Hasil  penelitian  yang  dilakukan  Jarret  et  al  2003  didapatkan  hasil bahwa  TV  dianggap  mempunyai  peran  dalam  mendorong  seseorang  untuk
mengonsumsi  makanan  yang  diiklankan  di  TV  sebagai  pengganti  buah  dan sayur sehingga konsumsi buah dan sayur pada remaja masih rendah. Penelitian
Freisling,  et  al  2009  menunjukkan  bahwa  remaja  yang  mendapatkan informasi  gizi  dari  booklet,  internet,  artikel  majalah  dan  koran  mengonsumsi
buah dan sayur setiap hari sedangkan remaja  yang terpapar iklan komersial  di televisi dan radio  kemungkinan konsumsi  buah dan sayurnya berkurang setiap
harinya.
9. Konsumsi Fast Food
Kehadiran  fast  food  dalam  industri  makanan  di  Indonesia  bisa mempengaruhi  pola  makan  kaum  remaja  di  kota.  Khususnya  bagi  remaja
tingkat menengah keatas, restoran fast food merupakan tempat yang tepat untuk bersantai.  Makanan  di  restoran  fast  food  ditawarkan  dengan  harga  yang
terjangkau  kantong  mereka,  servisnya  cepat  dan  jenis  makanannya  memenuhi selera. Fast food adalah gaya hidup remaja kota Khomsan, 2003.
Fast  food  umumnya  mengandung  tinggi  lemak.  Lemak  pada    makanan dapat  menambah  palatabilitas  makanan,  yaitu  menambahkan  rasa  dan  sensasi
mulut  tertentu  terhadap  makanan  dan  mempertinggi  rasa  puas  yang  diperoleh dengan makanan. Makanan sangat dipengaruhi oleh rasa dan tekstur dari lemak
sehingga  meningkatkan  selera  makan  Schlenker,  2007.  Selain  mengandung tinggi  lemak,  fast  food  juga  mengandung  kalori,  gula,  dan  sodium  Na  yang
tinggi  tetapi  rendah  serat  kasar,  vitamin  A,  asam  askorbat,  kalsium  dan  folat
Kandungan gizi yang tidak seimbang ini bila terlanjur menjadi pola makan akan berdampak negatif pada keadaan gizi para remaja Khomsan, 2003.
Penelitian  French,  et  al  2001  menyatakan  bahwa  semakin  seringnya remaja  mengonsumsi  fast  food  dapat  menjadi  penghalang  dalam  pemilihan
konsumsi  makanan  sehat  termasuk  buah  dan  sayur.  Konsumsi  buah  dan  sayur berkurang  seiring  dengan  semakin  seringnya  remaja  mengonsumsi  fast  food.
Sedangkan  penelitian  Neumark  Sztainer  et  al  2003  menyatakan  tidak  ada hubungan yang signifikan antara konsumsi fast food dengan perilaku konsumsi
buah dan sayur.
10. Pendapatan Orang tua
Upaya pemenuhan konsumsi makanan yang bergizi berkaitan erat dengan daya  beli  rumah  tangga.  Rumah  tangga  dengan  pendapatan  terbatas,  kurang
mampu  memenuhi  kebutuhan  makanan  yang  diperlukan  tubuh,  setidaknya keanekaragaman  bahan  makan  kurang  bisa  dijamin  karena  dengan  uang  yang
terbatas tidak akan banyak pilihan. Akibatnya kebutuhan makanan untuk tubuh tidak terpenuhi Apriadji, 1986.
Pendapatan  merupakan  faktor  yang  menentukan  kuantitas  dan  kualitas makanan  yang  dikonsumsi.  Semakin  tinggi  pendapatan  maka  semakin  besar
peluang  untuk  memilih  pangan  yang  baik.  Meningkatnya  pendapatan perorangan  maka  terjadi  perubahan-perubahan  dalam  susunan  makanan
Suhardjo,  2003.  Mayoritas  masyarakat  yang  konsumsi  makannya  kurang optimal  terutama  yang  berasal  dari  keluarga  dengan  status  ekonomi  rendah.
Karena keluarga dengan pendapatan terbatas, besar kemungkinan kurang dapat
memenuhi kebutuhan makanannya sejumlah yang diperlukan tubuh. Setidaknya keanekaragaman bahan makanan kurang terjamin karena dengan uang terbatas
itu tidak akan banyak pilihan Suhardjo, 2006.  Dalam hal konsumsi buah dan sayur,  sebagai  contoh  pada  keluarga  tidak  miskin  rata-rata  konsumsi  buahnya
tinggi karena mereka mampu membeli buah-buahan dan mungkin mereka tahu manfaatnya bagi kesehatan Khomsan dkk, 1998.
Dalam penelitian Zenk 2005 ditemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan  antara  tingkat  ekonomi  dan  perilaku  konsumsi  individu,  yaitu
seseorang yang memiliki pendapatan dan status ekonomi tinggi cenderung akan mengonsumsi buah dan sayur lebih banyak. Pada penelitian Mac Farlane 2007
ditemukan  bahwa  masyarakat  yang  status  ekonominya  tinggi  selalu  tersedia sayuran  dan  buah  di  rumah  dan  remaja  yang  status  ekonominya  rendah
cenderung  lebih  sedikit  mengonsumsi  buah,  sayur,  dan  makanan  berserat lainnya dibandingkan dengan makanan tinggi lemak.
Soekirman  2000  menyatakan  bahwa  tingginya  pendapatan  cenderung diikuti  dengan  tingginya  jumlah  dan  jenis  pangan  yang  dikonsumsi.  Tingkat
pendapatan  akan  mencerminkan  kemampuan  untuk  membeli  bahan  pangan. Konsumsi  makanan  baik  jumlah  maupun  mutunya  dipengaruhi  oleh  faktor
pendapatan  keluarga.  Hal  ini  diperkuat  dengan  pernyataan  Hartoyo  1997 dalam  Bahria  2009  bahwa  secara  ekonomi,  buah  termasuk  dalam  kategori
barang  normal  dengan  nilai  elastisitas  pengeluaran  pendapatan  bertanda positif.  Artinya,  bila  terjadi  kenaikan  pengeluaran  yang  menunjukkan  adanya
peningkatan  pendapatan  maka  konsumsi  buah  oleh  rumah  tangga  juga  akan meningkat.
11. Jumlah Anggota Keluarga