1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1.1.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Selat Makassar sebagai wilayah perairan laut yang berada di pesisir pantai barat Sulawesi Selatan, merupakan salah satu wilayah perairan yang memiliki
potensi sumberdaya ikan terbang dengan produksi yang cukup besar diantara beberapa wilayah perairan laut dari beberapa propinsi lainnya di Indonesia Tabel
1
. Dilaporkan bahwa potensi lestari MSY sumberdaya ikan terbang di Selat Makassar berkisar antara 13.000 sampai dengan 20.000 ton yang dapat dikelola
setiap tahunnya Tambunan, 2005. Hasil penelitian sebelumnya melaporkan bahwa potensi lestari sumberdaya ikan terbang di Selat Makassar adalah sebesar
12.293 ton per tahun dengan upaya penangkapan sebesar 7.840 unit per tahun Dwiponggo, et al.,1983, 6.606 ton per tahun dengan upaya penangkapan sebesar
5.644 unit Nessa, et al., 1992, dan 5.770 ton per tahun dengan 4.385 unit upaya penangkapan Ali, et al., 2005. Dari potensi lestari sumberdaya ikan terbang di
daerah ini, mampu menghasilkan produksi tertinggi yang dicapai selama 5 tahun terakhir adalah sebesar 9.580 ton pada tahun 2000 Gambar 1.
Sumberdaya ikan terbang di perairan Indonesia menyebar dengan potensi yang berbeda-beda. Perbedaan potensi tersebut, terlihat dengan produksi ikan
terbang yang dihasilkan dari setiap wilayah yang berbeda. Produksi hasil tangkapan ikan terbang secara nasional sampai dengan tahun 2003 terbesar
dihasilkan dari Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku. Dalam perkembangannya, produksi ikan terbang yang dihasilkan dari setiap wilayah
propinsi terjadi fluktuasi, bahkan di beberapa wilayah yang sebelumnya menghasilkan ikan terbang yang cukup besar misalnya dari Riau pada tahun 1998
dan 1999, kemudian pada tahun berikutnya tidak lagi menghasilkan ikan terbang.
Sebaliknya di beberapa wilayah lainnya yang sebelumnya tidak menghasilkan ikan terbang, kemudian beberapa tahun berikutnya juga menghasilkan produksi ikan
terbang, misalnya dari Propinsi Bengkulu, Gorontalo, dan Maluku Utara. Hal tersebut menggambarkan bahwa di beberapa wilayah terjadi penurunan produksi
ikan terbang, tetapi beberapa wilayah lainnya terjadi peningkatan produksi. Besarnya peningkatan dan penurunan produksi ikan terbang yang dihasilkan dari
masing-masing wilayah, dapat disebabkan diantaranya adalah besar kecilnya upaya
2
12293
7840
6066
5644
5770
4385
5786
4123 2000
4000 6000
8000 10000
12000 14000
MSY TonTahun; Eopt Unit GillnetTahun
1975-1979 1987-1991
1991-2002 1994-2003
MSY Eopt
penangkapan yang dilakukan dalam mengeksploitasi potensi sumberdaya ikan terbang di masing-masing wilayah tersebut, dan dapat pula disebabkan karena
lintas perdagangan.
Tabel 1
Produksi ton ikan terbang menurut propinsi di Indonesia tahun 1998 - 2004
Tahun PROPINSI
1998 1999
2000 2001
2002 2003
2004
NAD 1.383
1.060 961
1.195 261
1.337 2.210
Sumatera Utara 259
266 339
330 411
450 510
R i a u 470
510 -
- -
- -
Bengkulu -
- -
- 17
32 -
Lampung -
- 444
- -
- -
Jawa Barat 15
21 242
99 52
216 680
Jawa Tengah 5
5 27
3 43
- -
D.I. Yogyakarta -
- -
8 -
- -
Jawa Timur 11
8 34
7 11
11 20
B a l i 983
1.790 969
426 468
5.111 4.990
NTB 220
639 287
384 369
350 460
NTT 4.699
1.807 1.772
2.027 2.466
1.757 1.560
Sulawesi Utara 506
875 901
748 513
405 410
Gorontalo -
2 26
- Sulawesi Tengah
349 349
604 338
243 252
250
Sulawesi Selatan 5.782
6.135 9.580
8.669 4.472
3.927 3.840
Sulawesi Tenggara 239
308 318
495 274
1.024 1.670
Maluku 3.177
3.177 3.177
1.059 1.273
1.483 1.390
Maluku Utara -
250 244
- Papua
863 872
778 679
732 741
720
Total Produksi Ton 18.961
17.822 20.433 16,467 11.857 17.366
18.710
Sumber
: Tambunan, 2005.
Dwiponggo, et al., Nessa, et al., Ali, 2005 Hasil Penelitian 1983 1992
Gambar 1
Kondisi MSY sumberdaya ikan terbang di Sulawesi Selatan antara tahun 1975 - 2003.
3 Propinsi Sulawesi Selatan sebagai penghasil ikan terbang terbesar secara
nasional, dari tahun ke tahun juga mengalami fluktuasi produkasi ikan terbang yang dihasilkan. Produksi ikan terbang di Sulawesi Selatan dari tahun 1998 sampai
dengan tahun 2004 diperoleh terbesar pada tahun 2000 dengan jumlah produksi sebesar 9.580 ton, kemudian pada tahun berikutnya mengalami penurunan
produksi yang cukup besar yakni rata-rata sebesar 155 ton per tahun.
Di pesisir pantai barat Sulawesi Selatan dengan panjang garis pantai sekitar 1.800 km, terdapat beberapa kabupaten dengan kontribusi produksi ikan terbang
yang dominan di daerah tersebut, diantaranya adalah Kabupaten Takalar, Kabupaten Barru, Kabupaten Pinrang, Kabupaten Majene, dan Kabupaten Mamuju.
Kabupaten Takalar dan Kabupaten Barru berada di bagian selatan wilayah pesisir
pantai barat perairan Selat Makassar, sedangkan Kabupaten Pinrang, Mamuju dan Majene berada di bagian sebelah utara. Dua kabupaten terakhir, yakni Kabupaten
Majene dan Kabupaten Mamuju, saat ini tidak lagi berada di dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan tetapi berada dalam wilayah Propinsi Sulawesi Barat, sebagai
hasil pemekaran wilayah propinsi sejak tahun 2005.
Umumya nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang di daerah ini, merupakan penduduk asli yang mendiami wilayah
tersebut dan berada di sepanjang pesisir pantai. Di Kabupaten Takalar, mayoritas penduduk yang mendiami wilayah itu, adalah suku Maka ssar. Di Kabupaten Barru
yang berada di bagian sebelah utara Kota Makassar mayoritas penduduknya merupakan suku bugis. Di daerah Ujung Lero Kabupaten Pinrang, penduduk yang
mendiami wilayah pesisir di daerah itu sebagian merupakan suku mandar dan sebagian lainnya adalah suku bugis. Kabupaten Majene yang merupakan lokasi
penelitian yang berada di bagian paling utara, mayoritas penduduknya adalah suku mandar.
Hampir sepanjang tahun kegiatan penangkapan ikan terbang di daerah itu hanya dilakukan oleh masyarakat nelayan setempat tanpa adanya komunitas
nelayan dari daerah lain di sekitarnya. Pemasaran hasil tangkapan ikan terbang yang diperoleh nelayan, sebagian besar hanya diperuntukkan kepada konsumen
lokal sebagai kebutuhan pangan sehari-hari. Apabila jumlah hasil tangkapan ikan melimpah, misalnya pada puncak musim penangkapan ikan terbang, sebagian hasil
tangkapan ikan itu juga dipasarkan ke daerah lain di sekitarnya, terutama ke daerah-daerah dataran tinggi yang tidak memiliki laut seperti, Kabupaten Tanah
4 Toraja, Kabupaten Enrekang, dan sebagian daerah di Kabupaten Luwu. Walaupun
jenis ikan ini bukan tergolong sebagai jenis ikan ekonomis penting, namun karena telah berlangsung lama usaha penangkapannya dan tetap diminati oleh masyarakat
sehingga juga memberikan kontribusi terhadap pendapatan nelayan di daerah itu.
Produksi hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang di pesisir pantai barat Sulawesi Selatan, rata-rata mulai meningkat setiap tahunnya memasuki awal musi m
timur, kemudian menurun kembali memasuki awal musim pancaroba kedua, dan produksi ikan terbang terendah selama musim barat Yahya, et al., 2001. Jumlah
hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang setiap nelayan dalam setiap trip penangkapan tidak menentu, bergantung pada beberapa hal, diantaranya
keberhasilan menemukan kawanan ikan terbang, ketepatan memasang alat
penangkapan, serta kondisi cuaca dan laut pada saat itu. Hasil tangkapan ikan terbang oleh nelayan di Kabupaten Barru, dipasarkan
dalam bentuk olahan sebagai ikan yang telah melalui proses penggaraman, akibat jumlah hari operasi penangkapan di laut dalam satu trip penangkapan cukup lama,
yakni berkisar antara 20 sampai 30 hari long trip. Sementara di Kabupaten Pinrang, Polmas, dan Majene, hasil tangkapan ikan terbang yang diperoleh nelayan
dipasarkan dalam bentuk segar, kecuali bila pada saat itu tidak seluruh ikan hasil tangkapan nelayan terjual habis, maka dilakukan penyiangan dalam bentuk asin
kering atau dalam bentuk ikan peda setelah melalui proses pemasakan. Hal itu terkait dengan kegiatan penangkapan yang dilakukan nelayan yang hanya
menggunakan satu hari penangkapan short trip.
Berbeda halnya dengan di Kabupaten Takalar, hasil tangkapan telur ikan terbang yang diperoleh nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan dengan
tujuan utama hanya untuk menangkap telurnya saja, pemasarannya adalah untuk tujuan ekspor. Telur ikan terbang yang diperoleh selanjutnya mendapatkan proses
pengolahan lebih lanjut setelah sampai di darat. Ikan terbang yang diperoleh
selama kegiatan penangkapan di laut, biasanya hanya dikonsumsi sendiri oleh awak kapal selama berada di laut sebagai menu alternatif. Hal ini juga terkait
dengan lamanya waktu yang digunakan nelayan dalam satu trip penangkapan. Hasil tangkapan telur ikan terbang selama masih berada di laut, disimpan dalam
keadaan sudah kering dan bersih dari kotoran dengan cara menyianginya sepanjang hari di atas kapal sampai terasa kering. Proses pengolahan telur ikan
5 terbang dari kondisi mulai dari nelayan hingga siap ekspor, ditunjukkan pada
Gambar 2
.
A B
C D
Sumber :
Hasil pemotretan lapang, 2004
Gambar 2
Tahap pengolahan telur ikan terbang. Keterangan :
A Tumpukan telur ikan terbang yang telah kering dari nelayan; B Pengayakan telur ikan terbang dari serabut;
C Pembersihan telur ikan terbang setelah pengayakan; dan D Telur ikan terbang dalam karung siap ekspor.
Sebagai produk perikanan yang dihasilkan untuk tujuan utama ekspor ke beberapa negara, proses pengolahan yang dilakukan harus memenuhi kriteria yang
ditetapkan oleh negara konsumen. Untuk itu kualitas telur ikan terbang yang dihasilkan harus diperhatikan untuk menjamin produk tersebut mendapat respon
pasar mancanegara yang baik. Dalam prakteknya, proses pengolahan ikan terbang, dilakukan mulai dari proses penjemuran hingga mencapai kadar air
maksimum 5 , mengeluarkan biji-biji telur ikan terbang dari benangnya, membersihkan dari kotoran yang masih melekat dengan sebelumnya direndam di
dalam air tawar untuk menghilangkan kadar garam yang tersisa pada semua butiran telur. Pengujian sampel telur ikan terbang dilakukan di laboratorium perikanan
6
58.04 34.07
7.35 0.53
MOTOR TEMPEL 0-5 GT
5-10 GT 10-20 GT
untuk menentukan standar mutu yang diterima oleh negara pengimpor, kemudian dikemas dalam bungkusan plastik dengan berat masing-masing 2 kg dan
dimasukkan ke dalam kotak untuk dipaking sebanyak 12 bungkus.
1.1.2 Sarana dan Prasarana Penangkapan Ikan