Latar Belakang Kajian efektivitas pengelolaan daerah perlindungan laut Desa Mattiro labangeng Kabupaten Pangkajene Kepulauan Sulawesi Selatan

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ekosistem wilayah pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati dan non-hayati. Komponen-komponen ini secara fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu sistem, yang dikenal dengan ekosistem atau sistem ekologi. Ekosistem pesisir ini merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Kekayaan sumberdaya ini meliputi pulau-pulau besar dan kecil yang dikelilingi ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Tipologi ekosistem pesisir ditinjau dari daratan menuju kearah laut lepas diawali oleh ekosistem mangrove yang kemudian diikuti oleh padang lamun, dan ekosistem terumbu karang. Masing-masing ekosistem ini memiliki fungsi dan peran yang saling terkait satu sama lain Yulianda et al. 2009. Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang amat penting bagi keberlanjutan sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir dan lautan, dan umumnya tumbuh di daerah tropis, serta mempunyai produktivitas primer yang tinggi. Tingginya produktivitas primer ini menjadikan terumbu karang sebagai tempat berkumpulnya beraneka biota pesisir dan laut seperti ikan, udang, mollusca, dan lainnya Supriharyono 2007. Kondisi terumbu karang di Indonesia sebagian besar sangat memprihatinkan karena dalam beberapa dekade terakhir mengalami kerusakan yang signifikan. Hasil pengamatan yang dilakukan di bagian barat dan di bagian timur Indonesia menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang hanya 6.48 berada dalam kondisi sangat baik, 24.23 kondisi baik, 29.22 kondisi rusak dan 40.14 rusak berat Suharsono 1995. Kerusakan ini sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia anthropogenic termasuk pengerukan batu dan pasir untuk industri konstruksi dan penambangan karang untuk produksi kapur atau batu ekstraksi, praktek penangkapan ikan yang merusak seperti penggunaan bahan peledak dan sianida, muroami, pengambilan karang, dan efek samping dari pariwisata Jameson et al. 1995; Cesar 1996. Kabupaten Pangkajene Kepulauan Pangkep merupakan wilayah kepulauan yang memiliki 117 pulau dan umumnya berukuran kecil, 80 pulau di antaranya berpenghuni. Luas daratan pulau-pulau kabupaten ini adalah 351.5 km², sedangkan luas wilayah lautnya sekitar 17.000 km², dengan sumberdaya alam yang paling utama adalah ekosistem terumbu karang yang berbentuk fringing reefs dan diperkirakan mempunyai luas sebesar 36.000 ha Jompa 1996. Tingkat kerusakan terumbu karang di Kabupaten Pangkep umumnya tergolong tinggi. Kerusakan terumbu karang disebabkan oleh tingginya tingkat sedimentasi dan pencemaran, serta aktivitas nelayan yang menggunakan jenis alat tangkap yang merusak seperti bahan peledak, sianida, dan alat tangkap destruktif lainnya. Berdasarkan data COREMAP-PSTK 2002, dilaporkan bahwa dari total luas keseluruhan terumbu karang yang ada di Kabupaten Pangkep, 74.26 dalam kondisi rusak dan hanya 25.74 dalam kondisi baik. Kondisi ini sangat memprihatinkan sehingga produktivitas terumbu karang semakin menurun. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah pencegahan kerusakan dan penerapan sistem pengelolaan yang baik, agar kondisi sumberdaya alam di kawasan kepulauan ini bisa memberi harapan yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat terutama kepada mereka yang menggantungkan hidupnya dari ketersediaan sumberdaya alam terumbu karang. Salah satu upaya dalam menyelamatkan ekosistem terumbu karang di wilayah kepulauan Kabupaten Pangkep adalah dengan membentuk Daerah Perlindungan Laut DPL di setiap desa yang diinisiasi oleh Kementerian Departemen Kelautan dan Perikanan DKP melalui program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang COREMAP II pada tahun 2006. Desa Mattiro Labangeng merupakan salah satu desa yang menerima dampak dengan adanya pembentukan DPL. DPL merupakan daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat COREMAP 2006. Menurut Christie et al. 2002, pembentukan DPL dimaksudkan untuk melindungi terumbu karang dan komunitas invertebrata yang berasosiasi didalamnya serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pulau akan hidup yang lebih baik. Program pengelolaan DPL yang diterapkan di Desa Mattiro Labangeng diharapkan dapat mensejahterakan masyarakat desa,khususnya para nelayan. Oleh karena itu, untuk melihat seberapa besar peran, manfaat dan keberadaan DPL terhadap pelestarian ekosistem terumbu karang perlu dilakukan kajian efektivitas dalam menilai keberhasilan pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng. Penilaian efektivitas ini menurut Pomeroy et al. 2004 didasarkan pada indikator ekologis, sosial- ekonomi dan kelembagaan dengan tujuan DPL yang ada

1.2 Perumusan Masalah