Manajemen Propaganda Ajeg Bali – Perspektif Wartawan Bali PostPeneliti

121

4.3.2.1 Manajemen Propaganda Ajeg Bali – Perspektif Wartawan Bali PostPeneliti

Ari Dwi Jayanthi mengingat kembali ketika ia bergabung sebagai wartawan di Bali Post pada Oktober 2007, ketika ia masih menjadi mahasiswi Sastra Daerah, jurusan Sastra Jawa Kuna. Sebagai wartawan yang baru bergabung adalah kewajiban untuk mengikuti pelatihan jurnalistik yang diadakan Bali Post. Selain materi jurnalistik seperti apa itu berita, teknik wawancara, dan lainnya, ia mengingat bahwa ada satu materi tentang visi misi Bali Post dari periode ke periode. “Yang pertama diberikan adalah sejarah berdirinya Bali Post…setelah itu baru ke visi dan misi Bali Post ketika zaman awal dilahirkan, tahun peralihan atau 65, tahun ‘80 atau swasembada, reformasi, dan yang terakhir oleh Satria Naradha, yang berubah menjadi Ajeg Bali,” Ari Dwijayanti, 2014 Ajeg Bali yang merupakan agenda penting Bali Post kala itu disebarkan ke wartawan-wartawan yang akan menjadi tulang punggung propaganda ke masyarakat. Harapannya, ketika sudah benar-benar bergabung dengan Bali Post, Ajeg Bali adalah nafas mereka dan menjaga budaya Bali adalah juga misi mereka dalam menulis. Bergabung dengan Bali Orti, halaman khusus Bali Post yang ditulis dengan bahasa Bali, Ari memiliki keinginan yang sama untuk mengembalikan spirit budaya Bali. Namun ia mengakui bahwa konsep Ajeg Bali yang selama ini dicita-citakannya sangat berbeda dengan konsep Ajeg Bali yang diperkenalkan oleh Bali Post. Konsep Ajeg Bali yang diturunkan oleh Bali Post saat itu lebih dititik beratkan pada praktik religiusitas yang banyak dilatarbelakangi oleh mitos sehingga pada akhirnya orang-orang yang berada di dalam sistem Bali Post dituntut untuk melakukan Tri Sandhya, atau diajak melakukan Tirta Yatra atau Agni Hotra ritual pemujaan masyarakat Hindu di India. Meskipun itu tidak salah tetapi hal yang luput ditanamkan adalah soal militansi menulis dan diskusi tentang Ajeg Bali sehingga budaya Bali dapat benar-benar dilestarikan oleh masyarakat Bali utamanya pembaca Bali Post. Padahal jika mau jujur, senjata satu-satunya dalam propaganda di Bali Post adalah tulisan. commit to user 122 “Justru ketika kita telusuri, artikel-artikel budaya seperti rekonsiliasi tari Rejang atau budaya mesatua dan lain-lainnya lebih banyak di publikasikan sebelum jaman reformasi. Ketika konsep pelestarian budaya itu telah menjadi Ajeg Bali, halaman budaya di Bali Post justru di pangkas dan dijadikan halaman advertorial,” Ari Dwijayanti, 2014 Militansi menulis dan budaya diskusi itu juga yang akhirnya membentuk produk artikel berita di Bali Post menjadi tidak mantap dan selaras dengan misi pelestarian Bali. Tengok saja kebanyakan berita Ajeg Bali di Bali Post yang mengandalkan tokoh-tokoh nasional dan lokal Bali atau berita-berita seremonial lainnya. “Ajeg Bali merupakan keinginan seluruh masyarakat Bali. Apa yang dilakukan Bali TV harus didukung karena hal ini sebuah pekerjaan besar dalam kerangka mengajegkan Bali. Hal itu disampaikan Ketua DPRD Bali Ida Bagus Putu Wesnawa sebelum menandatangani prasasti,” Bali Post, 2003 “Di luar dugaan, peserta yang mengikuti pemilihan Siswa Ajeg Bali 2005 membludak,” Bali Post, 2005 Tidak hanya absenya militansi menulis dan budaya diskusi, berita-berita Ajeg Bali yang dipublikasikan juga sangat berdasarkan konsep Ajeg Bali yang diperkenalkan Satria Naradha, yakni konsep Bali merdeka, Bali yang berdiri sendiri, Bali tidak perlu orang lain Ari Dwijayanthi, 2014. Oleh sebabnya, Bali Post mengarahkan berita-beritanya lebih ke pengambilalihan sektor informal dari pendatang, atau memarginalkan penduduk pendatang, atau mengajak masyarakat Bali untuk menuntut status otonomi khusus bagi Bali tinimbang menulis berita- berita yang mengupas tentang misalnya keberadaaan desa pekraman secara reguler. Atau di lain waktu, Satria Naradha ingin mengarahkan Ajeg Bali pada mitos atau klenik maka berita-berita “di kolom Ajeg Bali lebih menceritakan pada pura, fungsinya, dewa apa yang berstana disana,” Ari Dwijayanthi, 2014 commit to user 123

4.4 Analisis Sociocultural Practice