20 W
t
= W
o
e
gt
.......................................... 1 dimana W
t
= berat ikan pada waktu t, W
o
= berat awal, e = logaritma natural, dan g = koefisien pertumbuhan. Selanjutnya koefisien pertumbuhan dapat diperoleh
melalui rumus:
gt =
Wo Wt
ln
......................................... 2
Sedangkan model pertumbuhan yang menggunakan data panjang ikan, seperti yang diberikan oleh von Bertalanffy, adalah:
L
t
=
] 1
[
t t
K
e L
− −
∞
−
atau L
t
=
Kt Kt
e L
e L
− ∞
− ∞
+ −
1
......................................... 3
dimana L
t
= panjang ikan pada waktu t,
∞
L
=panjang maksimum, L
o
= panjang ikan pada waktu t = 0, K = koefisien pertumbuhan.
Untuk mengetahui nilai pertumbuhan nisbih ikan antara dua selang waktu tertentu, dapat dilakukan dengan rumus :
I I
I h
n
− =
......................................... 4
dimana h = nilai pertumbuhan dalam panjang, I
n
= panjang pada waktu n, dan I
o
= panjang awal. Perbedaan ukuran panjang ikan dal am dua saat yang berbeda,
misalnya pada I
1
, I
2
, I
3
dan dst, dapat disebut sebagai pertumbuhan mutlak.
2.2.2 Panjang berat
Hubungan antara panjang dan berat ikan pada umumnya bersifat kubik dalam arti berat ikan merupakan pangkat tiga dari panjangnya, namun hubungan
yang seperti itu pada kasus ikan tertentu tidak mutlak. Hal itu disebabkan karena bentuk dan panjang setiap jenis ikan adalah berbeda-beda. Secara matematis,
hubungan antara panjang dan berat ikan dapat diformulasikan dengan rumus umum
yaitu: W
= cL
n
, .........................................
5 dimana: W = berat; L = panjang; dan c, n = konstanta
Jika rumus di atas ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma, maka akan didapatkan persamaan:
21 log W = Log c + n Log L yang merupakan bentuk persamaan linear atau
persamaan garis lurus. Nilai n harus cocok dengan panjang ikan agar sesuai dengan berat ikan dengan nilai kisaran antara 1,2 – 4,0, namun kebanyakan nilai n
tersebut berkisar antara 2,4 – 3,5. Bilamana ditemukan nilai n = 3, hal itu menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan tidak mengalami perubahan bentuk, atau
pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan beratnya pertumbuhan
isometrik , dan apabila nilai n lebih besar atau lebih kecil dari 3, maka dinyatakan
bahwa pertambahan ukuran panjang ikan tidak seimbang dengan pertambahan beratnya pertumbuhan alometrik. Jika nilai n didapatkan kurang dari 3, berarti
menunjukkan bahwa pertambahan ukuran panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan beratnya. Sebaliknya jika didapat nilai n lebih besar dari 3,
menunjukan bahwa pertambahan berat ikan lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan ukuran panjang ikan tersebut.
2.2.3 Jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad TKG
Penelitian struktur jenis kelamin populasi sumberdaya ikan terbang di perairan Indonesia masih sangat kurang . Penelitian tentang beberapa parameter
biologi ikan terbang, dilakukan di perairan Selat Makassar dan Laut Flores oleh Nessa, et al. 1977, Ali, et al. 2004a, dan Ali 2005. Dari hasil penelitian tersebut,
dikemukakan bahwa proporsi nisbah antara ikan berjenis kelamin jantan dan betina tidak berbeda nyata atau sama dengan 1:1
χ
2
= 1,089, p0,05, begitu pula perbandingan antara ikan berjenis kelamin jantan dan betina tiap bulan tidak
berbeda nyata χ
2
= 5,633; df = 4; p0,05 Ali, 2005. Proporsi yang seimbang juga ditemukan pada penelitian ikan terbang yang tertangkap dengan jaring insang
hanyut di Selat Makassar Nessa, et al., 1977, maupun yang tertangkap dengan bubu hanyut di Laut Flores Ali, 2005. Kejadian ini menunjukkan kedua alat
tangkap tersebut tidak memiliki selektivitas terhadap ikan berjenis kelamin jantan dan betina. Rasio kelamin yang seimbang juga dilaporkan pada ikan terbang H.
affinis di Barbados yaitu 49 jantan dan 51 betina Khokiattiwong, et al., 2000.
Penelitian terakhir tentang perkembangan kematangan gonad, indeks kematangan gonad, dan pemijahan ikan terbang H. oxycephalus di Laut Flores di
laporkan oleh Ali 2005. Proporsi tingkat kematangan gonad TKG ikan terbang yang tertangkap dengan jaring insang hanyut antara bulan Maret hingga Juli, secara
umum terdiri dari 85,00 ikan fase reproduktif yang belum beregenerasi yaitu
22 fase muda atau TKG I 2,78 , fase mulai matang atau TKG II 10,66 , fase
matang atau TKG III 13,60 , dan fase mijah atau TKG IV 58,87 , dan hanya sekitar 15,00 ikan fase salin atau TKG V.
Perkembangan gonad ikan terbang, dapat diketahui dari hasil pengamatan morfologi dan histologi. Pengamatan morfologi dilakukan dengan cara
membandingkan warna, ukuran, volume gonad yang mengisi rongga tubuh, dan butiran telur. Secara morfologis, testis dan ovarium ikan terbang H. Oxycephalus
jantan maupun betina dari TKG I sampai TKG V tampak perbandingannya. Berdasarkan foto histologi gonad dan metode klasifikasi pada ikan Effendie, 1997,
maka TKG untuk ikan terbang diintisarikan pada Tabel 2. Tabel 2
Penentuan TKG ikan TKG
Jantan Betina
I Ukuran testis kecil dan
pendek, warna putih krem, gonad terbungkus selaput
hitam Ukuran gonad pendek dan terbungkus
selaput warna hitam, warna coklat muda, mengisi sepertiga rongga tubuh,
butiran telur masih sangat kecil dan berwarna putih di bagian anterior
II Ukuran lebih besar dari TKG
I, warna putih susu dan masih terbungkus selaput
hitam, bentuk lebih jelas dari TKG I
Ukuran lebih besar dari TKG I dan selaput pembungkus warna hitam
masih ada, warna gonad kuning putih dan mulai tampak butiran telur warna
kuning di bagian anterior III
Ukuran mulai membesar dan selaput pembungkus gonad
mulai memudar, warna makin putih
Ukuran mulai membesar mengisi ¾ bagian rongga tubuhnya, selaput hitam
mulai memudar, warna gonad kuning, butiran telur lebih banyak
IV Ukuran lebih besar dari TKG
III, permukaan testis tampak bergerigi, warna makin putih
dan mengisi seluruh rongga tubuh
Butiran telur tampak lebih jelas dan makin banyak, gonad mengisi seluruh
bagian rongga tubuh dan berwarna kuning tua
V Kantong gonad mulai
mengempis dan keriput bila diawetkan
Gonad mengempis dan keriput, di bagian pelepasan terlihat sisa-sisa telur
Sumber : Effendie 1997
Data jenis kelamin dan TKG ikan hasil pengukuran dan pengamatan terhadap hasil tangkapan ikan terbang di dalam penelitian ini, dikelompokkan ke
23 dalam tiga selang waktu pengamatan; yakni peralihan musim barat timur PMBT,
musim timur MT, dan peralihan musim timur barat PMTB. Data tersebut digunakan untuk mendapatkan gambaran perbedaan proporsi rasio jenis kelamin
dan tingkat kematangan gonad ikan terbang yang tertangkap pada musim dan daerah penangkapan yang berbeda, kemudian selanjutnya digunakan untuk
prakiraan waktumusim pemijahan ikan tersebut.
2.3 Karakteristik Fisika Kimia Perairan 2.3.1 Suhu perairan
Sebaran suhu permukaan laut SPL, dapat dijadikan sebagai indikator daerah-daerah upwelling yang menggambarkan situasi dimana massa air dari
lapisan bawah naik menuju ke lapisan atas atau mungkin mencapai permukaan. Selat Makassar jika dilihat dari kondisi geografisnya, dipengaruhi oleh Samudera
Pasifik. Berdasarkan pola arus yang berhasil dipetakan, terlihat bahwa perairan Selat Makassa lebih banyak menerima masukan massa air yang berasal dari
Samudera Pasifik Gordon, et al., 1999. Sirkulasi massa air dan pola angin yang bertiup di daerah ini, memungkinkan untuk terjadinya penaikan massa air
Upwe lling di bagian paling selatan perairan ini Illahude, 1978.
Sebaran suhu permukaan laut Selat Makassar rata-rata berkisar antara 28,34 – 30,34
o
C, dengan kisaran suhu tertinggi ditemukan pada peralihan musim barat timur, dan suhu perairan mengalami penurunan selama musim timur,
kemudian meningkat kembali memasuki peralihan musim timur barat Yahya, et al., 2001.
2.3.2 Salinitas perairan
Sebaran salinitas pemukaan laut perairan Selat Makassar, dipengaruhi oleh peredaran angin muson. Berdasarkan pola pergerakan arus yang telah diketahui
sebelumnya, ditemukan bahwa massa air dari Samudera Pasifik dengan kadar salinitas tinggi memasuki Laut Sulu ke Laut Sulawesi dan melewati Selat Makassar
dan terus bergerak menuju ke arah selatan khatulistiwa Gordon, et al., 1999. Sebaliknya pengaruh massa air dari Samudera Hindia tidak banyak mempengaruhi
perairan Selat Makassar, karena sejumlah massa air di selatan Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa diangkut oleh arus khatulistiwa selatan AKS ke arah barat. Nontji
24 1987 mengemukakan bahwa, sebaran salinitas rata-rata Laut Jawa adalah
berkisar 32,50‰, Laut Flores 33,50‰, sedangkan Selat Makassar, Laut Banda dan Laut Sulawesi sekitar 34,00‰.
Hasil pengamatan Yahya, et al. 2001 mengemukakan bahwa, sebaran mendatar salinitas permukaan laut Selat Makassar diperoleh kisaran terendah pada
peralihan musim barat timur yakni antara 31,03 – 33,27‰, kemudian nilai salinitasnya meningkat memasuki musim timur yakni antara 33,69 – 33,86‰, dan
kemudian memasuki awal peralihan musim timur barat salinitas cenderung menurun kembali, bahkan nilai salinitas terendah pada salah satu stasiun pengukuran di
bagian selatan Selat Makassar pada musim tersebut, yakni sebesar 30,01‰. Pada musim yang bersamaan tetapi pada stasiun pengukuran yang berbeda, juga
ditemukan adanya massa air dengan nilai salinitas tertinggi yakni sebesar 34,20‰. Hal ini diduga kemungkinan disebabkan terdapatnya sejumlah massa air yang
terangkat ke permukaan akibat proses upwelling yang berlangsung selama periode musim timur di perairan bagian selatan Selat Makassar.
2.3.3 Unsur nutrien