pada siklus II dapat meningkatkan rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah matematik siswa.
Beberapa indikator-indikator
mengenai pemecahan
masalahh matematik peserta didik juga mengalami peningkatan, berikut adalah
perbandingan indikator kemampuan pemecahan masalah matematik siswa pada siklus I dan siklus II.
Data tersebut disajikan dalam bentuk histogram sebagai berikut:
Gambar 4.26 Grafik Perbandingan Rata-rata Persentase Indikator Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematik Siswa
Berdasarkan gambar 4.26 menunjukkan bahwa indikator kemampuan pemecahan masalah mengalami peningkatan pada setiap indikatornya. Pada
indikator mengidentifikasi bagian-bagian khusus dan memilih prosedur data yang benar rata-rata persentase meningkat sebesar 3.9 dari 84.00 menjadi 87.90.
Hal ini dikarenakan siswa sudah lebih memahami cara mengidentifikasi soal dengan baik, kemudian menentukan bagian-bagian khusus yang ada dan diakhiri
10 20
30 40
50 60
70 80
90
Mengidentifikasi bagian-bagian
khusus dan memilih prosedur
serta data yang benar
Memperkirakan dan menganalisis
Mengevaluasi dan menginterpretasik
an fakta kuantitatif dan hubungannnya
Siklus I 84
33 76
Siklus II 87.9
59.4 80
87.9
59.4 80
dengan pemilihan prosedur data yang benar. Walaupun peningkatan indikator ini tidak begitu signifikan, akan tetapi peserta didik sudah mampu beradaptasi dengan
berbagai macam soal yang memiliki indikator yang sama. Pada indikator menganalisis dan memperkirakan pada siklus I hanya 33,
hal ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan kedua indikator lainnya. Penyebab utama kemampuan menganalisis rendah, karena sebelum adanya pembelajaran
menggunakan bahan ajar berbasis pendekatan konstruktivisme, guru kelas hanya memberikan latihan soal yang memudahkan siswa memahami saja. Hal ini
diketahui setelah wawancara pada awal penelitian dilakukan. Setelah dilakukan perbaikan pada pembelajaran siklus II peningkatan terjadi cukup signifikan yaitu
sebesar 26.38 dari 33.00 menjadi 59.38. Peningkatan ini menunjukan adanya perbaikan menganalisis dan memperkirakan soal pemecahan masalah
siswa. Pada indikator mengevaluasi dan mempresentasikan fakta kuantitatif dan
hubungannya meningkat 4 dari 76.00 menjadi 80.00. Adanya peningkatan kemampuan pemecahan masalah pada indikator ini, karena siswa terbiasa
mengerjakan soal dengan tipe indikator yang sama. Sehingga kemampuan mengevaluasi dan mempresentasikan fakta kuantitatif dan hubungannya lebih
mudah dikerjakan oleh siswa.
C. Pembahasan Temuan Penelitian
Pembahasan yang dilakukan didasarkan atas hasil wawancara kepada guru, pengamatan melalui lembar observasi aktivitas belajar matematika, dan
melihat rata-rata hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. Pada hasil wawancara yang dilakukan pada saat observasi sebelum
penelitian. Diketahui bahwa kemampuan pemecahan masalah pada kelas XI IPA- 3 cukup rendah diantara keempat kelas IPA lainnya di SMA Negeri 90 Jakarta.
Pembelajaran yang dilakukan oleh guru mata pelajaran matematika masih konvensional yaitu pembelajaran yang berpusat pada guru. Penggunaan alat
bantu dalam pembelajaran hanya sebatas buku paket yang disediakan disekolah.
Buku paket tersebut tidak mengarahkan siswa pada kemampuan pemecahan masalah.
Kemampuan pemecahan masalah tidak terasah dengan baik karena pembelajaran yang dilakukan dikelas tersebut monoton pada ceramah dan
membahas soal saja. Hasil wawancara dengan guru mata pelajaran kemampuan pemecahan masalah rendah dikarenakan siswa yang tidak mau mengemukakan
pendapat atau sekedar menjawab pertanyaan guru walapun konteks pertanyaan tersebut mudah untuk dijawab. Hal ini menyebabkan guru tersebut
berkesimpulan bahwa siswa sudah memahami setiap materi diberikan. Padahal jika diteliti siswa memiliki banyak pertanyaan yang mampu membuat dirinya
sendiri memahami lebih dalam terhadap suatu materi. Selain dengan pembelajaran yang masih konvensional, bahan ajar yang
digunakan juga tidak mengarahkan siswa pada suatu kemampuan. Biasanya guru mata pelajaran pada kelas ini hanya menggunakan buku paket yang disediakan.
Siswa dituntut memahami konsep yang diberikan guru, kemudian mengerjakan beberapa latihan soal secara umum. Latihan soal yang dikerjakan tidak
mengarahkan siswa pada kemampuan pemecahan masalah. Hal ini disebabkan karena kebiasaan mengerjakan soal-soal pemecahan masalah masih belum
diterapkan. Selain dengan wawancara, peneliti juga meminta nilai ulangan harian sebelum penelitian dilakukan yaitu materi peluang. Pada kelas ini memiliki rata-
rata yang cukup rendah sebesar 61. Siswa yang memiliki nilai di atas KKM hanya sebesar 25.00 sedangkan sisanya memiliki nilai dibawah KKM. Nilai
KKM yang ditentukan pihak sekolah adalah 75 untuk mata pelajaran matematika. Melihat hal ini peneliti menyimpulkan akan meneliti tentang kemampuan
pemecahan masalah
matematik siswa
melalui bahan
ajar berbasis
konstruktivisme. Penelitian ini disetujui oleh pihak sekolah dan guru mata pelajaran yang bersangkutan. Penelitian dilakukan di SMA Negeri 90 Jakarta
kelas XI IPA 3. Kelas yang memang memiliki nilai dibawah rata-rata kelas IPA lainnya.
Peneliti mulai mendesain bahan ajar sesuai dengan urutan pendekatan konstruktivisme. Desain bahan ajar didiskusikan dengan dosen pembimbing, dan
langsung diadakan perbaikan. Bahan ajar yang sesuai dengan arahan dosen pembimbing divalidasi oleh pakar sebelum dipergunakan oleh siswa. Sesuai
dengan komentar dan saran dari pakar, peneliti merevisi bahan ajar tersebut. Bahan ajar yang telah melalui proses validasi akan dipergunakan sebagai alat
pembelajaran siswa saat penelitian dilakukan. Bahan ajar berbasis konstruktivisme memiliki beberapa tahapan, yaitu :
Pertama pengaktifan pengalaman pengetahuan yang berkaitan dengan materi pembelajaran. Pada tahapan ini siswa dituntut untuk mengingat kembali
pelajaran yang telah dilewati sebelumnya yang berkaitan dengan materi yang sedang dibahas. Kedua pemerolehan pengetahuan baru, pada tahap ini siswa
mendapatkan pengetahuan baru tentang suatu materi, seperti merumuskan. Ketiga pemahaman pengetahuan dan pengalaman, setelah siswa mengingat
kembali pengalaman pembelajaran dan telah merumuskan materi, maka siswa harus memahami pengalaman dan rumusan tersebut. Keempat mempraktekkan
pengetahuan dan pengalaman, pada tahap ini siswa mempraktikan pemahaman dari pembelajaran yang telah dilakukan melalui latihan soal. Tahap kelima adalah
melakukan refleksi, setelah mengingat pengetahuan awal, merumuskan, memahami dan mempraktekkan pembelajaran, siswa merefleksikan hasil
pembelajaran tersebut dengan menyimpulkan dan menanyakan kembali hal yang kurang dipahami dari materi.
Bahan ajar berbasis konstruktivisme diharapkan membangun aktivitas belajar siswa melalui tahapan-tahapan pembelajarannya. Setiap tahapan tersebut
membuat siswa beraktivitas dengan bahan ajar yang telah disediakan peneliti. Penelitian ini difokuskan pada aktivitas siswa menggunakan bahan ajar berbasis
konstruktivisme. Penelitian siklus I dilakukan pada 5 kali pertemuan, 4 kali pembahasan
materi dan satu kali tes siklus I kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. Setelah pembelajaran berlangsung peneliti menemukan ketidaksiapan
siswa melakukan pembelajaran yang berpusat pada dirinya sendiri melalui cara mereka mengerjakan bahan ajar yang masih sangat memerlukan tuntunan.
Kendala yang muncul adalah kalimat yang ada dalam bahan ajar belum semua
dimengerti dengan baik oleh siswa. Apalagi saat siswa harus mengingat kembali pembelajaran yang telah dilakukan pada kelas-kelas sebelumnya, siswa
mengalami kesulitan saat mengingatnya. Peneliti meminta guru mata pelajaran mengobservasi aktivitas belajar
siswa dalam 4 kali pertemuan. Hasil aktivitas belajar siswa 64.45. Hasil ini belum dikatakan baik karena peneliti memiliki standar minimal 70.00. Setelah
dilakukan kembali pembelajaran pada siklus II hasil dari aktivitas belajar siswa meningkat menjadi 72.90. hal ini terjadi karena aktivitas siswa dalam
pembelajaran meningkat pada setiap aspek yang diamati. Pada
saat mendengarkanmemperhatikan
penjelasan guruteman
meningkat dari 79.20 menjadi 85.60. hal ini dikarenakan siswa ingin lebih mengetahui mengenai bagaimana cara mengerjakan bahan ajar dan hasil yang
diinginkan akan seperti apa. Saat mengerjakan bahan ajar siswa dituntut untuk mengingat pelajaran sebelumnya yang berkaitan juga meningkat dari 78.60
menjadi 81.90. Siswa sudah terbiasa mengingat pembelajaran yang berkaitan dengan materi yang dibutuhkan pada siklus I dan II sehingga terjadi peningkatan
yang cukup signifikan. Keingintahuan siswa tergambar saat merumuskan dan memahami konsep
materi, hal ini sejalan dengan peningkatan yang ada sebesar 5.7 dari aktivitas merumuskan siklus I sebesar 86.60 menjadi 92.50 pada siklus II. Aktivitas
peserta didik berupa mempraktikan dan menyimpulkan materi yang telah dirumuskan juga mengalami peningkatan daro 60.4 menjadi 68.1. Aktivitas
belajar siswa berupa mempraktikan dan menyimpulkan cukup direspon, namun beberapa siswa tidak menunjukan ketertarikan dengan mengerjakan soal atau
menyimpulkan. Seringkali peneliti melontarkan beberapa pertanyaan seputar materi
pembelajaran, hal ini membuat siswa aktif menjawab pertanyaan tersebut atau sekedar merespon dengan baik. Peningkatan juga terjadi saat pertanyaan diajukan
atau menanyakan hal yang belum dimengerti sebesar 0.1 saja. Peningkatan ini tidak terlalu signifikan karena siswa yang bertanya atau merepon pertanyaan
hanya siswa yang sama setiap harinya. Saat mengerjakan tugas dan memecahkan