Pulut Kuning Dan Simbol Yang Melekat Padanya
98 Kemudian, penyajian sesajen pada ritual horja bius, penyajian sagu-sagu
yang dimaksudkan sebagai lambang lambang pemberi semangat. Lalu, itak nani hopingan sebagai lambang minta do’a restu kepada roh leluhur. Serta, assimun
pangalambohi dan tanduk horbo paung dimaksudkan sebagai penyegar perasaan. Maka dapat disimpulkan, sesajen atau persembahan dalam ruang lingkup
kontemporer telah mengalami banyak perluasan makna. Sesajen baik itu pulut kuning, itak dan makanan lainnya tidak hanya diesensikan sebagai pelengkap
sebuah ritual untuk persembahan roh nenek moyang, melainkan menjadi suatu interaksi antara sesama pelakuindividu. Kemudian dipantulkan sebagai
representasi yang majemuk sampai mengalami ekstasi nilai-nilai budaya secara fundamental.
Jean Baudrillard, menjelaskan ekstasi sendiri merupakan pesan-pesan yang tidak lagi ada, adalah medium yang memaksakan dirinya di dalam sirkulasi
dirinya sendiri dalam hal ini pasar adalah bentuk ekstansi sirkulasi barang- barang, prostitusi, pornografi adalah bentuk ekstasi perilaku seks.
Dengan kondisi ekstasi seperti itu, maka jika dianalogikan sebagai suatu kemabukan yang
melanda pada kondisi masyarakat sekarang. Sesajen tidak hanya untuk dikonsumsi, tapi telah mengalami perluasan makna dan fungsi.
Seperti upacara masuk kerumah baru pada masyarakat Melayu dimana masyarakat sekitar tidak hanya sekedar mengenang ritual dan melestarikan
budaya yang dilakukan nenek moyang mereka yang terdahulu tetapi juga untuk menarik wisatawan ke daerah tersebut. Masyarakat sekitar tidak hanya
mengutamakan segi ritual agar doa yang dipanjatkannya terkabul, tetapi mereka
99 memiliki segmentasi lain seperti sebagai atraksi belaka. Dimana seluruh acara
telah kehilangan makna mistis, filosofis dan akhirnya hanya berakhir jadi atraksi pariwisata belaka. Karena, seperti makanan dalam sesajen yang disajikan dalam
jumlah banyak, tidak untuk dikonsumsi tetapi dipersembahkan kepada arwah nenek moyang. Hal-hal tersebut tentu akan dimaknai oleh turis atau pendatang
dari daerah lain sebagai objek yang menarik, di samping ritual-ritual lainnya. Ini menjadi suatu dilema yang sulit dipecahkan untuk dikembalikan pada esensi
utamanya. Maka semakin abstrak saja pemaknaan sesajen atau makanan persembahan
seperti pulut kuning pada upacara atau ritual di zaman ini, segalanya tidak hanya bisa dilihat hanya dengan menggunakan kasat mata. Karena setiap hidup erat
dengan pemaknaan simbol di dalamnya. Tidak mengherankan jika banyak terdapat interpretasi yang berbeda-beda di kalangan masyarakat saat ini.
100