak konsisten serta belum sadarnya redaksi Bali Post akan fungsi media sebagai penggerak perubahan merupakan bukti dari
belum matangnya konsep ini di jajaran redaksi Bali Post. Ini juga didukung dari bukti bahwa pada awal dibawanya Ajeg Bali ke dewan redaksi Bali Post, tidak
ada proses pembahasan dan pematangan konsep ini melainkan cenderung berfokus pada pembahasan nama dari konsep yang diajukan Satria Naradha.
commit to user
151
5.2 Implikasi Teoritis, Metedologis, Praktis, dan sosial 5.2.1 Teoritis