Eksplorasi Nilai Pada Pulut Kuning

84 diluar dirinya. Begitu pula dengan pulut kuning yang secara tidak langsung menjadi identitas budaya dari masyarakat Melayu yang tersebar diberbagai penjuru daerah. Pulut kuning selalu hadir dalam setiap kegiatan upacara dan ritual masyarakat Melayu baik sifatnya suka maupun duka. Pada masyarakat modern, norma-norma dan nilai-nilai kehidupan dapat dipelajari melalui jalur pendidikan formal yang didapat lewat pendidikan sekolah dan non formal yang didapat dari hasil interaksisosialisasi dengan jalan pergaulan sesama warga masyarakat lain, hingga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan kehidupan sosial budayanya. Disamping pendidikan formal dan nonformal tersebut, ada suatu bentuk sarana sosialisasi bagi warga masyarakat tradisional khususnya, yang disebut upacara ataupun ritual. Penyelenggaraan upacara ataupun ritual ini penting bagi pembinaan sosial budaya warga masyarakat yang bersangkutan. Antara lain salah satu fungsinya adalah pengokoh norma-norma, serta nilai-nilai budaya yang berlaku turun-temurun. Kepercayaan masyarakat tradisional terhadap nilai mistis baik itu tuhan, roh, maupun hantu merupakan alasan dari sebuah ritual dilakukan, terutama yang tinggal di daerah pedesaan masih sangatlah kental. Kepercayaan para penduduk terhadap adanya arwah leluhur, membuat mereka melakukan suatu ritual untuk menghormati dan meminta berkah kehidupan yang lebih baik. Karena masyarakat tradisional meyakini, bahwa jiwa para roh leluhurnya tersebut masih ada dan tinggal bersama mereka di dunia. Proses ritual seperti ini sebenarnya telah terjadi 85 sejak zaman nenek moyang dahulu, kepercayaan terhadap roh dan mahluk halus menjadi sebuah aliran dalamkepercayaan masyarakat. Mereka percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan, seperti suatu bencana, musibah, kesialan adalah akibat dari pengaruh keberadaan tuhan, roh dan mahluk halus. Sehingga bila terjadi bencana biasanya dukun menjadi perantara utama untuk mengatasi permasalahan tersebut. Dukun juga dipercaya masyarakat sebagai orang yang mampu berinteraksi dengan si pemilik kekuatan diluar alam fana tersebut. Kepercayaan mistis inilah yang coba diteliti oleh bapak positivisme, Auguste Comte. Dimana pada tahun 1800 ia berpendapat, dunia telah memasuki suatu tahap yang dinamakan tahap positivistik. Ia mengatakan kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan yang lebih mengedepankan aspek intelektual seseorang, adalah pedoman hidup yang paling benar. Hal inilah yang menjadi segi fundamental untuk menemukan hukum yang mengatur kehidupan masyarakat. Artinya, segi irasional mistik dikesampingkan pada zaman itu, tapi sebaliknya lebih ditekankan pada segi rasionalisme dan empirisme. Dalam perkembangannya teori ini menjauhkan paradigma masyarakat pada hal-hal yang dianggap transeden. Pemberian makanan berupa sesajen dalam upacara ataupun ritual merupakan salah satu wujud peninggalan kebudayaan dari nenek moyang. Didalamnya terkandung usaha untuk menciptakan suasana hidup aman, tentram, lestari, dan rezeki yang berlimpah. Beberapa masyarakat adat tradisional masih 86 mempercayai bahwa melakukan upacara atau ritual merupakan salah satu cara untuk merealisasikan tujuan tersebut. Sehingga menjadi stigma yang melekat pada masyarakat tradisional bahwa sudah sewajarnya apabila upacara atau ritual tersebut harus dilakukan. Dalam ritual diperlukan perantara persembahan kepada tuhan sang pencipta, roh, arwah para leluhur agar permohonan mereka dikabulkan. Selain seorang dukun pemimpin upacara adat, perantara lain yang dibutuhkan adalah sesajen. Sesajen biasanya identik dengan makanan adat daerah tersebut. Sesajen merupakan syarat mutlak karena makanan yang terdapat didalamnya dimaknai sebagai pemuas kebutuhan dan persembahan untuk para arwah leluhur. Dalam hal ini makanan yang menjadi objek kajian peneliti adalah pulut kuning yang menjadi pelengkap dalam setiap upacara dan ritual dalam masyarakat Melayu. Walaupun rumpun suku nya sama namun, cara penyajian dan tujuan dari dibuatnya pulut kuning itu berbeda-beda disetiap daerah. Penyajian sesajen ataupun persembahan di tiap daerah bersifat unik karena tiap daerah memiliki jenis sesajen yang berbeda-beda. Isi sesajen yang terdiri dari suatu makanan tersebut dibentuk oleh selera masyarakatnya, sehingga penyajian sesajen tergantung pada selera makanan tiap-tiap daerah. Selera ini dapat dibentuk oleh suatu rekayasa manipulasi dari masyarakat yang melakukan ritual tersebut. Hal ini bertujuan untuk memuaskan arwah leluhur yang diharapkan nantinya berimplikasi terhadap dikabulkannya permohonan-permohonan yang diminta. 87 Dalam hal ini kita dapat melihat ciri khas dari suku Melayu yang identik dengan warna kuning sebagai warna identitas mereka tertuang kedalam suatu makanan yang disebut pulut kuning. Indonesia yang kondisi sosio kultural masyarakatnya beragam, tentu saja memiliki cara tersendiri dalam penyajian sesajen ataupun persembahan. Seperti di daerah Jawa Tengah, di sana terdapat gunung Merapi. Di daerah gunung Merapi terdapat daerah bernama Boyolali. Sejak dulu warga setempat memang merasa memiliki ikatan khusus dengan gunung Merapi. Sehingga di Boyolali terdapat upacara adat tahunan yang diselenggarakan oleh masyarakat setempat yang dikenal dengan ritual sedekah gunung. Salah satu sesajen sedekah gunung yang biasa dibuat adalah sempuro. Sempuro merupakan makanan khas warga setempat yang terbuat dari campuran tepung ketan dan tepung jagung. Makanan tersebut dikukus bersama gula merah hingga matang. Sajian lain yang tidak boleh ketinggalan dalam ritual tahunan ini adalah sego gunung. Sego gunung merupakan sajian utama dalam ritual sedekah gunung. Sego gunung dibuat dari nasi jagung yang dikukus hingga matang, dan dibentuk menyerupai gunung. Untuk menyelenggarakan ritual tersebut biasanya disiapkan 1,5 kilogram nasi jagung. Selain itu disiapkan pula sejumlah lauk pauk, diantaranya tempe gembus atau tempe bungkil. Tempe ini terbuat dari ampas katul atau tepung jagung. Bisa juga dibuat dari ampas tahu. Lauk tempe ini merupakan salah satu lauk khas warga Boyolali. Lalu juga ada ares, terbuat dari bonggol pisang yang ditumbuk halus. Hasil tumbukan ini akan digoreng bersama-sama dengan kelapa parut dan 88 bumbu masak, dikukus hingga lunak. Sajian lainnya, sayur kubis dan sayur ranti. Sayur ranti konon hanya ditemukan di daerah sekitar merapi. Sedekah Gunung tersebut, seluruhnya merupakan makanan khas warga setempat. Masyarakat percaya bahwa gunung Merapi dijaga oleh para penunggu, agar keselarasan hidup di kawasan merapi terjaga. Bila ada bencana, berarti terjadi ketidakseimbangan. Sebagai pengingat, juga tanda penghormatan kepada roh nenek moyang, maka harus dilakukan sedekah gunung. Dengan melangsungkan ritual itu walau gunung Merapi mengamuk dan memuntahkan isinya niscaya penduduk disana akan aman tak kurang suatu apapun. Hal ini sama seperti ritual horja bius dari budaya Batak Toba di Sumatra Utara, dimana makanan daerah setempat menjadi media persembahan kepada arwah leluhur. Sesajen yang digunakan diantaranya meliputi satu ekor kambing putih yang dimasak dan dipotong sesuai potongan sendi tulang kambing bagian kepala, leher, dadabadan, pangkal paha bagian atas, serta paha bagian tengah kaki bagian depan dan belakang. Semua bahan tadi dimasak dengan bumbu kare, disajikan, disusun sesuai urutan ketika hewan ini hidup dalam piring keramik ukuran besar. Hewan-hewan lain yang juga dapat dijadikan sesajen dalam ritual ini, diantaranya adalah ayam jantan putih, ayam jantan merah panggang yang memasak khusus suami dan hanya para suami yang boleh makan ayam ini, dan ayam jantan. Bahan lainnya adalah sagu-sagu. Bahan kue ini berasal dari tepung beras dimasak tanpa gula kemudian dipadatkan dan dibentuk menggumpal. 89 Masih dari daerah yang sama, ada pula kue itak nani hopingan. Kue terbuat dari tepung beras yang dicampur dengan pisang, gula putih, gula merah, kemudian ditumbuk agar berbentuk bulat dan dapat diletakkan di piring. Kue ini dimaksudkan sebagai lambang mohon doa restu kepada roh leluhur. Lainnya, itak gurgur atau pohu-pohu. Bahan kue ini juga dari tepung beras, gula putih, serta kelapa yang ditumis setengah matang, kemudian dicampur sampai menyatu dan dapat dibentuk dengan menggunakan jari genggaman tangan. Berikutnya adalah masakan ikan Batak yaitu ikan khusus dari danau Toba yang dimasak utuh satu ekor, kemudian disajikan dalam bentuk kari. Untuk pulut kuning sendiri tidak lah sampai kepada penyajian agar menolak bala seperti yang terjadi di Jawa. Pulut kuning lebih mirip fungsinya seperti itak-itak pada daerah Tapanuli selatan yang sifatnya pelengkap seremonial. Minuman juga unsur penting dalam perayaan ini. Beberapa minuman berbahan dasar buah seperti anggir pangurason. Anggir pangurason merupakan air yang dicampur dengan jeruk purut, bunga raya dan dedaunan untuk penawar. Lalu ada juga, assimun pangalambohi. Minuman ini terbuat dari timun dipotong panjang. tanduk horbo paung terbuat dari pisang berukuran besar-besar seperti pisang batakpisang ambon. Buah-buahan lain yang juga dapat dijadikan sesajen dalam ritual ini, seperti hajut sumpit putih diisi beras, serta uang pecahan nilai terbesar, Rp.100.000. Hajut ini digunakan sebagai perlambang kunci persembahan yang dibawa oleh datu dukun dan diletakkan di atas meja persembahan bersama bahan sesajen lainnya, aek naso ke mida matani ari air kelapa muda air yang bersih 90 dan steril, dan lain sebagainya. Upacara adat horjabius ini dilakukan untuk sekedar mengenang ritual yang dilakukan nenek moyang mereka terdahulu dan hendak melestarikan budaya yang mereka miliki. Penyajian sesajen dalam fenomena upacara dan ritual di atas pada dasarnya tidak hanya sekedar dimaknai sebagai selera dari makanan tiap daerah. Karena bila hal ini dikorelasikan dengan perspektif interaksionisme simbolik, akan terdapat makna lain dari sesajen yang akan direpresentasikan melalui suatu simbol. Teori yang dikembangkan oleh kelompok The Chicago School dengan tokoh utama George H. Mead 1863–1931, dan Charles Horton Cooley 1846- 1929 ini memusatkan observasinya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka memahami bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata.

4.3. Pulut Kuning Dan Tradisi Islam

Kebudayaan Melayu atau Kemelayuan merupakan entitas yang dinamis, sehingga diperlukan paradigma berpikir yang dinamis pula. Tanpa sudut pandang seperti ini, maka konsep Melayu itu tidak dapat dipahami secara holistik dan komprehensif. Saat ini, ada banyak definisi tentang Melayu itu sendiri. Di antara pengertian Melayu itu diungkapkan oleh Prof. Zainal Kling 5 5 Dalam http:kenedinurhan.blogspot.com200804kemelayuan_7039.html diakses pada 13 Januari 2015 dari Universitas Malaya, Malaysia. Menurutnya, dunia Melayu merupakan kawasan geografis 91 yang meliputi seluruh wilayah masyarakat yang berbahasa rumpun Melayu di Asia Tenggara, terutama di kawasan kepulauan yang kini menjadi unit-unit geopoloitik atau negara-negara, seperti: Indonesia, Malaysia, Brunei, Filipina, selatan Thailand, kelompok-kelompok masyarakat di Singapura, Vietnam, Kamboja, dan Taiwan. Pengertian ini didasarkan pada corak kemiripan bahasa, karena bahasa merupakan satu-satunya bukti sejarah yang masih tersisa yang dapat membuktikan benar atau tidaknya suatu kawasan yang ditempati oleh kelompok-kelompok rumpun Melayu tersebut. Salah satu ciri kebudayaan Melayu adalah sifatnya yang inklusif. Inklusivisme merupakan karakter dasar orang-orang Melayu. Tempat hidup orang- orang Melayu yang berada di pinggir laut dan sungai, memungkinkan mereka bersentuhan dengan orang-orang dari seluruh penjuru dunia. Masyarakat Melayu menyerap secara aktif kebudayaan-kebudayaan pendatang. Akhirnya, Melayu dapat membangun kebudayaan yang unggul dalam berbagai segi kebudayaan. Fakta historis menunjukkan bahwa kebudayaan Melayu merupakan “buah” dari hasil pertemuan antara Melayu dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang mendatangi kawasan Melayu. Sebelum kedatangan kebudayaan luar, masyarakat Melayu telah menganut sistem kepercayaan animisme dan dinamisme, sistem bercocok tanam, dan mampu membuat peralatan dari logam. Kebudayaan Melayu yang sudah terbentuk tersebut kemudian diperkarya oleh kedatangan kebudayaan besar dunia, yang terdiri dari empat fase, yaitu: kebudayaan India; kebudayaan China; kebudayaan Arab Timur Tengah; dan kebudayaan Barat. Pertemuan kebudayaan ini dapat berlangsung dengan damai ataupun dengan