Parameter Oseanografi Tingkat Kematangan Gonad TKG Ikan

87 persentase terendah 4,74 pada MT di DPI IV. Persentase kematangan gonad ikan yang berada pada TKG III diperoleh tertinggi 40,31 pada periode MT di DPI II dan persentase terendah 17,92 pada PMBT di DPI I. Persentase kematangan gonad ikan yang berada pada TKG IV diperoleh tertinggi 74,66 pada periode MT di DPI IV dan persentase terendah 3,63 pada PMBT di DPI III. 4 TKG ikan menurut wilayah perairan Tingkat kematangan gonad TKG ikan selama pengamatan berlangsung menurut wilayah perairan, disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 TKG ikan menurut wilayah perairan Tingkat Kematangan Gonad TKG Wilayah Perairan Bagian I II III IV Utara 21,55 31,37 29,11 17,98 Selatan 11,23 16,71 24,28 47,77 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Tingkat kematangan gonad TKG ikan yang diperoleh selama pengamatan berlangsung di bagian utara dan bagian selatan Selat Makassar, menunjukkan persentase TKG ikan selama tiga periode di bagian utara terbesar 31,37 berada pada TKG II dan persentase TKG ikan terkecil 17,98 adalah pada TKG IV. Di bagian selatan diperoleh persentase kematangan gonad ikan terbesar 47,77 berada pada TKG IV dan persentase kematangan gonad ikan terkecil 11,23 berada pada TKG I.

4.5 Parameter Oseanografi

Parameter oseanografi yang digunakan di dalam penelitian ini, terdiri atas data suhu perairan, salinitas, kecepatan arus, kandungan nutrien, dan kandungan klorofil. 4.5.1 Suhu Permukaan Laut SPL Suhu permuka an laut SPL yang diperoleh terdiri atas hasil pengukuran lapang secara langsung in-situ bersamaan dengan setiap kegiatan penangkapan ikan dan hasil pengukuran lapang yang diperoleh dari proyek ARLINDO BPPT, 88 serta hasil pengamatan melalui data citra satelit dari NOAA-AVHRR berupa sebaran SPL. 1 SPL hasil pengukuran in-situ Suhu permukaan laut SPL dari hasil pengukuran langsung in-situ yang diperoleh selama pengamatan lapang berlangsung dari keempat daerah penangkapan ikan DPI selama tiga periode musim, disajikan pada Tabel 28. Pada daerah penangkapan ikan I DPI I yang berada di bagian paling utara, SPL tertinggi 30,65 o C diperoleh pada trip penangkapan ikan 2 pada periode PMTB dan suhu terendah 29,00 o C didapatkan pada trip penangkapan 3 pada periode MT. SPL di DPI II, diperoleh tertinggi 30,05 o C pada trip penangkapan 3 pada periode MT dan terendah 29,10 o C terjadi pada trip penangkapan ikan 2 pada periode MT. Di daerah penangkapan ikan III DPI III, SPL diperoleh tertinggi 30,10 o C pada trip penangkapan ikan 1 pada periode PMBT dan terendah 29,20 o C terjadi pada trip penangkapan ikan 1 pada periode MT. Di daerah penangkapan ikan IV DPI IV yang berada di bagian paling selatan dari keempat DPI, diperoleh SPL tertinggi 30,85 o C pada trip penangkapan ikan 3 pada periode PMBT dan sebaliknya terendah 29,15 o C terjadi pada trip penangkapan ikan 3 pada periode MT. Selama kegiatan penangkapan ikan dilakukan dari keempat DPI, diperoleh SPL tertinggi 30,85 o C terjadi pada trip penangkapan ikan 3 di DPI IV pada periode PMBT, dan SPL terendah 29,00 o C diperoleh pada trip penangkapan ikan 3 di DPI I pada periode MT. Rata-rata nilai SPL yang diperoleh secara keseluruhan selama pengamatan berlangsung, didapatkan tertinggi 30,03 o C pada periode PMBT dan sebaliknya terendah 29,34 o C pada periode MT. Di wilayah perairan bagian utara didapatkan rata-rata nilai SPL tertinggi 29,42 o C pada periode MT, sebaliknya rata- rata SPL didapatkan lebih tinggi 30,25 o C dan 29,65 o C di wilayah perairan bagian selatan pada dua periode peralihan musim PMBT dan PMTB . Rata-rata SPL di wilayah perairan bagian utara juga didapatkan lebih tinggi dibandingkan dengan rata- rata SPL di wilayah perairan bagian selatan. 89 Tabel 28 SPL pada daerah pengamatan Suhu o C Daerah Penangkapan Ikan DPI Trip Penangkapan PMBT MT PMTB 1 30,50 29,15 29,65 2 29,95 29,45 30,65 I 3 29,55 29,00 29,30 1 29,70 29,75 29,45 2 29,65 29,10 29,45 II 3 29,50 30,05 29,30 1 30,10 29,20 29,75 2 29,90 29,30 29,50 III 3 29,55 29,40 29,70 1 30,70 29,35 29,75 2 30,40 29,20 29,50 IV 3 30,85 29,15 29,70 Sumber : Hasil Pengukuranan Lapang, 2004 Hasil pengukuran lapang didapatkan bahwa sebaran SPL di perairan Selat Makassar, berkisar antara 28,34 – 30,34 o C dengan rentang nilai sekitar 2 o C pada periode PMBT, 28,03 – 28,76 o C dengan rentang nilai sekitar 0,73 o C pada periode MT dan 27,63 – 29,36 o C dengan rentang nilai sekitar 1,73 o C pada periode PMTB. Profil suhu yang diperoleh menurut periode musim, menunjukkan bahwa kisaran suhu tertinggi terjadi pada periode PMBT, kemudian mengalami penurunan pada MT, dan suhu perairan meningkat kembali memasuki periode PMTB. Hasil uji perbedaan rata-rata SPL menurut periode musim disajikan pada Lampiran 27. Berdasarkan hasil uji rata-rata SPL, didapatkan rata-rata suhu terendah yakni 28,37 o C didapatkan pada periode MT dan rata-rata suhu tertinggi yakni 29,16 o C didapatkan pada periode PMBT. Dari seluruh stasiun pengamatan, didapatkan SPL terendah yakni 27,63 o C terjadi pada periode PMTB dan SPL tertinggi yakni 30,60 o C terjadi pada periode PMBT. Secara keseluruhan diperoleh nilai SPL berfluktuasi menurut musim. Hasil plot data SPL secara spasial antar stasiun pengamatan, juga menunjukkan adanya perbedaan pada semua periode musim penga matan. Sebaran mendatar SPL di Selat Makassar Gambar 23, memperlihatkan bahwa pada periode PMBT dengan kisaran nilai suhu perairan yang relatif tinggi kemungkinan diakibatkan selain oleh akibat efek intensitas penyinaran matahari 90 yang tinggi karena posisinya masih berada pada belahan bumi selatan, juga disebabkan oleh adanya massa air yang lebih hangat masuk dari perairan Laut Jawa, sedangkan pada periode MT dengan suhu perairan yang relatif lebih rendah, diakibatkan oleh adanya massa air dari Laut Banda dan Laut Flores dengan suhu yang relatif lebih dingin akibat adanya perubahan pergerakan arah angin yang bertiup dari timur ke barat. Selain itu dari penelitian sebelumnya Gordon, et al., 1999, diperoleh keterangan bahwa pada periode musim tersebut di perairan bagian selatan Selat Makassar terjadi upwelling, menyebabkan massa air dari lapisan yang lebih dalam dengan suhu yang lebih rendah terangkat naik ke atas dan bahkan sampai ke bagian permukaan perairan. Sebaran vertikal suhu perairan di Selat Makassar terlihat bahwa, pada periode PMBT terdapat lapisan homogen dengan ketebalan lebih dalam sekitar 100 - 150 m dan kisaran suhu berada antara 30 – 29 o C, sedangkan pada periode MT didapatkan lapisan homogen yang lebih tipis sekitar 50 m dengan kisaran suhu antara 27 – 29 o C. Hal yang sama juga terjadi pada periode PMTB dengan kisaran suhu antara 28 – 29 o C Gambar 24. Pada kedalaman sekitar 100 m, terlihat adanya lapisan massa air dengan tingkat penurunan suhu yang sangat signifikan dengan bertambahnya kedalaman lapisan ini biasanya disebut lapisan termoklin. Ketebalan kolom air pada lapisan termoklin bergantung pada beberapa faktor, diantaranya kondisi musim yang terjadi termasuk kecepatan dan lamanya angin yang bertiup di atas permukaan laut yang dapat menyebabkan ada tidaknya proses pencampuran massa air lapisan permukaan dengan lapisan air di bawahnya serta pergerakan massa air baik secara horizontal maupun vertikal. 91 1 16 .00 1 16 .50 1 17 .00 1 17 .50 1 18 .00 1 18 .50 1 19 .00 1 19 .50 1 20 .00 Bujur Timur -7.00 -6.50 -6.00 -5.50 -5.00 -4.50 -4.00 -3.50 -3.00 Li n ta ng S el at an 27.50 28.00 28.50 29.00 29.50 30.00 30.50 KAL SULAWESI 11 6. 00 11 6. 50 11 7. 00 11 7. 50 11 8. 00 11 8. 50 11 9. 00 11 9. 50 12 0. 00 Bujur Timur -7.00 -6.50 -6.00 -5.50 -5.00 -4.50 -4.00 -3.50 -3.00 Li nt an g S el a ta n 27.50 28.00 28.50 29.00 29.50 30.00 30.50 SULAWESI KAL 11 6. 11 6. 5 11 7. 11 7. 5 11 8. 11 8. 5 11 9. 11 9. 5 12 0. Bujur Timur -7.00 -6.50 -6.00 -5.50 -5.00 -4.50 -4.00 -3.50 -3.00 Li nt ang S el at an 2 7 . 5 0 2 8 . 0 0 2 8 . 5 0 2 9 . 0 0 2 9 . 5 0 3 0 . 0 0 3 0 . 5 0 SULAWESI KAL A B C Gambar 23 Sebaran mendatar SPL Selat Makassar : A PMBT, B MT, dan C PMTB. 92 A B C Gambar 24 Sebaran melintang suhu perairan Selat Makassar : A PMBT, B MT, dan C PMTB. 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 55 57 Stasiun -200 -175 -150 -125 -100 -75 -50 -25 K eda la m an m 1 2 3 4 5 Stasiun -200 -175 -150 -125 -100 -75 -50 -25 K eda la m an m 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 Stasiun -200 -175 -150 -125 -100 -75 -50 -25 K eda la m an m 93 Illahude 1970 mengemukakan bahwa di wilayah perairan ini selama periode musim barat, lapisan homogen dapat mencapai kedalaman 100 meter dari permukaan perairan dengan suhu antara 27 – 28 o C. Di bawah lapisan homogen, terdapat lapisan termoklin dengan kedalaman 100 - 260 meter dengan suhu berkisar antara 12 – 26 o C. Pada periode MT, lapisan homogen hanya merupakan lapisan yang tipis, yakni sekitar 50 meter dari permukaan perairan dengan suhu berkisar antara 26 – 27 o C. Lapisan termoklin yang terbentuk selama periode MT, terjadi pada kedalaman 50 - 400 meter dengan suhu antara 10 – 26 o C. Perubahan suhu musiman pada suatu perairan, selain disebabkan oleh pengaruh pemanasan dari penyinaran matahari, juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti arus permukaan, keadaan liputan awan, pertukaran massa air secara horizontal, vertikal maupun karena peristiwa upwelling Hela dan Laevastu, 1970 serta Soegiarto dan Birowo, 1975. Lebih lanjut dikatakan bahwa suhu perairan berperan dalam menentukan sebaran ikan, pertumbuhan, mortalitas, pemijahan, daya tahan hidup, proses pematangan gonad, perkemban gan larva dan telur, serta populasi dan migrasi ikan. Selain itu, suhu perairan juga merupakan faktor yang penting dalam beberapa hal yang mempengaruhi lingkungan baik secara langsung seperti peristiwa fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologi hewan khususnya derajat metaboliSelat Makassare dan siklus reproduksi, maupun secara tidak langsung seperti daya larut oksigen yang dipakai untuk kebutuhan respirasi biota laut. 2 SPL hasil pengamatan citra satelit Hasil pengukuran suhu permukaan laut SPL menggunakan data citra satelit NOAA-AVHRR , terdiri atas data setiap bulan mewakili 9 bulan selama tiga periode musim pengamatan. Pola distribusi SPL dari data citra NOAA-AVHRR yang mewakili setiap bulan pengamatan selama periode PMBT ditunjukkan pada Gambar 25 . Pola sebaran SPL dari data citra tersebut terlihat bahwa, selama bulan Maret yang merupakan peralihan musim barat ke musim timur dimana sebagian besar daerah tersebut diliputi awan yang sangat tebal dan menutupi hampir seluruh daerah Selat Makassar, menyebabkan pola distribusi SPL pada saat itu sulit dilihat dengan jelas. Pada bulan berikutnya, yakni bulan April dan Mei, liputan awan di atas Selat Makassar terlihat mulai berkurang, yang ditandai dengan sebaran SPL yang lebih jelas. SPL selama bulan April berada pada kisaran antara 29,00 – 30,00 o C, 94 terutama pada bagian sebelah utara perairan tersebut. Profil SPL pada bulan Mei nampak lebih jelas, menyebabkan SPL yang terdeteksi mengalami peningkatan hingga berkisar antara 30,00 – 31,00 o C pada hampir semua wilayah pengamatan. Sebaran SPL dengan suhu perairan yang lebih hangat yakni sekitar 30,00 – 31,50 o C, lebih banyak terjadi pada perairan bagian utara Selat Makassar pada posisi 01 o ,05’ LS. Selama bulan Mei, nampak sebaran SPL yang lebih hangat bergeser ke bagian selatan Selat Makassar, dengan peningkatan SPL berkisar antara 0,50 – 1,00 o C. Memasuki periode awal MT, walau sebagian wilayah perairan di Selat Makassar masih ditutupi dengan awan tipis, namun terlihat ada pergerakan massa air hangat ke bagian perairan pesisir pantai barat Sulawesi Selatan dengan suhu berkisar antara 30,50 – 31,00 o C Gambar 26. Hal ini disebabkan oleh proses intensitas penyinaran yang mulai meningkat dengan curah hujan yang se makin rendah. Kondisi tersebut terlihat dengan jelas pada citra bulan Juni. Memasuki bulan Juli dan Agustus sebagai periode akhir MT, nampak sebagian besar wilayah perairan Selat Makassar mulai ditutupi kembali dengan awan tipis. Kisaran SPL terlihat sebagian besar berada pada kisaran antara 28,00 – 29,00 o C. Sebaran massa air dengan SPL yang relatif dingin dan hampir terjadi pada semua perairan di bagian selatan Selat Makassar, terlihat pada citra bulan Juli sampai dengan Agustus. Hal tersebut diduga disebabkan karena sejumlah massa air yang mengalir dari Laut Banda dan Laut Flores yang membawa sejumlah massa air dengan suhu yang relatif lebih dingin terutama di bagian sebelah selatan perairan itu. Selain itu diduga juga disebabkan adanya sejumlah massa air yang terangkat dari lapisan yang lebih dalam ke lapisan permukaan perairan sebagai akibat terjadinya fenomena upwelling yang terjadi selama periode MT di bagian selatan Selat Makassar. Hal yang sama dikemukakan oleh Jamilah 1993, yang mendeteksi terjadinya fenomena upwelling di daerah itu selama periode MT antara bulan Juni hingga Agustus. Bahkan diperkirakan besarnya massa air yang terangkat dari bagian lapisan yang lebih dalam terdeteksi hingga radius 50 km di sekitar perairan itu dengan sebaran SPL yang lebih dingin dibandingkan dengan sebaran SPL wilayah perairan sekitarnya. Pada periode PMTB terlihat pola penyebaran SPL dengan dominasi suhu perairan yang agak hangat, berkisar antara 29 - 30 o C pada citra bulan September di bagian selatan Selat Makassar dan hampir seluruh perairan pantai barat Sulawesi Selatan Gambar 27. Begitu pula pada citra bulan Nopember, terlihat SPL mulai 95 Gambar 25 Sebaran SPL di Selat Makassar dari data citra NOAA-AVHRR pada PMBT. 96 Gambar 26 Sebaran SPL di Selat Makassar dari data citra NOAA-AVHRR pada MT. 97 Gambar 27 Sebaran SPL di Selat Makassar dari data citra NOAA-AVHRR pada PMTB 98 mengalami peningkatan yang cukup signifikan berkisar antara 31,00 – 31,50 o C. SPL yang lebih hangat ini terlihat pada sisi bagian selatan Kalimantan kemudian bergerak ke timur memasuki perairan bagian selatan, sebagai akibat adanya tek anan massa air dari Laut Jawa yang membawa massa air hangat mengalir masuk ke Selat Makassar bagian selatan. Pola distribusi SPL dari data citra NOAA-AVHRR yang didapatkan, memperlihatkan adanya pola yang menyerupai dengan data sebaran SPL di perairan Selat Makassar bagian selatan dari hasil pengukuran lapang pada periode musim yang sama walaupun dengan kisaran nilai sebaran yang masih berbeda. Hal tersebut dapat disebabkan karena 1 adanya perbedaan waktu pengambilan data lapang SPL dengan pengambilan data distribusi SPL dari data citra, 2 adanya keterbatasan pembacaan SPL dari satelit yang hanya mampu mendeteksi pada lapisan yang sangat tipis dari permukaan laut, dan 3 adanya keterbatasan sensor satelit mendeteksi distribusi SPL yang sebenarnya dari pengaruh lapisan awan yang sekalipun sangat tipis pada daerah pengamatan. Pola distribusi SPL ini, secara langsung mempengaruhi pola pergerakan beberapa jenis kawanan ikan pelagis termasuk kawanan ikan terbang. Kawanan ikan terbang diketahui mulai bergerak ke wilayah perairan bagian selatan Selat Makassar memasuki awal periode MT. Awal musim penangkapan ikan terbang di perairan Selat Makassar setiap tahunnya dilakukan mulai dari bulan Maret. Pada periode tersebut, kegiatan penangkapan ikan terbang lebih banyak dilakukan di wilayah perairan bagian utara dan kemudian bergeser ke wilayah perairan bagian selatan selama periode MT. Selama periode musim itu, diduga kawanan ikan terbang melakukan migrasi ke wilayah perairan bagian selatan sebagai upaya mencari perairan yang sesuai untuk melakukan proses peneluran. Wilayah perairan bagian selatan Selat Makassar diketahui merupakan wilayah perairan untuk tujuan peneluran spawning ground bagi ikan terbang selama periode musim tersebut. Hal itu ditandai dengan meningkatnya intensitas penangkapan telur ikan terbang yang dilakukan oleh nelayan setiap tahunnya. Hasil penelitian Yahya, et al. 2001, mengemukakan bahwa kawanan ikan terbang melakukan pergerakan dari wilayah perairan bagian utara ke wilayah perairan bagian selatan Selat Makassar selama periode MT, yang ditandai dengan meningkatnya CPUE hasil tangkapan ikan terbang di daerah itu. 99

4.5.2 Salinitas Permukaan Laut