Produksi ikan dan telur ikan terbang menurut musim Hasil Tangkapan

61 Tabel 10 Produksi telur ikan terbang di Sulawesi Selatan Tahun Produksi Ton 1994 102,8 1995 - 1996 89,0 1997 655,2 1998 72,2 1999 934,0 2000 946,9 2001 219,7 2002 275,0 2003 279,8 Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, 1994 - 2003

4.1.3 Produksi ikan dan telur ikan terbang menurut musim

Produksi ikan terbang menurut periode musim selama sepuluh tahun 1994 – 2003, diperoleh tertinggi pada periode MT menyusul PMTB dan terendah pada PMBT, kecuali pada tahun 2003 dimana produksi ikan terbang terbesar diperoleh pada periode PMBT dan terendah pada PMTB. Pada tahun 2001, produksi ikan terbang di daerah ini mengalami perubahan periode produksi, dimana terbesar kedua diperoleh pada periode PMBT dan terendah pada PMTB, bahkan pada tahun 2003 produksi tertinggi diperoleh pada periode PMBT Gambar 16. 62 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Produksi Ton PMBT MT PMTB 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Produksi Ton MT PMTB Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, 1994 - 2003 Gambar 16 Produksi ikan terbang menurut periode musim. Produksi telur ikan terbang secara keseluruhan di daerah ini selama kurun waktu sepuluh tahun 1994 - 2003, hanya diperoleh dari dua periode musim saja yaitu pada periode MT dan PMTB. Setiap tahunnya produksi tertinggi diperoleh pada periode MT, kecuali pada tahun 1998 dimana produksi tertinggi dicapai pada periode PMTB Gambar 1 7. Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, 1994 - 2003 Gambar 17 Produksi telur ikan terbang menurut periode musim. 63 54.7 38.7 5.0 0.6 1.0 JIHP BHP JIT PS PY

4.1.4 Produksi ikan dan telur ikan terbang menurut API

Kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang di Sulawesi Selatan, diperoleh dengan menggunakan beberapa jenis alat penangkapan ikan API. Selama periode sepuluh tahun 1994 – 2003, diperoleh produksi hasil tangkapan ikan terbang tertinggi dari alat penangkapan bubu hanyut permukaan BHP dan jaring insang hanyut permukaan JIHP. Kedua jenis alat penangkapan tersebut, secara khusus dirancang untuk digunakan menangkap ikan dan telur ikan terbang. Produksi hasil tangkapan ikan terbang yang diperoleh dari jenis alat tangkap yang lain, seperti jaring insang tetap JIT, purse seine PS, dan payang PY hanya merupakan hasil tangkapan sampingan. Kontribusi beberapa jenis alat penangkapan ikan terhadap jumlah total produksi ikan terbang di Sulawesi Selatan dari tahun 1994 sampai dengan 2003, ditunjukkan pada Gambar 18. Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, 1994 - 2003 Gambar 18 Produksi ikan terbang dari beberapa jenis API. Keterangan : JIHP = Jaring insang hanyut permukaan; JIT = Jaring insang tetap; BHP = Bubu hanyut permukaan; PS = Purse seine; PY = Payang; Jumlah hasil tangkapan ikan terbang yang didapatkan dari JIHP dan BHP tertinggi dibandingkan dengan produksi hasil tangkapan dari beberapa jenis alat penangkapan lainnya, masing-masing sebesar 54,7 produksi dari JIHP dan 38,7 produksi dari BHP. Produksi ikan terbang yang dihasilkan dari JIHP yang lebih tinggi dibandingkan dengan produksi yang dihasilkan dari BHP, disebabkan 64 terjadinya perubahan alat penangkapan yang sebelumnya lebih banyak digunakan BHP dalam kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang, kemudian berubah dengan menggunakan semacam rumpon berbentuk persegi empat bale-bale dalam kegiatan penangkapan telur ikan terbang. Dengan menggunakan alat tangkap seperti itu, ikan terbang saat melepaskan telurnya pada dedaunan yang dipasang di rakit tersebut tidak tertangkap lagi. Pada saat operasi penangkapan telur ikan terbang dengan menggunakan bale-bale, bubu hanyut masih tetap disertakan beberapa unit antara 5 - 8 buah dengan merangkaikan pada bale-bale secara bersamaan sebagai kebiasaan dan kepercayaan bagi masyarakat nelayan setempat. Penangkapan telur ikan terbang patorani dengan BHP telah lama digunakan oleh masyarakat nelayan setempat. Namun dengan perkembangan pengetahuan nelayan, bubu hanyut diketahui memiliki beberapa kelemahan dibandingkan dengan alat tangkap bale-bale, yakni sulit membawa ke laut dalam jumlah banyak pada waktu kegiatan penangkapan dilakukan karena memerlukan tempat yang sangat banyak di atas kapal, Selain itu dari aspek konservasi sumberdaya, juga memiliki kelemahan karena kawanan ikan yang datang bertelur pada dedaunan yang dipasang pada mulut bubu ikut terperangkap masuk ke dalam bubu dan akhirnya tertangkap, walaupun bukan menjadi tujuan utama penangkapan. Perkembangan jumlah alat penangkapan jaring insang hanyut permukaan JIHP yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan terbang di Sulawesi Selatan, mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Terbanyak pada tahun 2000 yakni sebanyak 5.987 unit kemudian mengalami penurunan sampai pada tahun 2003 yakni hanya 4.263 unit. Produksi ikan terbang yang dihasilkan juga mengalami fluktuasi. Produksi tertinggi diperoleh pada tahun yang sama yaitu pada tahun 2000 dan terendah pada tahun 2003 Lampiran 5. Jumlah unit alat tangkap BHPbale-bale yang digunakan oleh nelayan di daerah ini di dalam kegiatan penangkapan telur ikan terbang selama periode tahun 1994 sampai dengan tahun 2003 mengalami fluktuasi. Terbanyak pada tahun 1996 yakni sebanyak 1.397 unit, walaupun hanya menghasilkan jumlah produksi telur ikan terbang sebanyak 89,0 ton. Sebaliknya pada tahun 2000 hanya terdapat sebanyak 603 unit alat tangkap BHPbale-bale, tetapi mampu menghasilkan produksi telur ikan terbang tertinggi yakni sebesar 946,9 ton Lampiran 6. 65 4.2 CPUE Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.2.1 CPUE tahunan ikan dan telur ikan terbang Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan termasuk sumberdaya ikan terbang di perairan Selat Makassar dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Perubahan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut, dipengaruhi oleh intensitas pemanfaatan berupa penambahan atau pengurangan jumlah unit alat penangkapan ikan atau jumlah satuan upaya penangkapan ikan yang dilakukan, serta ketersediaan besarnya stok sumberdaya ikan yang dimanfaatkan. Salah satu ukuran untuk mengetahui tingkat pemanfaatan ataupun laju pemanfaatan suatu jenis sumberdaya perikanan selama kurun waktu tertentu, adalah dengan melihat besar kecilnya hasil tangkapan ikan yang diperoleh dari seluruh upaya penangkapan ikan yang dilakukan. Gambaran status atau tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan ini didasarkan pada nilai catch per unit effort CPUE yang dihasilkan. Penghitungan nilai CPUE untuk mengetahui status pemanfaatan suatu sumberdaya ikan, banyak digunakan oleh beberapa kalangan karena tidak memerlukan penghitungan yang rumit dan dengan biaya yang rendah Uktolseja et al. , 1998. Beberapa ahli di bidang pengelolaan sumberdaya perikanan masih meragukan, karena data yang digunakan bergantung pada ketersediaan dan kebenaran data sebelumnya dan tidak melakukan sampling secara langsung pada sumberdaya ikan yang diestimasi indirect estimation. CPUE dapat diperoleh dari data statistik perikanan yang tersedia atau dari hasil pencatatan kegiatan penangkapan ikan di tempat pendaratan ikan. Data yang dihasilkan sangat ditentukan pada kemampuan petugas yang ada di tempat pendaratan ikan atau pada kemampuan dalam memberikan laporan sesuai dengan yang sebenarnya. CPUE hanya memerlukan data jumlah hasil tangkapan suatu jenis ikan yang diamati dan jumlah upaya penangkapan yang dilakukan. Jumlah hasil tangkapan ikan catch merupakan jumlah hasil tangkapan ikan yang diperoleh, dan upaya penangkapan effort merupakan jumlah satuan upaya penangkapan ikan yang dilakukan untuk mendapatkan hasil tangkapan tersebut. Hasil tangkapan ikan catch dapat dinyatakan dalam satuan berat kg atau ton ataupun dengan satuan ekor ikan yang diperoleh. Upaya penangkapan catch dinyatakan dalam satuan upaya penangkapan jumlah unit alat tangkap, jumlah trip penangkapan, ataupun jumlah mata pancing yang digunakan. 66 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun CPUE IT KgUnit Jumlah hasil tangkapan produksi Ikan terbang di Sulawesi Selatan, mengalami fluktuasi. Hal ini ditentukan oleh besarnya upaya penangkapan yang dilakukan dan besarnya ketersediaan stok kawanan ikan terbang di perairan tersebut. Begitu pula halnya dengan jumlah hasil tangkapan produksi telur ikan terbang yang dihasilkan, juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Fluktuasi produksi telur ikan terbang, secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh tingkat perkembangan harga pada pasar ekspor. Hal ini terkait dengan besarnya permintaan komoditi ini dari negara-negera tujuan. Pada tingkat harga telur ikan terbang yang tinggi dan permintaan pasar ekspor yang naik, menyebabkan jumlah upaya penangkapan telur ikan terbang menjadi tinggi, dan sebaliknya jika harga dan permintaan pasar rendah menyebabkan upaya yang dilakukan juga menurun. Dengan peningkatan upaya penangkapan telur ikan terbang, menyebabkan pula produksi ikan terbang meningkat. CPUE tahunan ikan terbang di Sulawesi Selatan selama kurun waktu tahun 1994 - 2003 menunjukkan terjadinya fluktuasi. Nilai CPUE ikan terbang diperoleh tertinggi yakni 1.613,79 kg pada tahun 2001 dan terendah yakni 793, 10 kg per unit upaya penangkapan pada tahun 2002 Gambar 19 . Hal itu menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan terbang di perairan pantai barat Sulawesi Selatan tidak banyak mengalami perubahan dari tahun 1994 sampai 2001, kemudian menurun pada tahun 2002 dan mulai meningkat kembali pada tahun 2003. Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, 1994 - 2003 Gambar 19 CPUE tahunan ikan terbang. 67 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun CPUE TIT KgUnit Produksi telur ikan terbang yang dihasilkan, terbesar yakni 946.900 kg pada tahun 2000 dan terendah yakni 72.200 kg pada tahun 1998. Pada tahun 1995 tidak ada sama sekali produksi telur ikan terbang yang dihasilkan di daerah ini. Hal itu dikarenakan harga yang ada pada tingkat nelayan sangat rendah dan dengan permintaan negara tujuan yang rendah pula. Kondisi harga seperti itu menjadi tidak menguntungkan pada tingkat nelayan dalam kegiatan penangkapan telur ikan terbang karena memerlukan biaya operasional yang besar yaitu berkisar antara Rp. 3 - 5 juta per trip akibat lamanya nelayan di laut long trip di dalam kegiatan penangkapan. CPUE telur ikan terbang yang dihasilkan selama kurun waktu sepuluh tahun 1994 - 2003, tertinggi yakni sebesar 1.570,32 kg pada tahun 2000 dan terendah yakni 63,71 kg per unit upaya penangkapan pada tahun 1996 Gambar 20. Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, 1994 - 2003 Gambar 20 CPUE tahunan telur ikan terbang. Jumlah upaya penangkapa n telur ikan terbang yang dilakukan oleh nelayan mengalami penurunan sejak tahun 1999 yakni dari 1.000 unit pada tahun 1998 menjadi hanya 803 unit pada tahun 1999. Penurunan jumlah unit upaya penangkapan ini, ternyata tidak mempengaruhi baik terhadap juml ah produksi telur ikan terbang yang dihasilkan maupun besarnya CPUE yang diperoleh. Bahkan pada tahun 2000 dengan upaya penangkapan hanya sebesar 603 unit, mampu menghasilkan produksi telur ikan terbang sebesar 946.900kg dengan CPUE tertinggi 68 yakni sebesar 1.570,32 kg per unit upaya penangkapan. Tingginya produksi dan nilai CPUE telur ikan terbang yang dihasilkan pada tahuan 2000, selain disebabkan terjadinya penurunan jumlah upaya penangkapan, juga diduga disebabkan oleh besarnya permintaan pasar dari ma ncanegara dengan harga yang tinggi yakni berkisar antara Rp. 250.000.- sampai dengan Rp. 300.000.- per kg kering. Penurunan jumlah unit upaya penangkapan ini terjadi, akibat besarnya biaya operasi penangkapan dan biaya-biaya lainnya yang diperlukan di dalam kegiatan penangkapan telur ikan terbang, terutama setelah krisis ekonomi melanda Indonesia. Keadaan itu menyebabkan sebagian nelayan patorani mengalihkan usahanya pada kegiatan penangkapan ikan lainnya di sekitar perairan pantai dengan biaya operasional yang lebih rendah.

4.2.2 CPUE ikan dan telur ikan terbang menurut musim

Penangkapan ikan dan telur ikan terbang dilakukan hampir sepanjang waktu dalam setahun, kecuali pada periode musim barat. Kegiatan penangkapan dilakukan memasuki awal periode musim pancaroba pertama atau awal peralihan musim barat timur PMBT sampai akhir periode musim pancaroba kedua PMTB. Nilai CPUE yang dicapai dari produksi hasil tangkapan ikan terbang dari ketiga periode musim selama sepuluh tahun 1994 - 2003, diperoleh tertinggi pada MT, kecuali pada tahun 2003 CPUE tertinggi didapatkan pada PMBT. Jumlah produksi dan nilai CPUE tertinggi yang diperoleh pada MT, menunjukkan bahwa puncak penangkapan ikan dan telur ikan terbang di daerah ini terjadi selama MT. Selain itu berdasarkan hasil penelitian sebelumnya Yahya, et al., 2001 dikemukakan bahwa, kawanan ikan terbang di perairan pantai barat Sulawesi Selatan Selat Makassar bagian selatan tertinggi ditemukan selama periode MT. Faktor siklus musim di daerah ini juga sangat mempengaruhi tingkat intensitas penangkapan yang dilakukan oleh nelayan, dimana pada periode MT di wilayah ini merupakan waktu yang sangat kondusif untuk kegiatan penangkapan ikan. Kawanan ikan terbang di Selat Makassar diketahui melakukan pergerakan dari perairan bagian utara ke perairan bagian selatan memasuki awal periode MT dan sebaliknya pada PMBT dan PMTB. Pergerakan kawanan schooling movement ikan terbang ini, selain dipengaruhi oleh aktivitas mencari makan feeding activity feeding migration dimana diketahui di Selat Makassar bagian selatan selama periode MT terjadi upwelling yang menyebabkan terjadinya pengangkatan unsur 69 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun CPUE IT KgUnit PMBT MT PMTB hara ke bagian permukaan perairan sehingga ketersediaan makanan di sekitar wilayah perairan itu meningkat. Pergerakan kawanan ikan ini, juga dipengaruhi oleh aktivitas pemijahan spawning activityspawning migration ke bagian perairan yang sesuai dan optimum untuk aktivitas pemijahan. Hal itu nampak dengan tingginya produksi telur ikan terbang yang dihasilkan selama periode MT di bagian wilayah perairan tersebut. Bagian perairan dimana tersedia sejumlah cadangan makanan bagi larva ikan, merupakan daerah yang se suai untuk aktivitas pemijahan. Larva ikan yang menetas dapat dengan mudah mendapatkan makanan yang diperlukan untuk perkembangannya, selain faktor suhu dan salinitas perairan, serta faktor-faktor oseanografi lainnya yang mempengaruhi aktivitas biologi ikan tersebut. CPUE ikan terbang di Sulawesi Selatan menurut periode musim selama kurun waktu 10 tahun 1994 - 2003, diperlihatkan pada Gambar 21. Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, 1994 - 2003 Gambar 21 CPUE ikan terbang menurut periode musim. CPUE yang diperoleh dari produksi telur ikan terbang yang dihasilkan di daerah ini, tertinggi dicapai pada periode MT, kecuali pada tahun 1998 dimana tertinggi didapatkan pada periode PMTB. Perkembangan jumlah produksi dan nilai CPUE telur ikan terbang yang didapatkan selama sepuluh tahun 1994 – 2003, menunjukkan adanya dua puncak produksi selama kurun waktu tersebut, yakni pada tahun 1997 dan tahun 2000. Setelah produksi dan nilai CPUE tertinggi dicapai pada tahun 2000, selanjutnya mengalami penurunan yang cukup signifikan hingga tahun 70 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun CPUE TIT KgUnit MT PMTB 2003. Pada tahun terakhir 2003, produksi dan CPUE telur ikan pada periode MT, mengalami peningkatan, tetapi sebaliknya produksi dan CPUE pada periode PMTB mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh perkembangan harga telur ikan terbang pada tingkat nelayan yang tidak menggembirakan, bahkan hanya berkisar Rp. 35.000.- per kg. Pada tingkat harga seperti itu, adalah tidak menguntungkan bagi nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan dengan biaya yang cukup besar. CPUE telur ikan terbang yang dihasilkan di Sulawesi Selatan menurut periode musim selama kurun waktu sepuluh tahun 1994 - 2003, diperlihatkan pada Gambar 22 . Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, 1994 - 2003 Gambar 22 CPUE telur ikan terbang menurut periode musim. 4.3 Penangkapan Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.3.1 Daerah penangkapan Ikan DPI Daerah penangkapan ikan dan telur ikan terbang di perairan Selat Makassar yang dimanfaatkan oleh nelayan dari beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan, masih tergolong berada di sekitar perairan pantai. Hal ini disebabkan armada penangkapan ikan yang digunakan masih tergolong relatif kecil dan dengan kelengkapan peralatan navigasi yang sangat minim. Di DPI I dan DPI II yang berada di bagian utara Selat Makassar, menggunakan armada penangkapan ikan dengan ukuran yang relatif kecil berk isar antara 2 – 3 GT, sehingga daerah penangkapan 71 yang dapat dicapai juga relatif dekat dari pantai dengan trip penangkapan bersifat harian. Di DPI III dan DPI IV, menggunakan armada penangkapan dengan ukuran yang lebih besar yakni berkisar antara 8 - 10 GT. Ukuran armada penangkapan ini memungkinkan untuk lebih jauh melakukan pencarian daerah penangkapan dengan waktu trip penangkapan yang relatif panjang, yakni berkisar antara 20 – 30 hari di laut. Sebaran daerah penangkapan yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang oleh nelayan dari kedua kelompok itu juga sangat berbeda. Di DPI IV dengan tujuan utama kegiatan penangkapan yang dilakukan adalah untuk menangkap telur ikan terbang, mengharuskan mereka mencari daerah penangkapan yang relatif lebih jauh dari pantai. Hal itu sesuai dengan perkiraan daerah peneluranpemijahan spawning ground bagi ikan terbang dewasa dan matang gonad untuk melepaskanmenempelkan telurnya pada dedaunan di sekitar permukaan perairan Ali dan Nessa, 2005. Begitu pula nelayan di DPI III dengan menggunakan armada penangkapan yang relatif lebih besar, walaupun hanya dengan tujuan penangkapan ikan terbang, tetapi dapat menjangkau wilayah perairan yang lebih jauh sesuai dengan kondisi dimana kawanan ikan terbang diperkirakan berada. Beberapa wilayah perairan yang digunakan sebagai daerah penangkapan ikan dan telur ikan terbang di perairan Selat Makassar, disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Daerah penangkapan ikan dan telur ikan terbang di Selat Makassar Daerah Penangkapan Ikan DPI Tujuan Penangkapan Lokasi Penangkapan Sekitar Perairan Kisaran Kedalaman Perairan Posisi Lokasi Penangkapan DPI I Ikan terbang -Teluk Lebana 565 – 929 m 02 o 80’ - 03 o 30’ LS 118 o 58’-118 o 75’BT DPI II Ikan terbang -Tanjung Lero -Pulau Batukalasi 130 – 205 m 03 o 80’ - 04 o 20’ LS 119 o 10’-119 o 40’BT DPI III Ikan terbang -Pulau Karangang -Pulau Jangang - jangang 168 – 685 m 04 o 50’ - 04 o 90’ LS 118 o 80’-119 o 25’BT DPI IV Telur ikan terbang -Pulau Papandangan -Pulau Kapoposang -Pulau Pamangngang -Pulau Tambakulu -Pulau Kondong Bali -Taka Gasseiya -Pulau Dayang- dayang -Pulau Buluwang -Pulau Satanga 349 – 539 m 237 - 419 m 05 o 20’- 05 o 80’ LS 118 o 50’-119 o 00’BT Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004. 72 Nelayan yang melakukan penangkapan ikan terbang di DPI I dan DPI II merupakan daerah penangkapan yang relatif sangat dekat dari pantai, menggunakan armada penangkapan dengan ukuran yang sangat kecil. Wilayah perairan ini meskipun sangat dekat dari pantai berkisar antara 1 – 2 mil laut, berada di sekitar perairan Teluk Lebana dan memiliki kedalaman perairan yang sangat dalam berkisar antara 560 – 900 m dengan topografi yang terjal. Di sekitar perairan ini diketahui merupakan daerah perlintasan ataupun habitat kawanan ikan terbang. Lokasi penangkapan berada pada koordinat antara 02 o 80’ - 03 o 30’ LS dan 118 o 58’- 118 o 75’ BT dengan menggunakan alat penangkapan JIHP. Kegiatan penangkapan ikan terbang di DPI II, berada di sekitar perairan Tanjung Lero dan Pulau Batukalasi pada koordinat antara 03 o 80’ - 04 o 20’ LS dan 119 o 10’-119 o 40’ BT dengan kedalaman perairan berkisar antara 130 – 205 m. Daerah penangkapan ikan terbang yang dimanfaatkan oleh nelayan baik di DPI I maupun di DPI II sepanjang musim penangkapan yang berlangsung dari bulan Maret hingga bulan Oktober setiap tahunnya, tidak menunjukkan adanya pergeseran daerah penangkapan yang jauh. Hal tersebut diakibatkan karena penggunaan kapal penangkapan yang relatif kecil, sehingga sulit menjangkau daerah penangkapan yang berada pada wilayah perairan yang lebih jauh. Nelayan yang melakukan penangkapan ikan terbang pada DPI III merupakan wilayah perairan yang cukup jauh dari pantai, yaitu di sekitar perairan Taka Malaka dan Pulau Karangan serta Pulau Jangang-jangang pada koordinat antara 04 o 50’ - 04 o 90’ LS dan 118 o 80’-119 o 25’ BT dengan kedalaman perairan berkisar antara 168 – 685 m. Wilayah perairan ini diperkirakan merupakan daerah perlintasan kawanan ikan terbang dalam proses migrasi, sehingga di ketahui merupakan wilayah perairan yang cukup potensil dalam kegiatan penangkapan ikan terbang setiap tahunnya dengan menggunakan alat penangkapan JIHP. Daerah penangkapan telur ikan terbang yang menempati DPI IV dan berada di bagian selatan Selat Makassar, yakni di sekitar perairan Pulau Kalu-Kalukuang, Pulau Kapoposang, Pulau Papandangang, Pulau Kondangbali, Pulau Jangang- jangang, dan perairan sekitar Massalembo Kabupaten Pangkep pada koordinat antara 05 o 20’- 05 o 80’ LS dan 118 o 50’-119 o 00’ BT, memiliki kedalaman perairan berkisar antara 237 - 419 m. Wilayah perairan ini setiap tahunnya dimanfaatkan sebagai daerah penangkapan telur ikan terbang oleh nelayan patorani di Sulawesi Selatan dengan menggunakan alat penangkapan berupa BHP dan atau Bale-Bale. 73

4.3.2 Hasil Tangkapan

Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang di daerah pengamatan selama penelitian berlangsung, disajikan pada Tabel 12. Hasil tangkapan ikan dan telur ikan tersebut secara keseluruhan diperoleh dari 36 trip penangkapan selama 3 periode musim pada 4 daerah penangkapan ikan DPI. Tabel 12 Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang Periode Musim Daerah Penangkapan Ikan DPI Hasil Tangkapan ekorkg Trip Penangkapan PMBT MT PMTB 1 778 1.877 1.339 2 823 1.748 1.358 I Ikan Terbang 3 1.336 1.809 1.074 1 2.324 2.688 2.795 2 2.763 2.589 2.250 II Ikan Terbang 3 1.494 2.145 1.322 1 936 7.577 9.643 2 1.946 1.739 2.669 III Ikan Terbang 3 1.923 8.858 1.503 1 353 492 203 2 289 506 198 Ikan Terbang 3 318 332 181 1 20,5 194,5 60,5 2 37,0 213,0 47,0 IV Telur Ikan Terbang 3 40,0 191,0 32,5 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut periode musim dan DPI untuk setiap trip penangkapan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 12, menunjukkan bahwa perbedaan jumlah hasil tangkapan ikan tidak hanya terjadi antar setiap periode musim dan DPI, tetapi juga pada setiap trip penangkapan. Di DPI I pada awal periode penangkapan PMBT, terjadi peningkatan jumlah hasil tangkapan dari trip 1 sampai dengan trip 3. Sebaliknya pada periode MT dan PMTB terjadi penurunan jumlah hasil tangkapan ikan dari trip 1 sampai dengan trip 3. Di DPI II pada periode PMBT terjadi penurunan jumlah hasil tangkapan ikan pada trip 3, namun kemudian meningkat selama periode MT sampai pada trip 2 periode penangkapan berikutnya PMTB dan menurun pada trip 3. Di DPI III dan IV, terlihat memiliki kecenderungan yang sama yakni peningkatan jumlah hasil tangkapan ikan terjadi sampai pada awal periode akhir penangkapan PMTB dan kemudian terjadi 74 penurunan pada trip terakhir. Hasil tangkapan telur ikan terbang yang diperoleh pada DPI IV, memperlihatkan kecenderungan yang juga mengalami peningkatan dari awal periode penangkapan PMBT sampai pada akhir periode MT dan terjadi penurunan mema suki akhir periode penangkapan PMTB. 1 Hasil tangkapan menurut DPI Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang selama pengamatan menurut daerah penangkapan ikan DPI, disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut DPI Hasil Tangkapan Daerah Penangkapan Ikan DPI Ikan Terbang Ekor Telur Ikan Terbang Kg I 12.145 - II 20.370 - III 36.794 - IV 2.872 836,0 Jumlah 72.181 836,0 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Di daerah penangkapan ikan DPI I diperoleh hasil tangkapan ikan terbang adalah sebesar 12.145 ekor, DPI II sebesar 20.370 ekor, DPI III sebesar 36.794 ekor, dan di DPI IV sebesar 2.872 ekor ikan terbang dan 836,0 kg telur ikan terbang. Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang secara keseluruhan dari semua DPI diperoleh sebesar 72.181 ekor ikan terbang dan 836,0 kg telur ikan terbang. Terlihat bahwa hasil tangkapan ikan terbang menurut DPI dari bagian utara ke bagian selatan perairan Selat Makassar diperoleh adanya peningkatan, kecuali pada DPI IV. Hal itu disebabkan karena tujuan utama penangkapan yang dilakukan adalah untuk telur ikan terbang, menyebabkan hasil tangkapan ikan terbang hanya dianggap sebagai hasil tangkapan sampingan by catch. 2 Hasil tangkapan menurut periode musim Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut periode musim, disajikan pada Tabel 14. Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut periode musim selama pengamatan berlangsung, diperoleh masing-masing pada 75 PMBT sebesar 15.283 ekor dan 97,5 kg, pada MT sebesar 32.363 ekor dan 598,5 kg, serta pada PMTB sebesar 24.535 ekor dan 140,0 kg. Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang masing-masing diperoleh tertinggi pada periode MT dan terendah pada PMBT. Tabel 14 Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut periode musim Hasil Tangkapan Periode Musim Ikan Terbang Ekor Telur Ikan Terbang Kg PMBT 15.283 97,5 MT 32.363 598,5 PMTB 24.535 140,0 Jumlah 72.181 836,0 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 3 Hasil tangkapan menurut periode musim dan DPI Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut periode musim dan DPI selama pengamatan berlangsung, disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut musim dan DPI Periode Musim Daerah Penangkapan Ikan DPI Hasil Tangkapan PMBT MT PMTB I Ikan terbang ekor 2.937 5.437 3.771 II Ikan terbang ekor 6.581 7.422 6.367 III Ikan terbang ekor 4.805 18.174 13.815 ikan terbang ekor 960 1.330 582 IV Telur ikan terbang kg 97,5 598,5 140,0 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Di daerah penangkapan ikan DPI I, produksi hasil tangkapan tertinggi diperoleh pada periode MT dan sebaliknya terendah pada PMBT. Produksi hasil tangkapan ikan terbang di DPI II, diperoleh tertinggi juga pada periode MT dan sebaliknya terendah pada PMTB, namun tidak berbeda banyak dengan produksi hasil tangkapan yang diperoleh pada PMBT. Di DPI III produksi hasil tangkapan ikan terbang diperoleh tertinggi pada periode MT, dan terendah pada PMBT. Kondisi ini 76 adalah sama dengan di DPI lainnya dimana produksi hasil tangkapan setiap tahunnya diperoleh tertinggi pada musim yang sama. Perbedaan jumlah hasil tangkapan ikan terbang yang sangat besar dari ketiga periode musim tersebut, diduga disebabkan karena pengaruh periode munculnya ikan terbang dalam kawanan yang besar pada awal memasuki periode MT. Pada daerah penangkapan ikan DPI IV, produksi hasil tangkapan ikan terbang dari ketiga periode musim, diperoleh tertinggi pada MT yang merupakan puncak penangkapan, dan sebaliknya terendah diperoleh pada PMTB. Produksi hasil tangkapan telur ikan terbang sebagai tujuan utama kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan, diperoleh hasil tangkapan juga tertinggi pada periode MT, namun sebaliknya terendah diperoleh pada PMBT. Rendahnya produksi hasil tangkapan telur ikan terbang pada PMBT, dikarenakan merupakan awal memasuki periode penangkapan telur ikan terbang bahkan pada beberapa waktu nelayan masih menunggu perkembangan kepastian harga telur ikan terbang pada periode musim tersebut. Selama periode MT, dimana setiap tahunnya merupakan puncak kegiatan penangkapan telur ikan terbang yang bersamaan dengan waktu dimana aktivitas pemijahan ikan terbang berlangsung pada daerah penangkapan ini, menyebabkan kawanan ikan terbang telah berada dalam kawanan yang lebih besar. Walaupun pada periode PMBT diperoleh hasil tangkapan ikan terbang yang lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah hasil tangkapan ikan terbang pada PMTB, namun sebagian besar ikan terbang masih berada pada kondisi belum matang gonad, menyebabkan jumlah hasil tangkapan telur ikan terbang yang diperoleh lebih rendah. 4.4 Parameter Biologi Ikan

4.4.1 Panjang berat ikan