55
‘dangkal dan kering pemaknaan’ Bukankah justru pariwisata yang mendorong komersialisasi budaya hingga membuat inti-inti seni dan budaya menjadi kabur?
Di berita lainnya, justru Bali Post ingin menegaskan bahwa budaya Bali perlu dilestarikan sebab, ialah ‘aset pariwisata’ yang selama ini menjadi pokok
perekonomian Bali. Selain ketiga hal di atas, Bali Post juga menyebut pendatang sebagai
ancaman dalam pelestarian seni dan budaya Bali. Dengan menggunakan metafora semut, Bali Post menegaskan bahwa pendatang adalah kelompok yang mengambil
hal yang seharusnya bukan miliknya secara diam-diam seperti halnya semut. Meskipun pada awalnya Bali Post memilih menggunakan metafora yang lebih
halus dalam bahasa Bali krama warga tamiu tamu namun di kalimat kedua penegasan atas citra pendatang dari kacamata Bali Post terlihat dengan
mengasosiasikan pendatang sebagai semut. “Kedatangan para krama tamiu pendatang ke Bali, tak terlepas dari
manisnya ‘gula’ pariwisata yang asset utamanya adalah budaya. Bali yang menjanjikan itu membuat ‘semut-semut’ berdatangan,” Bali Post,
Budaya Lestari, Bali Ajeg, 2004
4.2.2.2 Ideasional – Representasi Dalam Kombinasi Anak Kalimat
Dalam beberapa paragraf di berita pada tahun awal-awal kemunculannya, Ajeg Bali melihat budaya tidak hanya bentuk fisik semata tetapi juga nilai-nilai
dan kearifan lokal yang ada serta mendefinisikan Ajeg Bali dalam konteksnya tentang seni budaya sebagai “kemampuan kepercayaan diri kultural”. Selanjutnya
kepercayaan diri kultural tersebut dimaknai dengan penghargaan terhadap kesenian dan kebudayaan Bali yang telah tergantikan oleh kesenian dan
kebudayaan lain sehingga masyarakat Bali kembali mencintai seni dan budaya tersebut. Bentuk pengembalian kepercayaan diri tersebut diterjemahkan Bali Post
dengan pemakaian bahasa Bali sebagai bahasa sehari-hari dan apresiasi terhadap seni tari.
“Dalam diskusi yang dipandu I Wayan Juniartha, Nyoman Erawan memaknai Ajeg Bali sebagai kemampuan manusia Bali untuk memiliki
kepercayaan diri kultural cultural confidence,” Bali Post, Menuju Kepercayaan Diri Kultural, 2003
commit to user
56
“Profesi seniman, menurutnya, sering dicitrakan sebagai profesi ngayah yang dipersepsikan tabu dari penghargaan dan hak-hak material” Bali
Post, Menuju Kepercayaan Diri Kultural, 2003 “Artinya sebagai pendukung kebudayaan Bali mereka merasa terasing
karena tidak berbahasa Bali, berkesenian Bali, tidak senang dengan makanan Bali, dan seterusnya,” Bali Post, Ajegkan Budaya Bali,
Perkuat Jati Diri, 2007
“Terlebih, ada pandangan bahwa berbahasa Bali itu kurang gaul,” Bali Post, Ajegkan Budaya Bali Lewat Pelestarian Bahasa Daerah, 2004
Kepercayaan diri yang bersifat kultural juga, menurut Bali Post, dapat ditingkatkan dengan tetap meninggalkan panca Ma mamitra, mamotoh,
mamaling, mamunyah, mamadat yang saat itu banyak ditemukan judi sabung
ayam berkedok upacara. Terlihat dari beberapa kutipan di atas yang lebih banyak disoroti adalah
tentang budaya Bali yang bersifat tangible seperti bahasa, tarian, banjar, dan aktivitas spiritual Hindu ketika melakukan pemujaan di tempat ibadah. Budaya
juga dinyatakan oleh Bali Post sebagai hal yang memiliki nilai tambah ekonomi tinimbang sebagai produk masyarakat Bali untuk bertahan dari perubahan jaman.
Bali Post juga menegaskan pariwisata sebagai alasan budaya harus dilestarikan. Ini kemungkinan berkaitan dengan runtuhnya pariwisata Bali akibat bom Bali.
Bali Post ingin mengembalikan kejayaan ekonomi Bali seperti dulu dengan mengedepankan budaya-budaya yang dapat menarik minat wisatawan.
“Jika sudah disadari aset pariwisata adalah budaya tentu semua pihak mesti menjaga aset tersebut dengan baik, Bali Post, Budaya Lestari Bali
Ajeg, 2008 “Dikatakannya, Bali sangat terkenal karena kepariwisataanya. Bahkan,
dulu di mata tamu mancanegara Bali lebih dikenal daripada Indonesia. Maka pernah ada ungkapan Bali sebelah mananya Indonesia. Karena itu
menjadi kewajiban bagi kita semua untuk menjaga Bali. Dengan demikian Bali tetap terjaga kelestariannya,” Bali Post, Budaya Lestari
Bali Ajeg, 2008
Dalam rangka menjaga seni dan budaya Bali, Bali Post dalam konteks Ajeg Bali menginginkan pendatang luar pulau Bali juga turut serta. Cara yang
bisa dilakukan oleh pendatang adalah dengan mengganti nama RTRW menjadi
commit to user
57
banjar . Pendatang juga diimbau untuk menggunakan bahasa Bali dalam
percakapan sehari-hari. Sebatas ini, Bali Post kembali menyatakan bahwa budaya yang dimaksud dalam konteks Ajeg Bali adalah budaya yang tangible. Bentuk
peran serta pendatang yang diapresiasi Bali Post salah satunya adalah pembangunan klenteng yang diwarnai sedikit bumbu budaya Bali. Disana, Bali
Post mengapresiasi hal-hal yang bersifat Hindu Bali diaplikasikan misalnya dalam pemercikan tirta saat pembersihan klenteng atau bagaimana dewa-dewa yang
berstana disana mirip dengan dewa-dewa Hindu. Sayangnya lagi-lagi ini adalah sebuah pembuktian lainnya bahwa Ajeg Bali melihat budaya sebagai produk
masyarakat yang fisik dan religius semata bukan nilai-nilai spiritual yang sebenarnya baik secara universal.
“Prosesi diawali dengan pemercikan tirta terhadap barongsai dan liong yang ada di tempat tersebut….yang paling penting keberadaan TITD Cao
Fuk Miao mampu memberikan kontribusi positif bagi pengembangan kehidupan umat beragama yang harmonis serta mampu menjunjung nilai
kearifan lokal dalam konteks Ajeg Bali,” Bali Post, Cao Fuk Miao, Kearifan Lokal Ajeg Bali, 2007
4.2.2.3 Ideasional – Representasi Pada Rangkaian Anak Kalimat