Uji Hipotesis Hasil Penelitian

85 Tabel 14. Hasil Regresi Strategi Self-Enhancement dan Self-Protection dengan Perilaku Seksual pada perempuan p 0,05 Dari tabel 14, dapat dilihat bahwa strategi self-enhancement dan self-protection menjadi prediktor yang tidak baik bagi perilaku seksual pada remaja perempuan F4,144= 2,263, p0,05. Selain itu, dapat diketahui bahwa terdapat hubungan yang positif dan tidak signifikan antarapositivity embracement dan favorable contrualsB= 0,018, p0,05; B= 0,085, p0,05. Hal ini menunjukkan bahwa positivity embracementdan favorable contruals tidak dapat memprediksi perilaku seksual pada remaja perempuan. Berdasarkan tabel 14, dapat dilihat bahwa terdapat hubungan yang negatif dan tidak signifikan antara self-affirming reflections dengan perilaku seksual pada remaja perempuan B= -0,009,p0,05. Hal ini menunjukkan bahwa self-affirming reflections tidak dapat memprediksi perilaku seksual pada remaja perempuan. Dari tabel 14, dapat dilihat bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara defensiveness dengan perilaku seksual pada remaja perempuan B= 0,112,p0,05. Hal ini menunjukan bahwa defensiveness yang tinggi memprediksi perilaku seksual yang tinggi pada remaja Prediktor Perilaku Seksual F Df R 2 B Positivity Embracement 2,263 4, 144 0,059 0,018 Favorable Construals 2,263 4, 144 0,059 0,085 Self- Affirming Reflections 2,263 4, 144 0,059 -0,099 Defensiveness 2,263 4, 144 0,059 0,112 86 perempuan. Demikian pula sebaliknya, defensiveness yang rendah memprediksi perilaku seksual yang rendah pada remaja perempuan. Tabel 15. Hasil Regresi Strategi Self-Enhancement dan Self-Protection dengan Perilaku Seksual pada laki-laki Prediktor Perilaku Seksual F Df R 2 β Positivity Embracement 0,316 4,52 0,024 0,073 Favorable Construals 0,316 4,52 0,024 0,079 Self- Affirming Reflections 0,316 4,52 0,024 -0,076 Defensiveness 0,316 4,52 0,024 -0,042 Dari tabel 15, dapat dilihat bahwa strategi self-enhancement dan self-protection menjadi prediktor yang tidak baik bagi perilaku seksual pada remaja laki- laki F4,52= 0,316,p0,05. Selain itu, dapat diketahui bahwa terdapat hubungan yang positif dan tidak signifikan antarapositivity embracement dan favorable contruals dengan perilaku seksual pada remaja laki-lakiB= 0,073, p0,05;B= 0,079; p0,05. Hal ini menunjukkan bahwa positivity embracement dan favorable contruals tidak dapat memprediksi perilaku seksual pada remaja laki- laki. Dari tabel 15, dapat dilihat bahwa terdapat hubungan yang negatif dan tidak signifikan antara self-affirming reflectionsdan defensiveness dengan perilaku seksual pada remaja laki-laki B= -0,076, p0,05; B=-0.042, p0,05. Hal ini menunjukan bahwa self-affirming reflections dan defensiveness tidak dapat memprediksi perilaku seksual pada remaja laki-laki. 87

F. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian, tampak bahwa strategi self- enhancement yang terdiri dari positivity embracement, favorable-construals, dan self-affirming reflections tidak memprediksi perilaku seksual pada remaja. Remaja yang melakukan self-enhancement dengan mencari timbal balik positif, menginterpretasi dunia secara positif, dan menegaskan diri secara positif belum tentu tidak akan terlibat perilaku seksual. Hal tersebut dapat dijelaskan dalam konteks budaya. Di budaya interdependensi, individu memiliki ketergantungan dengan orang lain dan melihat dirinya sebagai bagian dari lingkungan sosial tertentu. Individu cenderung melihat dirinya berkaitan dengan orang lain dan memiliki kesamaan dengan orang lain. Oleh karena itu, individu berusaha untuk menyesuaikan diri dengan orang lain, berusaha untuk membuat dan mematuhi norma, dan menjadi bagian dari beberapa hubungan interpersonal. Individu di budaya interdependensi juga lebih menekankan status, peran, dan hubungan dengan orang lain Markus Kitayama, 1991. Terkait dengan self-enhancement , individudi budaya interdependensi melihat dirinya positif ketika individu bisa diterima oleh orang lain. Selain itu, individu juga berusaha mendapatkanpandangan diri yang positif dengan cara menyesuaikan diri, menjaga harmoni dengan konteks sosial, dan mengendalikan diriMarkus Kitayama, 1991. Strategi self-enhancement yang dilakukan individu juga perlu disesuaikan terlebih dahulu dengan karakteristik lingkungan sosialnya. Ketika individu 88 memandang bahwa lingkungan sosial dapat menerima strategi yang dilakukannya untuk self-enhancement, maka individu akan melakukan strategi tersebut, namun jika lingkungan sosial dirasa akan menolaknya maka individu akan mempertimbangkan ulang strategi tersebut Lange, Kruglanski, Higgins, 2012. Kebutuhan akan penerimaan sosial tersebut menjadi sangat terasa ketika individu berada pada masa remaja. Pada masa remaja, individu membutuhkan penerimaan sosial yang lebih besar dari teman sebaya Brown, Dulcini, Leventhal, 1997; Santrock, 2007. Ketika remaja ingin meningkatkan pandangan positif terhadap dirinya maka remaja akan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan pandangan teman sebayanya. Terkait dengan perilaku seksual, keputusan akan keterlibatan remaja di perilaku seksual bergantung pada sejauh mana lingkungan sosial seperti teman sebaya atau pacar menerima atau tidak menerima perilaku tersebut Lange, Kruglanski, Higgins, 2012. Ketika mayoritas teman-teman remaja terlibat dalam perilaku seksual, maka remaja akan memiliki keinginan inisiatif untuk terlibat dalam perilaku seksual Furstenberg , Schwartz, 1998; Gillmore, Archibald, Morrison, 2002, terlibat dalam perilaku seksual dini Miller, Norton, Curtis, 1997 , dan terlibat dalam hubungan seksual Nahom, Wells, Gillmore, 2001 untuk mendapatkan penilaian diri yang positif dari teman sebayanya. Di sisi lain, penelitian lain menemukan bahwa remaja yang mempersepsikan bahwa temannya tidak menyukai adanya perilaku seksual, maka remaja tersebut akan cenderung tidak terlibat perilaku seksual Watts, 2000 atau menunda 89 perilaku seksual Carvajal, Parcel, Basen-Engquist, 1999. Oleh karena itu, terkait dengan perilaku seksual, strategi untuk mendapatkan pandangan diri yang positif bisa dilakukan dengan cara terlibat atau tidak terlibat dalam perilaku seksual, tergantung pada penerimaan lingkungan sosial atas perilaku seksual tersebut. Penelitian ini tidak meneliti secara khusus peran penerimaan sosial terkait dengan strategi self-enhancement. Penelitian selanjutnya mungkin dapat meneliti hal tersebut. Hasil analisis lebih lanjut penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan gender dalam strategi self-protection kaitannya dengan perilaku seksual. Strategi self-protection yaitu defensiveness dapat memprediksi perilaku seksual pada remaja perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin remaja perempuan melakukan defense dengan cara menghindari informasi negatif mengenai dirinya, maka remaja perempuan semakin terlibat dalam perilaku seksualnya. Sebaliknya, strategi self-protection tidak dapat memprediksi perilaku seksual pada remaja laki-laki. Terkait dengan perilaku seksual, remaja laki-laki melakukan perilaku seksual untuk mencari kenikmatan dan rangsanganseksual Browning et al., 2000;Eyre Millstein, 1999, sedangkan remaja perempuan melakukan perilaku seksual atas dasar cinta atau keintiman Brigman Knox, 1992; Browning et al., 2000. Selain alasan keintiman dan hasrat, terdapat alasan lain yang mendorong remaja melakukan perilaku seksual, yaitu eksternalisasi. Eksternalisasi dalam kaitannya dengan perilaku seksual berarti remaja melakukan perilaku seksual atas dorongan dari hal-hal