57
banjar . Pendatang juga diimbau untuk menggunakan bahasa Bali dalam
percakapan sehari-hari. Sebatas ini, Bali Post kembali menyatakan bahwa budaya yang dimaksud dalam konteks Ajeg Bali adalah budaya yang tangible. Bentuk
peran serta pendatang yang diapresiasi Bali Post salah satunya adalah pembangunan klenteng yang diwarnai sedikit bumbu budaya Bali. Disana, Bali
Post mengapresiasi hal-hal yang bersifat Hindu Bali diaplikasikan misalnya dalam pemercikan tirta saat pembersihan klenteng atau bagaimana dewa-dewa yang
berstana disana mirip dengan dewa-dewa Hindu. Sayangnya lagi-lagi ini adalah sebuah pembuktian lainnya bahwa Ajeg Bali melihat budaya sebagai produk
masyarakat yang fisik dan religius semata bukan nilai-nilai spiritual yang sebenarnya baik secara universal.
“Prosesi diawali dengan pemercikan tirta terhadap barongsai dan liong yang ada di tempat tersebut….yang paling penting keberadaan TITD Cao
Fuk Miao mampu memberikan kontribusi positif bagi pengembangan kehidupan umat beragama yang harmonis serta mampu menjunjung nilai
kearifan lokal dalam konteks Ajeg Bali,” Bali Post, Cao Fuk Miao, Kearifan Lokal Ajeg Bali, 2007
4.2.2.3 Ideasional – Representasi Pada Rangkaian Anak Kalimat
Ajeg Bali memang cerminan ideologi Satria Naradha, pemilik Bali Post, yang di propagandakan salah satunya oleh Bali Post. Oleh sebabnya, tidak
diketemukan pendapat-pendapat kontra yang hadir dalam berita Ajeg Bali terkait dengan seni-budaya. Komentar-komentar para penggiat seni dan budayawan
terkenal Bali seperti Tan Lioe Ie, Putu Wijaya, dan Nyoman Erawan digunakan untuk melegitimasi pendapat Bali Post soal seni dan budaya Bali yang harus
diselamatkan. Dalam artikel berita yang berjudul ‘Menuju Kepercayaan Diri Kultural” Bali Post melalui partisipan beritanya telah mengelaborasi bahwa
kebudayaan adalah kepercayaan diri, dinamis, dan bukan terpaku pada hal fisik semata. Pendapat-pendapat yang setuju disusun sedemikian rupa agar pembaca
memiliki pendapat bahwa Ajeg Bali bukanlah kembali ke budaya jaman dulu dan budaya Bali yang harus dilestarikan adalah budaya yang sifatnya tangible dan
intangible . Dengan hadirnya partisipan berita yang terkemuka, maka dengan
mudahnya Bali Post dapat merangkul para pembacanya dengan ide bahwa
commit to user
58
penyelamatan budaya Bali lewat Ajeg Bali sangat diperlukan dan didukung oleh para penggiat kesenian Bali.
“Baginya desa kala patra adalah kearifan lokal yang membuat Bali selalu aktual dan dalam harmoni, bahkan pada saat terjadi distorsi dan
disharmoniasi. Sebuah kekayaan batin yang otomatis membuat orang Bali akan selalu baru, menyesuaikan dengan keadaan sehingga senantiasa
berhati terbuka, menghadapi segala perubahan jaman. Juga perimbangan serentak antara sekala dan niskala, antara ada dan tak ada, menjadi luruh
menyatu, saling terkait dalam kehidupan Bali, Bali Post, Menuju Kepercayaan Diri Kultural, 2003
Namun terkait dengan definisi Ajeg Bali dalam budaya yakni kemampuan untuk mengembalikan kepercayaan diri, Bali Post telah menggeser
fokus budaya ke budaya yang berwujud saja. “Banyak pihak khawatir bahasa Bali halus akan mengalami kepunahan
manakala tidak diimbangi dengan upaya pelestarian. Terlebih ada pandangan bahwa berbahasa Bali itu kurang gaul, sehingga ada
kecenderungan memilih pemakaian bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari. Penggunaan bahasa Indonesia di lingkungan keluarga dan
pergaulan sehari-hari dinilai lebih PD-percaya diri. Karena itu, upaya menggalakkan pemakaian bahasa ibu orang Bali mesti terus diupayakan,
terutama dikalangan generasi muda, Bali Post, Ajegkan Budaya Bali Lewat Pelestarian Bahasa Daerah, 2004
4.2.2.4 Relasi