Nilai ekonomi sumberdaya terumbu karang Nilai ekonomi sumberdaya terumbu karang digunakan untuk melihat
perubahan nilai ekosistem terumbu karang setelah adanya gangguan, dalam hal ini adanya penetapan sebagian perairan Desa Mattiro Labangeng sebagai daerah yang
dilindungi. Gangguan ini mengakibatkan perubahan produksi barang dan jasa yang dihasilkan sumberdaya terumbu karang, yang pada akhirnya akan mengubah
perilaku pemanfaatannya. Perubahan perilaku pemanfaatan ini akan mengubah nilai dari sumberdaya alam tersebut Adrianto 2006. Berdasarkan grafik Amoeba
menunjukkan adanya perubahan nilai ekosistem terumbu karang dari aktivitas perikanan tangkap. Nilai ekosistem terumbu karang sebelum adanya penetapan
DPL sebesar Rp 42.635.910.51hatahun, nilai ini lebih rendah dibandingkan setelah ditetapkannya DPL yakni sebesar Rp 52.084.390.18hatahun. Jika
dibandingkan dengan nilai CTV maka nilai ekonomi sumberdaya terumbu karang sebelum dan sesudah adanya penetapan DPL tidak melebihi nilai idealnya. Nilai
kritis CTV yang menjadi pembanding adalah Rp 225.000.000hathn Modifikasi Munro 1984 in Cesar 1996. Nilai CTV ini merupakan nilai
maksimum sustainable yield MSY dari sumberdaya ikan dan invertebrata yang
dapat dikonsumsi Munro 1984 in Cesar 1996. Hal ini juga berarti nilai sebelum dan setelah adanya DPL menunjukkan perikanan tangkap yang masih dalam batas
normal dan tidak menunjukkan penangkapan yang lebih overfishing.
c. Kriteria Kelembagaan
Tingkat pelatihan stakeholder Kemandirian stakeholder dalam menghadapi tantangan-tantangan DPL
dimasa akan datang ditentukan melalui jumlah pelatihan yang dilaksanakan dan diikuti. Pelatihan bagi stakeholder sebelum dan sesudah adanya DPL dilakukan 4
kali dalam setahun.Hal ini juga merupakan program pemerintah COREMAP II dalam hal ini tersedianya budget untuk pelaksanaan pelatihan dan juga
disesuaikan dengan kebutuhan stakeholder yang ada di daerah. Jika dibandingkan dengan nilai CTV 1 untuk pelaksanaan pelatihan, maka jumlah pelatihan yang
didapatkan oleh stakeholder tiap tahun telah cukup untuk pengembangan diri maupun kelembagaan di daerahnya masing-masing.
5.3.4 Tingkat Efektivitas Pengelolaan DPL
Analisis tingkat efektivitas DPL Desa Mattiro Labangeng dalam penelitian ini dilakukan untuk mengukur tingkat efektivitas pengelolaan DPL pada tahun
penelitian 2010 dan didasarkan pada indikator-indikator terpilih yang ditetapkan tingkatannya indeks. Hasil analisis tingkat efektivitas pengelolaan DPL Desa
Mattiro Labangeng tersaji pada Tabel 22. Tabel 22 Matriks tingkat efektivitas
Kriteri a
Sub Kriteria Bobot
Skor Nilai
Riil Skor
1 2
3
Ekologi a. Kondisi Tutupan
Karang b. Kelimpahan Ikan
Target Individu 18
18 1
3 0-25
0-25 25-50
25-50 50-75
50-75 75-100
75-100 Sosial-
Ekonom i
c. Pendapatan Rp ributahun
d. Nilai ekonomi Sumberdaya TK
Rp jutahatahun 16
16 2
3 4.32
225 4.32-8.64
150-225 8.64-12.96
75-150 12.960
75
e. Sikap masyarakat 15
3 0-25
25-50 50-75
75-100 Kelem-
bagaan f. Jumlah pelatihan
stakeholder Jumlahtahun
15 3
1 2
2
Bobot x Skor Total 242
Tingkat Efektivitas 82
Sumber: Studi ini dan Skala Likert Berdasarkan hasil perhitungan tingkat efektivitas pengelolaan DPL Desa
Mattiro Labangeng berada pada skor 82 dan dikategorikan sangat efektif. Menurut Carter et al. 2011, skor dan tingkat yang dicapai melalui setiap tinjauan
tidak ditujukan untuk menentukan status “pasti” dari efektivitas pengelolaan, tetapi untuk lebih mencerminkan tingkat pencapaian relatif terhadap tujuan akhir
dan tujuan-tujuan yang digunakan untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan tersebut pada masa yang akan datang. Selain itu, Carter et al. 2001 menyebutkan
bahwa pada tingkatan tersebut merupakan tingkat tertinggi dari efektivitas pengelolaan kawasan perlindungan laut. Pada tingkatan ini menunjukkan bahwa
kawasan perlindungan laut tersebut telah dikelola dengan kelembagaan yang berfungsi penuh. Hal ini dikarenakan DPL Desa Mattiro Labangeng sudah