14
mengembangkan kemandirian mengalami kebingungan dalam menentukan pilihan dan dapat terlibat perilaku seksual yang tinggi.
Adapun faktor psikologis lain yang dapat mempengaruhi adalah self efficacy, self esteem
, psychological distress, agama, personal risk
, vulnerability, dan morality of sex Kotchick, Shaffer, Miller,
Forehand, 2001 .
b. Eksternal
Faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku seksual pada remaja adalah keluarga, teman sebaya, lingkungan sekolah, dan
lingkungan sosial budaya Kotchick, Shaffer, Miller, Forehand,
2001 . Keluarga dapat mempengaruhi aktifitas seksual remaja
melalui struktur keluarga dan proses keluarga. Dalam variabel struktur keluarga, remaja yang tinggal
dengan kedua orang tuanya merupakan faktor protektif terhadap perilaku seksual Jemmot Jemmot, 1992. Hal ini disebabkan
remaja yang tinggal bersama orang tuanya jauh lebih diamati atau diatur dalam aktivitas sosialnya sehingga remaja kurang terlibat
dalam perilaku seksual. Selain itu, terdapat penelitian yang menemukan hubungan antara Social Economy Status SES dengan
risiko kehamilan pada remaja. Remaja yang hidup dalam kemiskinan akan cenderung memiliki pendidikan yang rendah. Hal
ini menyebabkan kurangnya pengetahuan akan risiko yang ditimbulkan dari tingginya perilaku seksual sehingga remaja
15
menjadi lebih rentan akan kehamilan tidak diinginkan Gordon, 1996; Roosa, 1997. Dalam variabel proses keluarga pengasuhan
yang baik seperti kualitas hubungan, monitor yang dilakukan anggota keluarga terhadap perilaku seksual remaja, dan komunikasi
dengan remaja dapat mengkontrol perilaku seksual pada remaja Kotchick, Shaffer, Miller, Forehand, 2001
. Selain dari faktor keluarga, teman sebaya dan lingkungan
sekolah juga dapat mempengaruhi perilaku seksual remaja. Hal ini disebabkan teman sebaya dan lingkungan sekolah merupakan
sarana remaja untuk mengembangkan identitasnya dan tempat remaja untuk beradaptasi ke dalam jaringan sosial yang kompleks
Wierson Forehand, 1993. Oleh karena itu, teman sebaya dan lingkungan dapat mempengaruhi remaja untuk terlibat dalam
perilaku seksual tertentu Kotchick, Shaffer, Miller, Forehand,
2001 .
Faktor sosial budaya juga berperan pada perilaku seksual remaja. Menurut Moore Roosenthal 2006 setiap budaya
memiliki sexual script. Sexual script adalah pedoman perilaku seksual yang dinilai sebagai suatu hal yang diinginkan dalam
budaya tertentu. Sexual script berisi perilaku seksual apa yang boleh dilakukan ,bagaimana melakukannya, dan dengan siapa
melakukannya.
16
Remaja mengembangkan sexual script pertama kali dari mendengarkan orang lain berbicara, menyerap budaya populer
melalui menonton film, video atau televisi, membaca majalah dan buku. Dengan cara ini, remaja mengetahui perilaku seksual apa
yang tepat dan perilaku seksual yang tidak pantas untuk dilakukan oleh seseorang dengan usia dan jenis kelamin tertentu. Oleh karena
itu, ‘sexual script’ ini dapat mempengaruhi perilaku seksual yang dilakukan dalam relasi pacaran remaja pada setiap budaya.
Di Indonesia sendiri terdapat ‘sexual script’ yang melarang
adanya hubungan seksual pranikah. Nilai ini tercermin dalam bentuk keinginan untuk mempertahankan kegadisan sebelum
menikah. Kegadisan seringkali dilambangkan sebagai “mahkota” atau “harta yang paling berharga” atau “tanda kesucian” atau
“tanda kesetiaan suami”. Hilangnya kegadisan bisa berakibat pada depresi walaupun tidak membawa akibat-akibat lain seperti
kehamilan atau penyakit kelamin Sarwono, 2003. Hubungan seks di luar perkawinan tidak hanya dianggap
tidak baik, tetapi juga tidak boleh ada. Anggapan ini sangat dipengaruhi oleh ajaran agama, yang pada gilirannya menyebabkan
sikap negatif masyarakat terhadap seksualitas. Orang tua dan pendidik menjadi tidak mau terbuka atau berterus terang kepada
anak-anak. Anak-anak tidak didik tentang seksualitas karena takut kalau-kalau anak-anak itu menjadi ikut-ikutan mau melakukan