96
teks berita Bali Post yang terbit pada Agustus 2003. Lalu siapa pendatang yang dimaksud? Lokasi yang sering muncul tempat diadakannya tertib administrasi
penduduk adalah pelabuhan Gilimanuk. Pelabuhan yang menghubungkan pulau Jawa dan Bali. Di teks yang berbeda Bali Post menyebut agar pendatang
menggunakan Banjar bukan RT atau RW Budaya Lestari, Bali Ajeg, 2004 yang mendeskripsikan sebuah sistem pemerintahan terkecil di beberapa pulau di
Indonesia. Oleh sebab itu, pendatang yang dimaksud pada teks-teks berita Ajeg Bali lebih menjurus kepada masyarakat Indonesia luar pulau Bali. Dan
kenyataanya, pasca bom Bali 2002 dan 2005, masyarakat Bali dianggap melakukan diskriminasi terhadap pendatang dan wisatawan lokal yang banyak
terekam dalam berbagai tulisan pribadi Jadi Malu Aku Sebagai Penduduk Bali, 2013 dan Pramuwisata di Bali Diskriminatif Terhadap Wisatawan Lokal?, 2013.
Di sisi lain ada hal lain yang harus dilakukan oleh masyarakat Bali agar tercapai keajegan Bali yakni menjauhi Panca Ma mamotoh-berjudi, mamadat-
menggunakan narkoba, mamunyah-mabuk-mabukan, mamitra-berselingkuh, dan dan mamaling-mencuri. Dimana aturan-aturan tersebut dibuat oleh desa adat.
Melalui kutipan kalimat dan judul di bawah ini dapat kita lihat ideologi yang timbul adalah penguatan desa adat di Bali untuk mencapai keajegan Bali. Desa
adat tak hanya berfungsi sebagai lembaga agama saja tetapi juga lembaga keamanan dan ketertiban penduduk.
“Saya harap desa adat punya perarem atau awig-awig yang jelas,” Bali Post, Entaskan Penyakit Masyarakat Melalui Perarem, 2007
“Perjuangkan Desa Pekraman Demi Ajeg Bali,” Bali Post, 2009
4.2.11.2 Ideasional-Representasi Pada Gabungan Anak Kalimat
Ideologi yang tersingkap pada gabungan anak kalimat teks berita tentang kependudukan adalah sidak atau Bali Post menyebutnya tertib administrasi
penduduk adalah upaya agar masyarakat Bali tidak tersingkir oleh pendatang bukan sebagai gerakan tertib administrasi agar pelayanan publik dapat berjalan
dengan baik atau untuk mencegah adanya teroris yang kembali meledakkan Bali. Gabungan anak kalimat di bawah membentuk koherensi penyebab. Anak kalimat
tersebut menjelaskan maksud diadakannya tertib administrasi penduduk. Penggunaan kata ‘terpinggirkan’ memunculkan gagasan bahwa ada kelompok
commit to user
97
yang mendesak sehingga membuat masyarakat Bali merasa harus membatasi jumlah kelompok bersangkutan. Melalui kalimatnya, Bali Post mengutarakan
ketidaknyamanan atas kehadiran penduduk luar yang telah mendesak masyarakat Bali.
“Jangan sampai masyarakat Bali sendiri terpinggirkan di rumahnya sendiri. Karena itu, mau tidak mau, gerakan tertib penduduk memang
harus dilakukan dengan konsisten dan berkelanjutan,” Bali Post, Jangan Biarkan Bali “Tenggelam” oleh Pendatang, 2003
4.2.11.3 Ideasional-Representasi Pada Rangkaian Anak Kalimat
Dalam rangkaian anak kalimat terlihat bahwa Ajeg Bali dalam bidang kependudukan ingin memperbaiki situasi di luar budaya, masyarakat, dan Bali
sendiri serta menahan pengaruh dari luar yang akan mengubah ketiga hal di atas. Implementasi keluar adalah membendung penduduk pendatang melalui program
tertib administrasi yang melibatkan unsur desa adat di Bali. Pendatang dalam kutipan rangkaian anak kalimat di bawah disebutkan Bali Post telah membebani
pulau Bali. Mistifikasi yang tertera pada kalimat terakhir tentu saja memainkan emosi para pembaca, bisa jadi membuat gusar karena pulaunya selama ini
menahan beban berat, dan bersifat provokatif untuk mengesankan bahwa Bali telah menjadi korban. Seolah pendatang melakukan sesuatu yang benar-benar
mengancam kelestarian budaya, masyarakat, dan tanah Bali. Lebih lanjut pada petikan kedua di bawah ini dikesankan bahwa ada penduduk pendatang telah
menguasai beberapa daerah di Bali dan adanya persaingan yang begitu hebat antara penduduk pendatang dengan masyarakat lokal. Meskipun mungkin
memang benar bahwa Kota Denpasar misalnya daya dukung wilayah dengan penduduknya tak seimbang sehingga menyebabkan kemacetan dan masalah
lainnya tetapi yang ditekankan oleh Bali Post adalah bagaimana pendatang menyesaki pulau Bali.
“Bali bagaikan gula. Akibatnya, semut pun berdatangan. Melesatnya pembangunan kepariwisataan menjadikan daerah ini ‘diserbu’ pendatang.
Mereka yang datang pun banyak jenisnya. Ada datang membawa modal, ada juga yang datang mengadu nasib alias modal dengkul. Kehadiran
pendatang yang terus meluber itu mengundang kekhawatiran. Bila dibiarkan Bali Pun bisa ‘tenggelam’, sesak, dan mengarah pada rusaknya
tatanan kehidupan masyarakat yang mengedepankan konsep ‘Tri Hita Karana’. Persoalannya sekarang, haruskah Bali menerima beban yang
commit to user
98
berat itu?” Bali Post, Jangan Biarkan Bali “Tenggelam” oleh pendatang, 2003
“Ledakan penduduk menjadi ancaman serius bagi Bali, khususnya Denpasar. Pengendalian laju kependudukan pun memerlukan sinergi dan
strategi yang jelas. Bahkan akibat tingginya migran ke kota Denpasar, sejumlah Desa Pekraman kini didominasi penduduk pendatang. Bahkan
dominasi makin menguat ketika persaingan kerja ini tak saja melibatkan tenaga kasar, melainkan juga tenaga intelek dan professional,” Bali Post,
Penguatan Desa Pekraman Tak Cukup Dengan Bansos, 2011
Sedangkan implementasi ke dalam adalah dengan meminimalisir Panca Ma
atau lima penyakit masyarakat juga dengan memberdayakan desa adat dengan membentuk aturan adat yang disebut awig-awig dan perarem. Tampaknya
pemberdayaan desa adat di Bali merupakan langkah utama dalam mencapai tujuan Ajeg Bali. Desa adat tak hanya digunakan sebagai benteng dari pengaruh luar
tetapi juga bersifat menjaga ke dalam. “Memotoh, mamadat, mamunyah, mamitra, dan mamaling yang sering
disebut dengan ‘Panca Ma’ merupakan gaya hidup yang makin digandrungi masyarakat dalam keterpurukan ekonomi. Kondisi ini pada
gilirannya akan membuat ketahanan krama Bali melemah dan dan makin mudah disusupi kehidupan praktis. Padahal untuk membangun daya
tahan moral krama Bali para tokoh masyarakat, agama, dan pemerintah mesti lebih intensif memerangi penyakit ‘Panca Ma’ ini. Solusinya, bisa
lewat perarem desa pekraman atau melakukan pengendalian diri dengan pendekatan mental spiritual,” Bali Post, Membebaskan Masyarakat dari
Penyakit “Panca Ma”, 2007
4.2.11.4 Relasi