Pulut Kuning Dan Percampuran Budaya

97 menyajikan masakan pulut kuning ketika acara-acara bahagia seperti acara sunat, pernikahan dan juga khatam Al-Quran. Hal ini juga disebabkan oleh sifat dari makanan pulut tersebut yang tidak dilarang oleh agama Islam. Kemudian alasan lainnya adalah bahwa kebiasaan yang selama ini selalu dilakukan oleh masyarakat lainnya disekitar mereka menimbulkan rasa ingin melakukan hal yang sama dalam hal ini menyajikan pulut kuning sebagai pelengkap acara.

4.5. Pulut Kuning Dan Simbol Yang Melekat Padanya

Interaksionisme simbolik merupakan suatu metode penelitian budaya yang mengungkap realitas perilaku manusia melalui interaksi mereka yang dimanifestasikan melalui komunikasi. Jadi, perspektif interaksionisme simbolik berusaha menganalisis segala hal berkaitan dengan simbol yang berasal dari interaksi pelaku. Seperti mungkin sekali terjadi, pelaku budaya menggunakan cara unik atau spesial yang hanya dapat dipahami ketika mereka saling berinteraksi menggunakan simbol-simbol. Contohnya seperti penjelasan penyajian sesajen pada sedekah gunung di atas. Penyajian sempuro menurut kepercayaan warga diyakini sebagai sesajen yang sangat disukai penunggu merapi karena rasanya yang gurih dan manis. Penyajian sego gunung, yang dibuat dari nasi jagung ini digunakan karena jaman dulu dipercaya warga bahwa para leluhur belum mengenal beras sebagai bahan makanan pokok. Juga penyajian pulut kuning sebagai simbol dari nilai suatu masyarakat yang diinterpretasikan lewat makanan. 98 Kemudian, penyajian sesajen pada ritual horja bius, penyajian sagu-sagu yang dimaksudkan sebagai lambang lambang pemberi semangat. Lalu, itak nani hopingan sebagai lambang minta do’a restu kepada roh leluhur. Serta, assimun pangalambohi dan tanduk horbo paung dimaksudkan sebagai penyegar perasaan. Maka dapat disimpulkan, sesajen atau persembahan dalam ruang lingkup kontemporer telah mengalami banyak perluasan makna. Sesajen baik itu pulut kuning, itak dan makanan lainnya tidak hanya diesensikan sebagai pelengkap sebuah ritual untuk persembahan roh nenek moyang, melainkan menjadi suatu interaksi antara sesama pelakuindividu. Kemudian dipantulkan sebagai representasi yang majemuk sampai mengalami ekstasi nilai-nilai budaya secara fundamental. Jean Baudrillard, menjelaskan ekstasi sendiri merupakan pesan-pesan yang tidak lagi ada, adalah medium yang memaksakan dirinya di dalam sirkulasi dirinya sendiri dalam hal ini pasar adalah bentuk ekstansi sirkulasi barang- barang, prostitusi, pornografi adalah bentuk ekstasi perilaku seks. Dengan kondisi ekstasi seperti itu, maka jika dianalogikan sebagai suatu kemabukan yang melanda pada kondisi masyarakat sekarang. Sesajen tidak hanya untuk dikonsumsi, tapi telah mengalami perluasan makna dan fungsi. Seperti upacara masuk kerumah baru pada masyarakat Melayu dimana masyarakat sekitar tidak hanya sekedar mengenang ritual dan melestarikan budaya yang dilakukan nenek moyang mereka yang terdahulu tetapi juga untuk menarik wisatawan ke daerah tersebut. Masyarakat sekitar tidak hanya mengutamakan segi ritual agar doa yang dipanjatkannya terkabul, tetapi mereka